Rania bangun dalam keadaan tidur sendiri di ranjang. Semalam ia terbangun dua kali karena visit dari perawat dan dokter utama. Waktu itu masih ada Arbi diranjang. Ia juga tidak peduli akan disebut perempuan macam apa karena tidur bersama iparnya, bukan suaminya. “Kak Arbi mana ya?” Ceklek. “Ran? Kamu udah bangun?” mama masuk membawa paper bag, “Makan dulu yuk. Semalem mama ketemu dokter utama kamu. Katanya kamu gak ada pantangan makan apa-apa dan boleh makan makanan dari luar. Jadi papa beliin kamu bolu kesukaan kamu.” “Ma, yang jadi wali pasien aku mama sekarang?” “Masih Arbi. Kenapa?” “Kok mama ada disini?” “Ini jam besuk. Perawat bilang mama boleh nemenin kamu. Papa lagi ke rumah mbak Sani, mau anterin Satria sekolah. Karena berantem sama Agil, papa bilang mau nyewa apartemen aja biar bisa nemenin Satria.” “Kenapa papa gak pulang aja ke rumah aku?” “Rumah si monster lebih tepatnya. Mama dan papa gak sudi ke rumah itu lagi. Kamu juga sebaiknya gak kesana. Begitu do
Kondisi Rania semakin membaik. Lebam diseluruh tubuhnya tentu masih membekas, tapi sedikit tersamar. Luka sayatan di perutnya juga. Ia hanya belum bisa menghilangkan rasa sakit di hatinya. Alfi belum juga kesini, padahal ia mau meminta kepastian perceraian. Entah karena ada orang tuanya ditambah Rian yang selalu berjaga, atau memang suaminya itu masih perlu waktu untuk menemuinya. “Habisin dong nasinya, Ran, katanya pengen cepet pulang.” desak mama yang sedang memotong buah Apel. “Aku udah kenyang, ma.” Mama memberikan ponsel milik Rania, “Dari tadi Satria nyariin kamu.” Rania menatap mama, “Aku gak mungkin video call dalam keadaan masih gini.” Mama tak menjawab. Beliau juga tidak tahu bagaimana caranya mengelabui Satria dengan keadaan wajah Rania yang masih begini. “Telpon aja.” “Setiap aku pergi, kita selalu video call. Satria bakal terus maksa biar bisa liat muka aku.” “Dia emang m
Ibu menunduk, begitu juga dengan ayah. Keterlaluan mereka. Tahu anaknya tidak sama dengan lelaki lain, tapi mereka diam saja? “Aku... gak bisa, bu, aku akan tetep gugat cerai mas Alfi.” “Tolong ibu, Rania. Kalo kamu tetep cerai sama Alfi, dia akan—dia akan marah sama ibu dan ayah.” Rania menatap ibu tak percaya, “Ibu takut mas Alfi marah kalo aku cerai dari dia? Bu, ibu bayangin gak rasanya jadi aku yang punya suami—berbeda dari suami lainnya? Aku diselingkuhi, aku di khianati dengan selingkuhan yang gak sama dengan aku.” Rania membuang nafas pelan, “Ibu tahu siapa pacar mas Alfi selama sepuluh tahun terakhir?” Ibu tak menjawab, beliau malah menangis semakin dalam. “Ayah?” Rania melirik ayah. Rania tersenyum, “Hebat banget keluarga kalian, yang tega bohongin satu mangsa lemah kayak aku untuk melindungi harga diri anaknya.” “Ran, kita terpaksa.” Ayah angkat bicara, “Alfi yang bilang jangan sampe k
Rania terduduk menyesal ketika Alfi kini berani duduk disampingnya. Mama menyusulnya begitu mendengar kabar menantunya akan bunuh diri. Mama tak bicara banyak. Mama malah langsung keluar lagi dengan wajah kecewa. “Sayang, dokter bilang kamu boleh pulang besok pagi, sisanya cukup rawat jalan. Aku seneng kamu recovery dengan cepet.” Rania meliriknya, “Aku gak mau pulang, mas.” “Loh, kenapa? Satria kangen banget loh sama kamu.” “Aku tahu.” “Terus kenapa kamu gak mau pulang?” “Kamu gak liat seluruh badan aku masih penuh sama lebam ini?” Alfi tak langsung menjawab. Ia menunduk lalu mengusap pelan punggung tangan istrinya, “Maafin aku.” “Kalo Satria tanya, aku mau jawab apa? Kamu mau jawab apa?” Alfi menatap Rania, “Semua salah aku.” “Aku gak lagi bahas siapa yang salah, mas.” nada bicara Rania meninggi, membuat Alfi sedikit tersentak. Alfi bangkit dari ranjang, ia meng
Empat hari kemudian, dokter utama Rania memberi tahu bahwa ia sudah boleh pulang hari ini. Bukannya senang, ia malah murung. Bagaimana ia harus menghadapi Satria. Luka lebam ditubuhnya masih tersisa sedikit. Sudah pasti lah anak tunggalnya itu akan bertanya. “Aku udah bawa semua baju-baju kamu ke mobil. Udah gak ada yang ketinggalan lagi ‘kan?” tanya Alfi setelah mengecek laci nakas samping ranjang. Rania mengangguk. Ia membuang nafas beberapa kali karena merasa lebih baik ia terus tinggal disini. Mama dan papa sangat marah ketika ia mengatakan akan batal cerai dari Alfi. Mereka bilang Rania bodoh dan sangat tidak berperasaan, karena membiarkan dirinya dan Satria terus berada dalam kungkungan mahluk kasar seperti suaminya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika menjelaskan mungkin saja Alfi akan belajar dari kesalahannya, mama dan papa langsung pergi, dan Satria dititipkan pada mbak Sani. “Kalo udah gak ada yang ketinggalan, yuk, kita pulang sekarang.” Rania mendongak, m
Mbak Sani pamit pulang setelah menemani makan siang. Katanya ia juga ingin merasakan jadi ibu rumah tangga yang pergi mengantar Agil terapi. Rania tak bisa menahannya, karena sejujurnya ia juga butuh waktu untuk dirinya sendiri setelah kejadian satu minggu lalu. “Ma,” Satria menghampiri Rania yang sedang mencuci buah. “Kenapa, sayang?” “Mama sama papa berantem ya?” Rania menaruh buah di sink dan berjongkok menatap anak tunggalnya, “Enggak, mama sama papa gak berantem.” “Ini kenapa?” Satria menunjuk lebam dilengan Rania. Rania menatap luka lebam itu. Sudah pudar, tapi siapapun masih bisa melihatnya, “Ini...” “Papa mukulin mama ya?” Rania tak bisa menjawab. Ia tak mau berbohong. Tapi kalau ia jujur dan mengatakan ia memang dipukuli oleh papanya, bagaimana Satria akan menilai Alfi nantinya? “Eng-enggak, ini mama jatoh, sayang.” “Mama bohong.” “Mama gak bohong.”
Sudah dua hari berlalu, Rania masih memikirkan ucapan Fira tempo hari, yang memintanya untuk segera bercerai dari Alfi selama masih punya waktu. Ucapannya ada benarnya. Jika ia terus mengulur waktu, bukan tidak mungkin Alfi akan mencuci otaknya dengan memberikan perlakuan manis. Tapi ia tidak mau gegabah. Ia harus bisa bercerai diwaktu yang tepat. “Ma, om Arbi udah dateng.” Satria berlari ke teras begitu terdengar sebuah mobil berhenti. Rania ke depan untuk menemui iparnya itu. Saat menunggu Agil membawa tasnya, karena ia akan menginap disini, Arbi tidak bicara sama sekali pada Rania. Ia masih kecewa atas tidak jadinya gugatan cerai itu. “Agil baik-baik ya disini. Kalo kerjaan papa beres lebih cepet, papa jemput lagi kesini.” “Gak usah, kak. Kalo pekerjaan kakak selesai lebih cepet, kakak istirahat aja, biar Agil disini sama Satria.” Arbi melirik Rania. Ia hanya membuang nafasnya pelan. “Kalo aku mau beli apa-apa gima
Rania menutup pintu kamar Satria ketika anaknya itu sudah tidur dengan Agil. Ia mengunci pintu dari luar, karena kalau tidak, Agil yang hyperaktif akan keluar kamar dan berlari mengitari rumah sampai memecahkan barang seperti biasa. “Mas?” Rania melihat Alfi tengah mengganti sprei ranjang, padahal saat tadi membacakan dongeng untuk anak-anak suaminya itu belum pulang. “Sayang?” “Kamu udah pulang?” “Udah dong. Aku pulang waktu kamu sama Satria dan Agil lagi nyanyi.” “Aku siapin makan ya?” “Gak usah, aku udah makan kok.” “Oh, di resto?” Alfi diam sejenak, “Enggak, sama temen. Sama.... Aldo. Iya, Aldo.” Rania tersenyum. Ia tahu suaminya sedang berbohong, “Kalo kamu makan sama yang lain juga gak papa kok.” Rania menuruni tangga, Alfi langsung mengikutinya. “Aku gak mau kamu mikir aku selingkuh.” Rania menoleh, “Kamu gak mungkin selingkuh, mas. Aku tahu.”