Pukul tujuh malam mama dan papa baru sampai. Mama berteriak begitu masuk ke dalam ruang perawatan. Beliau tidak pernah menyangka akan menjenguk putrinya dalam kondisi seperti ini. Papa tak kalah terkejut. Papa terlihat merasa bersalah karena menjadi pihak yang tidak mendukung perceraian anaknya dengan Alfi.
Rian sudah memberi tahu mereka, bahwa alasan kakaknya ingin bercerai bukanlah karena berselingkuh dengan Arbi, melainkan ada sesuatu pada diri menantu kesayangan mereka. Mama menghampiri Rania, di usapnya pelan bagian wajahnya yang lolos dari lebam yang dihasilkan Alfi. Tak ada kata. Mama terlalu lemas melihat kondisi putri tersayangnya seperti ini. Remuk hatinya menyaksikan semuanya di depan mata. “Ceraikan Alfi sekarang juga, Ran. Papa dukung kalian bercerai.” Rania hanya menatap papa nanar. Ada setitik air mata yang mengalir bahagia, “Makasih, pa.” “Ini bisa jadi bukti yang sangat kuat. Papa yakin prosesnya akan berjalan“Apanya yang gak mungkin, ma?” “Kamu sama Alfi punya anak. Ada Satria. Kamu juga bisa hamil anak kedua. Itu anak Alfi ‘kan, Ran?” Rania tahu mama dan papa masih awam. Mereka mengira jika seorang Homoseksual menikah tidak akan menghasillkan seorang anak. Ia paham ketidak tahuan mereka. “Mas Alfi kemungkinan mengalami kelainan Biseksual, ma, pa. Dia bisa ngelakuin itu sama laki-laki dan perempuan. Aku gak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Karena untuk tahu kondisinya dia harus mau jalanin beberapa tes kesehatan mental. Tapi dia mana mau ngelakuin itu.” Mama dan papa menggeleng. Rania tahu tidak mudah untuk mereka menerima ini. Ia pun dulu butuh waktu berbulan-bulan untuk akhirnya yakin bahwa suaminya memang berbeda. “Tapi aku mohon jangan bahas ini ke mas Alfi ya, ma, pa. Biar aku yang bicara sama dia soal ini.” “Ran, berhenti jaga perasaan suami kamu yang gak berguna itu. Kamu terlalu baik makannya...”
“Rania kehilangan anak keduanya. Itu semua gara-gara Alfi. Apa maksudnya dia menyiksa anakku dan membunuh cucuku? Dasar manusia Psikopat.” Ibu dan Ayah sama-sama mengucapkan istigfar. Mereka pasti tidak menyangka Alfi melakukan itu. “Bisa-bisanya aku punya besan kayak kalian. Mana mungkin kalian gak tahu sifat asli Alfi. Dia itu binatang, bukan manusia. Kemana akalnya kalau dia manusia?” Papa menahan mama yang sudah bicara keterlaluan meskipun itu faktanya. “Maafkan Alfi, besan. Aku gak nyangka Alfi yang melakukan semua ini. Enam tahun pernikahan ‘kan kalian tahu betapa baiknya Alfi pada Rania.” “Iya, karena dia belum capek nyembunyiin siapa dirinya.” “Maksud besan apa?” tanya ibu kebingungan. “Mana mungkin seorang ibu gak tahu anaknya mengalami kelainan Homoseksual.” Ibu menatap Ayah. Mereka terlihat sangat terkejut. “Aku yakin Rania di siksa begini karena anakku bahas soal anak kali
Mama dan papa tersenyum diluar ruangan. “Nak Arbi, tante titip Rania ya.” “Iya, tante.” Arbi masuk begitu saja dan menutup pintu dari dalam. Rania tersenyum menyambut kedatangan Arbi. Selagi Alfi pergi yang entah kemana, ia meminta pada perawat untuk mengubah status Alfi yang semula menjadi wali pasien. Perawat bertanya sesuai SOP, mengenai apakah ada hal darurat yang terjadi sehingga ia menggantinya tiba-tiba. Rania terpaksa bilang kalau ia adalah korban KDRT sehingga takut jika ditinggalkan berdua, suaminya akan melukainya kembali. Perawat itu sudah mengira dari awal di identifikasi dari jenis lebam yang di dapati sepanjang tubuh Rania. “Apakah saya perlu menelpon polisi, bu? Keselamatan ibu adalah segalanya. Apalagi anak kedua ibu baru saja meninggal. Tim medis kami bisa membantu memberikan bukti visum pada kepolisian sehingga pak Alfi bisa segara ditahan.” Rania tadi hanya diam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Ia kesal dan marah pada suaminya, tapi tak pernah in
Rania bangun dalam keadaan tidur sendiri di ranjang. Semalam ia terbangun dua kali karena visit dari perawat dan dokter utama. Waktu itu masih ada Arbi diranjang. Ia juga tidak peduli akan disebut perempuan macam apa karena tidur bersama iparnya, bukan suaminya. “Kak Arbi mana ya?” Ceklek. “Ran? Kamu udah bangun?” mama masuk membawa paper bag, “Makan dulu yuk. Semalem mama ketemu dokter utama kamu. Katanya kamu gak ada pantangan makan apa-apa dan boleh makan makanan dari luar. Jadi papa beliin kamu bolu kesukaan kamu.” “Ma, yang jadi wali pasien aku mama sekarang?” “Masih Arbi. Kenapa?” “Kok mama ada disini?” “Ini jam besuk. Perawat bilang mama boleh nemenin kamu. Papa lagi ke rumah mbak Sani, mau anterin Satria sekolah. Karena berantem sama Agil, papa bilang mau nyewa apartemen aja biar bisa nemenin Satria.” “Kenapa papa gak pulang aja ke rumah aku?” “Rumah si monster lebih tepatnya. Mama dan papa gak sudi ke rumah itu lagi. Kamu juga sebaiknya gak kesana. Begitu do
Kondisi Rania semakin membaik. Lebam diseluruh tubuhnya tentu masih membekas, tapi sedikit tersamar. Luka sayatan di perutnya juga. Ia hanya belum bisa menghilangkan rasa sakit di hatinya. Alfi belum juga kesini, padahal ia mau meminta kepastian perceraian. Entah karena ada orang tuanya ditambah Rian yang selalu berjaga, atau memang suaminya itu masih perlu waktu untuk menemuinya. “Habisin dong nasinya, Ran, katanya pengen cepet pulang.” desak mama yang sedang memotong buah Apel. “Aku udah kenyang, ma.” Mama memberikan ponsel milik Rania, “Dari tadi Satria nyariin kamu.” Rania menatap mama, “Aku gak mungkin video call dalam keadaan masih gini.” Mama tak menjawab. Beliau juga tidak tahu bagaimana caranya mengelabui Satria dengan keadaan wajah Rania yang masih begini. “Telpon aja.” “Setiap aku pergi, kita selalu video call. Satria bakal terus maksa biar bisa liat muka aku.” “Dia emang m
Ibu menunduk, begitu juga dengan ayah. Keterlaluan mereka. Tahu anaknya tidak sama dengan lelaki lain, tapi mereka diam saja? “Aku... gak bisa, bu, aku akan tetep gugat cerai mas Alfi.” “Tolong ibu, Rania. Kalo kamu tetep cerai sama Alfi, dia akan—dia akan marah sama ibu dan ayah.” Rania menatap ibu tak percaya, “Ibu takut mas Alfi marah kalo aku cerai dari dia? Bu, ibu bayangin gak rasanya jadi aku yang punya suami—berbeda dari suami lainnya? Aku diselingkuhi, aku di khianati dengan selingkuhan yang gak sama dengan aku.” Rania membuang nafas pelan, “Ibu tahu siapa pacar mas Alfi selama sepuluh tahun terakhir?” Ibu tak menjawab, beliau malah menangis semakin dalam. “Ayah?” Rania melirik ayah. Rania tersenyum, “Hebat banget keluarga kalian, yang tega bohongin satu mangsa lemah kayak aku untuk melindungi harga diri anaknya.” “Ran, kita terpaksa.” Ayah angkat bicara, “Alfi yang bilang jangan sampe k
Rania terduduk menyesal ketika Alfi kini berani duduk disampingnya. Mama menyusulnya begitu mendengar kabar menantunya akan bunuh diri. Mama tak bicara banyak. Mama malah langsung keluar lagi dengan wajah kecewa. “Sayang, dokter bilang kamu boleh pulang besok pagi, sisanya cukup rawat jalan. Aku seneng kamu recovery dengan cepet.” Rania meliriknya, “Aku gak mau pulang, mas.” “Loh, kenapa? Satria kangen banget loh sama kamu.” “Aku tahu.” “Terus kenapa kamu gak mau pulang?” “Kamu gak liat seluruh badan aku masih penuh sama lebam ini?” Alfi tak langsung menjawab. Ia menunduk lalu mengusap pelan punggung tangan istrinya, “Maafin aku.” “Kalo Satria tanya, aku mau jawab apa? Kamu mau jawab apa?” Alfi menatap Rania, “Semua salah aku.” “Aku gak lagi bahas siapa yang salah, mas.” nada bicara Rania meninggi, membuat Alfi sedikit tersentak. Alfi bangkit dari ranjang, ia meng
Empat hari kemudian, dokter utama Rania memberi tahu bahwa ia sudah boleh pulang hari ini. Bukannya senang, ia malah murung. Bagaimana ia harus menghadapi Satria. Luka lebam ditubuhnya masih tersisa sedikit. Sudah pasti lah anak tunggalnya itu akan bertanya. “Aku udah bawa semua baju-baju kamu ke mobil. Udah gak ada yang ketinggalan lagi ‘kan?” tanya Alfi setelah mengecek laci nakas samping ranjang. Rania mengangguk. Ia membuang nafas beberapa kali karena merasa lebih baik ia terus tinggal disini. Mama dan papa sangat marah ketika ia mengatakan akan batal cerai dari Alfi. Mereka bilang Rania bodoh dan sangat tidak berperasaan, karena membiarkan dirinya dan Satria terus berada dalam kungkungan mahluk kasar seperti suaminya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika menjelaskan mungkin saja Alfi akan belajar dari kesalahannya, mama dan papa langsung pergi, dan Satria dititipkan pada mbak Sani. “Kalo udah gak ada yang ketinggalan, yuk, kita pulang sekarang.” Rania mendongak, m
“Kamu kuat gak jalannya? Mau aku pinjemin kursi roda aja?” Rania menggeleng, “Aku kuat ko, mas. Aku ‘kan kuat kayak Satria.” Arbi tertawa, “Satria paling kuat sedunia, disusul kamu, disusul sama calon adik Satria.” Ia mengelus perut yang sudah mulai membesar itu. Rania tersenyum, “Satria mana ya, mas? Kok lama banget.” “Aku susul deh, kamu duduk dulu.” “Ya udah, aku tunggu disini.” Sesaat sebelum Arbi membantu Rania duduk dikursi tunggu lobi rumah sakit, sepasang kaki yang berhenti didepan mereka. Rania dan Arbi sontak mendongak menatap siapa pemilik sepatu yang mereka kenal baik. Senyuman itu tidak berubah. Rania melihatnya senang. Kedua matanya mendadak panas, “Mas Alfi?” “Rania, apa kabar?” Bukan jawaban yang Rania berikan, tapi sebuah tangisan yang sudah lama ia pendam. Seluruh hatinya dipenuhi rindu untuk kekasih lamanya yang baru terlihat lagi. Arbi menelisik wajah istrinya. Ia takut sekali hatinya kembali memihak Alfi seperti dulu. “Mama, papa, maaf ya ak
Enam bulan kemudian... PRANG! “Rania?” Fira yang baru sampai dan berniat akan mengantarkan Rania ke kampus karena ia juga ada urusan disana, menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari menerobos rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia berlari mencari sumber suara dimana mungkin Rania sedang membutuhkan bantuannya, “Ran? Ran, lo dimana?” “Fir, tolong.” Fira mendengar suara itu dibelakang rumah. Ia menemukan setumpuk piring pecah dan aliran darah dari bagian bawah sahabatnya, “Ran?” “Fir, aku—aku gak kuat. Ini sakit banget.” “Ya ampun, Ran, sini kita ke mobil pelan-pelan ya.” Di depan ruang Ponek, nafas Fira naik turun menunggu hasil pemeriksaan dokter. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar. Ia mengingat dengan jelas rumah sangat berantakkan tadi. Barang berterbangan, dan ada noda merah dibeberapa bagian sofa. Rania juga hanya sendiri di rumah. Seharusnya ada Arbi disana. Kemana ya dia? Satria jelas sedang sekolah. Tunggu, apakah Satria baik-baik saja? “Dengan wa
Rania dan Arbi berkeliling mendatangi tamu. Acara akad dan resepsi berjalan lancar tanpa kendala. Acara yang disiapkan Fira begitu sempurna. Ia berharap sahabatnya itu akan segera menyusul menikah. Rania tak menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Dari pihak keluarga suaminya, ia tidak melihat Alfi. “Sayang, kamu capek ya?” “Hm?” “Kamu agak pucet. Kamu gak enak badan ya?” “Enggak kok, mas.” “Kamu duduk aja, nanti aku nyusul.” “Gak papa, mas.” Arbi mencolek hidung Rania, “Nanti malem kamu harus bugar loh. Jadi sekarang jangan terlalu capek. Gih, duduk dulu. Aku keliling sebentar. Ada beberapa temen yang baru dateng.” Rania mengangguk, “Aku duduk ya, mas.” Rania berjalan dengan langkah pelan menuju pelaminan. Ia berharap Alfi datang agar bisa melihat kondisi terbarunya. Ia ingin tahu apakah mantan suaminya itu sehat. Fira yang sedang berbincang dengan teman-teman kuliah melihat Rania duduk lemas. Ia menghampirinya, “Ran, lo haus? Gue ambilin minum ya?” Ra
Papa dan mama sedang bicara santai di ayunan belakang rumah. Rania yang haus tengah malam, tidak sengaja diam lebih lama mendengar obrolan mereka di dapur. “Tabungan papa semakin tipis, ma. Kita harus bayar kuliah profesi Rian. Kita juga harus bayar uang pangkal SD nya Satria.” “Mama bisa kok jual semua perhiasan mama, pa.” “Jangan, ma. Kehidupan kita masih panjang.” “Ya terus papa mau apa? Papa gak mungkin kerja lagi.” “Kita jual aja mobil pertama kita.” “Papa yakin? Papa sayang banget loh sama mobil itu.” “Demi Satria. Mana Rania juga mau kuliah profesi. Kemarin biayanya lumayan ‘kan pas disebutin? Kasian kalau dia harus mengubur mimpinya lagi.” Mama membuang nafas pelan, “Andai aja Rania mau terima Arbi langsung, dia pasti bahagia. Arbi bilang dia bersedia menanggung semua biaya kuliah Rania, bayar uang pangkal SD Satria juga. Sayang, Rania masih mikirin si Alfi.” “Ma, kasih aja Rania waktu.” “Mama cuma takut dia gak mau nikah lagi, pa. Apalagi dia gak mencintai
Empat bulan kemudian... Rania menyirami bunga di halaman rumah mama. Ia tertawa melihat Satria bermain lempar bola dengan Agil. Sudah empat bulan ia dan Satria tinggal disini. Kehidupannya setelah bercerai terjadi baik dan lancar. Mama memintanya bergabung mengikuti organisasi pemberdayaan perempuan yang baru bercerai. Disana terdapat banyak kegiatan sehingga hal tersebut cocok sekali untuknya. “Mama, aku capek.” “Aku juga capek, tante.” “Ya udah kita istirahat dulu ya. Kalian tunggu aja di teras, mama bawain dulu minuman seger buat kalian.” “Yeee!” Satria dan Agil berteriak kegirangan. Rania menaruh poci siram dipinggir dan berjalan menaiki tangga. “Mau kemana? Minumannya udah mbak bikinin.” “Makasih ya, mbak.” “Iya. Minuman dataaaang.” Satria dan Agil berlari untuk mengambil jus tomat itu. “Abisin jusnya, biar mainnya makin semangat.” “Makasih ya, tante.” “Sama-sama, Satria.” Mereka duduk bersama di teras rumah mama yang asri. Mama dan papa ikut keluar
Rania melirik ke belakang untuk melihat ekspresi semua keluarganya. Mama dan Fira mengangguk untuk ia mengatakan ada alasan selain KDRT itu sehingga ia menggugat cerai suaminya. “Saya ulangi, di berkas perkara gugatan saudari pada suami adalah karena adanya hal lain. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi selain KDRT itu? Silakan.” Rania menutup matanya. Ia memegangi mikrofon dengan tangan bergetar. Di belakang, mama dan Fira saling berpegangan tangan, berharap Rania tak bodoh seperti biasanya demi menjaga harkat dan martabat calon mantan suaminya. “Alasan saya meminta cerai dari suami saya selain KDRT itu, karena rahasia suami saya yang terbongkar, yang mulia.” “Rahasia apa itu?” “Suami saya—” Roland yang sedari pagi sibuk mengelilingi semua tempat untuk menemukan Alfi, akhirnya menemukan tempat ini setelah berpikir keras buah dari informasi singkat dari petugas resepsionis rumah sakit. Kini ia berdiri sejajar dengan tempat duduk mama dan yang lain, “Mohon izin
Jam sepuluh pagi sidang digelar. Rania dan Alfi duduk di kursi depan yang menghadap langsung dengan ketiga hakim yang akan memutuskan, apakah gugatan akan dikabulkan atau tidak. Sejauh ini semua berjalan lancar. Mereka bisa kooperatif menyampaikan apa yang terjadi sesuai perkataan saksi. “Untuk saudari Rania, apakah anda memberikan kesempatan untuk suami anda, saudara Alfi agar kalian bisa rujuk?” “Tidak, yang mulia.” “Kenapa anda memasukkan gugatan ini?” “Seperti yang sudah dikatakan oleh para saksi, para ahli forensik, dokter jiwa dan kandungan, saya mendapatkan penyiksaan verbal dan non verbal selama beberapa bulan terakhir ini.” “Apa saja yang saudari dapatkan dalam penyiksaan tersebut?” “Untuk verbal ada cacian, untuk non verbal, pelaku menampar, memukul, menjambak rambut saya, hingga menendang perut saya sampai bayi saya meninggal dalam kandungan, yang mulia.” Mama dan Fira menangis mendengar semua perkataan Rania di depan. Mereka sangat dekat dengan Rania tapi t
Alfi berhasil kabur dari apartemen. Ia pulang ke rumah berharap Rania dan Satria ada disana. Ternyata rumahnya kosong. Bahkan semua barang pribadi mereka sudah tidak ada. Yang ada hanya tetangganya meliriknya sinis. Mereke berbisik-bisik tak menyangka, orang sebaik Alfi bisa menjadi pelaku KDRT. Padahal ia dikenal sebagai suami yang baik dan lemah lembut. “Apa aku harus ke rumah mama? Mungkin Rania sama Satria pindah ke sana.” Alfi langsung tancap gas ke Tangerang. Begitu sampai pagar, ia melihat asisten rumah tangga paruh waktu yang bekerja di rumah mertuanya kaget melihat dirinya. “Mas Alfi ada barang yang ketinggalan?” “Mbok, mama ada di dalem ‘kan?” “Loh. Ibu ‘kan sudah berapa hari ini nginep di Jakarta. Katanya ada urusan. Mbok pikir ibu nginep di rumah mas.” “Mama gak pulang-pulang?” “Cuma bapak yang pulang bawa baju kemarin. Ibu tuh sebenernya ada urusan apa, mas? Ada acara keluarga ya di Jakarta?” “Eum—” “Tumben ibu gak kasih tahu saya.” “Ya udah mbok ka
Alfi tertawa, “Bertahan sama kamu?” “Aku akan kasih semuaaa yang kamu mau. Setelah kalian bercerai, rumah itu biar aja jadi milik Rania. Aku akan ganti dengan rumah yang lebih besar. Kamu setuju?” Alfi tertawa miring, “Rumah yang lebih besar?” “Iya. Kita juga bisa pergi ke luar negeri buat rayain semuanya.” “Jangan harap itu akan terjadi.” Alfi mencekik Roland sekencangnya berharap ia mati seketika. “Uhuk, Alfi!” “Mati lo bajingan!” Roland berusaha melepaskan lengan Alfi dilehernya. “Gue terpaksa melayani lo karena uang. Gue hanya mencintai Rania. Gue hanya memanfaatkan lo selama ini.” Tubuh tinggi Roland yang melebihi Alfi akhirnya menjadi penolongnya dari cekikkan Alfi. Roland balas mencekik Alfi. “Aku gak akan sampe bunuh kamu. Aku seneng kejar Tikus kehausan kayak kamu.” “Lepas!” “Mau lepas?” Roland melepaskan kedua tangannya, tapi satu layangan tinju diberikan di sisi wajah Alfi, “Mampus lo! Lo pikir gampang kabur dari gue atau bunuh gue?!” Alfi memegang