Aku menatap langit-langit kamar. Mengenang momen-momen pertama kali bertemu Mas Rian. Tak ada gurat kacau selayak raut frustasi atau down pada pemilik wajah memesona itu ketika dia datang melamar langsung di hadapan bapak dan emak. Justru di mata kami sekeluarga, dia begitu jantan.Walau pada akhirnya, aku tahu diri hanya pelarian. Tetap saja tak mengubah persepsiku tentang semua budi yang telah ditanamnya.Ah, bagaimana kabar emak dan bapak? Bila tahu menantu yang sangat disanjung dan disayangi, telah meninggalkan putrinya? Demi bersama cinta pertamanya?Ya, Rabb ....Hamba tahu semua hanya titipan. Tapi, titipanMu yang satu ini, sangat sulit untuk diikhlaskan. Huft .... Bila aku saja tak rela? Bagaimana orang yang telah melahirkanku? Bukankah kesedihan seorang anak akan terpental keras pada kedua orang tuanya?Emak .... Bapak .... Maafkan anakmu yang malang ini."Abram dibawa sama papanya, kan, Ti?" Kali ini nadaku benar-benar meninggi. Tuti yang masih sibuk menata buah-buah di a
Aku meminta Tuti memasukkan amplop lebar warna putih itu ke dalam tas setelah membaca luarnya saja. Toh, buat apa membuka? Isi sudah pasti tentang gugatan di pengadilan sesuai yang dikatakan sang pengantar tadi.Pelan aku menarik oksigen dari hidung, lalu membuangnya lewat mulut. Berharap gumpalan sesak, gelisah, dan luka dalam dada, terbuang lewat udara. Aku tak bisa bayangkan andai hak asuh Abram, benar-benar jatuh ke tangan mereka. Yang notabene aku sadar, akan kalah dalam segala hal dalam memperjuangkan putra semata wayang itu."Sabar dan shalat, ya, Mbak." Aku mengangguk ke arah Anggi dan Tuti saat ke duanya menggenggam tanganku. Meski awan terus berarak di pelupuk mataku, nasehat tersebut membuat hujan tak jadi luruh di sana. Semestinya dua kata nasehat itu membuat setiap hamba tegar dalam menjalani takdirnya. Bukankah dunia memang hanya panggung ujian bagi semua makhluk yang bernyawa?Ya, Rabb .... Selama ini aku lalai. Lupa memohon cinta lelaki itu dariMu. Terlalu menggantung
Aku menggunakan sisa waktu sebaik mungkin dengan Abram setelah kepulangan Anggi. Mulai dari melanjutkan bacaan iqra' yang memang rutinitas kami, saling berbagi cerita, bermain sambil menonton TV, berebut remot, gantian melempar bantal, dan berakhir tertidur pulas setelah menceritakan kisah-kisah teladan.Mungkin akulah seorang ibu yang paling munafik di muka bumi ini, mengharap anak menjadi shaleh, tapi tak memberi contoh yang baik. Perpisahan ke dua orang tua di depan mata ini contohnya.Sepertiga malam aku memanjangkan sujud dan doa kepada Rabb pemilik segala di samping Abram. Bukan meminta hati lelaki yang memang tak pernah untukku, tapi menengadah keikhlasan pada luka yang ditanamnya, pun pada takdir perpisahan yang tak pernah teringin meski dalam mimpi.'Ya, Rabb ... Raibkan dendam dan cinta di hati ini pada lelaki yang pernah Engkau jodohkan. Dan jadikan rasa sakit, luka, perih, dan sesak yang ditinggalkannya, sebagai pelebur dosaku yang menggunung. Amin.'Hati kembali teriris
"Ada kiriman saya letakkan di atas meja, Bu." Tuti meletakkan bokong di depan meja kasir seusai melayani pelanggan yang baru saja pulang. Jam hampir menunjuk angka 12 siang. Aku rasa perut mulai sudah keroncongan. Wajarlah, waktu segini, semua pegawai dan karyawan diistirahatkan."Dari?" tanyaku mengangkat wajah sejenak, lalu kembali ke pembukuan. Sebenarnya tidak bisa fokus total. Mengingat Abram, apalagi wajahnya kemarin. Inilah salah satu caraku mengalihkan resah dan gundah yang berkepanjangan."Dari Mbak Anggi, Bu.""Kamu kok manggil aku Ibu? Sedang Anggi, Mbak? Padahal kami hanya selisih bulan, loh. Apa wajahku terlihat boros, ya?" Tuti menaikkan bahu, lantas tertawa melihatku melipat alis, lalu berlari ke atas tanpa menanggapi ucapanku. Ck! Anak ini mulai main teka-teki dengan atasannya.Tak cukup lima menit, terdengar derap Tuti menenteng dos makanan, bersamaan dering ponsel yang membuatku mengalih. Emak!"Assalamu alaikum, Mak. Tari belum sempat berkunjung. Gimana keadaan Bap
Mobil melaju cepat saat Mas Langit mendengar percakapanku dengan Emak. Bapak kembali kambuh penyakitnya, tapi tak ingin dirawat. Semoga hanya menungguku seperti dulu saat jantung beliau memburuk. Kadang sebagian orang tua merasa nyaman, bila anak sendiri yang memberi keputusan dan merawat ketika tak berdaya. Dan bapak, salah satu dari mereka. Benar saja. Mata lelaki cinta pertama itu yang sedang berbaring lemah, berkaca-kaca melihatku membuka pintu. Tangannya terulur seperti waktu kecil dulu saat beliau pulang kerja untuk melepas rindu. Aku rasa masih kerinduan yang sama, meski kondisi yang berbeda."Maafkan Tari, Pak. Yuk, kita ke rumah sakit," bujukku menumpahkan tangis di punggung tangan beliau. Denyut jantungnya berdetak tak beratur ketika kuletakkan kepala di dada kurusnya.Ini kebiasaan kami ketika bertemu. Walau di mana dan sampai sedewasa sekarang, tak pernah berubah. Menenggelamkan ke wajah di dada yang dulu bidang itu adalah ketenangan sendiri. Aku rasa semua putri melaku
Sampai pemakaman selesai, Mas Rian tak pernah meninggalkan prosesi. Dia tampak sangat kehilangan. Alangkah kejam, bila kematian dijadikan tempat mendulang simpati. Jangan sampai Ya, Rabb ...Banyak rekan-rekanya yang datang berbela sungkawa, kecuali dokter Juwita. Hampir semua pelayat yang datang dan memang mengenalnya, memberi tepukan sabar.Andai itu benar mencari simpati atau sungguhan. Aku membiarkan saja apa yang ingin dicapainya. Selain perpisahan kami belum resmi di pengadilan, tak ada kerabat yang tahu, pun tak mungkin menciptakan suasana tak nyaman dengan menyela apa yang dokter itu proklamirkan pada khalayak."Abram mau temanin Mamah, Pa." Mas Rian menatapku sekilas, melihat Abram yang memegang ujung jilbabku."Mamah masih berduka, Sayang. Belum sempat mengurus Abram," jawab Mas Rian menarik putranya ke sudut ruangan.Aku yang memang masih syok dengan kepergian Bapak, membiarkan saja anak dan ayah itu berdiskusi.Tak berapa lama, Mas Rian keluar sambil menerima telepon setel
Dengan seribu tanya di kepala, langkah mendekati dua orang yang kuhormati. Pembicaraan mereka terhenti seketika, saat menyadari kehadiranku."Nak Langit hanya menunggu kesiapanmu saja, Nduk," ujar Emak.Beliau tampak bersemangat. Sementara lelaki yang katanya bersiap, menatapku sejenak lalu mengalih. Ekspresinya sangat datar. Apa itu yang disebut siap? Kepribadiannya terlalu jujur untuk menyembunyikan sebuah rahasia. Tapi apa?"Boleh saya bicara empat mata dengan Mas Langit?" tanyaku. "Sebaiknya jangan di sini," ajak Emak menunjuk para pengunjung yang sedang ramai. Kami segera mengikuti langkah ringan beliau. Mas Langit langsung ke balkon sesampai di atas. Sementara Emak menuju dapur."Apa Mas sudah memikir matang soal ini?" tanyaku menyamai lelaki berkemeja putih itu berdiri. Aku rasa putih warna favoritnya. Hampir setiap bertemu, dia sering memakai warna sama, walau bahan dan model berbeda. "Maksudnya?" Lelaki tenang itu menautkan alis."Apa Mas belum puas melihatku menderita? La
Aku memilih menyetujui keinginan Mas Langit, kalau tak sanggup duduk semeja dengan kedua dokter itu, setidak akan menyalami, say hallo, atau apalah. Ah, aku rasa perlu perjuangan."Maaf, kami hanya lewat. Sekalian memberikan ini," ucap Mas Rian tak jadi duduk, sambil menyodorkan undangan berwarna biru. Gelagatnya terlihat salah tingkah. Aku menghela nafas pelan melihat itu. Meski tak sepenuhnya plong, setidak paru paru tidak terlalu tercekik karenanya."Baru saja bibikmu nelpon, katanya anaknya dibawa rumah sakit. Jadi, aku mau pulang sekarang," ujar emak menyerahkan undangan itu ke Mas Langit."Saya akan mengan-""Tidak usah. Nanti Tono yang antar. Kamu di rumah saja, jadi istri yang sholihah," ujar emak menatapku serius lalu merapikan barang-barangnya. Refleks aku mengalih ke Mas Langit yang membantu Anggi membungkus makanan. "Biar saya yang antar, Mak. Anggi juga mau pulang katanya," Mas Langit menaikkan barang-barang emak beserta berbagai bungkusan sisa makanan yang akan dibagi