Mobil melaju cepat saat Mas Langit mendengar percakapanku dengan Emak. Bapak kembali kambuh penyakitnya, tapi tak ingin dirawat. Semoga hanya menungguku seperti dulu saat jantung beliau memburuk. Kadang sebagian orang tua merasa nyaman, bila anak sendiri yang memberi keputusan dan merawat ketika tak berdaya. Dan bapak, salah satu dari mereka. Benar saja. Mata lelaki cinta pertama itu yang sedang berbaring lemah, berkaca-kaca melihatku membuka pintu. Tangannya terulur seperti waktu kecil dulu saat beliau pulang kerja untuk melepas rindu. Aku rasa masih kerinduan yang sama, meski kondisi yang berbeda."Maafkan Tari, Pak. Yuk, kita ke rumah sakit," bujukku menumpahkan tangis di punggung tangan beliau. Denyut jantungnya berdetak tak beratur ketika kuletakkan kepala di dada kurusnya.Ini kebiasaan kami ketika bertemu. Walau di mana dan sampai sedewasa sekarang, tak pernah berubah. Menenggelamkan ke wajah di dada yang dulu bidang itu adalah ketenangan sendiri. Aku rasa semua putri melaku
Sampai pemakaman selesai, Mas Rian tak pernah meninggalkan prosesi. Dia tampak sangat kehilangan. Alangkah kejam, bila kematian dijadikan tempat mendulang simpati. Jangan sampai Ya, Rabb ...Banyak rekan-rekanya yang datang berbela sungkawa, kecuali dokter Juwita. Hampir semua pelayat yang datang dan memang mengenalnya, memberi tepukan sabar.Andai itu benar mencari simpati atau sungguhan. Aku membiarkan saja apa yang ingin dicapainya. Selain perpisahan kami belum resmi di pengadilan, tak ada kerabat yang tahu, pun tak mungkin menciptakan suasana tak nyaman dengan menyela apa yang dokter itu proklamirkan pada khalayak."Abram mau temanin Mamah, Pa." Mas Rian menatapku sekilas, melihat Abram yang memegang ujung jilbabku."Mamah masih berduka, Sayang. Belum sempat mengurus Abram," jawab Mas Rian menarik putranya ke sudut ruangan.Aku yang memang masih syok dengan kepergian Bapak, membiarkan saja anak dan ayah itu berdiskusi.Tak berapa lama, Mas Rian keluar sambil menerima telepon setel
Dengan seribu tanya di kepala, langkah mendekati dua orang yang kuhormati. Pembicaraan mereka terhenti seketika, saat menyadari kehadiranku."Nak Langit hanya menunggu kesiapanmu saja, Nduk," ujar Emak.Beliau tampak bersemangat. Sementara lelaki yang katanya bersiap, menatapku sejenak lalu mengalih. Ekspresinya sangat datar. Apa itu yang disebut siap? Kepribadiannya terlalu jujur untuk menyembunyikan sebuah rahasia. Tapi apa?"Boleh saya bicara empat mata dengan Mas Langit?" tanyaku. "Sebaiknya jangan di sini," ajak Emak menunjuk para pengunjung yang sedang ramai. Kami segera mengikuti langkah ringan beliau. Mas Langit langsung ke balkon sesampai di atas. Sementara Emak menuju dapur."Apa Mas sudah memikir matang soal ini?" tanyaku menyamai lelaki berkemeja putih itu berdiri. Aku rasa putih warna favoritnya. Hampir setiap bertemu, dia sering memakai warna sama, walau bahan dan model berbeda. "Maksudnya?" Lelaki tenang itu menautkan alis."Apa Mas belum puas melihatku menderita? La
Aku memilih menyetujui keinginan Mas Langit, kalau tak sanggup duduk semeja dengan kedua dokter itu, setidak akan menyalami, say hallo, atau apalah. Ah, aku rasa perlu perjuangan."Maaf, kami hanya lewat. Sekalian memberikan ini," ucap Mas Rian tak jadi duduk, sambil menyodorkan undangan berwarna biru. Gelagatnya terlihat salah tingkah. Aku menghela nafas pelan melihat itu. Meski tak sepenuhnya plong, setidak paru paru tidak terlalu tercekik karenanya."Baru saja bibikmu nelpon, katanya anaknya dibawa rumah sakit. Jadi, aku mau pulang sekarang," ujar emak menyerahkan undangan itu ke Mas Langit."Saya akan mengan-""Tidak usah. Nanti Tono yang antar. Kamu di rumah saja, jadi istri yang sholihah," ujar emak menatapku serius lalu merapikan barang-barangnya. Refleks aku mengalih ke Mas Langit yang membantu Anggi membungkus makanan. "Biar saya yang antar, Mak. Anggi juga mau pulang katanya," Mas Langit menaikkan barang-barang emak beserta berbagai bungkusan sisa makanan yang akan dibagi
Aku tipe wanita yang jarang membuka aplikasi sosmed, kecuali hanya untuk promosi barang-barang saja, nama akunnya pun memakai 'Abram Toys'. Mungkin diri memang termasuk kategori kampungan, karena tidak pernah mengapdet hal pribadi atau curhatan seperti yang dilakukan orang jaman now. Bukan apa-apa, hanya merasa tak perlu orang tahu kerumitan hidupku, tersebab tak ada solusi semua itu. Bahkan kadang, hanya kian menambah persoalan baru. Seperti itu efek yang kulihat di masyarakat tentang teknologi modern ini.Dengan menetralisir debar, aku memeriksa jua aplikasi berlogo F yang sedang membumi. Seketika tanganku bergetar melihat foto-foto yang menandai akun Mbak Nelly, yang memang aku berteman dengannya di dunia maya.'Jangan mencegah yang akan pergi darimu, itu sama artinya melarang orang yang lebih baik menggantikannya.'Caption itu bertuliskan pada fotoku yang sedang dikecup punggung tangannya oleh Mas Langit. Ya, kejadian kemarin itu.Sedang lainnya adalah tentang gambar beraneka m
Aku bergegas turun setelah mobil menepi. Mata seketika membola saat menjejaki tanah telah berada di depan sekolah Abram. Ternyata efek marah membuatku tak sadar kendaraan mengarah ke mana. Andai menyetir sendiri tadi, mungkin berputar-putar saja tanpa tujuan. Tak memungkiri, lelaki yang yang kutangkap dengan ekor mata menatap lurus ke punggungku itu, berbeda dari Mas Rian. Ah, entah nanti."Hore, Mamah jemput," sambut Abram yang kebetulan sudah pulang. Anak itu penuh semangat menarikku ke arah mobil Mas Langit yang masih terparkir di tempat semula."Om Ayah janji membawaku jalan-jalan pulang sekolah, Mah," cerita Abram semangat melihat Mas Langit yang turun membuka pintu untuknya. Aku mengalihkan pandangan ketika bertemu netra tanpa sengaja dengan lelaki yang menatap sendu."Oh, ya. Buku Alif ketinggalan di tasku. Punya kami pasti ketukar. Abram balikin dulu ya, Mah, Om." Tanpa menunggu jawaban kami, Abram tergesa turun setelah mengecek tasnya.Aku menghela napas panjang saat berdua la
Aku menatap bergantian ponsel yang sedang berdering itu dengan Mas Langit. Sisi hatiku yang lain sangat ingin mengetahui di balik teka-teki ini, tapi sisi lainnya melarang. Sungguh rasa takut dan cemas mengalahkan kepenasaranku. Entah panggilan ke berapa Mas Langit terlihat bergerak dan meraba ponselnya tanpa membuka mata. Dia betul-betul lelah, mengakibatkan benda pipih itu terjatuh ke lantai, setelah dia menklik tanda jawab."Aku minta Tari jangan sampai .... Halo ...." Aku terpaksa memungut ponsel itu dan meletakkan ke telinga saat Mas Rian bersuara. Sayang, kalimatnya terpotong."Halo, Langit?" ujar Mas Rian di seberang."Mas Langit lagi tidur. Titip pesan saja. Nanti aku sampein kalau sudah bangun," jawabku berusaha mengontrol gelisah."Kok, kamu ...? Ucapan lelaki itu menggantung, lalu menutup telepon sepihak. Benar-benar sikap yang selalu sama, meski telah bergelar mantan. Apa dia tak berfikir berubah seiring berubahnya juga status?Aku kembali melanjutkan aktifitas berbenah s
Sesuai perkiraan, acara berlangsung ramai. Selain kalangan seprofesi berdatangan dari berbagai wilayah, banyak juga orang yang pernah menjadi pasien menghadiri. Wajarlah, selain kedua dokter itu terkenal, cerdas, image bagus, juga sosialisasi mereka memasyarakat. Sementara aku sesampai di lokasi, berusaha bersikap santai. Meski tetap saja grogi, was-was, cemas, dan takut bercampur jadi satu. Ah, ini tak segampang orang pikir, menghadiri nikahan mantan harus punya mental seperti tank. Benar kata Mas Langit, nyinyiran adalah serangan yang paling mematikan."Kalau tak sanggup, kita pulang saja," ujar Mas Langit saat mobil telah terparkir."Kita cuma sebentar, kan?" jawabku menetralisir gemuruh jantung. Entah kenapa rasa tegang tidak bisa ditekan melihat keramaian. Villa luas dengan halaman sama dipenuhi kendaraan mewah. Sementara bangunan tak berbeda."Abram duluan aja, ya?!" ucap Mas Langit turun setelah membuka pintu. Abram langsung disambut dua wanita yang kuperkirakan akan menggan