Sesuai perkiraan, acara berlangsung ramai. Selain kalangan seprofesi berdatangan dari berbagai wilayah, banyak juga orang yang pernah menjadi pasien menghadiri. Wajarlah, selain kedua dokter itu terkenal, cerdas, image bagus, juga sosialisasi mereka memasyarakat. Sementara aku sesampai di lokasi, berusaha bersikap santai. Meski tetap saja grogi, was-was, cemas, dan takut bercampur jadi satu. Ah, ini tak segampang orang pikir, menghadiri nikahan mantan harus punya mental seperti tank. Benar kata Mas Langit, nyinyiran adalah serangan yang paling mematikan."Kalau tak sanggup, kita pulang saja," ujar Mas Langit saat mobil telah terparkir."Kita cuma sebentar, kan?" jawabku menetralisir gemuruh jantung. Entah kenapa rasa tegang tidak bisa ditekan melihat keramaian. Villa luas dengan halaman sama dipenuhi kendaraan mewah. Sementara bangunan tak berbeda."Abram duluan aja, ya?!" ucap Mas Langit turun setelah membuka pintu. Abram langsung disambut dua wanita yang kuperkirakan akan menggan
Malam ini mata tak bisa diajak lena. Kejadian tadi siang dan perkataan Mas Langit berputar terus di kepala seperti kaset direview. Tak seharusnya aku bersikap lebay begini, mengingat pernikahan kami hanya sebuah amanah. Bukankah jika ijab kabul telah terjadi? Amanah juga telah tertunai? Tapi, kenapa sisi jiwaku berharap lebih? Sungguh, segala yang berhubungan dengan lelaki berperangai tenang itu, membuat suka dan duka dalam buncah yang bersamaan."Abram hari ini gak bisa pulang." Seperti biasa lelaki yang telah rapi dengan kemeja putih digulung sesiku dipadu celana hitam itu memulai obrolan santai di meja makan. Walau penasaran, aku memilih mengangguk saja. Aku yakin pita suara pasti serak bila dikeluarkan. Huft, sebaper itu diriku.'Kenapa Engkau gantikan lelaki yang sama dengan yang telah pergi Ya, Rabb?' gumamku dalam hati melihat punggung Mas Langit menuruni anak tangga.Aku memilih masuk kamar untuk menenangkan gejolak dada. Walau kutahu tak banyak berefek. Setidak tubuh bisa d
"Apapun akan kulakukan demi putriku. Mohon kabulkan permintaanku." Serak suara wanita anggun itu masih berusaha memelas, meski lelaki bersahaja di sampingnya menarik berdiri."Tidak, Pi. Kita tak boleh kehilangan anak kita. Hanya ini satu-satunya cara dia bertahan dan bahagia," tambah wanita itu seakan enggan merubah posisi.Aku menatap lamat sepasang suami istri yang tampak sangat rapuh. Sisi hatiku tersentuh, namun sisi lainnya terasa terbakar. Bukankah anak adalah kebahagian bagi seorang ibu? Seperti yang dilakukannya sekarang? Lalu kenapa semudah itu meminta seseorang berkorban demi kebahagian sendiri? Tak salah lagi, mereka orang tua Dokter Juwita, sifatnya tak jauh berbeda."Maaf, Bu. Ini bukan keputusan mudah. Andai anak hanya seperti barang. Ambil saja semau dan sebanyaknya," kataku menggendong Abram menjauh.Bukan tak menghormati lebih tua atau orang yang terkena musibah. Selain ilmuku tentang keikhlasan dan kesabaran belum memadai, rasa sakit di dada masih terlalu basah unt
Pagi ini aku berencana menemui Mas Rian. Hampir semalaman mata tak bisa lena mengingat perkataan Mas Langit tentang kondisi Dokter Juwita. Seharusnya diri tak perlu risau, bukankah wanita paripurna tapi tak berperasaan itu sumber dukaku. Namun, ah ... lagi-lagi sisi kemanusiaan selalu mendominasi dan jadi alasan. Ya, aku memang tak setangguh batu karang. Walau berganti musim dengan kuatnya hempasan ombak, akan tetap kokoh di tempat semula."Ini makanan faforit Ambar, hampir setiap pagi dia memasakkannya untuk kami," ucap Mas Langit saat aku tiba di dapur. Dia sedang mengaduk sesuatu di penggorengan yang begitu enak baunya. Tapi entah apa yang dimasaknya.Kuakui lelaki bertubuh tegap itu punya banyak kelebihan dibanding Mas Rian. Selain perawakan, wajah, juga akhlaknya pun bagus. Dia tak segan mengerjakan hal-hal kecil. Seperti memasak, mengemas dapur, pun pakaiannya dicuci sendiri. Kecuali waktu-waktu tersibuknya kadang aku ambil alih.Ya, hanya satu kekurangannya. Dia terlalu data
Aku memperlambat langkah menuju ruang rawat eksklusif, sengaja melakukan itu agar Dokter Juwita bisa berlama-lama dengan Abram. Biar bagaimana kerasnya pendirian ini, ibaku pada sesama masih di atas."Telpon mamah dong, Yah. Entar kita kemalaman." Suara Abram yang muncul dari sudut koridor bersama Mas Langit membuyarkan lamunanku yang memilih duduk di ruang tunggu. "Kirain di dalam? Padahal mamah sedari tadi tungguin di sini," kataku mengerutkan alis sambil menatap lelaki datar itu sejenak sebelum menghadap ke Abram. "Aku yang ngajak ayah keluar. Emang mamah dari mana?" ujar Abram memandang kami bergantian. "Kan, papa tadi manggil mamah." Abram memukul jidatnya sambil tertawa, "Kok, aku bisa lupa, ya?!" lanjutnya dengan mimik lucu."Aku ke sana dulu. Tungguin, ya!" sela Mas Langit setelah membuka gawainya. Lantas dia beranjak ke arah ruangan yang tadi kudatangi. Aku rasa itu pesan Mas Rian. Tuh, kan, mereka memang sedang merencanakan sesuatu di belakangku.Setelah memastikan Mas La
"Aku akan ikut kalian. Itung-itung refreshing." Emak memasukkan makanan terakhir ke mulutnya lalu mengangkat piring dengan tergesa. Aku menautkan alis melihat prilaku dan kalimat beliau yang menurutku aneh."Aku gak ada-." "Anggi semalam menelepon, ngajak Abram isi waduk belakang rumah," ucap Mas Langit memotong kalimatku sambil mengambil tisu lalu melap mulut Abram belepotan yang sedang sarapan mie kuah bikinannya.Lihatlah! Selain pandai mengambil hati Emak, si kembar, dan terutama Abram. Juga hatiku sendiri yang tak mengingkari kebaikannya. Dia beda dari Mas Rian yang menarik simpati dengan materi melalui bantuan sana-sini. Mas Langit punya daya seakan tulus tak bercela. Jika mau dibandingkan, dua-duanya begitu melenakan, juga membuat gumpalan yang menyumbat di rongga pernafasan di ujung kisah.Perlahan aku menatap satu-persatu wajah-wajah keluargaku. Mimik mereka begitu bersuka mendengar kalimat Mas Langit. Bahkan si kembar ikut tergesa menyelesaikan sarapan dan gegas berlomba ke
Refleks badan berdiri lalu menatap Mas Langit yang membuang pandangan saat aku menajamkan mata ke arahnya. Sementara sosok cantik masih berdiri tegak memandang syahdu ke arah Mas Rian yang belum mengubah posisi. Ah, cinta memang selalu menciptakan lara, bagi jiwa yang terlanjur terkunkung. Semoga hanya diri yang lemah ini saja yang selalu terjerambab dalam posisi menyakitkan itu. Benar-benar di luar perkiraan. Aku sangka Mas Rian akan memohon kerelaanku melepas hak asuh Abram seperti permintaannya kemarin-kemarin? Kenapa jadi ingin ...? Rasioku hari ini benar-benar tak bisa diajak kerjasama memikir orang-orang yang berpendidikan tapi tak pandai ini, menurutku. Apa mereka kira semudah itu mengubah status pernikahan cuma dengan kata menyesal? Lalu tujuan Mas Langit mengucap ijab kabul hanya sebagai Muhallil -? Ya, Tuhan ... Begitu matang hambamu membuat rencana seakan lupa pada takdirMu yang pasti berlaku."Terus terang aku syok hari ini. Beri waktu menelaah atas semua yang terjadi,"
"Aku mohon, Bu. Sebentar saja, kok. Nanti sopir yang jemput," ulang Bibik memohon. Aku belum mengeluarkan sepatah kata sebagai jawaban. Pikiranku masih fokus ke Mas Langit.Mungkin karena lama menunggu, Bibik tampaknya menyerah. Telingaku sempat menangkap seduh lirih sebelum panggilan ditutupnya. Kasihan juga. Tapi, mau diapa. Bukan tak ingin membantu, selain ada yang lebih penting, takut akan semakin menambah masalah.Saat sedang meletakkan ponsel, tiba-tiba ingatan mengarah ke Anggi. Aku rasa inilah salah satu cara mencari tahu ke mana Mas Langit. Huft, ternyata diriku terlalu cemas, hingga tak bisa berpikir positif. Bisa saja kan Mas Langit pergi dinas atau apalah dalam rangka kerja? Tak sempat mengabari karena sibuk misalnya? Atraksi Mas Rian membuat pikiranku selalu berfikir negatif.Tanpa menunggu lama, aku menekan tombol panggil ke nomor Anggi. Tidak aktif! Sampai panggilan ke sepuluh, masih sama. Rasa khawatir semakin mendera, kemungkinanya semakin mendekat.Dengan pesimis aku
"Cepatan dong, Tari. Ntar Abram ngambek." Mas Langit menarikku menuju mobil. Ini hari penerimaan hadiah Abram ikut lomba hafalan surah-surah pendek. Tentu saja lelaki dingin tapi sudah hangat itu paling senang, karena dialah pembimbingnya di rumah. "Dikit lagi, Mas. Tinggal warnain bibir aja, kok," protesku tetap melangkah.Tak lama berselang, Mas Langit segera melajukan kendaraan sambil berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangannya setelah kami duduk dan menutup pintu mobil. Dia memang seperti itu kalau menyangkut masalah Abram. Kadang aku menganggap sikapnya terlalu berlebihan, itukan sama saja membiasakan anak terlalu bergantung."Mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya saja, Tari. Tapi harus disertai dengan tanggung jawab, jujur, optimis, dan contoh dari orang terdekatnya," ujar Mas Langit seakan tahu isi hatiku dan entah keberapa sekian kali dia mengulang kalimat semacam ini. Ah, sudahlah ... Aku tak ingin mendebatkan perbedaan prinsip. Apalagi dia tidak sekedar bicar
Entah kenapa aku tak merasa kram dalam posisi berjongkok sambil kedua tangan menutup wajah. Untung tak ada Abram. Tidak bisa membayangkan andai anak itu melihat aku sebegitu terpuruk seperti sekarang, atau mengetahui ayahnya pergi lagi. Mungkin ....Mamah dan anak ini akan menangis bersama di sini."Apa kamu nggak malu diliatin?" Suara yang tiba-tiba sangat merdu terdengar diantara bisik-bisik. Aku tahu sedari tadi orang-orang memperhatikan, tapi diri tak perduli. Sedih ini harus segera dituntaskan.Cepat aku mengangkat wajah lalu berkali-kali mengusap mata untuk memastikan penglihatan.Ya, lelaki pembuat gulana itu berdiri di sana, betul, bukan mimpi atau halusinasi. Sementara Anggi di belakang tersenyum sambil menyeka sudut netranya. Sejak kepergian suami adik dan kedua orang tuanya, lelaki itu bertanggung jawab penuh sebagai kakak, jadi wajarlah memaksa Anggi ikut bila pindah kota seperti yang dilakukan sekarang. Dari pembicaraan Mbak Rima dan Anggi tadi pagi itulah, aku tahu peremp
Gegas aku turun dari mobil bermaksud mendahului Mas Langit. Seketika terlintas keinginan kuat untuk mencegah pamitnya ke Emak. Aku akan meminta dengan segala cara agar tak jujur ke wanita terbaikku itu. Meski dengan berbagai alasan dan kedustaan, biarlah diri yang dzolim ini menanggug semua dosanya, asalkan malaikat tak bersayapku tetap bahagia. Aku rasa semua anak akan melakukan sama jika berada di posisiku.Sepertinya niatku telah terlambat. Suara tangisan Emak terdengar saat aku memasuki pintu utama. Secepat itu lelaki dingin mengutarakan maksudnya, hingga tak melihat kondisi Emak yang masih dalam pemulihan. Benar-benar tak berperasaan! Emosi dan sedih, entah yang mana kudahulukan sekarang.Dengan menyeret kaki aki memasuki kamar Emak, suasana hatiku benar-benar down sekarang. Akulah satu-satunya anak yang menjadi penyebab utama kepergian kedua orang tuanya. Menyadari itu, tungkai seketika tak bisa menahan bobot tubuh."Ke sini, Nduk." Gontai aku mendekat ke beliau. Mas Langit meng
Setelah salat Subuh, Abram telah siap dengan jaket, biasanya pagi-pagi sekali Mas Langit sudah datang menjenguk Emak lantas membawa Abram jalan-jalan dan sepulangnya membawa aneka makanan yang masih hangat. Tiga hari lalu Emak diijinkan pulang dan sekarang sedang proses pemulihan di rumah."Kok, lama, ya, Mah," keluh Abram mulai tak sabar. Ufuk timur mulai terang, menandakan pagi telah menjelang. Tak biasanya Mas Langit datang terlambat."Coba cek ke rumahnya, Tari. Katanya dia gak bermalam di sini karena lagi pembenahan barang," kata Emak yang tampaknya menunggu seperti Abram. Lelaki itu memang tipe pembuat rindu."Emak dan Abram mau makan apa, biar aku bikinin," tawarku hendak ke dapur. Melihat sikap dinginnya ke aku menciptkan canggung dan malu yang teramat bila harus nyusul ke rumahnya. Kecuali kalau dia sendiri yang datang.Emak dan Abram tak ada jawaban. Itu menandakan mereka tak menyetujui saranku. Huft ... Sungguh dilema diri ini. Haruskah memaksa Mas Langit tetap bertahan d
Ruang ICUAku mengenggam erat tangan Emak yang terbaring tak berdaya. Banyak alat medis tidak kutahu nama dan fungsi tepasang di tubuh rentanya.Mataku pasti sangat bengkak sekarang, hanya menangis yang mampu kukakukan, hampir dua belas jam berlalu, tapi beliau belum siuman. Dadanya saja terlihat naik turun menandakan masih ada ruh di jasad, itupun sangat lemah dibanding biasanya.Ya, Tuhan ... Cobaan apa lagi ini? "Sudah tahu penyebab Emak pinsang?" tanyaku ke Gilang, dia yang menemani Emak. Adikku itu baru saja kutugaskan mencari informasi di hajatan tetangga yang kemarin Emak datangi."A-anu, Mbak," jawab gilang gagap. Tuh, tak salah lagi, di sana sumbernya. "Apa orang membicarakanku?" ujarku to the point. Aku pikir tak perlu lagi berbasa-basi. Situasinya darurat."I-iya, Mbak." Aku mengangguk cepat agar Gilang bercerita tanpa sungkan. "Ada yang melihat Mas Langit di kota seberang. Dan tetangga menyimpulkan Mbak sekarang menjanda lagi," lanjut Gilang menatapku sedih. Inilah yang
"Pintu rumah selalu terbuka lebar, jika Mas ingin menjumpai Abram." Selesai berucap, aku segera bergegas ke luar. Sementara Abram masih menunggu papanya bereaksi. Dokter itu masih setia menekuri lantai saat aku melaluinya.Sebelum mencapai ambang, aku sempatkan melihat ke belakang. Mas Rian menarik putranya dalam pelukan, lama sekali, sambil menangis lirih. Ya, perpisahan memang menyakitkan. Namun, bertahan dalam gerogotan luka yang tak pernah hilang, sama saja bunuh diri secara perlahan.[Kupinta maafmu dari prilaku dosa, salah, dan khilaf selama hidup bersamaku, Mas. Meski hubungan kita telah usai, tak ada niat sama sekali untuk menjauhkanmu dengan Abram ke depannya. Tetaplah jadi papa yang terbaik, pun suami yang bertanggung jawab. Semoga kita semua dalam lindungan Allah sampai maut memanggil]Tak memungkiri, air mata jatuh jua mengiring pesan singkatku. Baru kali aku sempat dan sepenuh hati meluangkan waktu menulis kata maaf dan perpisahan setelah hampir setahun jatuh talak. Seras
Dengan was-was aku membuka kaca. Tampak lelaki berpostur tinggi memakai celana hitam, dipadu hodi, dan masker warna sama, membungkuk hendak mengetuk lagi. Matanya merah diterpa cahaya pagi. Rasa takut membuatku menatapnya sekilas lalu mencermati banpers mobil yang rusak. Sepertinya aku menabrak kendaraan kelas penjahat. Aduh ... Kira-kira dia mau damai saja dengan ganti rugi, ya? Tapi, apa isi kantongku cukup memperbaiki mobil tajir itu? Lagi, lagi, bantu hambaMu yang lemah ini ya, Rabb .... "Papa?" ujar Abram membuatku menyipit lantas memperhatikan seksama dari atas ke bawah. Semoga penglihatan Abram tak salah Ya, Tuhan. Plisss ....Benar! Dia Mas Rian! Ngapain berpakaian begitu? Kayak mafia di film-film saja. Hampir-hampir aku jantungan dibuatnya."Kamu bikin aku jadi begini?" ujarnya dengan sorot tajam. Hah? Sepertinya dokter itu benar-benar butuh terapi jiwa. Sudah berpenampilan aneh, sekarang menuduh orang lain penyebanya. Tapi ngomong-ngomong kenapa aku tak ingat sama sekali m
"Apa maksud, Mas," tanyaku tersulut."Aku pikir kamu sudah tahu jawabannya," kata Mas Rian santai."Oh, begitu. Baik. Semoga kalian sukses," kataku menghapus bening yang tiba-tiba membasahi. Entah kenapa bila menyangkut Mas Langit, air mata ini gampang sekali jatuh. Padahal, aku sudah memprediksi mereka akan sampai ke sana. Bukankah dari awal tujuan Mas Rian memang hanya menjadikan Mas Langit muhallil? Dan ajaibnya, lelaki yang paham agama itu mau saja? Sudahlah .... Hati ini akan mengikhlaskan semuanya. Bahkan tak akan datang ke pengadilan untuk mempercepat proses perpisahan resmi itu."Aku harap kita hanya berkomunikasi sebatas Abram saja. Karena kita tidak tahu cara kerja syetan." Selesai berucap, aku menuju ke kamar dan menutup rapat pintunya. Meski telah berucap ikhlas, tak apa kan meluapkan rasa dengan menyendiri?Aku keluar saat mendengar ketukan bersamaan suara Abram memanggil. Alhamdulillah, Mas Rian sudah tak terlihat lagi. Tampak Abram telah rapi sambil menjinjing tas r
"Tidak apa-apa, Ti. Aku akan baik-baik saja," ujarku menatap lantai lalu melangkah gontai. Tuti yang menyadari keadaanku mengawasi dari bawah. Seluruh persendian seperti kehilangan fungsi setelah membaca surat berwarna putih. Ya, isi sama, panggilan sama, dan mungkin pengantarnya juga sama. Cuma ajuan yang berbeda. Bukan cuma kehilangan yang jadi prioritas sekarang, tapi pandangan masyarakat? Perasaan Emak? Dan apa kata orang-orang di pengadilan jika melihatku? Tidak cukup setahun digugat kasus yang sama? Ah, aku butuh peraduan untuk menangis. Andai doraemon ada di dunia nyata, aku ingin meminjam laci ajaibnya untuk berpindah ke bumi lain. Sepertinya otakku mulai tak waras.'Oke! Andai kamu hanya bertamu. Setidak, pamitlah sebelum pulang, Mas. Berkunjung ke rumah orang saja, ada adabnya, kan? Apalagi ini menyangkut hal besar yaitu pernikahan yang dipertanggung jawabkan kelak ikrarnya di depan Allah. Tidakkah dirimu menyakitiku terlalu dalam dengan kepergianmu tanpa pamit, tanpa sepat