Pagi ini aku berencana menemui Mas Rian. Hampir semalaman mata tak bisa lena mengingat perkataan Mas Langit tentang kondisi Dokter Juwita. Seharusnya diri tak perlu risau, bukankah wanita paripurna tapi tak berperasaan itu sumber dukaku. Namun, ah ... lagi-lagi sisi kemanusiaan selalu mendominasi dan jadi alasan. Ya, aku memang tak setangguh batu karang. Walau berganti musim dengan kuatnya hempasan ombak, akan tetap kokoh di tempat semula."Ini makanan faforit Ambar, hampir setiap pagi dia memasakkannya untuk kami," ucap Mas Langit saat aku tiba di dapur. Dia sedang mengaduk sesuatu di penggorengan yang begitu enak baunya. Tapi entah apa yang dimasaknya.Kuakui lelaki bertubuh tegap itu punya banyak kelebihan dibanding Mas Rian. Selain perawakan, wajah, juga akhlaknya pun bagus. Dia tak segan mengerjakan hal-hal kecil. Seperti memasak, mengemas dapur, pun pakaiannya dicuci sendiri. Kecuali waktu-waktu tersibuknya kadang aku ambil alih.Ya, hanya satu kekurangannya. Dia terlalu data
Aku memperlambat langkah menuju ruang rawat eksklusif, sengaja melakukan itu agar Dokter Juwita bisa berlama-lama dengan Abram. Biar bagaimana kerasnya pendirian ini, ibaku pada sesama masih di atas."Telpon mamah dong, Yah. Entar kita kemalaman." Suara Abram yang muncul dari sudut koridor bersama Mas Langit membuyarkan lamunanku yang memilih duduk di ruang tunggu. "Kirain di dalam? Padahal mamah sedari tadi tungguin di sini," kataku mengerutkan alis sambil menatap lelaki datar itu sejenak sebelum menghadap ke Abram. "Aku yang ngajak ayah keluar. Emang mamah dari mana?" ujar Abram memandang kami bergantian. "Kan, papa tadi manggil mamah." Abram memukul jidatnya sambil tertawa, "Kok, aku bisa lupa, ya?!" lanjutnya dengan mimik lucu."Aku ke sana dulu. Tungguin, ya!" sela Mas Langit setelah membuka gawainya. Lantas dia beranjak ke arah ruangan yang tadi kudatangi. Aku rasa itu pesan Mas Rian. Tuh, kan, mereka memang sedang merencanakan sesuatu di belakangku.Setelah memastikan Mas La
"Aku akan ikut kalian. Itung-itung refreshing." Emak memasukkan makanan terakhir ke mulutnya lalu mengangkat piring dengan tergesa. Aku menautkan alis melihat prilaku dan kalimat beliau yang menurutku aneh."Aku gak ada-." "Anggi semalam menelepon, ngajak Abram isi waduk belakang rumah," ucap Mas Langit memotong kalimatku sambil mengambil tisu lalu melap mulut Abram belepotan yang sedang sarapan mie kuah bikinannya.Lihatlah! Selain pandai mengambil hati Emak, si kembar, dan terutama Abram. Juga hatiku sendiri yang tak mengingkari kebaikannya. Dia beda dari Mas Rian yang menarik simpati dengan materi melalui bantuan sana-sini. Mas Langit punya daya seakan tulus tak bercela. Jika mau dibandingkan, dua-duanya begitu melenakan, juga membuat gumpalan yang menyumbat di rongga pernafasan di ujung kisah.Perlahan aku menatap satu-persatu wajah-wajah keluargaku. Mimik mereka begitu bersuka mendengar kalimat Mas Langit. Bahkan si kembar ikut tergesa menyelesaikan sarapan dan gegas berlomba ke
Refleks badan berdiri lalu menatap Mas Langit yang membuang pandangan saat aku menajamkan mata ke arahnya. Sementara sosok cantik masih berdiri tegak memandang syahdu ke arah Mas Rian yang belum mengubah posisi. Ah, cinta memang selalu menciptakan lara, bagi jiwa yang terlanjur terkunkung. Semoga hanya diri yang lemah ini saja yang selalu terjerambab dalam posisi menyakitkan itu. Benar-benar di luar perkiraan. Aku sangka Mas Rian akan memohon kerelaanku melepas hak asuh Abram seperti permintaannya kemarin-kemarin? Kenapa jadi ingin ...? Rasioku hari ini benar-benar tak bisa diajak kerjasama memikir orang-orang yang berpendidikan tapi tak pandai ini, menurutku. Apa mereka kira semudah itu mengubah status pernikahan cuma dengan kata menyesal? Lalu tujuan Mas Langit mengucap ijab kabul hanya sebagai Muhallil -? Ya, Tuhan ... Begitu matang hambamu membuat rencana seakan lupa pada takdirMu yang pasti berlaku."Terus terang aku syok hari ini. Beri waktu menelaah atas semua yang terjadi,"
"Aku mohon, Bu. Sebentar saja, kok. Nanti sopir yang jemput," ulang Bibik memohon. Aku belum mengeluarkan sepatah kata sebagai jawaban. Pikiranku masih fokus ke Mas Langit.Mungkin karena lama menunggu, Bibik tampaknya menyerah. Telingaku sempat menangkap seduh lirih sebelum panggilan ditutupnya. Kasihan juga. Tapi, mau diapa. Bukan tak ingin membantu, selain ada yang lebih penting, takut akan semakin menambah masalah.Saat sedang meletakkan ponsel, tiba-tiba ingatan mengarah ke Anggi. Aku rasa inilah salah satu cara mencari tahu ke mana Mas Langit. Huft, ternyata diriku terlalu cemas, hingga tak bisa berpikir positif. Bisa saja kan Mas Langit pergi dinas atau apalah dalam rangka kerja? Tak sempat mengabari karena sibuk misalnya? Atraksi Mas Rian membuat pikiranku selalu berfikir negatif.Tanpa menunggu lama, aku menekan tombol panggil ke nomor Anggi. Tidak aktif! Sampai panggilan ke sepuluh, masih sama. Rasa khawatir semakin mendera, kemungkinanya semakin mendekat.Dengan pesimis aku
Aku menghentikan langkah, lantas melihat sekilas Mas Langit kemudian menyorot ke Abram. Anak itu meyodorkan tangan hendak berpindah ke gendonganku, tatapnya penuh permohonan. Tuh, perkiraanku tak meleset."Besok saja kalau ingin bicara, Mas. Silakan tentukan tempat dan waktu," ujarku meraih Abram dan membawa ke mobil. Mas Rian berhenti mengejar saat aku naikkan tangan tanda tak ingin berdebat."Itu kalau Mas ingin. Atau tidak sama sekali." Tatapku setajam ucapanku. Hari ini penuh kesedihan, jiwa ini seakan tak berada di tubuh. Beradu urat leher dengan mantan sudah tak menyiutkan nyaliku seperti dulu. Sudahlah ... Jangan dibahas! Yang kubutuhkan sekarang adalah tempat istirahat untuk menetralkan kewarasan. Titik."Oke, besok aku hubungi."' Mas Rian mundur beberapa langkah. Dia terlihat pasrah. Ck! 'Kenapa baru sekarang kau belajar mengalah, Mas? Setelah diantara kita hanya abu yang tersisa akibat dibakar di pengadilan?' lirihku dalam hati melihat sosoknya di kaca spion yang masih ter
KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYABAB 36"Maaf, sepertinya pembicaraan kita tak bisa dilanjutkan," ujarku saat ponsel Mas Rian terus bergetar. Dalam hati aku bersukur, benda canggih yang disetel tanpa dering itu bisa menghentikan pertemuan yang membuat otak tidak fokus. Ya, pertemuan yang benar-benar menguji keimanan. Semoga ini cara Allah menolongku yang mulai diselimuti kebimbangan.Mas Rian meraih benda pipihnya lalu mengetik sejenak, kemudiaan meletakkan lagi yang terlebih dahulu telah dinonaktifkannya. Haddeh!"Bagaiamana kalau penting, Mas? Ada pasien kritis misalnya?" protesku tiba-tiba marah. Pekerjaan dokter berhubungan erat dengan nyawa. Tak segampang itu beralasan apapun jika tanggung jawab memanggil."Ada Dokter Hari," jawabnya gamblang. Dokter yang disebutnya itu teman seahli. Aku mengenalnya ketika dia bersenda gurau dengan Abram.Tuh, lelaki ini masih seperti dulu, tetap egois level tinggi. Lalu apa gunanya kalimat 'ingin berubah' yang selalu diperdengarkan di t
"Tidak apa-apa, Ti. Aku akan baik-baik saja," ujarku menatap lantai lalu melangkah gontai. Tuti yang menyadari keadaanku mengawasi dari bawah. Seluruh persendian seperti kehilangan fungsi setelah membaca surat berwarna putih. Ya, isi sama, panggilan sama, dan mungkin pengantarnya juga sama. Cuma ajuan yang berbeda. Bukan cuma kehilangan yang jadi prioritas sekarang, tapi pandangan masyarakat? Perasaan Emak? Dan apa kata orang-orang di pengadilan jika melihatku? Tidak cukup setahun digugat kasus yang sama? Ah, aku butuh peraduan untuk menangis. Andai doraemon ada di dunia nyata, aku ingin meminjam laci ajaibnya untuk berpindah ke bumi lain. Sepertinya otakku mulai tak waras.'Oke! Andai kamu hanya bertamu. Setidak, pamitlah sebelum pulang, Mas. Berkunjung ke rumah orang saja, ada adabnya, kan? Apalagi ini menyangkut hal besar yaitu pernikahan yang dipertanggung jawabkan kelak ikrarnya di depan Allah. Tidakkah dirimu menyakitiku terlalu dalam dengan kepergianmu tanpa pamit, tanpa sepat