Aku bergegas turun setelah mobil menepi. Mata seketika membola saat menjejaki tanah telah berada di depan sekolah Abram. Ternyata efek marah membuatku tak sadar kendaraan mengarah ke mana. Andai menyetir sendiri tadi, mungkin berputar-putar saja tanpa tujuan. Tak memungkiri, lelaki yang yang kutangkap dengan ekor mata menatap lurus ke punggungku itu, berbeda dari Mas Rian. Ah, entah nanti."Hore, Mamah jemput," sambut Abram yang kebetulan sudah pulang. Anak itu penuh semangat menarikku ke arah mobil Mas Langit yang masih terparkir di tempat semula."Om Ayah janji membawaku jalan-jalan pulang sekolah, Mah," cerita Abram semangat melihat Mas Langit yang turun membuka pintu untuknya. Aku mengalihkan pandangan ketika bertemu netra tanpa sengaja dengan lelaki yang menatap sendu."Oh, ya. Buku Alif ketinggalan di tasku. Punya kami pasti ketukar. Abram balikin dulu ya, Mah, Om." Tanpa menunggu jawaban kami, Abram tergesa turun setelah mengecek tasnya.Aku menghela napas panjang saat berdua la
Aku menatap bergantian ponsel yang sedang berdering itu dengan Mas Langit. Sisi hatiku yang lain sangat ingin mengetahui di balik teka-teki ini, tapi sisi lainnya melarang. Sungguh rasa takut dan cemas mengalahkan kepenasaranku. Entah panggilan ke berapa Mas Langit terlihat bergerak dan meraba ponselnya tanpa membuka mata. Dia betul-betul lelah, mengakibatkan benda pipih itu terjatuh ke lantai, setelah dia menklik tanda jawab."Aku minta Tari jangan sampai .... Halo ...." Aku terpaksa memungut ponsel itu dan meletakkan ke telinga saat Mas Rian bersuara. Sayang, kalimatnya terpotong."Halo, Langit?" ujar Mas Rian di seberang."Mas Langit lagi tidur. Titip pesan saja. Nanti aku sampein kalau sudah bangun," jawabku berusaha mengontrol gelisah."Kok, kamu ...? Ucapan lelaki itu menggantung, lalu menutup telepon sepihak. Benar-benar sikap yang selalu sama, meski telah bergelar mantan. Apa dia tak berfikir berubah seiring berubahnya juga status?Aku kembali melanjutkan aktifitas berbenah s
Sesuai perkiraan, acara berlangsung ramai. Selain kalangan seprofesi berdatangan dari berbagai wilayah, banyak juga orang yang pernah menjadi pasien menghadiri. Wajarlah, selain kedua dokter itu terkenal, cerdas, image bagus, juga sosialisasi mereka memasyarakat. Sementara aku sesampai di lokasi, berusaha bersikap santai. Meski tetap saja grogi, was-was, cemas, dan takut bercampur jadi satu. Ah, ini tak segampang orang pikir, menghadiri nikahan mantan harus punya mental seperti tank. Benar kata Mas Langit, nyinyiran adalah serangan yang paling mematikan."Kalau tak sanggup, kita pulang saja," ujar Mas Langit saat mobil telah terparkir."Kita cuma sebentar, kan?" jawabku menetralisir gemuruh jantung. Entah kenapa rasa tegang tidak bisa ditekan melihat keramaian. Villa luas dengan halaman sama dipenuhi kendaraan mewah. Sementara bangunan tak berbeda."Abram duluan aja, ya?!" ucap Mas Langit turun setelah membuka pintu. Abram langsung disambut dua wanita yang kuperkirakan akan menggan
Malam ini mata tak bisa diajak lena. Kejadian tadi siang dan perkataan Mas Langit berputar terus di kepala seperti kaset direview. Tak seharusnya aku bersikap lebay begini, mengingat pernikahan kami hanya sebuah amanah. Bukankah jika ijab kabul telah terjadi? Amanah juga telah tertunai? Tapi, kenapa sisi jiwaku berharap lebih? Sungguh, segala yang berhubungan dengan lelaki berperangai tenang itu, membuat suka dan duka dalam buncah yang bersamaan."Abram hari ini gak bisa pulang." Seperti biasa lelaki yang telah rapi dengan kemeja putih digulung sesiku dipadu celana hitam itu memulai obrolan santai di meja makan. Walau penasaran, aku memilih mengangguk saja. Aku yakin pita suara pasti serak bila dikeluarkan. Huft, sebaper itu diriku.'Kenapa Engkau gantikan lelaki yang sama dengan yang telah pergi Ya, Rabb?' gumamku dalam hati melihat punggung Mas Langit menuruni anak tangga.Aku memilih masuk kamar untuk menenangkan gejolak dada. Walau kutahu tak banyak berefek. Setidak tubuh bisa d
"Apapun akan kulakukan demi putriku. Mohon kabulkan permintaanku." Serak suara wanita anggun itu masih berusaha memelas, meski lelaki bersahaja di sampingnya menarik berdiri."Tidak, Pi. Kita tak boleh kehilangan anak kita. Hanya ini satu-satunya cara dia bertahan dan bahagia," tambah wanita itu seakan enggan merubah posisi.Aku menatap lamat sepasang suami istri yang tampak sangat rapuh. Sisi hatiku tersentuh, namun sisi lainnya terasa terbakar. Bukankah anak adalah kebahagian bagi seorang ibu? Seperti yang dilakukannya sekarang? Lalu kenapa semudah itu meminta seseorang berkorban demi kebahagian sendiri? Tak salah lagi, mereka orang tua Dokter Juwita, sifatnya tak jauh berbeda."Maaf, Bu. Ini bukan keputusan mudah. Andai anak hanya seperti barang. Ambil saja semau dan sebanyaknya," kataku menggendong Abram menjauh.Bukan tak menghormati lebih tua atau orang yang terkena musibah. Selain ilmuku tentang keikhlasan dan kesabaran belum memadai, rasa sakit di dada masih terlalu basah unt
Pagi ini aku berencana menemui Mas Rian. Hampir semalaman mata tak bisa lena mengingat perkataan Mas Langit tentang kondisi Dokter Juwita. Seharusnya diri tak perlu risau, bukankah wanita paripurna tapi tak berperasaan itu sumber dukaku. Namun, ah ... lagi-lagi sisi kemanusiaan selalu mendominasi dan jadi alasan. Ya, aku memang tak setangguh batu karang. Walau berganti musim dengan kuatnya hempasan ombak, akan tetap kokoh di tempat semula."Ini makanan faforit Ambar, hampir setiap pagi dia memasakkannya untuk kami," ucap Mas Langit saat aku tiba di dapur. Dia sedang mengaduk sesuatu di penggorengan yang begitu enak baunya. Tapi entah apa yang dimasaknya.Kuakui lelaki bertubuh tegap itu punya banyak kelebihan dibanding Mas Rian. Selain perawakan, wajah, juga akhlaknya pun bagus. Dia tak segan mengerjakan hal-hal kecil. Seperti memasak, mengemas dapur, pun pakaiannya dicuci sendiri. Kecuali waktu-waktu tersibuknya kadang aku ambil alih.Ya, hanya satu kekurangannya. Dia terlalu data
Aku memperlambat langkah menuju ruang rawat eksklusif, sengaja melakukan itu agar Dokter Juwita bisa berlama-lama dengan Abram. Biar bagaimana kerasnya pendirian ini, ibaku pada sesama masih di atas."Telpon mamah dong, Yah. Entar kita kemalaman." Suara Abram yang muncul dari sudut koridor bersama Mas Langit membuyarkan lamunanku yang memilih duduk di ruang tunggu. "Kirain di dalam? Padahal mamah sedari tadi tungguin di sini," kataku mengerutkan alis sambil menatap lelaki datar itu sejenak sebelum menghadap ke Abram. "Aku yang ngajak ayah keluar. Emang mamah dari mana?" ujar Abram memandang kami bergantian. "Kan, papa tadi manggil mamah." Abram memukul jidatnya sambil tertawa, "Kok, aku bisa lupa, ya?!" lanjutnya dengan mimik lucu."Aku ke sana dulu. Tungguin, ya!" sela Mas Langit setelah membuka gawainya. Lantas dia beranjak ke arah ruangan yang tadi kudatangi. Aku rasa itu pesan Mas Rian. Tuh, kan, mereka memang sedang merencanakan sesuatu di belakangku.Setelah memastikan Mas La
"Aku akan ikut kalian. Itung-itung refreshing." Emak memasukkan makanan terakhir ke mulutnya lalu mengangkat piring dengan tergesa. Aku menautkan alis melihat prilaku dan kalimat beliau yang menurutku aneh."Aku gak ada-." "Anggi semalam menelepon, ngajak Abram isi waduk belakang rumah," ucap Mas Langit memotong kalimatku sambil mengambil tisu lalu melap mulut Abram belepotan yang sedang sarapan mie kuah bikinannya.Lihatlah! Selain pandai mengambil hati Emak, si kembar, dan terutama Abram. Juga hatiku sendiri yang tak mengingkari kebaikannya. Dia beda dari Mas Rian yang menarik simpati dengan materi melalui bantuan sana-sini. Mas Langit punya daya seakan tulus tak bercela. Jika mau dibandingkan, dua-duanya begitu melenakan, juga membuat gumpalan yang menyumbat di rongga pernafasan di ujung kisah.Perlahan aku menatap satu-persatu wajah-wajah keluargaku. Mimik mereka begitu bersuka mendengar kalimat Mas Langit. Bahkan si kembar ikut tergesa menyelesaikan sarapan dan gegas berlomba ke