Aku terdiam sejenak sambil mengukir senyuman, betapa beruntungnya aku memiliki seorang ayah seperti papa.
Tiba-tiba saja ingatanku mengulang kata-kata Mas Arlan yang bilang bahwa menurut tetangga, dirinya bukan anak kandung Mama Desti.
"Emm, Pah, aku boleh minta tolong satu lagi?" tanyaku lebih dulu.
"Apa, Sayang?" tanya balik papa. Kemudian, kaki ini aku turunkan ke bawah dan beranjak ke ujung jendela, pembicaraan ini sangat rahasia, jadi aku takut Mas Arlan mendengar obrolan kami.
Aku berdiri berada di depan jendela persis, menyandar dan berdiri dengan santai.
"Pah, menurut sependengaranku, Mas Arlan itu bukan anak kandung Mama Desti, bisakah Papa cari tahu tentang hal ini? Aku tuh memang merasa perbedaan antara Mas Gerry dan Mas Arlan. Mama bedain banget," ungkapku masih berada di sudut jendela tapi mata ini tetap mengawasi Mas Arlan.
"Kok bisa gitu? Coba nanti Papa cari tahu melalui Om Farhan selaku bos nya Gerry," jawab papa.
Mas Gerry itu kerja di perusahaan milik adiknya papa, ia menjabat bagian keuangan di sana. Desas-desus korupsi pun terdengar dari segelintir staf dan karyawan di sana, namun belum ada team audit yang dapat membuktikan korupsinya. Tiap kali mereka melakukan pengecekan, semua keuangan bersih nyaris tidak ada selisih, entah dari mana Mas Gerry bisa menutupi itu semua, tapi yang jelas Om Farhan dan team audit akan lebih waspada lagi untuk mengungkap aksi Mas Gerry secara mendadak.
Tiba-tiba kaki Mas Arlan bergerak, aku khawatir ia terbangun. Jadi dengan cepat aku usap tombol merah pada ponsel untuk menutup telepon. Papa yang sudah terbiasa dengan sikapku ini pasti paham.
Benar saja tangan kanannya mulai mengusap mata, karena tangan kiri meraba ke sebelah tidak ada aku di kasur sana. Perlahan matanya menatapku yang berada di sudut jendela. Aku berpura-pura menghadap ke arah luar seraya menatap pekarangan depan.
"Kamu belum tidur, Sayang?" tanya Mas Arlan. Aku pun pura-pura terkejut sambil menoleh ke arahnya.
"Nggak bisa tidur, Mas. Aku cari angin saja ke depan jendela," jawabku jelas berbohong.
Lalu Mas Arlan tampak turun dari ranjang, kemudian ia menghampiriku.
Kini tangan Mas Arlan berada di pinggang dan melingkar sekitar perutku. Dagunya juga ada di atas bahuku, pipinya pun menempel lekat di pipi ini.
"Kamu kepingin punya rumah dan mobil seperti Mbak Dila, ya?" tanya Mas Arlan membuatku mengernyitkan dahi. Ternyata ia menduga seperti itu, mungkin karena kamar kami menghadap rumah Mbak Dila dan Mas Gerry.
"Hah, nggak kok, Mas, aku lagi cari angin aja ke depan," jawabku sambil membelai pipinya.
Nyaman ketika ia memeluk dari belakang, sentuhan jarinya dan bicaranya yang lembut pada istri membuatku benar-benar tergila-gila padanya. Bukan dikuasai cinta buta, tapi kepribadian lelaki seperti Mas Arlan sungguh jarang ditemui.
"Maafkan aku ya, Sayang, belum bisa beliin kamu rumah seperti Mas Gerry pada Mbak Dila, aku belum bisa beliin mobil juga. Seandainya papa masih ada, mungkin dulu kuliahku takkan terputus dan menjadi sarjana seperti Mas Gerry, jadi mencari kerja juga enak," ungkap Mas Arlan.
Aku menghela napas, karena tahu betul Mas Arlan harus bekerja keras setelah mendiang papanya meninggal dunia, sedangkan Mas Gerry, ia tetap melanjutkan kuliahnya dengan dalih dari Mama Desti bahwa anak pertama harus sukses.
Aku balik badan, kini posisi kami saling berhadapan. Jarak antara aku dan Mas Arlan hanya satu jengkal saja.
"Mas, tidak ada yang membuatku bahagia selain kasih sayangmu ini, terima kasih ya. Aku yakin suatu saat kamu akan menjadi orang sukses melebihi Mas Gerry," ungkapku padanya. Pandangannya yang sejuk membuat dadaku selalu bergetar saat berhadapan dengannya.
"Aku yang terima kasih padamu, karena sudah mengerti keadaan suamimu ini," timpal Mas Arlan sambil merapikan rambutku yang sedikit berantakan.
Setelah itu aku dan Mas Arlan kembali ke ranjang, kami berdua memejamkan mata supaya pagi harinya lebih fresh.
***
Pagi telah mengeluarkan sinarnya, tepat di hari jumat ini aku mengantarkan Mas Arlan ke parkiran depan. Sudah ada motor honda beat kesayangan Mas Arlan terparkir. Kemudian, di seberang rumah ada Mas Gerry yang sudah memanaskan mobilnya dan segera berangkat. Sekalipun mereka adik kakak, tak pernah Mas Arlan diajak bareng saat berangkat kerja, padahal kantor Mas Arlan pasti dilintasi oleh Mas Gerry.
"Aku duluan ya," sapa Mas Gerry sambil menyalakan klakson mobilnya, tangannya pun melambai seraya berpamitan. Aku dan Mas Arlan hanya mengangguk seraya menjawab sapaannya.
Sementara Mbak Dila, ia menutup garasi rumahnya, lalu berhenti di penghujung pintu garasi.
"Eh kalian tadi disapa Mas Gerry jawab iya kek, ini cuma manggut doang, bilang hati-hati gitu kan enak dengarnya. Kalian tuh kenapa sih? Iri sama kami?" Mbak Dila mulai memancing emosi di pagi hari. Aku nyaris tersulut karena ucapannya. Namun, tangan Mas Arlan yang menyurutkannya.
Akhirnya aku menghela napas untuk meredam amarah.
"Sudah, kamu masuk ya, aku berangkat dulu," ucap Mas Arlan sambil menyalakan mesin motornya.
Kemudian, aku pun masuk tak menghiraukan kicauan Mbak Dila yang tidak jelas di depan garasi.
Aku masuk ke dalam, sudah ada Mama Desti yang merapikan sisa-sisa sarapan kami. Aku pun segera membantunya.
"Telat, sudah hampir beres baru bantuin, dasar menantu aneh kamu," cetus Mama Desti.
"Maaf, Mah, tadi hanya nganter Mas Arlan ke depan," jawabku mengalah.
"Kamu tuh nggak seperti Dilla, dia keluarganya jelas, kalau kamu tuh nggak jelas, jangan-jangan nih ya uang Arlan habis untuk transfer keluargamu," tukas Mama Desti membuatku terbelalak. Mana ada seperti itu? Yang ada uang gaji Mas Arlan sepuluh juta rupiah itu karena papaku yang berikan gaji sebesar itu.
"Mah, keluargaku tidak seperti itu," jawabku singkat.
"Alah, kalau bukan untuk keluargamu, lalu uangnya Arlan ke mana? Hah!" sentak Mama sambil membanting piring ke meja seraya marah.
Kemudian, Mama Desti pergi meninggalkanku di dapur. Sedikit kesal mendengarnya, namun aku hanya menelan ludah dan berusaha bersabar sambil menunggu waktunya tiba.
***
Tepat pukul sebelas siang, Hesty bangun dari tidurnya, anak gadis yang akan dipersunting sebulan lagi itu baru saja bangun. Kemudian, Mbak Dila datang dan berhenti saat melewati aku yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
"Loh loh, udah beres masak nih? Kok enak-enakan duduk uncang-uncang kaki?" Mbak Dila memancing emosiku kembali, pendingin suasana hati tidak ada di sampingku, tentu amarah ini akan sulit kuredam jika mendengarkan dia bicara. Akhirnya keputuskan bangkit dari duduk, lalu hendak ke kamar tanpa menjawab sindiran pedas darinya. Namun, jarinya begitu cepat menarik rambutku yang terurai.
"Aw, sakit, Mbak," lirihku.
"Makanya kalau ditanya tuh jawab, jangan malah pergi," ketusnya sambil melepaskan jambakan rambut, tapi aku jadi terjatuh ke lantai, begitu juga dengan ponsel genggam yang kubawa, jatuh tepat di kakinya.
Ponsel itu berdering di saat yang bersamaan jatuhnya ke hadapan kaki Mbak Dila. Ia yang berada lebih dekat pun menyorot layar ponselku yang bercahaya karena panggilan masuk.
"Om Farhan? Kok aku tidak asing dengan namanya ya? Foto profil W******p nya juga seperti aku kenal," celetuk Mbak Dila yang melihat panggilan masuk dari Om Farhan, atasan Mas Gerry.
'Sial, dia sadar lagi foto yang dipakai Om Farhan sebagai profil. Gawat ini kalau dia tahu lebih dulu,' gumamku di dalam hati.
Bersambung
Aku bangkit dan segera merampas ponsel genggam yang dipegang Mbak Dila."Ini ponselku, Mbak. Jangan lancang seperti itu dong jadi orang! Aku punya privasi!" sentakku sambil mematikan panggilan telepon dari Om Farhan. Sebab, ini bukan waktu yang tepat untuk mengangkat telepon darinya."Aku heran, kok bisa kamu punya kontak WhatsApp bos besar suamiku?" Mbak Dila sangat yakin bahwa Om Farhan yang di ponselku adalah bos dari suaminya. Aku terdiam seketika, memutar bola mata sambil berpikir alasan apa yang akan kubuat untuk mengelak. Namun, belum sempat aku menyanggah tuduhan dari Mbak Dila, ia sudah bereaksi seperti menemukan jawabannya. "Emm, Aku tahu sekarang," celetuknya sambil mengangguk. "Awas kamu Nilam, akan aku bilang pada Mama Desti, ini tak bisa dibiarkan," ancam Mbak Dila sambil menunjuk dengan jari telunjuknya. Namun, kakinya melangkah ke arah kamar sang mama mertua. Aku yang tidak tahu apa tujuannya Mbak Dila ke kamar mertua pun mengernyitkan dahi, tapi kugunakan kesempata
"Apa itu masalah korupsi, Om? Apakah sudah terbukti catatan keuangannya?" Aku bertanya dengan sederet pertanyaan. Tangan ini juga menjalar ke perekam percakapan untuk aku simpan sebagai cadangan bukti nantinya."Licin untuk membuktikan Gerry, tapi ternyata di balik pintarnya kakak iparmu menutupi keuangan saat audit itu ada wanita di belakangnya," timpal Om Farhan membuatku terkejut, kini posisiku berdiri tegak seraya penasaran dengan apa yang beliau katakan. "Menarik sekali, Om, ada wanita lain di belakangnya, wah ini buah dari karmanya Mbak Dila dong yang menuduhku tadi," kataku dengan semangat. Jelas ini kabar baik untukku, sebab orang yang sering julid padaku ternyata kena omongannya sendiri. Barusaja aku disebut wanita murahan, ternyata suaminya sendiri ada main gila dengan wanita lain. "Ya, kami sedang berdiskusi dengan team, karena wanita yang berada di belakang ini semua sangat berpengaruh di kantor yang Om punya, saat ini sahamnya 35 persen di perusahaan ini," jawab Om Farh
"Mana buktinya, coba tunjukkan pada kami," pinta Mama Desti. Aku menyunggingkan senyuman miring, lalu menarik alis ke atas seraya merasa menang, sebab aku sempat merekam obrolan dengan Om Farhan tadi. Namun, ketika aku ingin menunjukkan bukti rekaman suara obrolan melalui sambungan telepon tadi, suara deru motor terdengar tepat di garasi rumah. Wajah mertuaku seketika mengembang, mereka bertiga yang tadinya tegang berhamburan ke depan. Aku pun ikut penasaran siapa yang baru saja datang hingga mereka bahagia seperti itu.Aku intip dari dalam, ternyata Mas Arlan pulang, aku keheranan melihatnya, kenapa ia tidak bilang bahwa hari ini pulang lebih cepat? Papa juga nggak bilang tentang hal ini."Nah kan, akhirnya kamu pulang juga, Arlan, ini waktu tepat sekali," ucap Mama Desti. Tangannya merangkul Mas Arlan yang kulihat murung. Ternyata mamanya dan Mbak Dila telah mengadu yang membuat Mas Arlan pulang lebih cepat. "Aku belum bisa percaya kalau Nilam selingkuh," kata Mas Arlan sambil me
Mulut ini sudah menganga, sudah siap untuk mengutarakan pada Mas Arlan mengenai siapa Om Farhan. Namun, pintu kamar diketuk oleh Mama Desti. Ketukan itu sangat keras seraya sedang menggedor-gedor maling.Mas Arlan menghela napas sambil menurunkan bahunya, lalu ia bangkit. "Sebentar, nanti kita lanjutkan," pesannya sambil melangkah untuk membuka pintunya. Aku mengawasi dari ranjang. Mas Arlan membuka pintunya dengan lebar.Mama Desti bersama Mbak Dila berdiri di depan pintu dengan mata celingukan ke dalam. Aku yakin mereka menginginkan kami bertengkar lalu cerai."Sudah ketahuan kan istrimu yang selingkuh? Tapi dia malah memutar balikkan fakta, bilang bahwa Mas Gerry yang selingkuh, ini fakta Arlan," ucap Mbak Dila terus menerus mengotori pikiran Mas Arlan. Mulutnya bicara tapi matanya terus menyelidiki aku yang ada di ranjang."Tolong kalian keluar ya, ini urusan rumah tangga kami," celetuk Mas Arlan.Aku menyunggingkan senyuman menyorot Mbak Dila, lidahku pun sengaja aku julurkan se
Tiba-tiba Hesti muncul, ia sudah mengeluarkan motornya, Honda Scoopy yang ia beli dari hasilnya bekerja. "Ayo, Mah, sama aku aja, biarin aja mereka pada nggak berbakti, durhaka," katanya sambil menyalakan mesin motor.Mas Arlan menghela napas berat, kemudian ia menarik pergelangan tangan sang mama."Ayo naik, aku yang anter," ajak Mas Arlan akhirnya mengalah. Hesti mendorong motornya lagi ke parkiran, sepertinya memang sengaja melakukan hal ini, memancing suamiku untuk mengantarkan Mama Desti.Mas Arlan berbisik padaku, "Sabar ya, aku nggak lama kok." Kalau ia sudah memohon, luluh sudah hati ini tak bisa melarang meskipun dalam hati ini ada rasa kesal.Mama menunggangi kuda besi roda dua, senyumnya sengaja ia tarik sambil melambaikan tangannya ke hadapanku. "Dah kamu ngepel dan nyapu aja di rumah!" pesannya saat Mas Arlan mulai menarik gas motor.Aku terdiam sejenak, terdengar melekat di telinga suara tawa Hesti saat beranjak ke dalam. Namun, aku tetap berdiri menunggu Mas Arlan yang
Aku tersenyum sambil mengangguk, Mas Arlan pun turun dari motornya."Ini serius, Nilam?" tanya Mas Arlan benar-benar terlihat tidak percaya."Aku serius, Mas Arlan yang paling tampan," godaku pada suami yang mulai mengedarkan pandangannya ke lantai atas, di sana sudah ada papa yang melambaikan tangannya."Itu Papa kamu kok ada di atas?" tanya Mas Arlan dengan wajah sedikit kaku."Ya iyalah Papa ada di atas, ini kan rumahnya, rumahmu juga, Mas, kan aku anak semata wayangnya," jelasku sekali lagi. Mas Arlan tampak bergidik, terlihat dari tangannya yang mengusap kasar leher belakang. Kelihatan dari tempatku berdiri, bulu kuduknya seperti merinding."Mas, emang rumahku ada hantunya ya? Kok kamu merinding? Bulumu terlihat berdiri loh itu," kataku sambil menunjuk ke arah leher juga lengannya yang memang kelihatan sekali saat bulu kuduk berdiri."Aku kaget sekaligus tegang, Nilam. Takut juga jika rumahmu sebesar ini," jawab Mas Arlan menambah rasa penasaranku."Maksud kamu gimana, Mas?" tan
"Secepat itu, Pah?" tanyaku padanya."Belum, malam ini baru ada jadwal ketemu dengan saudara Bu Desti asal dari Lampung." Mas Arlan kembali menautkan kedua alisnya, lalu membasahi bibirnya."Emm, maaf, Pah, apa itu Tante Dian dan Om Khalil?" tanya Mas Arlan langsung menebak. Sebab Om dan tantenya sore ini memang berencana ke Jakarta."Ya, betul, mereka ke Jakarta karena Papa yang suruh, dan bertepatan dengan pernikahan adikmu," jawab papa."Sebenarnya Om juga mau bahas soal kakak kamu, Arlan," sambung Om Farhan sambil menyentuh bahu suamiku.Mas Arlan tersenyum. "Sebenarnya bukannya saya sok suci, Om. Meskipun kami saudara, tapi rasanya tidak etis kalau saya ikut campur dalam rumah tangganya, soal perselingkuhan Mas Gerry, sejujurnya saya sudah tahu, tapi memilih diam," terang Mas Arlan membuatku terkejut. Ia tidak pernah cerita padaku tentang hal ini, sebegitu rapatnya suamiku menyimpan aib saudaranya, begitu tidak inginnya suamiku ikut campur urusan orang lain meskipun kakaknya send
Mbak Dila terlihat memutar matanya, respon saat aku menyebutkan tempat meeting di apartemen membuatnya sedikit menyipit."Berempat kan, Mas, meetingnya? Jadi nggak masalah mau meeting di apartemen, rumah sakit, itu sama saja yang terpenting kan tidak berdua," ungkap Mbak Dila."Iya, aku meeting berempat kok, semuanya laki-laki, nggak mungkin kan kami berempat berbuat tidak baik, kami laki-laki normal," jawab Mas Gerry.Aku tersenyum sambil berusaha santai menanggapi mereka berdua. Sebab, aku tahu mereka itu sebenarnya panik, hanya saja saling menutupi kecemasannya.Mata Mbak Dila mulai menyorotku penuh. "Kenapa kamu bisa tahu Mas Gerry meeting di apartemen, aku malah jadi curiga denganmu, Nilam. Jangan-jangan kamu ada hati pada Mas Gerry, sampai segitunya mencari tahu tempat di mana meeting," tukas Mbak Dila membuatku menggelengkan kepala.Aku menghela napas panjang sambil disertai tawa yang menutupi mulut ini. Namun, wajah Mas Arlan yang menatapku secara diam-diam telah menghentikan