Share

Julidnya Ipar

Author: Siti_Rohmah21
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku terdiam sejenak sambil mengukir senyuman, betapa beruntungnya aku memiliki seorang ayah seperti papa.

Tiba-tiba saja ingatanku mengulang kata-kata Mas Arlan yang bilang bahwa menurut tetangga, dirinya bukan anak kandung Mama Desti. 

"Emm, Pah, aku boleh minta tolong satu lagi?" tanyaku lebih dulu.

"Apa, Sayang?" tanya balik papa. Kemudian, kaki ini aku turunkan ke bawah dan beranjak ke ujung jendela, pembicaraan ini sangat rahasia, jadi aku takut Mas Arlan mendengar obrolan kami.

Aku berdiri berada di depan jendela persis, menyandar dan berdiri dengan santai.

"Pah, menurut sependengaranku, Mas Arlan itu bukan anak kandung Mama Desti, bisakah Papa cari tahu tentang hal ini? Aku tuh memang merasa perbedaan antara Mas Gerry dan Mas Arlan. Mama bedain banget," ungkapku masih berada di sudut jendela tapi mata ini tetap mengawasi Mas Arlan. 

"Kok bisa gitu? Coba nanti Papa cari tahu melalui Om Farhan selaku bos nya Gerry," jawab papa.

Mas Gerry itu kerja di perusahaan milik adiknya papa, ia menjabat bagian keuangan di sana. Desas-desus korupsi pun terdengar dari segelintir staf dan karyawan di sana, namun belum ada team audit yang dapat membuktikan korupsinya. Tiap kali mereka melakukan pengecekan, semua keuangan bersih nyaris tidak ada selisih, entah dari mana Mas Gerry bisa menutupi itu semua, tapi yang jelas Om Farhan dan team audit akan lebih waspada lagi untuk mengungkap aksi Mas Gerry secara mendadak. 

Tiba-tiba kaki Mas Arlan bergerak, aku khawatir ia terbangun. Jadi dengan cepat aku usap tombol merah pada ponsel untuk menutup telepon. Papa yang sudah terbiasa dengan sikapku ini pasti paham.

Benar saja tangan kanannya mulai mengusap mata, karena tangan kiri meraba ke sebelah tidak ada aku di kasur sana. Perlahan matanya menatapku yang berada di sudut jendela. Aku berpura-pura menghadap ke arah luar seraya menatap pekarangan depan.

"Kamu belum tidur, Sayang?" tanya Mas Arlan. Aku pun pura-pura terkejut sambil menoleh ke arahnya. 

"Nggak bisa tidur, Mas. Aku cari angin saja ke depan jendela," jawabku jelas berbohong. 

Lalu Mas Arlan tampak turun dari ranjang, kemudian ia menghampiriku. 

Kini tangan Mas Arlan berada di pinggang dan melingkar sekitar perutku. Dagunya juga ada di atas bahuku, pipinya pun menempel lekat di pipi ini. 

"Kamu kepingin punya rumah dan mobil seperti Mbak Dila, ya?" tanya Mas Arlan membuatku mengernyitkan dahi. Ternyata ia menduga seperti itu, mungkin karena kamar kami menghadap rumah Mbak Dila dan Mas Gerry. 

"Hah, nggak kok, Mas, aku lagi cari angin aja ke depan," jawabku sambil membelai pipinya. 

Nyaman ketika ia memeluk dari belakang, sentuhan jarinya dan bicaranya yang lembut pada istri membuatku benar-benar tergila-gila padanya. Bukan dikuasai cinta buta, tapi kepribadian lelaki seperti Mas Arlan sungguh jarang ditemui. 

"Maafkan aku ya, Sayang, belum bisa beliin kamu rumah seperti Mas Gerry pada Mbak Dila, aku belum bisa beliin mobil juga. Seandainya papa masih ada, mungkin dulu kuliahku takkan terputus dan menjadi sarjana seperti Mas Gerry, jadi mencari kerja juga enak," ungkap Mas Arlan. 

Aku menghela napas, karena tahu betul Mas Arlan harus bekerja keras setelah mendiang papanya meninggal dunia, sedangkan Mas Gerry, ia tetap melanjutkan kuliahnya dengan dalih dari Mama Desti bahwa anak pertama harus sukses.

Aku balik badan, kini posisi kami saling berhadapan. Jarak antara aku dan Mas Arlan hanya satu jengkal saja.

"Mas, tidak ada yang membuatku bahagia selain kasih sayangmu ini, terima kasih ya. Aku yakin suatu saat kamu akan menjadi orang sukses melebihi Mas Gerry," ungkapku padanya. Pandangannya yang sejuk membuat dadaku selalu bergetar saat berhadapan dengannya.

"Aku yang terima kasih padamu, karena sudah mengerti keadaan suamimu ini," timpal Mas Arlan sambil merapikan rambutku yang sedikit berantakan. 

Setelah itu aku dan Mas Arlan kembali ke ranjang, kami berdua memejamkan mata supaya pagi harinya lebih fresh.

***

Pagi telah mengeluarkan sinarnya, tepat di hari jumat ini aku mengantarkan Mas Arlan ke parkiran depan. Sudah ada motor honda beat kesayangan Mas Arlan terparkir. Kemudian, di seberang rumah ada Mas Gerry yang sudah memanaskan mobilnya dan segera berangkat. Sekalipun mereka adik kakak, tak pernah Mas Arlan diajak bareng saat berangkat kerja, padahal kantor Mas Arlan pasti dilintasi oleh Mas Gerry. 

"Aku duluan ya," sapa Mas Gerry sambil menyalakan klakson mobilnya, tangannya pun melambai seraya berpamitan. Aku dan Mas Arlan hanya mengangguk seraya menjawab sapaannya.

Sementara Mbak Dila, ia menutup garasi rumahnya, lalu berhenti di penghujung pintu garasi.

"Eh kalian tadi disapa Mas Gerry jawab iya kek, ini cuma manggut doang, bilang hati-hati gitu kan enak dengarnya. Kalian tuh kenapa sih? Iri sama kami?" Mbak Dila mulai memancing emosi di pagi hari. Aku nyaris tersulut karena ucapannya. Namun, tangan Mas Arlan yang menyurutkannya.

Akhirnya aku menghela napas untuk meredam amarah.

"Sudah, kamu masuk ya, aku berangkat dulu," ucap Mas Arlan sambil menyalakan mesin motornya. 

Kemudian, aku pun masuk tak menghiraukan kicauan Mbak Dila yang tidak jelas di depan garasi. 

Aku masuk ke dalam, sudah ada Mama Desti yang merapikan sisa-sisa sarapan kami. Aku pun segera membantunya. 

"Telat, sudah hampir beres baru bantuin, dasar menantu aneh kamu," cetus Mama Desti. 

"Maaf, Mah, tadi hanya nganter Mas Arlan ke depan," jawabku mengalah.

"Kamu tuh nggak seperti Dilla, dia keluarganya jelas, kalau kamu tuh nggak jelas, jangan-jangan nih ya uang Arlan habis untuk transfer keluargamu," tukas Mama Desti membuatku terbelalak. Mana ada seperti itu? Yang ada uang gaji Mas Arlan sepuluh juta rupiah itu karena papaku yang berikan gaji sebesar itu.

"Mah, keluargaku tidak seperti itu," jawabku singkat. 

"Alah, kalau bukan untuk keluargamu, lalu uangnya Arlan ke mana? Hah!" sentak Mama sambil membanting piring ke meja seraya marah. 

Kemudian, Mama Desti pergi meninggalkanku di dapur. Sedikit kesal mendengarnya, namun aku hanya menelan ludah dan berusaha bersabar sambil menunggu waktunya tiba.

***

Tepat pukul sebelas siang, Hesty bangun dari tidurnya, anak gadis yang akan dipersunting sebulan lagi itu baru saja bangun. Kemudian, Mbak Dila datang dan berhenti saat melewati aku yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. 

"Loh loh, udah beres masak nih? Kok enak-enakan duduk uncang-uncang kaki?" Mbak Dila memancing emosiku kembali, pendingin suasana hati tidak ada di sampingku, tentu amarah ini akan sulit kuredam jika mendengarkan dia bicara. Akhirnya keputuskan bangkit dari duduk, lalu hendak ke kamar tanpa menjawab sindiran pedas darinya. Namun, jarinya begitu cepat menarik rambutku yang terurai.

"Aw, sakit, Mbak," lirihku.

"Makanya kalau ditanya tuh jawab, jangan malah pergi," ketusnya sambil melepaskan jambakan rambut, tapi aku jadi terjatuh ke lantai, begitu juga dengan ponsel genggam yang kubawa, jatuh tepat di kakinya.

Ponsel itu berdering di saat yang bersamaan jatuhnya ke hadapan kaki Mbak Dila. Ia yang berada lebih dekat pun menyorot layar ponselku yang bercahaya karena panggilan masuk. 

"Om Farhan? Kok aku tidak asing dengan namanya ya? Foto profil W******p nya juga seperti aku kenal," celetuk Mbak Dila yang melihat panggilan masuk dari Om Farhan, atasan Mas Gerry.

'Sial, dia sadar lagi foto yang dipakai Om Farhan sebagai profil. Gawat ini kalau dia tahu lebih dulu,' gumamku di dalam hati.

Bersambung 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ninik
ipar jahat,kenapa TDK d balas
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Fitnah

    Aku bangkit dan segera merampas ponsel genggam yang dipegang Mbak Dila."Ini ponselku, Mbak. Jangan lancang seperti itu dong jadi orang! Aku punya privasi!" sentakku sambil mematikan panggilan telepon dari Om Farhan. Sebab, ini bukan waktu yang tepat untuk mengangkat telepon darinya."Aku heran, kok bisa kamu punya kontak WhatsApp bos besar suamiku?" Mbak Dila sangat yakin bahwa Om Farhan yang di ponselku adalah bos dari suaminya. Aku terdiam seketika, memutar bola mata sambil berpikir alasan apa yang akan kubuat untuk mengelak. Namun, belum sempat aku menyanggah tuduhan dari Mbak Dila, ia sudah bereaksi seperti menemukan jawabannya. "Emm, Aku tahu sekarang," celetuknya sambil mengangguk. "Awas kamu Nilam, akan aku bilang pada Mama Desti, ini tak bisa dibiarkan," ancam Mbak Dila sambil menunjuk dengan jari telunjuknya. Namun, kakinya melangkah ke arah kamar sang mama mertua. Aku yang tidak tahu apa tujuannya Mbak Dila ke kamar mertua pun mengernyitkan dahi, tapi kugunakan kesempata

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Satu Rahasia

    "Apa itu masalah korupsi, Om? Apakah sudah terbukti catatan keuangannya?" Aku bertanya dengan sederet pertanyaan. Tangan ini juga menjalar ke perekam percakapan untuk aku simpan sebagai cadangan bukti nantinya."Licin untuk membuktikan Gerry, tapi ternyata di balik pintarnya kakak iparmu menutupi keuangan saat audit itu ada wanita di belakangnya," timpal Om Farhan membuatku terkejut, kini posisiku berdiri tegak seraya penasaran dengan apa yang beliau katakan. "Menarik sekali, Om, ada wanita lain di belakangnya, wah ini buah dari karmanya Mbak Dila dong yang menuduhku tadi," kataku dengan semangat. Jelas ini kabar baik untukku, sebab orang yang sering julid padaku ternyata kena omongannya sendiri. Barusaja aku disebut wanita murahan, ternyata suaminya sendiri ada main gila dengan wanita lain. "Ya, kami sedang berdiskusi dengan team, karena wanita yang berada di belakang ini semua sangat berpengaruh di kantor yang Om punya, saat ini sahamnya 35 persen di perusahaan ini," jawab Om Farh

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Arlan Pulang

    "Mana buktinya, coba tunjukkan pada kami," pinta Mama Desti. Aku menyunggingkan senyuman miring, lalu menarik alis ke atas seraya merasa menang, sebab aku sempat merekam obrolan dengan Om Farhan tadi. Namun, ketika aku ingin menunjukkan bukti rekaman suara obrolan melalui sambungan telepon tadi, suara deru motor terdengar tepat di garasi rumah. Wajah mertuaku seketika mengembang, mereka bertiga yang tadinya tegang berhamburan ke depan. Aku pun ikut penasaran siapa yang baru saja datang hingga mereka bahagia seperti itu.Aku intip dari dalam, ternyata Mas Arlan pulang, aku keheranan melihatnya, kenapa ia tidak bilang bahwa hari ini pulang lebih cepat? Papa juga nggak bilang tentang hal ini."Nah kan, akhirnya kamu pulang juga, Arlan, ini waktu tepat sekali," ucap Mama Desti. Tangannya merangkul Mas Arlan yang kulihat murung. Ternyata mamanya dan Mbak Dila telah mengadu yang membuat Mas Arlan pulang lebih cepat. "Aku belum bisa percaya kalau Nilam selingkuh," kata Mas Arlan sambil me

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Sombong

    Mulut ini sudah menganga, sudah siap untuk mengutarakan pada Mas Arlan mengenai siapa Om Farhan. Namun, pintu kamar diketuk oleh Mama Desti. Ketukan itu sangat keras seraya sedang menggedor-gedor maling.Mas Arlan menghela napas sambil menurunkan bahunya, lalu ia bangkit. "Sebentar, nanti kita lanjutkan," pesannya sambil melangkah untuk membuka pintunya. Aku mengawasi dari ranjang. Mas Arlan membuka pintunya dengan lebar.Mama Desti bersama Mbak Dila berdiri di depan pintu dengan mata celingukan ke dalam. Aku yakin mereka menginginkan kami bertengkar lalu cerai."Sudah ketahuan kan istrimu yang selingkuh? Tapi dia malah memutar balikkan fakta, bilang bahwa Mas Gerry yang selingkuh, ini fakta Arlan," ucap Mbak Dila terus menerus mengotori pikiran Mas Arlan. Mulutnya bicara tapi matanya terus menyelidiki aku yang ada di ranjang."Tolong kalian keluar ya, ini urusan rumah tangga kami," celetuk Mas Arlan.Aku menyunggingkan senyuman menyorot Mbak Dila, lidahku pun sengaja aku julurkan se

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Arlan Tercengang

    Tiba-tiba Hesti muncul, ia sudah mengeluarkan motornya, Honda Scoopy yang ia beli dari hasilnya bekerja. "Ayo, Mah, sama aku aja, biarin aja mereka pada nggak berbakti, durhaka," katanya sambil menyalakan mesin motor.Mas Arlan menghela napas berat, kemudian ia menarik pergelangan tangan sang mama."Ayo naik, aku yang anter," ajak Mas Arlan akhirnya mengalah. Hesti mendorong motornya lagi ke parkiran, sepertinya memang sengaja melakukan hal ini, memancing suamiku untuk mengantarkan Mama Desti.Mas Arlan berbisik padaku, "Sabar ya, aku nggak lama kok." Kalau ia sudah memohon, luluh sudah hati ini tak bisa melarang meskipun dalam hati ini ada rasa kesal.Mama menunggangi kuda besi roda dua, senyumnya sengaja ia tarik sambil melambaikan tangannya ke hadapanku. "Dah kamu ngepel dan nyapu aja di rumah!" pesannya saat Mas Arlan mulai menarik gas motor.Aku terdiam sejenak, terdengar melekat di telinga suara tawa Hesti saat beranjak ke dalam. Namun, aku tetap berdiri menunggu Mas Arlan yang

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Rahasia

    Aku tersenyum sambil mengangguk, Mas Arlan pun turun dari motornya."Ini serius, Nilam?" tanya Mas Arlan benar-benar terlihat tidak percaya."Aku serius, Mas Arlan yang paling tampan," godaku pada suami yang mulai mengedarkan pandangannya ke lantai atas, di sana sudah ada papa yang melambaikan tangannya."Itu Papa kamu kok ada di atas?" tanya Mas Arlan dengan wajah sedikit kaku."Ya iyalah Papa ada di atas, ini kan rumahnya, rumahmu juga, Mas, kan aku anak semata wayangnya," jelasku sekali lagi. Mas Arlan tampak bergidik, terlihat dari tangannya yang mengusap kasar leher belakang. Kelihatan dari tempatku berdiri, bulu kuduknya seperti merinding."Mas, emang rumahku ada hantunya ya? Kok kamu merinding? Bulumu terlihat berdiri loh itu," kataku sambil menunjuk ke arah leher juga lengannya yang memang kelihatan sekali saat bulu kuduk berdiri."Aku kaget sekaligus tegang, Nilam. Takut juga jika rumahmu sebesar ini," jawab Mas Arlan menambah rasa penasaranku."Maksud kamu gimana, Mas?" tan

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Apartemen

    "Secepat itu, Pah?" tanyaku padanya."Belum, malam ini baru ada jadwal ketemu dengan saudara Bu Desti asal dari Lampung." Mas Arlan kembali menautkan kedua alisnya, lalu membasahi bibirnya."Emm, maaf, Pah, apa itu Tante Dian dan Om Khalil?" tanya Mas Arlan langsung menebak. Sebab Om dan tantenya sore ini memang berencana ke Jakarta."Ya, betul, mereka ke Jakarta karena Papa yang suruh, dan bertepatan dengan pernikahan adikmu," jawab papa."Sebenarnya Om juga mau bahas soal kakak kamu, Arlan," sambung Om Farhan sambil menyentuh bahu suamiku.Mas Arlan tersenyum. "Sebenarnya bukannya saya sok suci, Om. Meskipun kami saudara, tapi rasanya tidak etis kalau saya ikut campur dalam rumah tangganya, soal perselingkuhan Mas Gerry, sejujurnya saya sudah tahu, tapi memilih diam," terang Mas Arlan membuatku terkejut. Ia tidak pernah cerita padaku tentang hal ini, sebegitu rapatnya suamiku menyimpan aib saudaranya, begitu tidak inginnya suamiku ikut campur urusan orang lain meskipun kakaknya send

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Penasaran

    Mbak Dila terlihat memutar matanya, respon saat aku menyebutkan tempat meeting di apartemen membuatnya sedikit menyipit."Berempat kan, Mas, meetingnya? Jadi nggak masalah mau meeting di apartemen, rumah sakit, itu sama saja yang terpenting kan tidak berdua," ungkap Mbak Dila."Iya, aku meeting berempat kok, semuanya laki-laki, nggak mungkin kan kami berempat berbuat tidak baik, kami laki-laki normal," jawab Mas Gerry.Aku tersenyum sambil berusaha santai menanggapi mereka berdua. Sebab, aku tahu mereka itu sebenarnya panik, hanya saja saling menutupi kecemasannya.Mata Mbak Dila mulai menyorotku penuh. "Kenapa kamu bisa tahu Mas Gerry meeting di apartemen, aku malah jadi curiga denganmu, Nilam. Jangan-jangan kamu ada hati pada Mas Gerry, sampai segitunya mencari tahu tempat di mana meeting," tukas Mbak Dila membuatku menggelengkan kepala.Aku menghela napas panjang sambil disertai tawa yang menutupi mulut ini. Namun, wajah Mas Arlan yang menatapku secara diam-diam telah menghentikan

Latest chapter

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 87. TAMAT

    "Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 86. Secercah Titik Terang

    Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 85. Cincin Inisial C

    "Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 84. Baby AN

    "Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 83. Sembilan Bulan Berlalu

    Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 82. Farhan Ditemukan

    "Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 81. Dila Menang

    "Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 80. Ketika Sang Papa Sakit

    Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 79. Kekacauan

    "Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus

DMCA.com Protection Status