"Mas, nanti ganti mobil ya, aku ingin mobil honda jazz," celetuk Mbak Dila pada suaminya di hadapanku dan Mas Arlan. Bibirnya bicara tapi matanya melirik ke arah kami, apa maksudnya? Pamer?
"Iya, Sayang, besok kita ganti mobil, apa sih yang nggak buat kamu," timpal Mas Gerry, kakak dari suamiku.
Kemudian, gara-gara mendengar Mbak Dila minta mobil baru, mertuaku muncul dari kamarnya. Lalu ikut nimbrung bicara di ruang keluarga. Ya, kami sedang berkumpul bersama karena adik Mas Arlan yang bungsu akan dilamar. Kebetulan mereka juga membeli rumah di depan mertua persis.
"Kamu mau beli mobil baru, Gerry. Kapan itu? Uang kamu banyak ya ternyata, pasti karena Dila pandai mengatur keuangan rumah tangga. Nggak seperti Nilam, yang kerjaannya belanja online terus," sindir mertua tunggalku, namanya Desti. Aku tinggal bersamanya makanya ia tahu bahwa aku sering belanja online.
Mas Arlan terdiam, tapi tangannya mencekal pergelangan tanganku. Kemudian membawa diri ini ke kamar. Sepanjang jalan melewati Mbak Dila berdiri, aku menyunggingkan senyuman padanya, pun yang dilakukan olehnya, senyuman tipis seraya mengejek terukir di wajahnya.
Setibanya di kamar, Mas Arlan mengajakku bicara empat mata. Tidak seperti biasanya, tatapannya kini disertai amarah.
"Uang dari mana untuk belanja online, Nilam?" tanya Mas Arlan dengan nada pelan tapi penuh penekanan.
Aku terdiam, tidak menjawab pertanyaannya, sebab saat bersama dengannya di atas ranjang besi yang kuno ini, aku selalu menunjukkan padanya bahwa uang yang ia berikan masih utuh tak kubelanjakan.
"Uang aku, Mas. Sewaktu kerja dulu sebelum kita menikah, kan masih tersimpan di tabungan," jawabku agak santai.
Mas Arlan menghela napas lega, lalu menarik bibir tipisnya sedikit. Senyuman manisnya terukir merekah sambil mengusap rambutku.
"Aku pikir kamu beli online itu uang dari mana, aku takut kamu minta sama orang tuamu," jawab Mas Arlan.
"Nggak, kok Mas, jangan khawatirkan itu, aku masih menghormati kamu sebagai seorang suami, jadi tidak akan meminta sesuatu yang membuat harga dirimu jadi rendah," timpalku lagi.
Kami memutuskan untuk istirahat sejenak, sebelum acara lamaran Hesti dilaksanakan, meskipun hanya merebahkan tubuh ini di atas ranjang sambil bermain game di ponsel masing-masing.
***
Malam pun tiba, orang yang akan menyematkan cincin di jari manis Hesty telah datang bersama kedua orang tuanya. Rona kebahagiaan terpancar di mata Hesti, terlebih orang yang akan mempersuntingnya jelas asal-usulnya. Ini adalah kebanggaan tersendiri untuk sang mama.
Kedua belah pihak menikmati suguhan yang ada. Setelah itu mereka membicarakan akad dan resepsi. Tanggal yang akan ditentukan yaitu sebulan lagi, tepatnya bulan juli setelah hari raya idul adha.
Setelah mereka pulang, kami berkumpul kembali. Mama mertuaku berada di tengah-tengah, ia bicara pada kami semua.
"Kalian tahu kan biaya pernikahan dan resepsi itu sangatlah mahal. Mama ingin anak perempuan satu-satunya mewah resepsinya. Tidak ingin seperti kamu, Nilam, menikah saja numpang di sini, orang tua macam apa tuh kedua orang tuamu!" tukas Mama Desti.
Mas Arlan terdiam, hanya menggengam tanganku.
"Aku nyumbang 20 juta untuk pernikahan Hesty, kamu berapa, Lan?" tanya Mas Gerry dengan disertai dagu mendongak.
"Aku hanya punya simpanan uang lima juta, Mas," jawab Mas Arlan. Jelas ia tidak memiliki banyak simpanan, sebab uang gajinya diberikan padaku lima juta, untuk mamanya tiga juta, sisa dua juta untuknya. Mas Arlan tidak pernah mengutak ngatik pemberiannya terhadapku.
"Tuh kan, kamu tuh nggak punya simpanan banyak, istrimu pasti nih boros banget, padahal tinggal bareng mama loh," celetuk Mama Desti lagi.
Padahal tinggal bersamanya pun semua aku yang beli dari uang lima juta yang diberikan oleh Mas Arlan. Namun, Mama Desti tetap membandingkan aku dengan Mbak Dila, istri dari anaknya.
"Mah, selama ini kita kan makan dari uang Mas Arlan, Mah," timpalku.
"Alah, diam kamu, nyerocos mulu," ucapnya dengan nada ketus. Mas Arlan memintaku untuk tidak melayani mamanya, ia memberikan kode dengan mengusap pangkal pahaku.
***
Hari yang ditunggu iparku telah tiba, mobil impiannya datang. Mobil merk Honda Jazz terparkir di pekarangan rumahnya yang memang berada di depan rumah mertuaku.
"Nilam, fotoin Mbak dong," pinta Mbak Dila.
Aku menghela napas kasar lalu meraih ponsel dan mengambil foto terbaik saat ia berada di sebelah mobilnya. Lalu menyerahkan kembali pada Mbak Dila.
"Makasih ya, kamu kapan sih punya rumah, punya mobil? Numpang terus, apa nggak malu?" Mbak Dila tidak hanya pandai nyinyir, ia juga pandai nyeletuk kata-kata yang menurutnya baik.
Aku tidak terbiasa menjawab sindirannya. Hanya senyum yang aku pancarkan sambil balik badan lalu masuk. Namun, kali ini wanita yang baru saja kredit mobil itu sangat keterlaluan, ia menarik rambutku ketika tidak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan.
"Monyet, kalau orang nanya tuh jawab," celetuk Mbak Dila. Aku pun sontak melepaskan jambakannya lalu balik badan kemudian melihat wajahnya memerah dengan bibir dilipat, matanya pun terlihat membulat.
"Mbak, aku nggak beli mobil atau rumah, itu bukan urusan Mbak. Urus aja suamimu, Mbak. Tanya itu uang dari mana kok bisa banyak dapatnya? Uang haram atau halal, pertanyakan lah," sindirku gantian.
"Sialan kamu, Nilam!" hardik Mbak Dila.
Kemudian ia masuk ke dalam rumahnya sambil menghentakkan kaki dan disertai decakan kesal terdengar di telingaku.
Aku masuk ke rumah, ada mertua yang sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya. "Kamu bicara apa pada Dila? Kenapa dia langsung masuk ke dalam begitu?" tanya Mama Desti seraya menuduh. Tatapannya seakan amat membenciku.
"Hanya mengingatkan, Mah. Permisi, aku mau masuk," ucapku sambil menerobos ke dalam.
***
Malam sudah larut, aku menyandar di bahu suamiku. Seperti biasanya kami bercerita sebelum memejamkan mata. "Mas, kenapa sih Mama Desti sikapnya beda pada kamu dan yang dua anaknya? Maksudku Mas Gerry juga Hesty?" tanyaku padanya. Sesekali jari ini mengelus dagunya yang sudah mulai tumbuh jenggot.
"Aku juga nggak tahu, Dek. Pernah dengar dari tetangga katanya aku bukan anak kandung mama, cuma aku nggak percaya si, Dek," jawab Mas Arlan.
Aku menyunggingkan senyuman, kalau benar Mas Arlan bukan anak kandungnya, berati aku harus mencari tahu keberadaan orang tuanya.
"Sekarang aku mau tanya ke kamu, Dek. Kapan kita ke rumah orang tuamu? Sudah hampir lima bulan loh kita nikah, mereka terus yang ke sini." Mataku seketika membulat mendengar pertanyaan darinya.
"Kapan, emm, weekend ini mau?" tanyaku padanya.
"Boleh, aku tuh merasa orang tuamu merahasiakan sesuatu, benar nggak?" tanyanya penuh curiga.
"Kenapa berpikir seperti itu?" tanyaku kini dengan posisi duduk di hadapannya.
"Aneh aja, nikah nggak mau di rumahnya, lalu ngelamar juga nggak boleh, cuma kamu dan orang tuamu yang seperti ini, Dek," pungkas Mas Arlan.
"Weekend kita ke rumah orang tuaku, Mas," jawabku singkat lalu menarik selimut sambil membelakangi tubuhnya.
"Kamu jangan marah, Sayang, aku cuma penasaran," lirih Mas Arlan, sikapnya yang seperti inilah aku merasa nyaman dan jatuh cinta padanya saat magang di kantor milik papaku, Ruslan Aryadi, pemilik PT. Candra Sentosa, perusahaan turun temurun yang akan diwariskan padaku dan suami, jadi memang sengaja orang tuaku meminta seluruh jajaran staf kantor merahasiakan kepemilikannya.
Mas Arlan bekerja hanya sebagai staf biasa yang baru masuk bareng saat aku berpura-pura magang. Kami pernah duduk di bangku kuliah di fakultas yang sama, dan aku jatuh cinta padanya atas kegigihannya dalam belajar.
"Mas, aku nggak marah, sekarang kita tidur ya, kamu sabar nunggu lusa," jawabku kemudian memejamkan mata.
Sejam kemudian, aku menoleh ke arah Mas Arlan, ia sudah tertidur pulas, aku pun segera mengambil ponsel dan menghubungi orang tuaku.
"Halo, Pah, maaf ganggu," ucapku lebih dulu.
"Iya, ada apa, Sayang?" tanya papaku yang berada di seberang sana.
"Pah, Mas Arlan minta ke rumah papa, kan dia penasaran sejak menikah belum diizinkan singgah, dari nikah loh, Pah," protesku.
"Nanti, tunggu waktunya, kamu bertahan dulu di sana, yang terpenting sikap Arlan baik pada kamu," perintah papa. Aku terdiam dengan ucapannya.
"Tapi, Pah. Mbak Dila semakin kurang ajar, Pah, semakin sombong dia," timpalku lagi sambil sesekali mengamati Mas Arlan yang sedang tertidur pulas.
"Sabar, Nak, tunggu waktu yang tepat, kita akan beli kesombongan iparmu," sahut papa lagi membuatku berdecak kagum. Kalau ia sudah bicara seperti itu, artinya beliau sudah mempersiapkan kejutan.
______
______
Aku terdiam sejenak sambil mengukir senyuman, betapa beruntungnya aku memiliki seorang ayah seperti papa.Tiba-tiba saja ingatanku mengulang kata-kata Mas Arlan yang bilang bahwa menurut tetangga, dirinya bukan anak kandung Mama Desti. "Emm, Pah, aku boleh minta tolong satu lagi?" tanyaku lebih dulu."Apa, Sayang?" tanya balik papa. Kemudian, kaki ini aku turunkan ke bawah dan beranjak ke ujung jendela, pembicaraan ini sangat rahasia, jadi aku takut Mas Arlan mendengar obrolan kami.Aku berdiri berada di depan jendela persis, menyandar dan berdiri dengan santai."Pah, menurut sependengaranku, Mas Arlan itu bukan anak kandung Mama Desti, bisakah Papa cari tahu tentang hal ini? Aku tuh memang merasa perbedaan antara Mas Gerry dan Mas Arlan. Mama bedain banget," ungkapku masih berada di sudut jendela tapi mata ini tetap mengawasi Mas Arlan. "Kok bisa gitu? Coba nanti Papa cari tahu melalui Om Farhan selaku bos nya Gerry," jawab papa.Mas Gerry itu kerja di perusahaan milik adiknya papa
Aku bangkit dan segera merampas ponsel genggam yang dipegang Mbak Dila."Ini ponselku, Mbak. Jangan lancang seperti itu dong jadi orang! Aku punya privasi!" sentakku sambil mematikan panggilan telepon dari Om Farhan. Sebab, ini bukan waktu yang tepat untuk mengangkat telepon darinya."Aku heran, kok bisa kamu punya kontak WhatsApp bos besar suamiku?" Mbak Dila sangat yakin bahwa Om Farhan yang di ponselku adalah bos dari suaminya. Aku terdiam seketika, memutar bola mata sambil berpikir alasan apa yang akan kubuat untuk mengelak. Namun, belum sempat aku menyanggah tuduhan dari Mbak Dila, ia sudah bereaksi seperti menemukan jawabannya. "Emm, Aku tahu sekarang," celetuknya sambil mengangguk. "Awas kamu Nilam, akan aku bilang pada Mama Desti, ini tak bisa dibiarkan," ancam Mbak Dila sambil menunjuk dengan jari telunjuknya. Namun, kakinya melangkah ke arah kamar sang mama mertua. Aku yang tidak tahu apa tujuannya Mbak Dila ke kamar mertua pun mengernyitkan dahi, tapi kugunakan kesempata
"Apa itu masalah korupsi, Om? Apakah sudah terbukti catatan keuangannya?" Aku bertanya dengan sederet pertanyaan. Tangan ini juga menjalar ke perekam percakapan untuk aku simpan sebagai cadangan bukti nantinya."Licin untuk membuktikan Gerry, tapi ternyata di balik pintarnya kakak iparmu menutupi keuangan saat audit itu ada wanita di belakangnya," timpal Om Farhan membuatku terkejut, kini posisiku berdiri tegak seraya penasaran dengan apa yang beliau katakan. "Menarik sekali, Om, ada wanita lain di belakangnya, wah ini buah dari karmanya Mbak Dila dong yang menuduhku tadi," kataku dengan semangat. Jelas ini kabar baik untukku, sebab orang yang sering julid padaku ternyata kena omongannya sendiri. Barusaja aku disebut wanita murahan, ternyata suaminya sendiri ada main gila dengan wanita lain. "Ya, kami sedang berdiskusi dengan team, karena wanita yang berada di belakang ini semua sangat berpengaruh di kantor yang Om punya, saat ini sahamnya 35 persen di perusahaan ini," jawab Om Farh
"Mana buktinya, coba tunjukkan pada kami," pinta Mama Desti. Aku menyunggingkan senyuman miring, lalu menarik alis ke atas seraya merasa menang, sebab aku sempat merekam obrolan dengan Om Farhan tadi. Namun, ketika aku ingin menunjukkan bukti rekaman suara obrolan melalui sambungan telepon tadi, suara deru motor terdengar tepat di garasi rumah. Wajah mertuaku seketika mengembang, mereka bertiga yang tadinya tegang berhamburan ke depan. Aku pun ikut penasaran siapa yang baru saja datang hingga mereka bahagia seperti itu.Aku intip dari dalam, ternyata Mas Arlan pulang, aku keheranan melihatnya, kenapa ia tidak bilang bahwa hari ini pulang lebih cepat? Papa juga nggak bilang tentang hal ini."Nah kan, akhirnya kamu pulang juga, Arlan, ini waktu tepat sekali," ucap Mama Desti. Tangannya merangkul Mas Arlan yang kulihat murung. Ternyata mamanya dan Mbak Dila telah mengadu yang membuat Mas Arlan pulang lebih cepat. "Aku belum bisa percaya kalau Nilam selingkuh," kata Mas Arlan sambil me
Mulut ini sudah menganga, sudah siap untuk mengutarakan pada Mas Arlan mengenai siapa Om Farhan. Namun, pintu kamar diketuk oleh Mama Desti. Ketukan itu sangat keras seraya sedang menggedor-gedor maling.Mas Arlan menghela napas sambil menurunkan bahunya, lalu ia bangkit. "Sebentar, nanti kita lanjutkan," pesannya sambil melangkah untuk membuka pintunya. Aku mengawasi dari ranjang. Mas Arlan membuka pintunya dengan lebar.Mama Desti bersama Mbak Dila berdiri di depan pintu dengan mata celingukan ke dalam. Aku yakin mereka menginginkan kami bertengkar lalu cerai."Sudah ketahuan kan istrimu yang selingkuh? Tapi dia malah memutar balikkan fakta, bilang bahwa Mas Gerry yang selingkuh, ini fakta Arlan," ucap Mbak Dila terus menerus mengotori pikiran Mas Arlan. Mulutnya bicara tapi matanya terus menyelidiki aku yang ada di ranjang."Tolong kalian keluar ya, ini urusan rumah tangga kami," celetuk Mas Arlan.Aku menyunggingkan senyuman menyorot Mbak Dila, lidahku pun sengaja aku julurkan se
Tiba-tiba Hesti muncul, ia sudah mengeluarkan motornya, Honda Scoopy yang ia beli dari hasilnya bekerja. "Ayo, Mah, sama aku aja, biarin aja mereka pada nggak berbakti, durhaka," katanya sambil menyalakan mesin motor.Mas Arlan menghela napas berat, kemudian ia menarik pergelangan tangan sang mama."Ayo naik, aku yang anter," ajak Mas Arlan akhirnya mengalah. Hesti mendorong motornya lagi ke parkiran, sepertinya memang sengaja melakukan hal ini, memancing suamiku untuk mengantarkan Mama Desti.Mas Arlan berbisik padaku, "Sabar ya, aku nggak lama kok." Kalau ia sudah memohon, luluh sudah hati ini tak bisa melarang meskipun dalam hati ini ada rasa kesal.Mama menunggangi kuda besi roda dua, senyumnya sengaja ia tarik sambil melambaikan tangannya ke hadapanku. "Dah kamu ngepel dan nyapu aja di rumah!" pesannya saat Mas Arlan mulai menarik gas motor.Aku terdiam sejenak, terdengar melekat di telinga suara tawa Hesti saat beranjak ke dalam. Namun, aku tetap berdiri menunggu Mas Arlan yang
Aku tersenyum sambil mengangguk, Mas Arlan pun turun dari motornya."Ini serius, Nilam?" tanya Mas Arlan benar-benar terlihat tidak percaya."Aku serius, Mas Arlan yang paling tampan," godaku pada suami yang mulai mengedarkan pandangannya ke lantai atas, di sana sudah ada papa yang melambaikan tangannya."Itu Papa kamu kok ada di atas?" tanya Mas Arlan dengan wajah sedikit kaku."Ya iyalah Papa ada di atas, ini kan rumahnya, rumahmu juga, Mas, kan aku anak semata wayangnya," jelasku sekali lagi. Mas Arlan tampak bergidik, terlihat dari tangannya yang mengusap kasar leher belakang. Kelihatan dari tempatku berdiri, bulu kuduknya seperti merinding."Mas, emang rumahku ada hantunya ya? Kok kamu merinding? Bulumu terlihat berdiri loh itu," kataku sambil menunjuk ke arah leher juga lengannya yang memang kelihatan sekali saat bulu kuduk berdiri."Aku kaget sekaligus tegang, Nilam. Takut juga jika rumahmu sebesar ini," jawab Mas Arlan menambah rasa penasaranku."Maksud kamu gimana, Mas?" tan
"Secepat itu, Pah?" tanyaku padanya."Belum, malam ini baru ada jadwal ketemu dengan saudara Bu Desti asal dari Lampung." Mas Arlan kembali menautkan kedua alisnya, lalu membasahi bibirnya."Emm, maaf, Pah, apa itu Tante Dian dan Om Khalil?" tanya Mas Arlan langsung menebak. Sebab Om dan tantenya sore ini memang berencana ke Jakarta."Ya, betul, mereka ke Jakarta karena Papa yang suruh, dan bertepatan dengan pernikahan adikmu," jawab papa."Sebenarnya Om juga mau bahas soal kakak kamu, Arlan," sambung Om Farhan sambil menyentuh bahu suamiku.Mas Arlan tersenyum. "Sebenarnya bukannya saya sok suci, Om. Meskipun kami saudara, tapi rasanya tidak etis kalau saya ikut campur dalam rumah tangganya, soal perselingkuhan Mas Gerry, sejujurnya saya sudah tahu, tapi memilih diam," terang Mas Arlan membuatku terkejut. Ia tidak pernah cerita padaku tentang hal ini, sebegitu rapatnya suamiku menyimpan aib saudaranya, begitu tidak inginnya suamiku ikut campur urusan orang lain meskipun kakaknya send
"Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me
Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s
"Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik
"Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal
Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,
"Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo
"Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng
"Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus