Aku tersenyum sambil mengangguk, Mas Arlan pun turun dari motornya.
"Ini serius, Nilam?" tanya Mas Arlan benar-benar terlihat tidak percaya.
"Aku serius, Mas Arlan yang paling tampan," godaku pada suami yang mulai mengedarkan pandangannya ke lantai atas, di sana sudah ada papa yang melambaikan tangannya.
"Itu Papa kamu kok ada di atas?" tanya Mas Arlan dengan wajah sedikit kaku.
"Ya iyalah Papa ada di atas, ini kan rumahnya, rumahmu juga, Mas, kan aku anak semata wayangnya," jelasku sekali lagi.
Mas Arlan tampak bergidik, terlihat dari tangannya yang mengusap kasar leher belakang. Kelihatan dari tempatku berdiri, bulu kuduknya seperti merinding.
"Mas, emang rumahku ada hantunya ya? Kok kamu merinding? Bulumu terlihat berdiri loh itu," kataku sambil menunjuk ke arah leher juga lengannya yang memang kelihatan sekali saat bulu kuduk berdiri.
"Aku kaget sekaligus tegang, Nilam. Takut juga jika rumahmu sebesar ini," jawab Mas Arlan menambah rasa penasaranku.
"Maksud kamu gimana, Mas?" tanyaku menyelidik.
"Aku takut mencintaimu, Nilam, khawatir saat aku sudah amat sayang tahu-tahu hanya dipermainkan," celetuk Mas Arlan.
Aku tertawa mendengarnya, lalu menarik kedua telapak tangan Mas Arlan dan meletakkannya di atas dada ini.
"Pegang jantungku, Mas, kalau kamu minta pun akan kuberikan," jawabku singkat. "Jujur, aku sangat kagum dengan kepribadianmu, jadi takkan mungkin mempermainkan dirimu, Mas," tambahku lagi.
Hening, Mas Arlan tampak diam, sesekali ia menghela napas dan mengembuskan sambil menutup sedikit wajahnya.
"Lalu kalau boleh tahu apa tujuanmu menutupi jati diri keluarga?" tanya Mas Arlan masih diselimuti rasa penasaran.
Aku langsung menarik tangannya dan masuk setelah melihat satpam membuka garasi dengan sangat lebar.
"Motorku, Nilam!" teriak Mas Arlan sambil menoleh ke belakang.
"Gampang, nanti Pak Supri yang masukin," jawabku dengan posisi tangan bergelayut di lengan suami.
Kaki Mas Arlan melangkah tapi matanya berkeliling ke seluruh sudut rumah. Aku melihat betapa terkejutnya Mas Arlan melihat ke dalam. Kolam ikan yang berada di taman depan membuat suasana rumah semakin menakjubkan. Ditambah melewati parkiran mobil yang sudah terparkir lebih dari lima merk termasuk Alphard sebagai mobil keluarga saat kami jalan-jalan.
Mbok Sumi membuka pintu lebar-lebar, Mas Arlan membuka sandalnya ke dalam, ia ingat di rumahnya yang harus membuka sandal ketika masuk ke dalam.
"Mas, sandalnya pakai aja," suruhku ketika melihat suami melepaskan sandalnya.
"Kotor, Sayang, kan tadi abis hujan," jawab Mas Arlan.
"Sudah tugas yang bersih-bersih lah, Mas, mereka kan digaji untuk membersihkan," timpalku membuat Mas Arlan tersenyum paksa.
Kami melanjutkan langkah ke lantai atas dengan menapaki tangga. Mas Arlan masih menyorot sudut ruangan rumah, bahkan langkahnya terhenti ketika ada foto yang menempel di dinding. Ia perhatikan fotonya untuk meyakinkan dirinya bahwa ini adalah kekayaan yang nyata, bukan rumah sewaan atau pun rumah orang yang sengaja diakui.
"Jadi ini serius ya, Nilam? Kamu benar-benar anak sultan, masyaallah, aku benar-benar minder," ungkapnya saat menapaki anak tangga.
"Aku cinta kamu apa adanya, Mas. Meskipun ipar dan mertua tidak menyukaiku, yang penting itu kan kepribadian Mas Arlan yang benar-benar bijaksana," jawabku sambil terus bergelayut di lengannya.
"Aku malu, punya saudara dan mama yang selalu menghina kamu, padahal orang yang dihina derajatnya melebihi mereka berkali lipat, ini kah maksudnya kalian merahasiakan ini semua?" tanya Mas Arlan mulai tahu bahwa kami memang sengaja melakukan ini hanya karena ingin melihat wujud asli orang terdekat Mas Arlan. Semua dinilai dengan hartanya, semua diukur dengan yang dimiliki. Bahkan mereka menyingkirkan adab hanya karena ingin merendahkan orang lain yang tidak memiliki apa-apa.
Papa melambaikan tangan di taman atas bersama mama dan Om Farhan. Kolam renang yang ada di lantai atas membuat Mas Arlan kembali terperangah menyaksikan semuanya.
Mereka sudah menyambut kami dengan berdiri. Mas Arlan sontak meraih punggung tangan kedua orang tuaku dan juga Om Farhan.
"Kok lama, Lan?" tanya papaku, Ruslan Aryadi.
"I-itu, Pah, tadi antar Mama ke pasar dulu," jawab Mas Arlan terbata-bata.
"Silakan duduk, Lan," suruh mamaku menyusul bicara, Mama Ayumi yang selalu mendukung keputusan anaknya.
Mas Arlan duduk sambil menundukkan kepalanya seraya menunjukkan kesopanan. Ia lebih banyak diam sambil menunduk malu.
"Ah nggak seru deh kalau kamu seperti ini," ejekku sengaja.
"Sayang, aku malu, ini mertuaku orang kaya raya, aku ini orang rendah yang kuliah saja nggak lulus," jawab Mas Arlan pelan, ia hanya berbisik di telingaku.
Om Farhan mengeluarkan suara seraya mengejekku. Namun, setelah itu ia terlihat duduk agak tegak dengan tangan menyanggah di atas meja.
"Arlan, saya ini bos nya Gerry loh, kakak kamu," terang Om Farhan membuat mata Mas Arlan tak berkedip. Sesekali ia menatapku dengan wajah datar.
"Oh ya, Om. Ini yang kemarin jadi perdebatan kakak ipar saya, maafkan keluarga saya ya, Om. Mereka memang ... ah sudahlah tidak baik membicarakan orang lain," ujar Mas Arlan yang memang kurang menyukai membicarakan orang lain, siapa pun itu.
Kedua orang tuaku saling menatap, mereka berdua berdecak kagum melihat sikap Mas Arlan. Aku pun mengangkat kedua alis seraya menunjukkan isyarat pada kedua orang tuaku. "Ini loh suamiku, Mah, Pah, memang hatinya itu selembut sutra, ah pokoknya dia benar-benar ngegemesin," celetukku sambil mencubit pipi suami.
"Bagus sih, Arlan seperti ini, jadi bisa kontrol istrinya yang kadang bawel, emosional, dan apa lagi ya, Pah jeleknya Nilam?" ejek mama membuat suasana yang menurut Mas Arlan tadi menegangkan kini berubah mencair. Kami tertawa lepas mendengarkan ejekan mama.
Minuman mulai datang, beberapa cemilan pun disuguhkan untuk kami. Mbok Sumi sempat menawarkan cemilan lain, tapi Mas Arlan menolak.
Obrolan pun masih terasa datar, sebab Mas Arlan masih belum bisa beradaptasi di rumah ini. Rumah dimana aku tinggal sejak kecil dan sudah beberapa bulan aku tinggalkan karena harus ikut dengan suami.
"Nilam, Om bisa bicara sebentar," ajak Om Farhan sambil berdiri.
Aku pun pamit dengan Mas Arlan untuk bicara sebentar dengan Om Farhan.
Kami menjauh dari orang tua dan suamiku, Om Farhan menarik lembut tanganku ke sebelah kiri kolam renang.
"Nilam, bagaimana mau bicarakan tentang Gerry kalau suamimu tidak menyukai ghibah," ucap Om Farhan.
"Hu um, pasti Mas Arlan melarang ikut campur, Om. Memang ada apa dengan Mas Gerry?" tanyaku pada Om Farhan.
"Om cuma mau kasih tahu nanti malam mereka akan bertemu di apartemen milik Calista, di Apartemen Pandawa nomor 147," jawab Om Farhan.
Aku hanya mengangguk sambil mengamati Mas Arlan dari kejauhan, lalu Om Farhan menyudahi pembicaraan, ia jalan lebih dulu ke tempat kami semula ngobrol. Namun, tiba-tiba aku terpeleset dan nyebur ke kolam renang.
Om Farhan aku kedipkan ketika aku muncul dari air. Ia paham dengan bahasa isyarat yang kuberikan.
"Arlan, tolong Nilam!" teriak Om Farhan. Mas Arlan pun lari dan berusaha menyelamatkanku. Padahal istrinya ini juara dalam berenang, tapi dalam kesempatan ini harus kugunakan untuk mendapatkan simpatik suamiku.
Mas Arlan membopong bobot ini dengan tergopoh-gopoh. Lalu menyandarkan ke pinggir. Kami basah dan lepek, jadi harus salin baju.
Akhirnya aku mendapatkan perhatian lagi dari Mas Arlan.
Aku dan Mas Arlan pamit pulang setelah ganti pakaian. Sebab, sore ini ada saudara dari jauh yang hendak datang ke rumah. Katanya mau menyumbang untuk nikahan Hesti yang akan digelar sebulan lagi.
Pesan terakhir dari papa saat kami beranjak pulang adalah merahasiakan jati diriku dan keluarga dari keluarganya Mas Arlan.
"Bukan kami tidak mau jujur, Arlan, tapi sejujurnya ada rahasia yang belum kamu ketahui," kata papa membuatku mengernyit. Aku pun tidak tahu masalah rahasia itu, selain perselingkuhan dan korupsinya Mas Gerry, aku tidak tahu lagi rahasianya.
"Pah, ini tentang Mas Gerry kan? Mas Arlan tidak mau membicarakan orang lain," timpalku sengaja menerobos mereka yang sedang bicara.
"Bukan hal itu, Nilam, ini tentang Bu Desti, kan kamu kemarin nyuruh Papa cari tahu tentang Bu Desti ibu kandung Arlan atau bukan," terang papa membuat aku dan Mas Arlan saling beradu pandang.
Bersambung
"Secepat itu, Pah?" tanyaku padanya."Belum, malam ini baru ada jadwal ketemu dengan saudara Bu Desti asal dari Lampung." Mas Arlan kembali menautkan kedua alisnya, lalu membasahi bibirnya."Emm, maaf, Pah, apa itu Tante Dian dan Om Khalil?" tanya Mas Arlan langsung menebak. Sebab Om dan tantenya sore ini memang berencana ke Jakarta."Ya, betul, mereka ke Jakarta karena Papa yang suruh, dan bertepatan dengan pernikahan adikmu," jawab papa."Sebenarnya Om juga mau bahas soal kakak kamu, Arlan," sambung Om Farhan sambil menyentuh bahu suamiku.Mas Arlan tersenyum. "Sebenarnya bukannya saya sok suci, Om. Meskipun kami saudara, tapi rasanya tidak etis kalau saya ikut campur dalam rumah tangganya, soal perselingkuhan Mas Gerry, sejujurnya saya sudah tahu, tapi memilih diam," terang Mas Arlan membuatku terkejut. Ia tidak pernah cerita padaku tentang hal ini, sebegitu rapatnya suamiku menyimpan aib saudaranya, begitu tidak inginnya suamiku ikut campur urusan orang lain meskipun kakaknya send
Mbak Dila terlihat memutar matanya, respon saat aku menyebutkan tempat meeting di apartemen membuatnya sedikit menyipit."Berempat kan, Mas, meetingnya? Jadi nggak masalah mau meeting di apartemen, rumah sakit, itu sama saja yang terpenting kan tidak berdua," ungkap Mbak Dila."Iya, aku meeting berempat kok, semuanya laki-laki, nggak mungkin kan kami berempat berbuat tidak baik, kami laki-laki normal," jawab Mas Gerry.Aku tersenyum sambil berusaha santai menanggapi mereka berdua. Sebab, aku tahu mereka itu sebenarnya panik, hanya saja saling menutupi kecemasannya.Mata Mbak Dila mulai menyorotku penuh. "Kenapa kamu bisa tahu Mas Gerry meeting di apartemen, aku malah jadi curiga denganmu, Nilam. Jangan-jangan kamu ada hati pada Mas Gerry, sampai segitunya mencari tahu tempat di mana meeting," tukas Mbak Dila membuatku menggelengkan kepala.Aku menghela napas panjang sambil disertai tawa yang menutupi mulut ini. Namun, wajah Mas Arlan yang menatapku secara diam-diam telah menghentikan
"Kamu video call dengan siapa, Nilam? Nggak sopan sekali, sedang diajak ngobrol malah nelpon orang!" celetuk Mbak Dila masih saja banyak bertanya. Padahal tadi dia sendiri yang minta penjelasan.Aku tunjukkan ponsel ke hadapan Mbak Dila yang sedang penasaran. "Nih, aku sedang hubungi orang yang sangat berpengaruh di perusahaan. Kalau Mbak mau tahu aku tahu dari siapa, ini orangnya!" Aku masih dalam sambungan video call yang belum diangkat juga dengan Om Farhan.Mata Mbak Dila membulat saat melihat foto profil yang tentu ia kenal. Bos besar di perusahaan suaminya, Mas Gerry."Kenal dari mana kamu, Nilam? Pak Farhan itu pemilik sekaligus direktur utama di perusahaan Mas Gerry," tutur Mbak Dila lagi, sekarang pertanyaannya bukan lagi tahu dari mana, justru malah menyudut ke arah ingin tahu lebih dalam."Aku rasa itu bukan urusan Mbak Dila, jangan bertanya yang tidak terkait dengan urusan Mbak. Tadi kan awalnya hanya ingin tahu tentang meeting suamimu, kan?" Aku bicara dengan nada memben
Mas Arlan terdiam saat Om Khalil menanyakan hal yang rentan membuat hati mencelos. Bagaimana tidak, setahuku sikap Mama Desti yang pilih kasih itu memang selalu terlihat. Bahkan setelah papanya meninggal dunia sangat ditonjolkan."Dibandingkan sikapnya oleh Mama itu manusiawi, Om. Apalagi mengingat memang Mas Gerry lebih pintar dan berpenghasilan lebih dari aku," ungkap Mas Arlan."Tapi kan penghasilan kamu kecil karena tidak lulus sarjana, Mas, kamu bela-belain nggak ngelanjutin kuliah demi Mas Gerry," sambungku terpaksa ikutan bicara, karena mulut ini sudah berasa gatal ingin mengungkapkan yang menjanggal di hati.Mas Arlan membasahi bibirnya, sedangkan Om Khalil menatap kami satu persatu."Berati Mbak Desti menunjukkan sekali ya kalau ...." Om Khalil hampir bicara tapi tiba-tiba saja mama mertuaku datang dengan mulut terkatup seakan marah.Ia duduk di tengah-tengah kami berempat. Kemudian matanya ia edarkan ke arahku dengan mata membulat."Nilam! Kamu bicara apa dengan Dila tadi?"
"Bongkar apa, Tante?" tanya Mas Arlan yang mendengar ucapan tantenya."Apa sih, Dian, sana kamu kalau sudah tidak ada urusan lagi di sini pergi aja!" suruh Mama Desti kasar.Tangan Om Khalil menarik pergelangan tangan mama mertuaku, mereka tidak jadi bicara pada kami semua. Namun, hal inilah yang membuat Mas Arlan jadi semakin penasaran. Om Khalil dan Tante Dian menghentakkan kakinya ke mobil Ayla yang ia bawa, mereka ke sini dengan menggunakan mobil saudara dari Om Khalil yang bertempat tinggal di Jakarta, makanya kedua saudara Mas Arlan ini singgah ke sini setelah mendarat di Jakarta. "Kalian mau ke mana? Dila dan Mama mau bicara!" teriak mama ketika aku naik menunggangi motor yang sudah distarter oleh Mas Arlan."Assalamualaikum, Mah. Kami pergi jalan-jalan malam mingguan dulu, pusing di rumah," ucap Mas Arlan membuatku ingin tertawa. Tumben sekali ia berkata seperti itu pada mamanya. "Bye Mbak Dila, malam mingguan dong kayak kami," ejekku ketika Mas Arlan sudah mulai melaju, ta
Om Khalil menghela napas dalam-dalam. Lalu ia kembali duduk di kursinya untuk menuang air putih dan meneguknya."Hubungan dengan Mama Desti dan anak kembarnya ini ada kaitannya dengan pertanyaan kenapa kamu ada di tengah-tengah antara Gerry dan Hesti," jawab Om Khalil lagi-lagi belum menemukan jawaban darinya."Om, saya benar-benar butuh penjelasannya, tolong jelaskan," pinta Mas Arlan.Papa menepuk bahuku lalu mengedipkan matanya ke arah Mas Arlan. "Tolong tenangkan Arlan dulu," bisik papa.Akhirnya aku mengelus bahu mas Arlan dan menyuruhnya tenang. Ia membalas genggaman tanganku dengan lembut, aku yang melihatnya ikut prihatin tapi sedikit tenang juga karena ternyata mertuaku itu bukan mertua kandung."Baiklah, jadi Mbak Desti melahirkan anak kembar yaitu Gerry dan Derry, tapi Derry meninggal dunia di saat papamu sedang mendampingi ibumu melahirkan, yaitu melahirkan kamu," jelas Om Khalil.Suasana pun tiba-tiba menjadi haru. Mas Arlan duduk menyandar sambil menutup mulutnya."Dan M
"Apa kamu tahu rumah Mbok Nur, Mas?" tanyaku padanya. "Aku nggak tahu, saat itu umurku masih terlalu kecil. Tapi, aku tahu Mbok Nur sering main ke rumah tetangga di sini, persisnya seorang ibu rumah tangga juga, namanya Mbok Marni, ia masih kerja di rumah Bu Ines, pokoknya besok kita ke sana," ucap Mas Arlan dengan antusias, ia sangat bersemangat setelah menemukan satu jalan keluar.Ia menyuruhku tidur dengan menarik selimut yang sudah turun ke kaki. Lalu memejamkan mata sambil berpelukan. Posisi tidurnya berada tepat di bahuku.Kukecup pipinya sebelum ia terlelap, ada senyum yang ia sunggingkan ketika aku menciumnya. "Bukannya lagi haid, ya?" tanya Mas Arlan yang tiba-tiba membuka matanya."Iya, barusan keluar haid pas ke kamar mandi, memang kenapa, Mas?" tanyaku."Iya, tadi Mas lihat di kamar mandi ada pembalut," jawabnya membuatku mengerutkan dahi."Terus kenapa tanya lagi?" tanyaku balik."Barusan kamu cium aku, Sayang, jadi kupikir ngajakin," timpalnya membuatku tertawa lepas sa
Surat dibuka oleh Mas Arlan, dengan posisi duduk di teras rumah Mbok Nur. Aku sengaja berada di sebelah Mas Arlan supaya bisa menenangkan jika itu surat berisikan tentang masa lalunya.[Mbok kemarin ke rumahmu, tapi kata mamamu kamu sudah tidak tinggal di rumah, sudah diusir, benarkah itu Arlan? Kalau benar, berati dia dzolim. Mbok nulis surat hanya ingin mengatakan, bahwa almarhumah ibumu sangat baik, meskipun nggak pernah ketemu, papamu yang ceritakan pada Mbok. Namanya Kinan Septianingsih Binti Hari Purnama. Cari saja di pemakaman pondok kelapa, sengaja dijauhkan dengan makam papamu yang ada di Lampiri. Mbok yakin kamu akan cari Mbok, karena mamamu, Bu Desti kemarin bilang bahwa kamu sudah tahu semuanya makanya diusir. Di bawah Mbok kasih denah dimana mama kandungmu dimakamkan.]Isi suratnya membuatku menautkan kedua alis. Berati kemarin saat aku dan Mas Arlan keluar rumah, ia datang untuk menanyakan kabar Mas Arlan. Namun, mama mertuaku dengan sengaja bilang bahwa Mas Arlan sudah