"Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal
"Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik
Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s
"Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me
"Mas, nanti ganti mobil ya, aku ingin mobil honda jazz," celetuk Mbak Dila pada suaminya di hadapanku dan Mas Arlan. Bibirnya bicara tapi matanya melirik ke arah kami, apa maksudnya? Pamer?"Iya, Sayang, besok kita ganti mobil, apa sih yang nggak buat kamu," timpal Mas Gerry, kakak dari suamiku.Kemudian, gara-gara mendengar Mbak Dila minta mobil baru, mertuaku muncul dari kamarnya. Lalu ikut nimbrung bicara di ruang keluarga. Ya, kami sedang berkumpul bersama karena adik Mas Arlan yang bungsu akan dilamar. Kebetulan mereka juga membeli rumah di depan mertua persis."Kamu mau beli mobil baru, Gerry. Kapan itu? Uang kamu banyak ya ternyata, pasti karena Dila pandai mengatur keuangan rumah tangga. Nggak seperti Nilam, yang kerjaannya belanja online terus," sindir mertua tunggalku, namanya Desti. Aku tinggal bersamanya makanya ia tahu bahwa aku sering belanja online. Mas Arlan terdiam, tapi tangannya mencekal pergelangan tanganku. Kemudian membawa diri ini ke kamar. Sepanjang jalan mele
Aku terdiam sejenak sambil mengukir senyuman, betapa beruntungnya aku memiliki seorang ayah seperti papa.Tiba-tiba saja ingatanku mengulang kata-kata Mas Arlan yang bilang bahwa menurut tetangga, dirinya bukan anak kandung Mama Desti. "Emm, Pah, aku boleh minta tolong satu lagi?" tanyaku lebih dulu."Apa, Sayang?" tanya balik papa. Kemudian, kaki ini aku turunkan ke bawah dan beranjak ke ujung jendela, pembicaraan ini sangat rahasia, jadi aku takut Mas Arlan mendengar obrolan kami.Aku berdiri berada di depan jendela persis, menyandar dan berdiri dengan santai."Pah, menurut sependengaranku, Mas Arlan itu bukan anak kandung Mama Desti, bisakah Papa cari tahu tentang hal ini? Aku tuh memang merasa perbedaan antara Mas Gerry dan Mas Arlan. Mama bedain banget," ungkapku masih berada di sudut jendela tapi mata ini tetap mengawasi Mas Arlan. "Kok bisa gitu? Coba nanti Papa cari tahu melalui Om Farhan selaku bos nya Gerry," jawab papa.Mas Gerry itu kerja di perusahaan milik adiknya papa
Aku bangkit dan segera merampas ponsel genggam yang dipegang Mbak Dila."Ini ponselku, Mbak. Jangan lancang seperti itu dong jadi orang! Aku punya privasi!" sentakku sambil mematikan panggilan telepon dari Om Farhan. Sebab, ini bukan waktu yang tepat untuk mengangkat telepon darinya."Aku heran, kok bisa kamu punya kontak WhatsApp bos besar suamiku?" Mbak Dila sangat yakin bahwa Om Farhan yang di ponselku adalah bos dari suaminya. Aku terdiam seketika, memutar bola mata sambil berpikir alasan apa yang akan kubuat untuk mengelak. Namun, belum sempat aku menyanggah tuduhan dari Mbak Dila, ia sudah bereaksi seperti menemukan jawabannya. "Emm, Aku tahu sekarang," celetuknya sambil mengangguk. "Awas kamu Nilam, akan aku bilang pada Mama Desti, ini tak bisa dibiarkan," ancam Mbak Dila sambil menunjuk dengan jari telunjuknya. Namun, kakinya melangkah ke arah kamar sang mama mertua. Aku yang tidak tahu apa tujuannya Mbak Dila ke kamar mertua pun mengernyitkan dahi, tapi kugunakan kesempata
"Apa itu masalah korupsi, Om? Apakah sudah terbukti catatan keuangannya?" Aku bertanya dengan sederet pertanyaan. Tangan ini juga menjalar ke perekam percakapan untuk aku simpan sebagai cadangan bukti nantinya."Licin untuk membuktikan Gerry, tapi ternyata di balik pintarnya kakak iparmu menutupi keuangan saat audit itu ada wanita di belakangnya," timpal Om Farhan membuatku terkejut, kini posisiku berdiri tegak seraya penasaran dengan apa yang beliau katakan. "Menarik sekali, Om, ada wanita lain di belakangnya, wah ini buah dari karmanya Mbak Dila dong yang menuduhku tadi," kataku dengan semangat. Jelas ini kabar baik untukku, sebab orang yang sering julid padaku ternyata kena omongannya sendiri. Barusaja aku disebut wanita murahan, ternyata suaminya sendiri ada main gila dengan wanita lain. "Ya, kami sedang berdiskusi dengan team, karena wanita yang berada di belakang ini semua sangat berpengaruh di kantor yang Om punya, saat ini sahamnya 35 persen di perusahaan ini," jawab Om Farh
"Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me
Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s
"Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik
"Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal
Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,
"Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo
"Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng
"Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus