"Apa itu masalah korupsi, Om? Apakah sudah terbukti catatan keuangannya?" Aku bertanya dengan sederet pertanyaan. Tangan ini juga menjalar ke perekam percakapan untuk aku simpan sebagai cadangan bukti nantinya.
"Licin untuk membuktikan Gerry, tapi ternyata di balik pintarnya kakak iparmu menutupi keuangan saat audit itu ada wanita di belakangnya," timpal Om Farhan membuatku terkejut, kini posisiku berdiri tegak seraya penasaran dengan apa yang beliau katakan.
"Menarik sekali, Om, ada wanita lain di belakangnya, wah ini buah dari karmanya Mbak Dila dong yang menuduhku tadi," kataku dengan semangat. Jelas ini kabar baik untukku, sebab orang yang sering julid padaku ternyata kena omongannya sendiri. Barusaja aku disebut wanita murahan, ternyata suaminya sendiri ada main gila dengan wanita lain.
"Ya, kami sedang berdiskusi dengan team, karena wanita yang berada di belakang ini semua sangat berpengaruh di kantor yang Om punya, saat ini sahamnya 35 persen di perusahaan ini," jawab Om Farhan menjelaskan sedikit tapi mudah aku pahami.
Aku terdiam seketika, sepertinya tidak mungkin juga bicara tentang semua masalah melalui sambungan telepon. Ini malah bisa membahayakan diri sendiri, bisa jadi mereka yang di luar kamar mendengarkan percakapan kami.
"Emm, Om, besok aku ke rumah Papa, kira bertemu di sana ya, Om. Pagi sekitar pukul sembilan," ucapku menentukan janji.
"Baiklah, ponakan Om yang paling cantik, besok kita ketemu," timpalnya lagi. Kemudian telepon pun terputus setelah kami berdua berpamitan dengan saling mengucapkan salam.
Aku duduk kembali, lalu merebahkan tubuh ini sejenak sambil menunggu perut lapar untuk makan siang nanti.
Sebenarnya aku ingin sekali keluar rumah untuk makan-makan di mall, menghabiskan saldo rekening, tapi apa boleh buat, Mas Arlan belum mengizinkan aku pergi sendirian tanpa ditemani olehnya.
Aku menikah dengan Mas Arlan karena memang jatuh cinta dengan kepribadiannya, bukan merasa dibutakan oleh cinta, tapi kepribadian baik yang ia punya memang patut diidam-idamkan, kasih sayangnya yang kadang membuat hati ini terbuai pun takkan pernah tergantikan. Aku senyam-senyum sendiri jika mengenang semua perlakuan Mas Arlan terhadapku. Namun, saat ini, terlintas kata-kata Om Farhan tentang rahasia Mas Gerry di kantor.
"Mas Gerry membelikan Mbak Dila mobil baru meskipun kredit, berati untuk menutupi perselingkuhannya, sedangkan Mbak Dila, dengan percaya dirinya mengatakan bahwa karena sayang. Huh, kalau bukan sedang bersandiwara, sudah aku sindir di muka Mbak Dila," ucapku bicara sendirian di atas ranjang.
Mataku terasa lengket, lalu menguap karena sulit menahan rasa kantuk yang melanda. Akhirnya aku ketiduran hingga terdengar adzan dzuhur dari arah mushola dekat rumah.
Aku turun dari ranjang untuk segera berwudhu, setelah itu barulah aku makan siang.
Setengah jam kemudian, aku pun keluar kamar untuk makan siang di meja makan. Rambut yang terurai aku ikat lebih dulu, lalu melangkahkan kaki ke meja makan.
"Sepi sekali, pada ke mana ini orang? Hesti dan Mama Desti kenapa pergi tidak pamit?" tanyaku sendirian sambil mengamati seisi ruangan. Memang sepi sekali, sepertinya mereka pergi ke rumah Mbak Dila.
Aku buka penutup saji, betapa terkejutnya melihat meja makan yang tidak ada isinya. Lauk yang kumasak tidak ada satu pun terpampang di meja, nasi pun tidak ada.
"Mereka sembunyikan di mana nasi dan lauk? Astaga, ini mertua dan ipar kenapa seperti genderuwo yang menyembunyikan anak-anak," gerutuku sendirian sambil duduk dengan tangan berada di atas meja.
Mereka pikir aku akan teriak-teriak jika tidak ada makanan? Ini era digital, aku tak mungkin selemah itu, tidak ada makanan nangis dan minta ngerengek.
Aku raih ponsel yang selalu kubawa, lalu mengusap dan menuju aplikasi online warna hijau khusus pengantar makanan.
Setelah dua puluh menit kemudian, bel rumah berbunyi, pasti dari ojek online yang membawa makanan untukku. Tanpa membuang waktu, kuayunkan kaki ini dan menuju teras rumah.
Aku sudah membayar dengan uang cash, tiba-tiba Mbak Dila keluar bersama Mama Desti dan Hesti. "Uang haram itu, Pak. Jangan mau terima!" teriak Mbak Dila membuat ojek online yang barusan terima uang dariku terdiam.
"Jangan dengarkan orang gila ngomong, Pak, dia itu stress gara-gara suaminya selingkuh. Lihat saja bentar lagi dia juga ada di jalanan sambil teriak teriak, kenapa suamiku selingkuh," ejekku dengan sengaja. Dada ini sudah amat geram dengan pola yang ditunjukkan Mbak Dila, ia sudah amat keterlaluan.
Kemudian ojek online tersebut pergi, sedangkan Mbak Dila yang mendengarkan celotehan aku tadi membuka pintu gerbangnya. Wajahnya memerah seraya keluar tanduk dari kedua pelipisnya. Langkah kakinya sangat cepat untuk mengejarku yang sudah menutup gerbang dan hendak masuk ke dalam.
Suara gerbang menjerit terdengar memekikkan telingaku, namun langkah ini tetap tertuju ke meja makan.
"Stop, Nilam!" teriak Mbak Dila, tapi aku tak peduli.
"Stop, Nilam, kamu harus mempertanggungjawabkan ucapanmu barusan, wanita liar!" umpat Mbak Dila membuatku menurunkan bahu sambil menghela napas.
Aku menghentikan langkah yang sudah terayun. Lalu membalikkan badan dan berhadapan dengan wanita yang mulutnya tidak pernah dikoreksi itu. Lengan baju aku angkat ke atas seraya menantang. Tangan sebelah kiri yang sudah memegang ayam geprek sudah siap menghantam mulutnya memakai sambal yang masih utuh di dalamnya.
"Mau apa lagi? Hah! Aku lapar, Mbak. Nggak ada waktu dan energi untuk berdebat denganmu," cetusku masih bisa mengontrol emosi, padahal darah ini sudah cukup mendidih, dan tangan sudah siap meladeninya.
"Tadi kamu bilang aku diselingkuhi? Maksud kamu itu apa?" tanya Mbak Dila dengan nada lantang. Kemudian, Mama Desti dan Hesti menyusulnya, kini mereka ada di belakang Mbak Dila.
"Kamu itu kalau punya mulut dijaga, Nilam! Mana mungkin anak kesayangan Mama selingkuh, Gerry nggak mungkin selingkuh," susul Mama Desti menyeruak kerusuhan ini.
Aku membasahi bibir dengan sedikit ludah disertai senyuman manisku.
"Haruskah aku jawab?" tanyaku balik.
"Ya harus lah, kamu itu nggak punya bukti, fitnah namanya," sanggah Mbak Dila membuatku semakin tertawa.
"Lalu apa bedanya Mbak Dila tadi? Hah! Aku difitnah selingkuh dengan om-om hanya karena ada panggilan masuk," timpalku juga.
"Itu bukti namanya, kalau kamu? Hanya menuduh tanpa bukti!" teriak Mbak Dila dengan amat marah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia benar-benar tahu perselingkuhan Mas Gerry, apa wanita itu benar-benar gila nantinya?
"Aku juga punya bukti kok, kalau Mas Gerry itu punya selingkuhan," timpalku kini dengan menurunkan nada. Emosiku juga sudah reda saat ingin bicara padanya bahwa aku pun memiliki bukti bahwa suaminya itu selingkuh.
Mata ketiga orang yang berada di hadapanku membuka seketika, bahkan mereka tidak mampu mengedipkan matanya.
Bersambung
"Mana buktinya, coba tunjukkan pada kami," pinta Mama Desti. Aku menyunggingkan senyuman miring, lalu menarik alis ke atas seraya merasa menang, sebab aku sempat merekam obrolan dengan Om Farhan tadi. Namun, ketika aku ingin menunjukkan bukti rekaman suara obrolan melalui sambungan telepon tadi, suara deru motor terdengar tepat di garasi rumah. Wajah mertuaku seketika mengembang, mereka bertiga yang tadinya tegang berhamburan ke depan. Aku pun ikut penasaran siapa yang baru saja datang hingga mereka bahagia seperti itu.Aku intip dari dalam, ternyata Mas Arlan pulang, aku keheranan melihatnya, kenapa ia tidak bilang bahwa hari ini pulang lebih cepat? Papa juga nggak bilang tentang hal ini."Nah kan, akhirnya kamu pulang juga, Arlan, ini waktu tepat sekali," ucap Mama Desti. Tangannya merangkul Mas Arlan yang kulihat murung. Ternyata mamanya dan Mbak Dila telah mengadu yang membuat Mas Arlan pulang lebih cepat. "Aku belum bisa percaya kalau Nilam selingkuh," kata Mas Arlan sambil me
Mulut ini sudah menganga, sudah siap untuk mengutarakan pada Mas Arlan mengenai siapa Om Farhan. Namun, pintu kamar diketuk oleh Mama Desti. Ketukan itu sangat keras seraya sedang menggedor-gedor maling.Mas Arlan menghela napas sambil menurunkan bahunya, lalu ia bangkit. "Sebentar, nanti kita lanjutkan," pesannya sambil melangkah untuk membuka pintunya. Aku mengawasi dari ranjang. Mas Arlan membuka pintunya dengan lebar.Mama Desti bersama Mbak Dila berdiri di depan pintu dengan mata celingukan ke dalam. Aku yakin mereka menginginkan kami bertengkar lalu cerai."Sudah ketahuan kan istrimu yang selingkuh? Tapi dia malah memutar balikkan fakta, bilang bahwa Mas Gerry yang selingkuh, ini fakta Arlan," ucap Mbak Dila terus menerus mengotori pikiran Mas Arlan. Mulutnya bicara tapi matanya terus menyelidiki aku yang ada di ranjang."Tolong kalian keluar ya, ini urusan rumah tangga kami," celetuk Mas Arlan.Aku menyunggingkan senyuman menyorot Mbak Dila, lidahku pun sengaja aku julurkan se
Tiba-tiba Hesti muncul, ia sudah mengeluarkan motornya, Honda Scoopy yang ia beli dari hasilnya bekerja. "Ayo, Mah, sama aku aja, biarin aja mereka pada nggak berbakti, durhaka," katanya sambil menyalakan mesin motor.Mas Arlan menghela napas berat, kemudian ia menarik pergelangan tangan sang mama."Ayo naik, aku yang anter," ajak Mas Arlan akhirnya mengalah. Hesti mendorong motornya lagi ke parkiran, sepertinya memang sengaja melakukan hal ini, memancing suamiku untuk mengantarkan Mama Desti.Mas Arlan berbisik padaku, "Sabar ya, aku nggak lama kok." Kalau ia sudah memohon, luluh sudah hati ini tak bisa melarang meskipun dalam hati ini ada rasa kesal.Mama menunggangi kuda besi roda dua, senyumnya sengaja ia tarik sambil melambaikan tangannya ke hadapanku. "Dah kamu ngepel dan nyapu aja di rumah!" pesannya saat Mas Arlan mulai menarik gas motor.Aku terdiam sejenak, terdengar melekat di telinga suara tawa Hesti saat beranjak ke dalam. Namun, aku tetap berdiri menunggu Mas Arlan yang
Aku tersenyum sambil mengangguk, Mas Arlan pun turun dari motornya."Ini serius, Nilam?" tanya Mas Arlan benar-benar terlihat tidak percaya."Aku serius, Mas Arlan yang paling tampan," godaku pada suami yang mulai mengedarkan pandangannya ke lantai atas, di sana sudah ada papa yang melambaikan tangannya."Itu Papa kamu kok ada di atas?" tanya Mas Arlan dengan wajah sedikit kaku."Ya iyalah Papa ada di atas, ini kan rumahnya, rumahmu juga, Mas, kan aku anak semata wayangnya," jelasku sekali lagi. Mas Arlan tampak bergidik, terlihat dari tangannya yang mengusap kasar leher belakang. Kelihatan dari tempatku berdiri, bulu kuduknya seperti merinding."Mas, emang rumahku ada hantunya ya? Kok kamu merinding? Bulumu terlihat berdiri loh itu," kataku sambil menunjuk ke arah leher juga lengannya yang memang kelihatan sekali saat bulu kuduk berdiri."Aku kaget sekaligus tegang, Nilam. Takut juga jika rumahmu sebesar ini," jawab Mas Arlan menambah rasa penasaranku."Maksud kamu gimana, Mas?" tan
"Secepat itu, Pah?" tanyaku padanya."Belum, malam ini baru ada jadwal ketemu dengan saudara Bu Desti asal dari Lampung." Mas Arlan kembali menautkan kedua alisnya, lalu membasahi bibirnya."Emm, maaf, Pah, apa itu Tante Dian dan Om Khalil?" tanya Mas Arlan langsung menebak. Sebab Om dan tantenya sore ini memang berencana ke Jakarta."Ya, betul, mereka ke Jakarta karena Papa yang suruh, dan bertepatan dengan pernikahan adikmu," jawab papa."Sebenarnya Om juga mau bahas soal kakak kamu, Arlan," sambung Om Farhan sambil menyentuh bahu suamiku.Mas Arlan tersenyum. "Sebenarnya bukannya saya sok suci, Om. Meskipun kami saudara, tapi rasanya tidak etis kalau saya ikut campur dalam rumah tangganya, soal perselingkuhan Mas Gerry, sejujurnya saya sudah tahu, tapi memilih diam," terang Mas Arlan membuatku terkejut. Ia tidak pernah cerita padaku tentang hal ini, sebegitu rapatnya suamiku menyimpan aib saudaranya, begitu tidak inginnya suamiku ikut campur urusan orang lain meskipun kakaknya send
Mbak Dila terlihat memutar matanya, respon saat aku menyebutkan tempat meeting di apartemen membuatnya sedikit menyipit."Berempat kan, Mas, meetingnya? Jadi nggak masalah mau meeting di apartemen, rumah sakit, itu sama saja yang terpenting kan tidak berdua," ungkap Mbak Dila."Iya, aku meeting berempat kok, semuanya laki-laki, nggak mungkin kan kami berempat berbuat tidak baik, kami laki-laki normal," jawab Mas Gerry.Aku tersenyum sambil berusaha santai menanggapi mereka berdua. Sebab, aku tahu mereka itu sebenarnya panik, hanya saja saling menutupi kecemasannya.Mata Mbak Dila mulai menyorotku penuh. "Kenapa kamu bisa tahu Mas Gerry meeting di apartemen, aku malah jadi curiga denganmu, Nilam. Jangan-jangan kamu ada hati pada Mas Gerry, sampai segitunya mencari tahu tempat di mana meeting," tukas Mbak Dila membuatku menggelengkan kepala.Aku menghela napas panjang sambil disertai tawa yang menutupi mulut ini. Namun, wajah Mas Arlan yang menatapku secara diam-diam telah menghentikan
"Kamu video call dengan siapa, Nilam? Nggak sopan sekali, sedang diajak ngobrol malah nelpon orang!" celetuk Mbak Dila masih saja banyak bertanya. Padahal tadi dia sendiri yang minta penjelasan.Aku tunjukkan ponsel ke hadapan Mbak Dila yang sedang penasaran. "Nih, aku sedang hubungi orang yang sangat berpengaruh di perusahaan. Kalau Mbak mau tahu aku tahu dari siapa, ini orangnya!" Aku masih dalam sambungan video call yang belum diangkat juga dengan Om Farhan.Mata Mbak Dila membulat saat melihat foto profil yang tentu ia kenal. Bos besar di perusahaan suaminya, Mas Gerry."Kenal dari mana kamu, Nilam? Pak Farhan itu pemilik sekaligus direktur utama di perusahaan Mas Gerry," tutur Mbak Dila lagi, sekarang pertanyaannya bukan lagi tahu dari mana, justru malah menyudut ke arah ingin tahu lebih dalam."Aku rasa itu bukan urusan Mbak Dila, jangan bertanya yang tidak terkait dengan urusan Mbak. Tadi kan awalnya hanya ingin tahu tentang meeting suamimu, kan?" Aku bicara dengan nada memben
Mas Arlan terdiam saat Om Khalil menanyakan hal yang rentan membuat hati mencelos. Bagaimana tidak, setahuku sikap Mama Desti yang pilih kasih itu memang selalu terlihat. Bahkan setelah papanya meninggal dunia sangat ditonjolkan."Dibandingkan sikapnya oleh Mama itu manusiawi, Om. Apalagi mengingat memang Mas Gerry lebih pintar dan berpenghasilan lebih dari aku," ungkap Mas Arlan."Tapi kan penghasilan kamu kecil karena tidak lulus sarjana, Mas, kamu bela-belain nggak ngelanjutin kuliah demi Mas Gerry," sambungku terpaksa ikutan bicara, karena mulut ini sudah berasa gatal ingin mengungkapkan yang menjanggal di hati.Mas Arlan membasahi bibirnya, sedangkan Om Khalil menatap kami satu persatu."Berati Mbak Desti menunjukkan sekali ya kalau ...." Om Khalil hampir bicara tapi tiba-tiba saja mama mertuaku datang dengan mulut terkatup seakan marah.Ia duduk di tengah-tengah kami berempat. Kemudian matanya ia edarkan ke arahku dengan mata membulat."Nilam! Kamu bicara apa dengan Dila tadi?"
"Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me
Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s
"Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik
"Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal
Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,
"Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo
"Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng
"Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus