"Mana buktinya, coba tunjukkan pada kami," pinta Mama Desti.
Aku menyunggingkan senyuman miring, lalu menarik alis ke atas seraya merasa menang, sebab aku sempat merekam obrolan dengan Om Farhan tadi. Namun, ketika aku ingin menunjukkan bukti rekaman suara obrolan melalui sambungan telepon tadi, suara deru motor terdengar tepat di garasi rumah.
Wajah mertuaku seketika mengembang, mereka bertiga yang tadinya tegang berhamburan ke depan. Aku pun ikut penasaran siapa yang baru saja datang hingga mereka bahagia seperti itu.
Aku intip dari dalam, ternyata Mas Arlan pulang, aku keheranan melihatnya, kenapa ia tidak bilang bahwa hari ini pulang lebih cepat? Papa juga nggak bilang tentang hal ini.
"Nah kan, akhirnya kamu pulang juga, Arlan, ini waktu tepat sekali," ucap Mama Desti. Tangannya merangkul Mas Arlan yang kulihat murung. Ternyata mamanya dan Mbak Dila telah mengadu yang membuat Mas Arlan pulang lebih cepat.
"Aku belum bisa percaya kalau Nilam selingkuh," kata Mas Arlan sambil mengayunkan kakinya ke dalam. Aku pun berlari ke ruang keluarga dan hendak pura-pura, ayam geprek yang kupesan pun belum sempat termakan, masih dibungkus dan dalam genggaman.
Suara langkah kaki mereka semakin terdengar. Sindiran pedas dari Mbak Dila pun mengiringi langkah mereka.
"Tuh istrimu yang selingkuh dengan om-om, malah balik fitnah Mas Gerry yang selingkuh, maksudnya apa coba? Punya istri begini mah karungin aja, Lan. Nggak ada gunanya, apa kamu nggak takut penyakit kelamin nantinya?" umpat Mbak Dila dengan segala tuduhan yang ia layangkan.
Aku hanya terdiam berdiri dengan santai. Melihat suamiku yang berdiri menatapku tajam, ada rasa kecewa terpancar di matanya saat ia menyorotku. Kulihat matanya berpindah ke arah Mbak Dila.
"Mbak, cukup laporan Mbak Dila ya, tak perlu memperkeruhnya. Terima kasih, dan biarkan aku selesaikan berdua Nilam saja," kata Mas Arlan. Itu artinya Mbak Dila sudah cerita masalah Om Farhan. Makanya Mas Arlan pulang cepat tanpa bilang-bilang.
Tangan mama mertuaku mencekal lengan Mas Arlan. "Lan, ceraikan saja istrimu, keluarganya nggak jelas. Mama takut kamu terinfeksi virus karena perbuatannya," usul mama. Seorang ibu yang baik tidak akan mengotori pikiran anak seperti itu tanpa disertai bukti yang kuat.
Aku terdiam, belum menyanggah segala tuduhan yang dilayangkan, sebab Mas Arlan sudah bilang akan selesaikan ini berdua.
Mas Arlan membuang tangannya yang digenggam sang mama, aku tahu ia tidak menuruti ucapan mamanya. "Terima kasih atas informasinya, Mah, tentang panggilan masuk yang Nilam terima, aku akan menyelesaikannya tanpa adanya kalian. Ini rumah tanggaku, jadi tidak mungkin diurus oleh kalian, terutama ...." Mata Mas Arlan berpindah lagi ke arah Mbak Dila. "Kamu, Mbak Dila," tambahnya lagi.
Mbak Dila langsung diam, ia menunduk seketika. Sedangkan Mas Arlan beranjak dan menggandeng tanganku ke dalam kamar.
Setibanya di kamar, ia mengunci pintunya. Aku masih digandeng oleh laki-laki bijak yang kukenal penyayang juga pendingin di kala emosiku meledak-ledak.
Mas Arlan tampak melepaskan jaket miliknya, lalu meletakkan di lemari. Setelah itu ia duduk di sebelahku yang berada di atas ranjang. Tangan ini masih menggenggam nasi dan ayam geprek yang belum sempat aku makan. Rasa lapar hilang seketika saat melihat suami datang dengan raut wajah tenggelam dalam kemarahan.
Namun, laki-laki yang sangat aku puja itu tidak langsung meluapkan kemarahannya. Aku terkejut ketika tangannya mengambil paksa makanan yang aku pegang, lalu membukanya.
Dadaku bergetar hebat, saat ini berpikir bahwa sambal yang pedas itu akan diolesi ke bibir ini sebagai hukuman, tapi yang aku bayangkan itu salah. Hal tak terduga terjadi, ia malah menyuapi aku dengan nasi yang kupesan melalui ojek online.
Suapan demi suapan ia berikan tanpa bicara, aku tahu ia sedang marah jika seperti ini. "Mas, aku tidak seperti itu," lirihku sambil mengunyah pelan.
Mas Arlan membasahi bibirnya, tapi tangannya tetap menyuapi aku dengan pelan. "Makan dulu, setelah itu barulah kita bicara, aku tahu kamu sedang menahan lapar," timpalnya membuatku terenyuh. Bijaksananya suamiku, meskipun diselimuti amarah, ia tetap menunaikan kewajibannya, yaitu memberikan pangan pada istrinya.
Sekitar lima kali suapan, aku menolaknya untuk melanjutkan melahap nasi yang ia pegang. "Aku sudah kenyang, Mas," ucapku sambil minum air putih yang selalu tersedia di meja samping tempat tidur kami.
Kemudian, Mas Arlan meletakkan kembali nasi itu ke meja, lalu izin ke kamar mandi sebentar untuk mencuci tangannya.
Aku menghela napas sebentar, menurunkan bahu yang sedari tadi menegang sambil mengusap dada ini. "Astaga, benar-benar kaget, ternyata Mas Arlan malah nyuapi aku dulu, ya Allah, bagaimana aku nggak bucin dengan perlakuannya yang hangat pada istri?" Aku bicara sendirian di kamar sambil menunggu Mas Arlan kembali.
Setelah tangannya bersih, Mas Arlan kembali duduk di sebelahku. Ia mulai bicara dengan meminta ponsel genggam milikku.
"Boleh pinjam handphonenya?" tanya Mas Arlan, aku pun memberikannya tanpa sanggahan.
Kemudian, Mas Arlan mengusap lembut layar ponselnya, ia membuka satu persatu dari panggilan masuk hingga chat W******p. Setelah lihat semuanya, ia kembalikan lagi ponsel kepadaku.
"Jadi Om Farhan itu siapanya kamu? Kalau aku lihat, kamu pun sempat menghubunginya balik," tanya Mas Arlan lembut tanpa menuduh bahkan mengumpat seperti yang dilakukan oleh Mbak Dila dan mamanya.
Aku terdiam, bingung mau ceritakan sekarang atau besok ketika ke rumah papa? Sedangkan hari ini aku sudah terhimpit masalah.
"Jadi kamu tidak mau cerita? Berati yang dikatakan Mama dan Mbak Dila itu benar adanya? Kamu nggak mau membela diri?" tanya Mas Arlan sekali lagi.
Aku pun menghela napas, sepertinya memang harus cerita sekarang pada Mas Arlan. Aku memulai dengan membasahi bibir ini dengan lidah seraya meredam ketegangan.
Bersambung
Mulut ini sudah menganga, sudah siap untuk mengutarakan pada Mas Arlan mengenai siapa Om Farhan. Namun, pintu kamar diketuk oleh Mama Desti. Ketukan itu sangat keras seraya sedang menggedor-gedor maling.Mas Arlan menghela napas sambil menurunkan bahunya, lalu ia bangkit. "Sebentar, nanti kita lanjutkan," pesannya sambil melangkah untuk membuka pintunya. Aku mengawasi dari ranjang. Mas Arlan membuka pintunya dengan lebar.Mama Desti bersama Mbak Dila berdiri di depan pintu dengan mata celingukan ke dalam. Aku yakin mereka menginginkan kami bertengkar lalu cerai."Sudah ketahuan kan istrimu yang selingkuh? Tapi dia malah memutar balikkan fakta, bilang bahwa Mas Gerry yang selingkuh, ini fakta Arlan," ucap Mbak Dila terus menerus mengotori pikiran Mas Arlan. Mulutnya bicara tapi matanya terus menyelidiki aku yang ada di ranjang."Tolong kalian keluar ya, ini urusan rumah tangga kami," celetuk Mas Arlan.Aku menyunggingkan senyuman menyorot Mbak Dila, lidahku pun sengaja aku julurkan se
Tiba-tiba Hesti muncul, ia sudah mengeluarkan motornya, Honda Scoopy yang ia beli dari hasilnya bekerja. "Ayo, Mah, sama aku aja, biarin aja mereka pada nggak berbakti, durhaka," katanya sambil menyalakan mesin motor.Mas Arlan menghela napas berat, kemudian ia menarik pergelangan tangan sang mama."Ayo naik, aku yang anter," ajak Mas Arlan akhirnya mengalah. Hesti mendorong motornya lagi ke parkiran, sepertinya memang sengaja melakukan hal ini, memancing suamiku untuk mengantarkan Mama Desti.Mas Arlan berbisik padaku, "Sabar ya, aku nggak lama kok." Kalau ia sudah memohon, luluh sudah hati ini tak bisa melarang meskipun dalam hati ini ada rasa kesal.Mama menunggangi kuda besi roda dua, senyumnya sengaja ia tarik sambil melambaikan tangannya ke hadapanku. "Dah kamu ngepel dan nyapu aja di rumah!" pesannya saat Mas Arlan mulai menarik gas motor.Aku terdiam sejenak, terdengar melekat di telinga suara tawa Hesti saat beranjak ke dalam. Namun, aku tetap berdiri menunggu Mas Arlan yang
Aku tersenyum sambil mengangguk, Mas Arlan pun turun dari motornya."Ini serius, Nilam?" tanya Mas Arlan benar-benar terlihat tidak percaya."Aku serius, Mas Arlan yang paling tampan," godaku pada suami yang mulai mengedarkan pandangannya ke lantai atas, di sana sudah ada papa yang melambaikan tangannya."Itu Papa kamu kok ada di atas?" tanya Mas Arlan dengan wajah sedikit kaku."Ya iyalah Papa ada di atas, ini kan rumahnya, rumahmu juga, Mas, kan aku anak semata wayangnya," jelasku sekali lagi. Mas Arlan tampak bergidik, terlihat dari tangannya yang mengusap kasar leher belakang. Kelihatan dari tempatku berdiri, bulu kuduknya seperti merinding."Mas, emang rumahku ada hantunya ya? Kok kamu merinding? Bulumu terlihat berdiri loh itu," kataku sambil menunjuk ke arah leher juga lengannya yang memang kelihatan sekali saat bulu kuduk berdiri."Aku kaget sekaligus tegang, Nilam. Takut juga jika rumahmu sebesar ini," jawab Mas Arlan menambah rasa penasaranku."Maksud kamu gimana, Mas?" tan
"Secepat itu, Pah?" tanyaku padanya."Belum, malam ini baru ada jadwal ketemu dengan saudara Bu Desti asal dari Lampung." Mas Arlan kembali menautkan kedua alisnya, lalu membasahi bibirnya."Emm, maaf, Pah, apa itu Tante Dian dan Om Khalil?" tanya Mas Arlan langsung menebak. Sebab Om dan tantenya sore ini memang berencana ke Jakarta."Ya, betul, mereka ke Jakarta karena Papa yang suruh, dan bertepatan dengan pernikahan adikmu," jawab papa."Sebenarnya Om juga mau bahas soal kakak kamu, Arlan," sambung Om Farhan sambil menyentuh bahu suamiku.Mas Arlan tersenyum. "Sebenarnya bukannya saya sok suci, Om. Meskipun kami saudara, tapi rasanya tidak etis kalau saya ikut campur dalam rumah tangganya, soal perselingkuhan Mas Gerry, sejujurnya saya sudah tahu, tapi memilih diam," terang Mas Arlan membuatku terkejut. Ia tidak pernah cerita padaku tentang hal ini, sebegitu rapatnya suamiku menyimpan aib saudaranya, begitu tidak inginnya suamiku ikut campur urusan orang lain meskipun kakaknya send
Mbak Dila terlihat memutar matanya, respon saat aku menyebutkan tempat meeting di apartemen membuatnya sedikit menyipit."Berempat kan, Mas, meetingnya? Jadi nggak masalah mau meeting di apartemen, rumah sakit, itu sama saja yang terpenting kan tidak berdua," ungkap Mbak Dila."Iya, aku meeting berempat kok, semuanya laki-laki, nggak mungkin kan kami berempat berbuat tidak baik, kami laki-laki normal," jawab Mas Gerry.Aku tersenyum sambil berusaha santai menanggapi mereka berdua. Sebab, aku tahu mereka itu sebenarnya panik, hanya saja saling menutupi kecemasannya.Mata Mbak Dila mulai menyorotku penuh. "Kenapa kamu bisa tahu Mas Gerry meeting di apartemen, aku malah jadi curiga denganmu, Nilam. Jangan-jangan kamu ada hati pada Mas Gerry, sampai segitunya mencari tahu tempat di mana meeting," tukas Mbak Dila membuatku menggelengkan kepala.Aku menghela napas panjang sambil disertai tawa yang menutupi mulut ini. Namun, wajah Mas Arlan yang menatapku secara diam-diam telah menghentikan
"Kamu video call dengan siapa, Nilam? Nggak sopan sekali, sedang diajak ngobrol malah nelpon orang!" celetuk Mbak Dila masih saja banyak bertanya. Padahal tadi dia sendiri yang minta penjelasan.Aku tunjukkan ponsel ke hadapan Mbak Dila yang sedang penasaran. "Nih, aku sedang hubungi orang yang sangat berpengaruh di perusahaan. Kalau Mbak mau tahu aku tahu dari siapa, ini orangnya!" Aku masih dalam sambungan video call yang belum diangkat juga dengan Om Farhan.Mata Mbak Dila membulat saat melihat foto profil yang tentu ia kenal. Bos besar di perusahaan suaminya, Mas Gerry."Kenal dari mana kamu, Nilam? Pak Farhan itu pemilik sekaligus direktur utama di perusahaan Mas Gerry," tutur Mbak Dila lagi, sekarang pertanyaannya bukan lagi tahu dari mana, justru malah menyudut ke arah ingin tahu lebih dalam."Aku rasa itu bukan urusan Mbak Dila, jangan bertanya yang tidak terkait dengan urusan Mbak. Tadi kan awalnya hanya ingin tahu tentang meeting suamimu, kan?" Aku bicara dengan nada memben
Mas Arlan terdiam saat Om Khalil menanyakan hal yang rentan membuat hati mencelos. Bagaimana tidak, setahuku sikap Mama Desti yang pilih kasih itu memang selalu terlihat. Bahkan setelah papanya meninggal dunia sangat ditonjolkan."Dibandingkan sikapnya oleh Mama itu manusiawi, Om. Apalagi mengingat memang Mas Gerry lebih pintar dan berpenghasilan lebih dari aku," ungkap Mas Arlan."Tapi kan penghasilan kamu kecil karena tidak lulus sarjana, Mas, kamu bela-belain nggak ngelanjutin kuliah demi Mas Gerry," sambungku terpaksa ikutan bicara, karena mulut ini sudah berasa gatal ingin mengungkapkan yang menjanggal di hati.Mas Arlan membasahi bibirnya, sedangkan Om Khalil menatap kami satu persatu."Berati Mbak Desti menunjukkan sekali ya kalau ...." Om Khalil hampir bicara tapi tiba-tiba saja mama mertuaku datang dengan mulut terkatup seakan marah.Ia duduk di tengah-tengah kami berempat. Kemudian matanya ia edarkan ke arahku dengan mata membulat."Nilam! Kamu bicara apa dengan Dila tadi?"
"Bongkar apa, Tante?" tanya Mas Arlan yang mendengar ucapan tantenya."Apa sih, Dian, sana kamu kalau sudah tidak ada urusan lagi di sini pergi aja!" suruh Mama Desti kasar.Tangan Om Khalil menarik pergelangan tangan mama mertuaku, mereka tidak jadi bicara pada kami semua. Namun, hal inilah yang membuat Mas Arlan jadi semakin penasaran. Om Khalil dan Tante Dian menghentakkan kakinya ke mobil Ayla yang ia bawa, mereka ke sini dengan menggunakan mobil saudara dari Om Khalil yang bertempat tinggal di Jakarta, makanya kedua saudara Mas Arlan ini singgah ke sini setelah mendarat di Jakarta. "Kalian mau ke mana? Dila dan Mama mau bicara!" teriak mama ketika aku naik menunggangi motor yang sudah distarter oleh Mas Arlan."Assalamualaikum, Mah. Kami pergi jalan-jalan malam mingguan dulu, pusing di rumah," ucap Mas Arlan membuatku ingin tertawa. Tumben sekali ia berkata seperti itu pada mamanya. "Bye Mbak Dila, malam mingguan dong kayak kami," ejekku ketika Mas Arlan sudah mulai melaju, ta