Share

Sombong

Mulut ini sudah menganga, sudah siap untuk mengutarakan pada Mas Arlan mengenai siapa Om Farhan. Namun, pintu kamar diketuk oleh Mama Desti. Ketukan itu sangat keras seraya sedang menggedor-gedor maling.

Mas Arlan menghela napas sambil menurunkan bahunya, lalu ia bangkit. "Sebentar, nanti kita lanjutkan," pesannya sambil melangkah untuk membuka pintunya. 

Aku mengawasi dari ranjang. Mas Arlan membuka pintunya dengan lebar.

Mama Desti bersama Mbak Dila berdiri di depan pintu dengan mata celingukan ke dalam. Aku yakin mereka menginginkan kami bertengkar lalu cerai.

"Sudah ketahuan kan istrimu yang selingkuh? Tapi dia malah memutar balikkan fakta, bilang bahwa Mas Gerry yang selingkuh, ini fakta Arlan," ucap Mbak Dila terus menerus mengotori pikiran Mas Arlan. Mulutnya bicara tapi matanya terus menyelidiki aku yang ada di ranjang.

"Tolong kalian keluar ya, ini urusan rumah tangga kami," celetuk Mas Arlan.

Aku menyunggingkan senyuman menyorot Mbak Dila, lidahku pun sengaja aku julurkan seakan mengejeknya. Aku sangat puas dengan jawaban Mas Arlan, ia tetap tidak menjatuhkan martabat istrinya di hadapan siapa pun.

"Kamu bicara gitu pada iparmu, Arlan, Mama tidak menyukai itu. Kami berdua hanya prihatin dengan perbuatan yang dilakukan Nilam pada kamu, nggak lebih, tidak ada maksud ikut campur urusanmu," sambung mama mertuaku seakan membela Mbak Dila, mereka berlagak suci tidak ikut campur, padahal yang dilakukannya bukan hanya turut campur, mereka sudah menghasut.

"Mah, tolong izinkan kami menyelesaikan berdua, kalian tidak perlu ikut campur, kalau sudah tidak ada yang dibicarakan, pintu ini akan kututup!" tegas Mas Arlan.

Lidahku semakin puas mengejek Mbak Dila yang sedari tadi menautkan bibirnya dan menyoroti dengan mata menyipit.

Bruk! Pintu ditutup kembali oleh Mas Arlan tanpa mendengarkan mereka bicara lagi. Ke kamar hanya untuk menghasut, tentu Mas Arlan tahu sendiri mana yang benar dan mana yang salah dari gelagat mereka.

Suamiku duduk kembali, dengan helaan napas ia menyuruhku untuk menjelaskannya kembali.

"Silakan, aku percaya padamu, tapi butuh penjelasan juga supaya mereka tidak lagi berkutik," kata Mas Arlan.

"Baiklah, aku akan jelaskan, bahwa Om Farhan itu adalah Om aku, atau adik dari Papa," jawabku dengan singkat, jelas, dan padat.

Mata Mas Arlan membulat begitu mendengar penuturanku. Ia menyorotku penuh, berkali-kali ia menunjukkan respon kebingungan di hadapanku.

"Jadi ...." Mas Arlan tampak kesulitan menganalisa ucapanku. Tangannya memegang pelipis seraya menunjukkan rasa tak percaya.

"Kamu nggak percaya?" tanyaku dengan alis terangkat.

"Bukan tidak percaya, aku hanya bingung. Itu artinya kamu bohongi aku?" tanya Mas Arlan. Ia percaya, tapi tidak suka dibohongi mengenai hal ini.

"Aku tidak minta kamu percaya, Mas. Hanya saja, penjelasan ini kamu yang pinta," jawabku datar.

Hening, tiba-tiba suasana hening. Entah apa yang sedang Mas Arlan pikirkan. Ia hanya terduduk sambil memegang pelipisnya, beberapa kali ia sempat menoleh tanpa bicara. 

"Apa itu artinya ada rahasia selain ini?" tanyanya sambil melepaskan tangannya. Kini ia duduk dengan kaki diangkat ke atas ranjang.

"Rahasia itu akan dijelaskan besok oleh papaku di rumah, tolong sabar ya, Mas," pintaku padanya. 

Kemudian, aku raih telapak tangan Mas Arlan, lalu menggenggamnya dan meletakkan di atas dada ini.

"Di sini, di dada ini, ada hati yang begitu tulus mencintaimu, Mas, jadi takkan aku coreng dengan perselingkuhan," ucapku sambil terus menatap matanya. "Dan kuharap, kamu juga seperti itu," tambahku lagi.

Di ruangan yang lumayan besar, tidak ada suara selain kami berdua. Ranjang yang menjadi saksi hubungan kami yang selalu harmonis, ini kali pertamanya bertengkar, itu pun karena fitnah belaka.

"Aku takkan mungkin selingkuh, Nilam. Tapi, aku juga tidak mau hidup berumah tangga dengan kebohongan, aku ingin kejujuran," terang Mas Arlan membuatku sedikit tersenyum.

"Percayalah, Mas, besok akan dijelaskan oleh papa semuanya," jawabku. "Sekarang, kita keluar yuk, bilang sama mama kamu bahwa itu hanya salah paham," sambungku.

"Iya aku akan bilang bahwa bos nya Mas Gerry adalah Om kamu, gitu kan?" tanya Mas Arlan.

"Nggak usah, kamu nggak usah bilang pada mereka, orang yang membenciku takkan percaya itu, Mas," jawabku.

Kata papaku, jika ada yang benci kita, mereka takkan percaya dengan omongan kita sekalipun itu benar. Pun sebaliknya, orang yang menyayangi kita sebenarnya tak membutuhkan penjelasan apa-apa.

Mas Arlan terdiam, ia tidak menjawab apa-apa.

"Baiklah, tapi bolehkah aku tahu kenapa tadi Mbak Dila bilang bahwa kamu menuduh Mas Gerry selingkuh?" tanya Mas Arlan.

Aku mengubah posisi, lalu merangkul suami, rasanya bahagia sekali ketika orang yang kita sayangi sangat mempercayai ucapan kita.

"Oh itu, kata Om Farhan, Mas Gerry itu punya selingkuhan," sahutku.

Mas Arlan langsung menutup mulutku dengan satu jari telunjuk. "Kamu jangan ikut campur masalah orang ya. Ini masalah intern mereka, Mas pinta jangan sampai mereka menyalahkan kamu sebagai kambing hitam," perintah Mas Arlan.

"Tapi, Mas, itu kan kenyataan," timpalku sambil menyingkirkan jari telunjuk yang menutup mulut ini.

"Sekali pun itu benar, namanya ghibah, dan kamu jadi adu domba antar mereka, biarkan Mbak Dila tahu dengan sendirinya, aku nggak mau kamu jadi banyak dosa, tolong ya, tidak perlu ikut campur lagi urusan mereka," pinta Mas Arlan sekali lagi.

Aku menghela napas, suamiku terlalu baik, tidak mau istrinya membalas semua perbuatan kakak iparnya.

Akhirnya kami sama-sama menyepakati. Aku setuju untuk tidak ikut campur bahkan memberikan bukti perselingkuhan Mas Gerry pada Mbak Dila, dan Mas Arlan pun sepakat untuk diam mengenai Om Farhan.

"Oke, deal ya, kita sepakat untuk saling jaga rahasia," kataku sambil mengajak Mas Arlan beradu telapak tangan.

***

Pagi telah mengeluarkan sinarnya, kami bersiap untuk ke rumah papa bertemu janji juga dengan Om Farhan. Kami berdua keluar sudah mengenakan jaket dan helm. Mama mertuaku tiba-tiba menarik lengan Mas Arlan.

"Antar Mama ke pasar," pintanya pada Mas Arlan.

"Sama Mas Gerry ya, Mah. Kan sama-sama libur," kata Mas Arlan menolak.

Mama Desti cemberut, ia tidak mau menerima itu semua. Tangannya dilipat lalu diletakkan di atas dadanya sambil mendengus kesal.

"Anak durhaka gitu, lebih mentingin istrinya, padahal jelas-jelas kemarin kedapatan nelpon laki-laki lain," celetuk Mama Desti.

"Mah, masalah laki-laki itu sudah kami selesaikan, tolong jangan dibahas. Masalah durhaka, baru kali ini aku tidak bisa antar Mama, biasanya juga kan aku," jawab Mas Arlan.

Tiba-tiba saja Mbak Dila mendorong garasinya. Sepertinya mereka mau pergi dengan menggunakan mobil.

"Nah, itu Mbak Dila mau pergi, Mah. Coba minta anterin aja dulu ke pasar," cetusku sengaja memberikan ide.

"Ah nggak, kalau ke pasar mah becek, nanti mobilku kotor, belum lagi lecet," jawab Mbak Dila membuatku ingin tertawa. Baru mobil Honda Jazz saja sudah bertingkah. Bagaimana kalau ia tahu aku punya mobil Alphard?

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Eriyana helman
mantap saya suka cerita nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status