"Kamu video call dengan siapa, Nilam? Nggak sopan sekali, sedang diajak ngobrol malah nelpon orang!" celetuk Mbak Dila masih saja banyak bertanya. Padahal tadi dia sendiri yang minta penjelasan.Aku tunjukkan ponsel ke hadapan Mbak Dila yang sedang penasaran. "Nih, aku sedang hubungi orang yang sangat berpengaruh di perusahaan. Kalau Mbak mau tahu aku tahu dari siapa, ini orangnya!" Aku masih dalam sambungan video call yang belum diangkat juga dengan Om Farhan.Mata Mbak Dila membulat saat melihat foto profil yang tentu ia kenal. Bos besar di perusahaan suaminya, Mas Gerry."Kenal dari mana kamu, Nilam? Pak Farhan itu pemilik sekaligus direktur utama di perusahaan Mas Gerry," tutur Mbak Dila lagi, sekarang pertanyaannya bukan lagi tahu dari mana, justru malah menyudut ke arah ingin tahu lebih dalam."Aku rasa itu bukan urusan Mbak Dila, jangan bertanya yang tidak terkait dengan urusan Mbak. Tadi kan awalnya hanya ingin tahu tentang meeting suamimu, kan?" Aku bicara dengan nada memben
Mas Arlan terdiam saat Om Khalil menanyakan hal yang rentan membuat hati mencelos. Bagaimana tidak, setahuku sikap Mama Desti yang pilih kasih itu memang selalu terlihat. Bahkan setelah papanya meninggal dunia sangat ditonjolkan."Dibandingkan sikapnya oleh Mama itu manusiawi, Om. Apalagi mengingat memang Mas Gerry lebih pintar dan berpenghasilan lebih dari aku," ungkap Mas Arlan."Tapi kan penghasilan kamu kecil karena tidak lulus sarjana, Mas, kamu bela-belain nggak ngelanjutin kuliah demi Mas Gerry," sambungku terpaksa ikutan bicara, karena mulut ini sudah berasa gatal ingin mengungkapkan yang menjanggal di hati.Mas Arlan membasahi bibirnya, sedangkan Om Khalil menatap kami satu persatu."Berati Mbak Desti menunjukkan sekali ya kalau ...." Om Khalil hampir bicara tapi tiba-tiba saja mama mertuaku datang dengan mulut terkatup seakan marah.Ia duduk di tengah-tengah kami berempat. Kemudian matanya ia edarkan ke arahku dengan mata membulat."Nilam! Kamu bicara apa dengan Dila tadi?"
"Bongkar apa, Tante?" tanya Mas Arlan yang mendengar ucapan tantenya."Apa sih, Dian, sana kamu kalau sudah tidak ada urusan lagi di sini pergi aja!" suruh Mama Desti kasar.Tangan Om Khalil menarik pergelangan tangan mama mertuaku, mereka tidak jadi bicara pada kami semua. Namun, hal inilah yang membuat Mas Arlan jadi semakin penasaran. Om Khalil dan Tante Dian menghentakkan kakinya ke mobil Ayla yang ia bawa, mereka ke sini dengan menggunakan mobil saudara dari Om Khalil yang bertempat tinggal di Jakarta, makanya kedua saudara Mas Arlan ini singgah ke sini setelah mendarat di Jakarta. "Kalian mau ke mana? Dila dan Mama mau bicara!" teriak mama ketika aku naik menunggangi motor yang sudah distarter oleh Mas Arlan."Assalamualaikum, Mah. Kami pergi jalan-jalan malam mingguan dulu, pusing di rumah," ucap Mas Arlan membuatku ingin tertawa. Tumben sekali ia berkata seperti itu pada mamanya. "Bye Mbak Dila, malam mingguan dong kayak kami," ejekku ketika Mas Arlan sudah mulai melaju, ta
Om Khalil menghela napas dalam-dalam. Lalu ia kembali duduk di kursinya untuk menuang air putih dan meneguknya."Hubungan dengan Mama Desti dan anak kembarnya ini ada kaitannya dengan pertanyaan kenapa kamu ada di tengah-tengah antara Gerry dan Hesti," jawab Om Khalil lagi-lagi belum menemukan jawaban darinya."Om, saya benar-benar butuh penjelasannya, tolong jelaskan," pinta Mas Arlan.Papa menepuk bahuku lalu mengedipkan matanya ke arah Mas Arlan. "Tolong tenangkan Arlan dulu," bisik papa.Akhirnya aku mengelus bahu mas Arlan dan menyuruhnya tenang. Ia membalas genggaman tanganku dengan lembut, aku yang melihatnya ikut prihatin tapi sedikit tenang juga karena ternyata mertuaku itu bukan mertua kandung."Baiklah, jadi Mbak Desti melahirkan anak kembar yaitu Gerry dan Derry, tapi Derry meninggal dunia di saat papamu sedang mendampingi ibumu melahirkan, yaitu melahirkan kamu," jelas Om Khalil.Suasana pun tiba-tiba menjadi haru. Mas Arlan duduk menyandar sambil menutup mulutnya."Dan M
"Apa kamu tahu rumah Mbok Nur, Mas?" tanyaku padanya. "Aku nggak tahu, saat itu umurku masih terlalu kecil. Tapi, aku tahu Mbok Nur sering main ke rumah tetangga di sini, persisnya seorang ibu rumah tangga juga, namanya Mbok Marni, ia masih kerja di rumah Bu Ines, pokoknya besok kita ke sana," ucap Mas Arlan dengan antusias, ia sangat bersemangat setelah menemukan satu jalan keluar.Ia menyuruhku tidur dengan menarik selimut yang sudah turun ke kaki. Lalu memejamkan mata sambil berpelukan. Posisi tidurnya berada tepat di bahuku.Kukecup pipinya sebelum ia terlelap, ada senyum yang ia sunggingkan ketika aku menciumnya. "Bukannya lagi haid, ya?" tanya Mas Arlan yang tiba-tiba membuka matanya."Iya, barusan keluar haid pas ke kamar mandi, memang kenapa, Mas?" tanyaku."Iya, tadi Mas lihat di kamar mandi ada pembalut," jawabnya membuatku mengerutkan dahi."Terus kenapa tanya lagi?" tanyaku balik."Barusan kamu cium aku, Sayang, jadi kupikir ngajakin," timpalnya membuatku tertawa lepas sa
Surat dibuka oleh Mas Arlan, dengan posisi duduk di teras rumah Mbok Nur. Aku sengaja berada di sebelah Mas Arlan supaya bisa menenangkan jika itu surat berisikan tentang masa lalunya.[Mbok kemarin ke rumahmu, tapi kata mamamu kamu sudah tidak tinggal di rumah, sudah diusir, benarkah itu Arlan? Kalau benar, berati dia dzolim. Mbok nulis surat hanya ingin mengatakan, bahwa almarhumah ibumu sangat baik, meskipun nggak pernah ketemu, papamu yang ceritakan pada Mbok. Namanya Kinan Septianingsih Binti Hari Purnama. Cari saja di pemakaman pondok kelapa, sengaja dijauhkan dengan makam papamu yang ada di Lampiri. Mbok yakin kamu akan cari Mbok, karena mamamu, Bu Desti kemarin bilang bahwa kamu sudah tahu semuanya makanya diusir. Di bawah Mbok kasih denah dimana mama kandungmu dimakamkan.]Isi suratnya membuatku menautkan kedua alis. Berati kemarin saat aku dan Mas Arlan keluar rumah, ia datang untuk menanyakan kabar Mas Arlan. Namun, mama mertuaku dengan sengaja bilang bahwa Mas Arlan sudah
"Maksud kamu apa, Arlan?" tanya Mama Desti penasaran. Bukan hanya dia, Dila pun turut menggandeng mama mertuaku karena rasa penasarannya, bahkan ia sampai berbisik pada sang mama yang kedengaran jelas di telingaku."Kok tiba-tiba Arlan jadi beringas?" bisik Mbak Dila, ia penasaran dengan sikap Mas Arlan yang berubah."Ayo, Nilam, kita masuk ke kamar, kita kemasi barang-barang!" ajak Mas Arlan tanpa menghiraukan pertanyaan dari mamanya. Sepertinya ia sudah mulai membuka hatinya, karena sejak kecil memang sudah ditindas oleh Mama Desti."Tunggu Arlan. Kalian itu mau ke mana?" tanya Mama Desti. "Kalau Mama salah, maaf ya," ucap mertuaku penuh iba. Rasanya sedikit aneh tiba-tiba ia tidak meninggi malah minta maaf. Mama menarik pergelangan tangan Mas Arlan, kulihat di sudut matanya ada air mata yang sepertinya sengaja dikeluarkan."Mah, aku hanya ingin tahu dari mulut Mama, kenapa selalu membedakan aku dan yang lainnya," ucap Mas Arlan padanya.Tiba-tiba wanita itu menarik ke dalam dan me
Aku tersenyum tipis, menautkan alis sambil berpikir keras. Kalau kata ancaman ini bisa kubuktikan dulu, tentu akan menguak semuanya. Sepertinya memang lebih baik aku pura-pura merasa terancam saja di hadapan mama mertua. "Bengong? Mikir apa kamu? Mikir mau bicara ke Arlan? Nggak ada bukti, Nilam, semua bukti sudah mati termasuk papanya Arlan," cetus mama mertua menambah rasa penasaranku. "Mama serius? Ini suatu kegilaan, kriminal," timpalku dengan nada rendah. Mataku sedikit menyipit menunjukkan seperti orang ketakutan. "Ya serius, gila biarlah gila, hati ini sudah teramat sakit dibuat kecewa oleh Kinan," timpal Mama Desti. Aku paham betul ia sakit karena dikhianati, tapi mamanya Mas Arlan pun tidak mengetahui bahwa menjadi selingkuhan suaminya. Tidak bisa disalahkan juga untuk hal seperti ini. Aku menurunkan bahu yang sedikit menegang. Cucian pun mulai aku masukan ke dalam mesin cuci, ya akhirnya aku pilih untuk melaksanakan tugas dari mama untuk mengelabuinya. "Sekarang, kamu