Surat dibuka oleh Mas Arlan, dengan posisi duduk di teras rumah Mbok Nur. Aku sengaja berada di sebelah Mas Arlan supaya bisa menenangkan jika itu surat berisikan tentang masa lalunya.[Mbok kemarin ke rumahmu, tapi kata mamamu kamu sudah tidak tinggal di rumah, sudah diusir, benarkah itu Arlan? Kalau benar, berati dia dzolim. Mbok nulis surat hanya ingin mengatakan, bahwa almarhumah ibumu sangat baik, meskipun nggak pernah ketemu, papamu yang ceritakan pada Mbok. Namanya Kinan Septianingsih Binti Hari Purnama. Cari saja di pemakaman pondok kelapa, sengaja dijauhkan dengan makam papamu yang ada di Lampiri. Mbok yakin kamu akan cari Mbok, karena mamamu, Bu Desti kemarin bilang bahwa kamu sudah tahu semuanya makanya diusir. Di bawah Mbok kasih denah dimana mama kandungmu dimakamkan.]Isi suratnya membuatku menautkan kedua alis. Berati kemarin saat aku dan Mas Arlan keluar rumah, ia datang untuk menanyakan kabar Mas Arlan. Namun, mama mertuaku dengan sengaja bilang bahwa Mas Arlan sudah
"Maksud kamu apa, Arlan?" tanya Mama Desti penasaran. Bukan hanya dia, Dila pun turut menggandeng mama mertuaku karena rasa penasarannya, bahkan ia sampai berbisik pada sang mama yang kedengaran jelas di telingaku."Kok tiba-tiba Arlan jadi beringas?" bisik Mbak Dila, ia penasaran dengan sikap Mas Arlan yang berubah."Ayo, Nilam, kita masuk ke kamar, kita kemasi barang-barang!" ajak Mas Arlan tanpa menghiraukan pertanyaan dari mamanya. Sepertinya ia sudah mulai membuka hatinya, karena sejak kecil memang sudah ditindas oleh Mama Desti."Tunggu Arlan. Kalian itu mau ke mana?" tanya Mama Desti. "Kalau Mama salah, maaf ya," ucap mertuaku penuh iba. Rasanya sedikit aneh tiba-tiba ia tidak meninggi malah minta maaf. Mama menarik pergelangan tangan Mas Arlan, kulihat di sudut matanya ada air mata yang sepertinya sengaja dikeluarkan."Mah, aku hanya ingin tahu dari mulut Mama, kenapa selalu membedakan aku dan yang lainnya," ucap Mas Arlan padanya.Tiba-tiba wanita itu menarik ke dalam dan me
Aku tersenyum tipis, menautkan alis sambil berpikir keras. Kalau kata ancaman ini bisa kubuktikan dulu, tentu akan menguak semuanya. Sepertinya memang lebih baik aku pura-pura merasa terancam saja di hadapan mama mertua. "Bengong? Mikir apa kamu? Mikir mau bicara ke Arlan? Nggak ada bukti, Nilam, semua bukti sudah mati termasuk papanya Arlan," cetus mama mertua menambah rasa penasaranku. "Mama serius? Ini suatu kegilaan, kriminal," timpalku dengan nada rendah. Mataku sedikit menyipit menunjukkan seperti orang ketakutan. "Ya serius, gila biarlah gila, hati ini sudah teramat sakit dibuat kecewa oleh Kinan," timpal Mama Desti. Aku paham betul ia sakit karena dikhianati, tapi mamanya Mas Arlan pun tidak mengetahui bahwa menjadi selingkuhan suaminya. Tidak bisa disalahkan juga untuk hal seperti ini. Aku menurunkan bahu yang sedikit menegang. Cucian pun mulai aku masukan ke dalam mesin cuci, ya akhirnya aku pilih untuk melaksanakan tugas dari mama untuk mengelabuinya. "Sekarang, kamu
"Ajak istrimu masuk, Arlan," suruh mama pelan. Namun, matanya terus menatapku tak berkedip. Jadi sebelum aku balik badan bersama Mas Arlan, telapak tangan ini sengaja aku perlihatkan pada Mama Desti, tulisan nama Rifat yang sebesar telapak tangan tentu terbaca olehnya. Mama merasa terancam akan hal ini, nama orang itu ancaman untuknya. Kali ini aku menggenggam rahasia, jadi mama takkan seenaknya lagi. "Ayo, Mas, kita ke kamar," ajakku sambil menarik tangannya. Mas Arlan tentu penasaran dengan sikap mamanya yang berubah. Namun, aku takkan memberitahu padanya dulu, ini demi semuanya, setelah memegang bukti, barulah aku akan bongkar semua, di hari yang sama saat aku hendak mengatakan bahwa aku ini anak dari pengusaha yang besar dan keponakan dari pemilik perusahaan sang anak kesayangan Mama Desti. Setibanya di kamar, Mas Arlan terus memaksa bahwa ada rahasia di balik ini semua. Akan tetapi, aku tetap berusaha menghindar dan menahan untuk jujur. Padahal tadinya sempat ingin mengatakan
"Dil, kamu salah paham," sanggah mama mertua. Ia menghampiri Mbak Dila yang matanya sudah memerah. "Mah, aku nggak tuli, aku dengar sendiri dari mulut Hesti, omongan Mama perihal Arlan anak selingkuhan papanya juga aku dengar, aku sengaja simak obrolan kalian, ternyata banyak rahasia yang disembunyikan," jelas Mbak Dila sambil menggelengkan kepalanya. Tanganku dicekal Mas Arlan, aku tahu ini adalah peringatan dari Mas Arlan untuk tidak ikut bicara. "Dila, kita bisa dengar penjelasan Gerry dulu, ya kan kata Hesti hanya makan malam, jadi Mama rasa Gerry tahu penjelasannya," timpal Mama Desti seakan melindungi Mas Gerry. Anehnya ia sakit hati diselingkuhi, tapi anaknya selingkuh pun dibela. Tling Suara pesan masuk tertuju dari Mbak Dila. Ia yang selalu memegang ponsel ke mana-mana pun melirik ke layar ponsel. Aku lihat dahinya mengkerut lalu mengusap layar ponselnya. Berselang detik kemudian, Mbak Dila menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah mama mertua. Mbak Dila menyerahkan p
Om Farhan memang sering begitu, sama seperti papaku. Ia sebelas dua belas memang. Tidak seperti Mas Arlan dan Mas Gerry yang sangat jauh berbeda. Dulu aku pikir mereka satu rahim tapi beda watak, ternyata memang mereka tidak satu ibu makanya sifatnya pun tidak sama. Aku ambil tas kemudian keluar rumah, berhubung sudah ditunggu jadi aku tidak pamit pada siapa pun. Namun tiba-tiba saja Hesti menghadangku, anak gadis yang akan menikah dalam waktu dekat itu baru bangun tidur. "Mau ke mana, Mbak? Kok rapi banget, dandanan Mbak kayak orang mau ke kantor?" Hesti jadi bertanya-tanya padaku. Ia menyoroti dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mungkin aneh dengan penampilanku yang biasanya memakai celana pendek dan kaos, kini memakai blazer dan celana. Aku membasahi bibir yang sudah merah, lalu menghadap ke arah Hesti. "Hes, Mbak mau keluar sebentar, tolong bilang Mama ya nanti," ucapku dengan sopan. Sebab, kata Mas Arlan, Hesti ini adiknya yang paling ia sayang. "Mbak udah pamit sama Mas Ar
Aku membasahi bibir, lama memperhatikan wajahnya, hingga akhirnya ia benar-benar menyuruh masuk ke mobil belakang. Sudah ada sopir yang siap meluncur. Rifat yang usianya sepantaran Om Farhan itu masuk dan duduk di kursi sebelahku. "Jalan," suruhnya dengan lugas. Di dalam mobil sangat hening, aku hanya terdiam karena tahu ia adalah pembunuh berdarah dingin. Pihak keluarga tidak ada yang tahu pembunuhan yang dilakukan olehnya, tentu ini sangat rapi, dan bisa juga terjadi padaku. "Kamu mau ikut campur urusan saya? Gitu kan maksudnya?" tanya Rifat sambil menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi. "Nggak, siapa yang ikut campur, saya hanya orang miskin yang tinggal di rumah mertua," jawabku sengaja merendah. "Kenapa mengancam Desti segala?" tanyanya lagi. Ia menyebutkan nama Mama Desti itu artinya sudah ada perintah darinya. Ternyata ia begitu licik, aku kira hanya mulutnya saja yang pedas, ternyata tindakannya juga sadis. Aku terdiam, tidak bisa menjawab karena Rifat ini terus menerus men
"Jadi Rifat itu ...." Tiba-tiba saja ponsel papa berdering, ia memberikan isyarat dengan telapak tangan untuk menghentikan cerita. Papa mengangkat panggilan masuk dari Om Farhan. Ada perasaan lega saat suara deru telepon yang membuat aku tidak jadi menceritakan siapa Rifat sebenarnya. Rasanya belum cukup kalau aku hanya menceritakan dari apa yang kudengar melalui sambungan percakapan Mama Desti dan penjahat itu. Rencananya, aku akan menceritakan ini pada papa lebih dulu, supaya ia mencari tahu motif apa yang membuat Mama Kinan terbunuh tanpa ada yang mengetahuinya. Melihat wajah Mas Arlan pun aku masih belum tega memberikan informasi ini padanya. Khawatir ia benar-benar shock mendengarnya. Tangan Mas Arlan menggenggam, aku menoleh ke arahnya. Menatap wajah yang ada bekas memar di pinggir bibirnya. "Kamu memar, Mas, kita ke klinik dulu yuk!" ajakku sambil memegang pipinya. "Nggak apa-apa, laki-laki bonyok sedikit hal biasa, yang terpenting kamu selamat," timpalnya sambil terus men