Home / Romansa / KUBELI KESOMBONGAN IPARKU / Bab 21. Menegangkan

Share

Bab 21. Menegangkan

Author: Siti_Rohmah21
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Om Farhan memang sering begitu, sama seperti papaku. Ia sebelas dua belas memang. Tidak seperti Mas Arlan dan Mas Gerry yang sangat jauh berbeda. Dulu aku pikir mereka satu rahim tapi beda watak, ternyata memang mereka tidak satu ibu makanya sifatnya pun tidak sama.

Aku ambil tas kemudian keluar rumah, berhubung sudah ditunggu jadi aku tidak pamit pada siapa pun. Namun tiba-tiba saja Hesti menghadangku, anak gadis yang akan menikah dalam waktu dekat itu baru bangun tidur.

"Mau ke mana, Mbak? Kok rapi banget, dandanan Mbak kayak orang mau ke kantor?" Hesti jadi bertanya-tanya padaku. Ia menyoroti dari ujung kaki hingga ujung kepala. Mungkin aneh dengan penampilanku yang biasanya memakai celana pendek dan kaos, kini memakai blazer dan celana.

Aku membasahi bibir yang sudah merah, lalu menghadap ke arah Hesti.

"Hes, Mbak mau keluar sebentar, tolong bilang Mama ya nanti," ucapku dengan sopan. Sebab, kata Mas Arlan, Hesti ini adiknya yang paling ia sayang.

"Mbak udah pamit sama Mas Ar
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Juanis olod Junis
cerita nya asik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 22. Malaikat Pelindung Nilam

    Aku membasahi bibir, lama memperhatikan wajahnya, hingga akhirnya ia benar-benar menyuruh masuk ke mobil belakang. Sudah ada sopir yang siap meluncur. Rifat yang usianya sepantaran Om Farhan itu masuk dan duduk di kursi sebelahku. "Jalan," suruhnya dengan lugas. Di dalam mobil sangat hening, aku hanya terdiam karena tahu ia adalah pembunuh berdarah dingin. Pihak keluarga tidak ada yang tahu pembunuhan yang dilakukan olehnya, tentu ini sangat rapi, dan bisa juga terjadi padaku. "Kamu mau ikut campur urusan saya? Gitu kan maksudnya?" tanya Rifat sambil menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi. "Nggak, siapa yang ikut campur, saya hanya orang miskin yang tinggal di rumah mertua," jawabku sengaja merendah. "Kenapa mengancam Desti segala?" tanyanya lagi. Ia menyebutkan nama Mama Desti itu artinya sudah ada perintah darinya. Ternyata ia begitu licik, aku kira hanya mulutnya saja yang pedas, ternyata tindakannya juga sadis. Aku terdiam, tidak bisa menjawab karena Rifat ini terus menerus men

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 23. Berpapasan di Toilet

    "Jadi Rifat itu ...." Tiba-tiba saja ponsel papa berdering, ia memberikan isyarat dengan telapak tangan untuk menghentikan cerita. Papa mengangkat panggilan masuk dari Om Farhan. Ada perasaan lega saat suara deru telepon yang membuat aku tidak jadi menceritakan siapa Rifat sebenarnya. Rasanya belum cukup kalau aku hanya menceritakan dari apa yang kudengar melalui sambungan percakapan Mama Desti dan penjahat itu. Rencananya, aku akan menceritakan ini pada papa lebih dulu, supaya ia mencari tahu motif apa yang membuat Mama Kinan terbunuh tanpa ada yang mengetahuinya. Melihat wajah Mas Arlan pun aku masih belum tega memberikan informasi ini padanya. Khawatir ia benar-benar shock mendengarnya. Tangan Mas Arlan menggenggam, aku menoleh ke arahnya. Menatap wajah yang ada bekas memar di pinggir bibirnya. "Kamu memar, Mas, kita ke klinik dulu yuk!" ajakku sambil memegang pipinya. "Nggak apa-apa, laki-laki bonyok sedikit hal biasa, yang terpenting kamu selamat," timpalnya sambil terus men

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 24. Pidato Om Farhan

    "Kamu jalan duluan, Arlan dan Nilam, Papa dengan Farhan belakangan, masih urus berkas ke bagian keuangan," seru papa. Mas Arlan menganggukkan kepalanya seraya paham atas perintah sang mertua. "Kalian duduk di dekat Dila dan Gerry, ya," sambung Om Farhan. Aku segera menggandeng suami. Lalu kami bergegas ke aula yang sudah ditunggu oleh beberapa orang kantor. Hari ini ada kejutan manis untuk Mas Gerry dan Mbak Dila. Semoga mereka tidak shock mendengar kenyataan ini. Pintu aula sudah ada yang jaga, sang penerima tamu pun tidak mengenal siapa aku dan Mas Arlan. Mereka meminta identitas dan undangan sebagai tanda untuk diperbolehkan masuk. "Saya diundang oleh Pak Farhan, memang harus pakai undangan?" tanya Mas Arlan padanya. Dikarenakan melihat aku di depan, Mbak Dila pun menghampiri kami yang sedang dicekal untuk masuk. Kulihat dari kejauhan Mbak Dila keluar dengan wajah sombongnya. Menautkan kedua alis dan tangan berkacak pinggang. "Astaga, kalian ngapain maksa masuk? Hanya undang

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 25. Fakta

    Aku tidak menghiraukan apa yang diucapkan Mbak Dila, duduk dengan bersandar adalah caraku mengalihkan emosi yang mulai mendidih karena mendengar ucapan Mbak Dila. Bukan menyimak apa yang dikatakan Om Farhan, malah terus memperhatikan papaku. "Eh, tapi itu papa kamu bukan sih? Dari penampilan si jelas jauh berbeda, tapi namanya dan muka juga mirip. Eh bisa saja sih wajah sama, nama pun bisa kembar." Mbak Dila terus menerus bersuara tanpa peduli aku mendengarkan dia atau tidak. "Mbak, dengarkan aja, itu simak atasan lagi pidato kok malah nyerocos, nggak punya adab apa ya?" Aku bertanya balik padanya. "Susah sih ya ngomong sama orang susah seperti kamu dan papamu itu, aku yakin seratus persen, papamu mengharapkan balasan saat menolong Pak Farhan," tutur Mbak Dila kembali membuatku menghela napas. Mas Arlan menoleh ke arahku, ada senyum yang ia sunggingkan dengan sengaja. "Sabar ya bidadariku, kalau bicara sama tukang gosip ya seperti itu, kan Mbak Dila terkenal biang gosip di rumah,

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 26. Kubeli Kesombongan Iparku

    Papa berdiri tegak, aku bertepuk tangan dengan kencang. Sedangkan iparku melongo memperhatikan kami berdua. "Kenapa, Mbak? Masih berasa mimpi? Coba cubit suami Mbak Dila," ejekku. Aku kembali fokus pada papa yang sedang naik podium. "Terima kasih atas tempat dan waktunya. Saya tidak ingin bicara banyak di sini, hanya ingin memberikan satu informasi. Bahwa PT. Candra Sentosa, perusahaan kecil di bawah PT. Miyusa Santosa, akan berpindah kepemilikan, saya akan berikan perusahaan sepenuhnya untuk Arlan, menantu saya," ungkap papa tanpa menunda-nunda, ia langsung memberikan informasi ini pada semuanya, termasuk Mbak Dila dan Mas Gerry. Kemudian, papa meminta aku dan Mas Arlan naik ke podium, begitu juga dengan Om Farhan. Namun, ketika aku naik ke podium, Mbak Dila pergi begitu saja. "Loh loh, kan pertemuan belum selesai, kok Mbak Dila sudah pergi?" tanyaku pada Mas Arlan. "Mungkin sedih melihat kamu bahagia," bisik Mas Arlan. Saat itu juga Mas Gerry datang menghampiri kami yang berad

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 27. Pisau yang Menakutkan

    Mama Desti terlihat tegang, lalu mereka menggeser posisinya. Kini keduanya duduk di kursi, aku yang fokus memegang handphone sambil tak lepas pandangan ke arahnya.Aku sembunyi di sebelah pintu kamar yang terhalang lemari besar kuno berhiaskan guci dan hiasan tua. Ukuran lemari nyaris menyentuh atap rumah, terlalu tinggi hingga memang jika bersembunyi takkan terlihat oleh mereka. Namun, karena mereka pindah tempat, aku jadi kesulitan untuk merekam dalam bentuk video.Akhirnya aku zoom merekam videonya, kebetulan ponsel yang kupunya cukup canggih dalam mengambil gambar jarak jauh maupun jarak dekat."Kamu bicara apa sama Rifat? Dia ngomong apa?" tanya mama kedengaran panik."Aku tidak bilang apa-apa, dia hanya cari Mama, memang dia siapa? Pacar Mama?" tanya Hesti untuk kesekian kalinya."Bukan siapa-siapa, sudahlah ini urusan orang tua," timpal mama lagi. Berselang kemudian, kulihat Mbak Dila datang bersama Mas Gerry. Bagaimana aku mau bisa ke dapur untuk buatkan Mas Arlan teh kalau m

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 28. Pindah Rumah

    "Iya, Mas Gerry juga selingkuh pada Calista hanya untuk memeras wanita itu, Calista mau saja dibodohi laki-laki, kadang aku bingung sama orang-orang kaya raya, kok bisa bucin pada laki-laki. Contohnya Calista, sekarang aku rasa Nilam juga seperti itu," ungkap Mbak Dila membuatku mengernyit. Justru yang aneh itu dia, harga diri dijual hanya untuk memeras selingkuhan suaminya. Mbak Dila bahkan sudah tahu bahwa suaminya berzina dengan wanita tanpa ikatan pernikahan, tapi ia malah mendukungnya karena harta. Aku coba lewat di antara mereka, memergoki keduanya yang sedang bicara tentangku. Ingin tahu saja reaksi yang akan mereka perlihatkan. "Ehm, ada Mbak Dila di sini, cepat sekali baiknya dengan Mama," celetukku dengan sengaja. Mereka terkejut, berdiri dengan posisi keduanya tiba-tiba menjauh. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Mbak Dila. "Sejak tadi, aku dengar semua yang kalian bicarakan, kenapa?" tanyaku padanya. Mereka saling beradu pandangan, raut wajahnya seketika berubah m

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 29. Istri dari Rifat

    Dengan cepatnya tangan ini menarik Mas Arlan untuk sembunyi, begitu juga dengan Pak Supri, ia ikut mengekor di belakang kami. Mata kami menyorot mobilnya dengan pandangan sempurna, meneliti hingga jauh dari mata kami. Bahuku menurun ketika mobil yang digunakan untuk menculikku sudah tak terlihat lagi. Beruntungnya Pak Supri memakai mobil lain saat ini, bukan mobil yang dipakai tadi pagi. "Kenapa tadi nggak kita hadang saja, Sayang? Orang yang menculikmu itu pasti berniat jahat, tinggal dekat dengan kita pula," celetuk Mas Arlan saat kami keluar dari tempat persembunyian. Aku membasahi bibir, dalam hati ini masih menyimpan satu rahasia tentang laki-laki yang barusan lewat. Mas Arlan paham dengan diamku ini, ia melambaikan tangannya di hadapanku untuk membuyarkan lamunan. "Mas, kalau begitu kita tidak bisa menyelidiki motif penculikannya, lagian kita tidak memiliki bukti akurat saat penculikan terjadi," jelasku padanya. Bola matanya berputar mencerna ucapanku barusan. 'Kalau tempa

Latest chapter

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 87. TAMAT

    "Apa yang diculik itu sekarang masih hidup, Mbok?" tanyaku menyelidik. Ini kesempatan emas untukku mencari tahu, khawatir hal ini ada kaitannya dengan cincin inisial C."Baru saja meninggal tadi, Non. Makanya Mbok ke sini, takut, Mbok punya firasat tidak enak. Ingat kejadian dulu Mama Desti yang telah membunuh mamanya Mas Arlan," ungkap Mbok Nur.Aku pun mendadak berkeringat, ini masalah yang dulu bisa diungkap kembali jika ada sesuatu yang terjadi dan Mama Desti membantunya."Om curiga ini Dila menculik Calista, dan kakaknya, sampai sekarang informasi itu masih simpang siur," ucap Om Farhan.Aku tertunduk, masih merasakan cucuran keringat yang keluar sedikit demi sedikit sebesar biji jagung."Kebenaran akan menang, Om, kejahatan pasti akan kalah," timpal Mas Arlan.***Akikah anak pertamaku telah tiba, acara banyak dikunjungi oleh tamu undangan. Semua sudah datang untuk mendoakan baby AN menjadi anak soleh.Acara dilaksanakan penuh khidmat. Lantunan ayat membuat acara yang netral me

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 86. Secercah Titik Terang

    Aku termenung sejenak, meneliti huruf inisial yang tertera di cincin. Namun, tiba-tiba saja Baby AN nangis, aku langsung menggendongnya, cincin itu digenggam Mas Arlan.Kami semua masuk dan menuju kamarku, pernak pernik bayi sudah terukir di sudut kamar, "Ah senangnya memiliki bayi, seperti punya kehidupan baru lagi," ucapku sambil menghela napas dan menyoroti ruangan.Tangan Mas Arlan berada di bahu, ia menepuk pundak ini pelan, lalu menciumi keningku dan Baby AN."Kesayanganku, kalian ini jantung hatiku," ungkap Mas Arlan.Aku tersenyum sambil menyandarkan kepala di bahunya.Inilah keluarga kecilku, setelah beberapa purnama mengharapkan kehadiran sang buah hati, kini bayi mungil berada di pangkuan kami.Mama keseringan bolak-balik karena tidak bisa mendengar Baby AN nangis, ia langsung buru-buru datang ketika tangisan cucunya memekikkan telinga. Padahal hanya buang air besar, mamaku sudah khawatir padanya."Kalau lihat dia ngejan langsung buru-buru salin dong jangan sampai lecet," s

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 85. Cincin Inisial C

    "Itu dia, Nilam, Om obrolan Om belum selesai tapi Dila udah datang," kata Om Farhan.Papa melirik ke arah adiknya, lalu berpindah ke arahku."Apa kematian Calista sabotase Dila?" tanya papa tiba-tiba curiga."Masa iya kecelakaan kapal bisa salah? Waktu itu kita nggak datang sih ya ke rumah sanak saudara mengucapkan bela sungkawa," timpalku. "Lagian kalau sabotase, sembilan bulan masa iya tidak tercium," tambahku masih tidak percaya."Bukankah mamaku juga meninggal dunia karena sabotase Mama Desti? Dan baru ketahuan setelah puluhan tahun," sambung Mas Arlan.Aku terdiam sejenak, yang dikatakan oleh Mas Arlan ada benarnya, tapi ini juga termasuk buruk sangka, sebab saat Calista dinyatakan meninggal dunia, Mbak Dila itu berada di dalam jeruji besi."Ah sudahlah, tak usah memikirkan yang sudah tidak ada, lagi pula yang namanya bangkai pasti terkuak. Jika ada sabotase dalam kematian Calista dan kakaknya, cepat atau lambat akan terbongkar juga. Sekarang, kalian fokus dengan Baby AN, mau dik

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 84. Baby AN

    "Kamu harus kuat, Nak. Demi Mama," lirih mamaku seraya memohon.Terlintas semua yang kulalui bersama Mas Arlan. Seketika kekuatan muncul dan perut terasa mulas ingin buang air besar."Mah, aku kepingin mengejan," kataku dengan suara pelan. Rasanya tenaga yang tersisa sudah tidak banyak.Mama menoleh ke area bawah, ia terkejut melihat sudah banyak darah yang mengalir dari area vagina. "Nilam, sepertinya kamu sudah pembukaan sembilan, ya sudah dicoba mengejan," suruh mama.Aku berhitung dalam hati lalu mengerang sambil mengejan, dan mama menyuruhku terus dan tambahkan kekuatan. Setelah mengejan ketiga kalinya, tiba-tiba saja seperti ada yang jatuh ke daerah jok mobil. Kemudian, suara bayi menangis pun melengking tinggi."Ya Allah anakmu sudah lahir, Nilam. Bayinya laki-laki," ungkap mama.Aku tersenyum sambil menurunkan bahu. Ada tangis mengiringi, akhirnya aku kuat mengeluarkan bayi di dalam mobil sendirian, hanya di bantu mama."Mah tapi aku masih mulas," kataku sambil menjerit kembal

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 83. Sembilan Bulan Berlalu

    Aku sudah kongkalikong saat melakukan pembayaran. Tadinya hanya minta tolong periksa, tapi kata Mas Arlan, sekalian kalau ada yang janggal bikin bagaimana caranya mengetahui bahwa Tante Sita ini berbohong. Jadi, ketika keluar ruangan aku pun melakukan sandiwara seperti Tante Sita. "Sekarang sudah jelas, Tante yang mengurung Om Farhan dua hari ini, kan?" cecarku sengaja. "Jangan sembarangan nuduh kamu, Nilam!" sanggah Tante Sita. "Aku nggak sembarangan, tentu disertai bukti. Dokter Lutfi adalah temanku, ia bilang obat bius itu takkan mungkin digunakan sendiri oleh Om Farhan, itu artinya ada orang yang masuk sebelum Tante Sita," terangku. "Tapi bukan Tante.""Lalu siapa wanita yang dia hari ini bolak balik ke sini? Sudahlah jangan bohong!" Aku bukan sembarangan menuduh tapi sudah bilang pada petugas hotel untuk mengirim rekaman CCTV-nya ke nomorku. "Jadi kamu?" Tante Sita mulai sadar. "Ya, tadi petugasnya aku bisikan sesuatu, aku minta dikirim rekaman CCTV saat Om Farhan datang,

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 82. Farhan Ditemukan

    "Kita ikutin aja, apa jangan-jangan Om Farhan dibius atau disekap?" Mas Arlan curiga dan langsung membuka sabuk pengamannya. Aku pun ikut membuka sabuk dan turun membuntuti Tante Sita. Kami berjalan dengan sembunyi-sembunyi, bersama dengan iringan langkah Tante Sita. Namun, kami kesulitan saat ia masuk lift. Tidak mungkin juga kami ikut masuk ke dalamnya. Akhirnya aku dan Mas Arlan membiarkan Tante Sita naik duluan. "Aku yakin dia ke apartemen Om Farhan, dan dua hari ini Tante Sita bersama dengannya," ucap Mas Arlan seakan menuduh bahwa Tante Sita yang menyembunyikan Om Farhan. "Aku sempat ketemu dengannya kemarin, Mas. Apa dia sengaja?" Aku jadi ikut curiga, sebab ia memohon untuk merayu Om Farhan. "Kalau gitu kita harus cepat ke kamarnya, kalau nggak nanti Tante Sita akan berbuat nekat, atau bahkan bisa memindahkannya," tutur suamiku. Kemudian lift kembali terbuka, kami segera menuju apartemen milik Om Farhan. Langkah kaki kami begitu cepat hingga mereka yang melihat pun menyo

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 81. Dila Menang

    "Gimana hasil sidang, Mas?" tanyaku padanya. "Mengecewakan, Dek. Aku bingung cerita di sini, nanti aja di rumah sakit ya," terang Mas Arlan.Aku terdiam, mengecewakan dalam arti bukan bebas kan? Kalau bebas aku sangat menyayangkan, ini semua gara-gara Mas Gerry dan Mama Desti. Mereka tidak tahu terima kasih, sudah diberikan kesempatan dan tidak dilaporkan masalah pembunuhan mamanya Mas Arlan, kini malah menikam. "Kalau misalnya mereka menantang, kamu buka kembali kasus mamamu dulu, Mas. Ini cara satu-satunya memenangkan," jawabku. Mas Arlan terdiam sejenak, tapi sambungan telepon masih tersambung. "Kamu nggak capek, Dek ngurusin seperti ini?" tanyaku Mas Arlan padaku. "Aku geregetan aja, Mas," jawabku. "Ya sudah, aku pulang ke rumah sakit ya, nanti cerita di sana," ungkap Mas Arlan. Lalu telepon pun terputus setelah kami saling mengucapkan salam. Aku meletakkan ponsel dengan wajah merengut. Papa sontak memberikan saran untuk melihat sosial media. Pasti ada pemberitaannya, karen

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 80. Ketika Sang Papa Sakit

    Aku tak bisa berkata apa-apa lagi ketika orang yang berada di belakangku selama ini kini dikabarkan sakit. Telepon pun sengaja aku putus setelah mengetahui papaku dirawat di rumah sakit. Mas Arlan pun langsung mengantarkan aku tanpa berpikir panjang. Semua jadwal meeting untuk siang ini ditunda. "Setelah antar aku ke rumah sakit, kamu balik aja ke kantor, Mas," suruhku."Nggak, aku juga ingin nunggu Papa," jawab Mas Arlan. "Tapi, Mas, jadwal meeting sudah dibuat masa dipending ulang, reschedule lagi gitu?" tanyaku balik. "Mertuaku adalah orang tuaku, Sayang," jawab Mas Arlan. "Kamu tahu kan aku sudah nggak punya orang tua? Jadi hanya mertua yang kupunya," kata Mas Arlan. Aku tak bisa berkata apa-apa, memang kesehatan lebih penting dari segalanya, dan keluarga adalah paling utama. Namun, entah kenapa Mas Gerry dan Mbak Dila tidak melakukan hal itu. Apa karena mereka saudara tiri? Mama Desti pun sama, mereka mudah terpengaruhi. "Kadang aku heran, Mas, kenapa kamu jauh berbeda deng

  • KUBELI KESOMBONGAN IPARKU   Bab 79. Kekacauan

    "Aduh mimpi apa aku semalam, dapat telepon dari kamu, Mbak. Calon narapidana," ejekku melalui sambungan telepon. Mas Arlan menoleh sambil memegang setir, matanya ikut menyorotiku. "Hari ini sidang ketiga, yang kemungkinan di akhir sidang nanti akan dibacakan vonis, kamu siapin mental ya, mental kalah," kata Mbak Dila sambil terkekeh. "Tapi tetap dihukum, kan? Menghirup udara melalui sel tahanan," jawabku. "Setelah keluar dari sini, kita akan bertemu lagi. Ingat Nilam, kita masih ada urusan!" ancam Mbak Dila. Kemudian, telepon pun terputus. Aku menghela napas, sambil meletakkan ponsel kembali ke atas dashboard mobil. "Kembali seperti awal lagi, Mas. Mbak Dila balik dengan Mas Gerry, Mama dan Hesti kini berpihak padanya juga." Aku mengeluh sambil mengusap pelipis. "Maafkan aku ya, Dek. Kalau saja semalam kita tolongin Mama, mungkin nggak akan seperti ini," ucap Mas Arlan. Namun aku hanya menepuk pundak sebelah kirinya. "Kita jadi tahu, Mas, itu artinya Mama dan Hesti tidak tulus

DMCA.com Protection Status