Aku membasahi bibir, lama memperhatikan wajahnya, hingga akhirnya ia benar-benar menyuruh masuk ke mobil belakang. Sudah ada sopir yang siap meluncur. Rifat yang usianya sepantaran Om Farhan itu masuk dan duduk di kursi sebelahku. "Jalan," suruhnya dengan lugas. Di dalam mobil sangat hening, aku hanya terdiam karena tahu ia adalah pembunuh berdarah dingin. Pihak keluarga tidak ada yang tahu pembunuhan yang dilakukan olehnya, tentu ini sangat rapi, dan bisa juga terjadi padaku. "Kamu mau ikut campur urusan saya? Gitu kan maksudnya?" tanya Rifat sambil menyandarkan tubuhnya ke bahu kursi. "Nggak, siapa yang ikut campur, saya hanya orang miskin yang tinggal di rumah mertua," jawabku sengaja merendah. "Kenapa mengancam Desti segala?" tanyanya lagi. Ia menyebutkan nama Mama Desti itu artinya sudah ada perintah darinya. Ternyata ia begitu licik, aku kira hanya mulutnya saja yang pedas, ternyata tindakannya juga sadis. Aku terdiam, tidak bisa menjawab karena Rifat ini terus menerus men
"Jadi Rifat itu ...." Tiba-tiba saja ponsel papa berdering, ia memberikan isyarat dengan telapak tangan untuk menghentikan cerita. Papa mengangkat panggilan masuk dari Om Farhan. Ada perasaan lega saat suara deru telepon yang membuat aku tidak jadi menceritakan siapa Rifat sebenarnya. Rasanya belum cukup kalau aku hanya menceritakan dari apa yang kudengar melalui sambungan percakapan Mama Desti dan penjahat itu. Rencananya, aku akan menceritakan ini pada papa lebih dulu, supaya ia mencari tahu motif apa yang membuat Mama Kinan terbunuh tanpa ada yang mengetahuinya. Melihat wajah Mas Arlan pun aku masih belum tega memberikan informasi ini padanya. Khawatir ia benar-benar shock mendengarnya. Tangan Mas Arlan menggenggam, aku menoleh ke arahnya. Menatap wajah yang ada bekas memar di pinggir bibirnya. "Kamu memar, Mas, kita ke klinik dulu yuk!" ajakku sambil memegang pipinya. "Nggak apa-apa, laki-laki bonyok sedikit hal biasa, yang terpenting kamu selamat," timpalnya sambil terus men
"Kamu jalan duluan, Arlan dan Nilam, Papa dengan Farhan belakangan, masih urus berkas ke bagian keuangan," seru papa. Mas Arlan menganggukkan kepalanya seraya paham atas perintah sang mertua. "Kalian duduk di dekat Dila dan Gerry, ya," sambung Om Farhan. Aku segera menggandeng suami. Lalu kami bergegas ke aula yang sudah ditunggu oleh beberapa orang kantor. Hari ini ada kejutan manis untuk Mas Gerry dan Mbak Dila. Semoga mereka tidak shock mendengar kenyataan ini. Pintu aula sudah ada yang jaga, sang penerima tamu pun tidak mengenal siapa aku dan Mas Arlan. Mereka meminta identitas dan undangan sebagai tanda untuk diperbolehkan masuk. "Saya diundang oleh Pak Farhan, memang harus pakai undangan?" tanya Mas Arlan padanya. Dikarenakan melihat aku di depan, Mbak Dila pun menghampiri kami yang sedang dicekal untuk masuk. Kulihat dari kejauhan Mbak Dila keluar dengan wajah sombongnya. Menautkan kedua alis dan tangan berkacak pinggang. "Astaga, kalian ngapain maksa masuk? Hanya undang
Aku tidak menghiraukan apa yang diucapkan Mbak Dila, duduk dengan bersandar adalah caraku mengalihkan emosi yang mulai mendidih karena mendengar ucapan Mbak Dila. Bukan menyimak apa yang dikatakan Om Farhan, malah terus memperhatikan papaku. "Eh, tapi itu papa kamu bukan sih? Dari penampilan si jelas jauh berbeda, tapi namanya dan muka juga mirip. Eh bisa saja sih wajah sama, nama pun bisa kembar." Mbak Dila terus menerus bersuara tanpa peduli aku mendengarkan dia atau tidak. "Mbak, dengarkan aja, itu simak atasan lagi pidato kok malah nyerocos, nggak punya adab apa ya?" Aku bertanya balik padanya. "Susah sih ya ngomong sama orang susah seperti kamu dan papamu itu, aku yakin seratus persen, papamu mengharapkan balasan saat menolong Pak Farhan," tutur Mbak Dila kembali membuatku menghela napas. Mas Arlan menoleh ke arahku, ada senyum yang ia sunggingkan dengan sengaja. "Sabar ya bidadariku, kalau bicara sama tukang gosip ya seperti itu, kan Mbak Dila terkenal biang gosip di rumah,
Papa berdiri tegak, aku bertepuk tangan dengan kencang. Sedangkan iparku melongo memperhatikan kami berdua. "Kenapa, Mbak? Masih berasa mimpi? Coba cubit suami Mbak Dila," ejekku. Aku kembali fokus pada papa yang sedang naik podium. "Terima kasih atas tempat dan waktunya. Saya tidak ingin bicara banyak di sini, hanya ingin memberikan satu informasi. Bahwa PT. Candra Sentosa, perusahaan kecil di bawah PT. Miyusa Santosa, akan berpindah kepemilikan, saya akan berikan perusahaan sepenuhnya untuk Arlan, menantu saya," ungkap papa tanpa menunda-nunda, ia langsung memberikan informasi ini pada semuanya, termasuk Mbak Dila dan Mas Gerry. Kemudian, papa meminta aku dan Mas Arlan naik ke podium, begitu juga dengan Om Farhan. Namun, ketika aku naik ke podium, Mbak Dila pergi begitu saja. "Loh loh, kan pertemuan belum selesai, kok Mbak Dila sudah pergi?" tanyaku pada Mas Arlan. "Mungkin sedih melihat kamu bahagia," bisik Mas Arlan. Saat itu juga Mas Gerry datang menghampiri kami yang berad
Mama Desti terlihat tegang, lalu mereka menggeser posisinya. Kini keduanya duduk di kursi, aku yang fokus memegang handphone sambil tak lepas pandangan ke arahnya.Aku sembunyi di sebelah pintu kamar yang terhalang lemari besar kuno berhiaskan guci dan hiasan tua. Ukuran lemari nyaris menyentuh atap rumah, terlalu tinggi hingga memang jika bersembunyi takkan terlihat oleh mereka. Namun, karena mereka pindah tempat, aku jadi kesulitan untuk merekam dalam bentuk video.Akhirnya aku zoom merekam videonya, kebetulan ponsel yang kupunya cukup canggih dalam mengambil gambar jarak jauh maupun jarak dekat."Kamu bicara apa sama Rifat? Dia ngomong apa?" tanya mama kedengaran panik."Aku tidak bilang apa-apa, dia hanya cari Mama, memang dia siapa? Pacar Mama?" tanya Hesti untuk kesekian kalinya."Bukan siapa-siapa, sudahlah ini urusan orang tua," timpal mama lagi. Berselang kemudian, kulihat Mbak Dila datang bersama Mas Gerry. Bagaimana aku mau bisa ke dapur untuk buatkan Mas Arlan teh kalau m
"Iya, Mas Gerry juga selingkuh pada Calista hanya untuk memeras wanita itu, Calista mau saja dibodohi laki-laki, kadang aku bingung sama orang-orang kaya raya, kok bisa bucin pada laki-laki. Contohnya Calista, sekarang aku rasa Nilam juga seperti itu," ungkap Mbak Dila membuatku mengernyit. Justru yang aneh itu dia, harga diri dijual hanya untuk memeras selingkuhan suaminya. Mbak Dila bahkan sudah tahu bahwa suaminya berzina dengan wanita tanpa ikatan pernikahan, tapi ia malah mendukungnya karena harta. Aku coba lewat di antara mereka, memergoki keduanya yang sedang bicara tentangku. Ingin tahu saja reaksi yang akan mereka perlihatkan. "Ehm, ada Mbak Dila di sini, cepat sekali baiknya dengan Mama," celetukku dengan sengaja. Mereka terkejut, berdiri dengan posisi keduanya tiba-tiba menjauh. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Mbak Dila. "Sejak tadi, aku dengar semua yang kalian bicarakan, kenapa?" tanyaku padanya. Mereka saling beradu pandangan, raut wajahnya seketika berubah m
Dengan cepatnya tangan ini menarik Mas Arlan untuk sembunyi, begitu juga dengan Pak Supri, ia ikut mengekor di belakang kami. Mata kami menyorot mobilnya dengan pandangan sempurna, meneliti hingga jauh dari mata kami. Bahuku menurun ketika mobil yang digunakan untuk menculikku sudah tak terlihat lagi. Beruntungnya Pak Supri memakai mobil lain saat ini, bukan mobil yang dipakai tadi pagi. "Kenapa tadi nggak kita hadang saja, Sayang? Orang yang menculikmu itu pasti berniat jahat, tinggal dekat dengan kita pula," celetuk Mas Arlan saat kami keluar dari tempat persembunyian. Aku membasahi bibir, dalam hati ini masih menyimpan satu rahasia tentang laki-laki yang barusan lewat. Mas Arlan paham dengan diamku ini, ia melambaikan tangannya di hadapanku untuk membuyarkan lamunan. "Mas, kalau begitu kita tidak bisa menyelidiki motif penculikannya, lagian kita tidak memiliki bukti akurat saat penculikan terjadi," jelasku padanya. Bola matanya berputar mencerna ucapanku barusan. 'Kalau tempa