Setelah Dea mendapatkan banyak wejangan Tian membawa putrinya itu pergi ke kantor. Sebelum Aruna pulang dan mengetahui Dea tidak berangkat sekolah.
"Dea temani Buba ya Sayang, Daddy meeting dulu.""Yes Daddy," jawab Deandra diikuti anggukan."Buba..." panggil Dea setelah daddy nya sudah lenyap di balik pintu."Iya Sayang, ada apa?" Ressa menoleh pada putrinya yang terlihat sedang serius bermain game."Apa jadi orang dewasa itu selalu rumit?"Ressa tersenyum diikuti kernyitan di kening mendengar pertanyaan Deandra."Kalian para orang dewasa itu sangat sulit dimengerti," lanjutnya."Itu karena kami tidak hanya memikirkan kesenangan, tapi tanggung jawab Sayang. Masalah kecil dari pandangan kalian itu bisa jadi masalah serius bagi kami." Ressa membawa kepala Deandra berbaring di pangkuannya"Seperti yang terjadi pada Dea tadi malam. Mungkin Dea cuma berpikir Om itu datang untuk memberikan hadiah. Tapi Dea"Pagi Honey, gimana tidurnya semalam? Nyenyak?" Tanya Tian saat mereka sudah berkumpul di meja makan."Nyenyak banget Dad, sampai lupa caranya membuka mata." Sahut Dea setengah bercanda."Jangan aneh-aneh Sayang, Daddy-mu bisa gila kalau kamu gak bangun-bangun." Sela Ressa di tengah obrolan."Oh ya Bu, mungkin minggu depan kita akan pindah rumah. Denis kemaren sudah cari rumah yang cocok buat kita. Biar bisa muat kalau anak-anak Ibu ngumpul semua," ujar Denis ikut bicara."Hm, duit siapa tuh beli rumahnya?" Tanya Deandra mendelik."Jelas Daddy-mu lah," sahut Denis sombong."Oh, kirain duit Daddy Tian." "Ya iya itu maksudnya Daddy Tian," sahut Denis sambil tertawa kecil."Iih Daddy!!" Dea menggigit lengan Denis yang duduk di samping kirinya."Daddy Denis mana punya uang sebanyak itu Sayang," gurau Denis sambil mengelus lengannya yang sakit. "Itu uang Dad Denis kok Sayang, uang Daddy cuma buat beli kolam renangnya aja. Biar Dea bisa berenang sepuasnya seperti ikan." Tian mengunyel pip
"Aduuuhh, sakiiit Honey. Daddy gak ngomong apa-apa, iyakan Sayang." Tian mengkode Dea sambil memelas."Daddy bilang gak suka bikin penyakit Buba, sukanya bikin dedek sama Buba." Ucap Dea tanpa Dosa, Denis tertawa paling nyaring."Dasar Daddy nakal!!" "Sayaaang, kok dibilangin sih! Daddy jadi kena marah Buba-mu kan." "Derita Daddy," sahut Dea kemudian menyuap sarapan yang mulai dingin karena mereka kebanyakan bicara. Mengabaikan sang ayah yang sibuk membujuk istrinya.***“Dad Tiaaan, tolongin Deaaaa!!” teriak Deandra yang dipanggul Denis seperti karung beras dari kamar ke ruang tengah.“Maaass, suka banget sih ngusilin Dea. Jemputnya gak pake cara itu juga.” Tegur Aruna, kalau kedua daddy Dea itu bersama pasti ada saja yang mengusili putrinya.“Biar Dea gak capek jalan, Sayang.” Jawab Denis sekenanya, menurunkan Dea di sofa sambil tertawa gelak.“Sekalian aja jemput pake pesawat Mas!” ucap Aruna sewot. Ressa dan Tian terkekeh geli mendengarnya.“Daddy, aku dijadiin karung beras sama
Semenjak Denis mengurus perusahaan keluarganya Tian jadi lebih sibuk. Mereka memang tetap tinggal satu rumah tapi di kantor tidak bertemu lagi. Sering Tian pulang telat, ia belum mendapatkan pengganti Denis untuk jadi asistennya."Daddy sudah makan malam?" Sambut Dea pada sang ayah yang baru pulang."Sudah Sayang," ucapnya seraya duduk di sofa. Hanya ada Denis yang menemani Dea belajar di ruang tengah. "Buba sudah tidur Sayang?""Sudah, tadi adek rewel. Buba muntah terus," beritahu Dea mengaggkat kaki Tian ke pangkuan lalu memijatnya."Buba mau makan?" Tanya Tian lagi."Sedikit, Dea sudah bikinin Buba susu.""Makasih sudah jagain Buba Sayang," Tian mengusap puncak kepala Dea dengan penuh kehangatan."Kalau bukan Dea siapa yang jagain Buba hm?" Tanyanya sombong, Tian jadi senyum-senyum sendiri."Dea sudah selesai belajarnya? Apa mau Daddy temani dulu.""Daddy mandi dan temani Buba aja, Dea bisa ngerjain PR sendiri. Lagian ada Daddy Denis yang nganggur," ucapnya sambil tersenyum licik p
Beberapa bulan kemudian"Sayang, aku besok harus ke London." Beritahu Tian mendadak, sebenarnya dia juga tidak rela berpisah dengan istrinya ini."Mas, kenapa baru ngasih tau." Rengek Ressa, dia memang tahu dulu Tian sering bolak-balik mengurus Extnet Indonesia dan London. Tapi bukan saat dia hamil seperti ini juga, bawaannya pengen dekat-dekat terus dengan suaminya itu."Semua dadakan Sayang, kami juga baru membicarakannya tadi sore, demi keberlangsungan Extnet Indonesia." Tian semakin mengeratkan pelukannya. Tahu kalau istrinya ini sedang manja-manjanya."Berapa lama?" Tanya Ressa cemberut."Dua minggu," Tian mengamati wajah sendu Ressa. Dia tidak mungkin membawa Ressa yang sedang hamil besar dalam perjalanan jauh."Itu lama Mas, kalau aku kangen gimana?""Mas usahakan video call kamu setiap hari ya Sayang, kalau gak sibuk. Karena banyak yang harus aku selesaikan di sana. Kalau bisa aku selesaikan cepat agar bisa cepat pulang.""Mau gimana lagi? Aku gak ngijinin pun kamu akan tetap
"Maaf Sayang, dadakan. Dea ngerti ya, Daddy harus pergi sekarang." Tian mengecup punggung tangan Dea sambil tersenyum kemudian beralih ke pipi. Sementara Ressa tidak berkomentar duduk di tempat tidur. Deandra melirik Bubanya yang terlihat sendu."Daddy berangkat berapa lama?" Tanya Dea yang terpaksa menyetujui daddy-nya pergi. "Dua minggu, bantu hibur Buba Sayang. Temani Buba tidur juga ya." Pinta Tian, putrinya itu sudah bisa diandalkan untuk menjaga sang istri."Hati-hati Daddy, aku akan jaga Buba." Deandra tersenyum mencium pipi Tian lalu mendekati ibu sambungnya yang betah membisu."Buba, jangan sedih. Kita sarapan dulu yuk, biar dedek sehat." Dea menarik lembut tangan Ressa agar mengikutinya.Tian juga menggiring di belakang sambil menyeret koper. Dia berpamitan pada orang rumah dan ibu mertuanya."Senyum Sayang, biar Mas tenang ninggalin kamu." Bisik Tian, ia pasti sangat merindukan aroma tubuh istrinya ini.Ressa menarik kedua sudut bibirnya secara paksa. Menyunggingkan senyu
"Putrimu nakal, aku basah jadinya." Adu Ressa seraya duduk di samping Aruna menyerobot minuman dingin di atas meja.Aruna menghela napas lega, ekspresi wajah yang selama hampir dua minggu ini mendung akhirnya cerah kembali."Kamu juga suka meladeninya Sa, jadi dia semakin manja padamu.""Ih, kok aku yang jadinya salah sih," ujar Ressa cemberut."Terus siapa yang pantas aku salahkan, hm." Goda Aruna sambil tertawa kecil."Buba peluk!!" Seru Deandra mendatangi Ressa dengan tubuh yang basah. Perempuan hamil itu membulatkan mata."No.. No.. Honey, Buba gak mau ikutan basah!" Tolak Ressa berlindung di belakang Aruna. Gadis remaja itu tertawa gelak terus menggoda Ressa. Dia hanya ingin membuat buba-nya itu tidak hanya melamun menunggu sang daddy pulang."Dea, ganti baju gih. Jangan godain Buba-mu terus." Aruna menegur putrinya yang mulai jahil."Baiklah, tunggu Dea kembali." Katanya dengan senyuman cerah.Aruna tersenyum kecil pada putrinya yang semakin dewasa itu. Tanpa tahu kalau Deandra
Ia mencoba menelpon Daddy-nya yang langsung di jawab."Ada apa Sayang?"Yang Dea dengar bukan suara mengantuk, jadi kemana mommy-nya tadi. Kening Deandra sampai bertautan."Daddy habis ngapain sih, Dea gedor pintu dari tadi gak dengar ya?" Sarkas gadis itu kesal. Tangannya sampai merah dan pedas karena menggedor pintu."Maaf Sayang, Daddy tadi di kamar mandi." Jawab Denis tersenyum geli sambil melirik istrinya yang sedang mengeringkan rambut."Lalu Mommy kemana, ditelpon juga gak di jawab?" Tanya Dea penuh selidik."Mandi juga Sayang," jawab Denis polos. Tanpa tahu putrinya sudah menggeram kesal."Bagus!! Besok nanti semua kamar yang kedap suara Dea pasang Bel!!" Sarkasnya jengkel, hatinya yang tadi sangat takut sekarang jadi emosi."Sayang, Sayang ada apa. Kita satu rumah kenapa marah-marah di telpon." Tanya Denis mulai paham kalau putrinya sedang marah."Gimana Dea gak marah, pintu kamar Daddy aja gak dibuka dari tadi!!"Denis langsung beranjak membuka pintu, wajah putrinya itu suda
“Aku mimpi pesawat yang membawamu pulang hilang, aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku takut kamu gak kembali lagi. Aku takut gak bisa lihat kamu lagi,” lirih Ressa semakin terisak.“Aku di sini Sayang, aku gak kenapa-kenapa. Aku baik-baik aja.” Tian mengeratkan pelukan dengan hati-hati sambil mengusap belakang kepala Ressa pelan. Istrinya ini masih terpasang infus di tangan, tapi sudah banyak bergerak.“Jadi sakit gara-gara mimpi, sekacau apapun hatimu, kamu harus tetap makan Sayang, biar sehat. Karena bukan Cuma kamu yang perlu asupan nutrisi, anak kita juga.” Nasehat Tian dengan lembut seraya menciumi puncak kepala Ressa.“Aku kepikiran kamu, mana bisa aku makan. Kamu gak bisa dihubungi,” katanya memanyunkan bibir.“Mas dalam pesawat Sayang, gak main hp.” Tian mendongakkan dagu Ressa pelan. Menghapus pipi yang basah dengan air mata itu. “Aku gak suka lihat kesayanganku ini menangis. Sekarang kita makan, kamu terlalu banyak mengeluarkan air mata Sayang. Aku belum siap kebanjiran.” Gura