"Maaf Sayang, dadakan. Dea ngerti ya, Daddy harus pergi sekarang." Tian mengecup punggung tangan Dea sambil tersenyum kemudian beralih ke pipi. Sementara Ressa tidak berkomentar duduk di tempat tidur. Deandra melirik Bubanya yang terlihat sendu."Daddy berangkat berapa lama?" Tanya Dea yang terpaksa menyetujui daddy-nya pergi. "Dua minggu, bantu hibur Buba Sayang. Temani Buba tidur juga ya." Pinta Tian, putrinya itu sudah bisa diandalkan untuk menjaga sang istri."Hati-hati Daddy, aku akan jaga Buba." Deandra tersenyum mencium pipi Tian lalu mendekati ibu sambungnya yang betah membisu."Buba, jangan sedih. Kita sarapan dulu yuk, biar dedek sehat." Dea menarik lembut tangan Ressa agar mengikutinya.Tian juga menggiring di belakang sambil menyeret koper. Dia berpamitan pada orang rumah dan ibu mertuanya."Senyum Sayang, biar Mas tenang ninggalin kamu." Bisik Tian, ia pasti sangat merindukan aroma tubuh istrinya ini.Ressa menarik kedua sudut bibirnya secara paksa. Menyunggingkan senyu
"Putrimu nakal, aku basah jadinya." Adu Ressa seraya duduk di samping Aruna menyerobot minuman dingin di atas meja.Aruna menghela napas lega, ekspresi wajah yang selama hampir dua minggu ini mendung akhirnya cerah kembali."Kamu juga suka meladeninya Sa, jadi dia semakin manja padamu.""Ih, kok aku yang jadinya salah sih," ujar Ressa cemberut."Terus siapa yang pantas aku salahkan, hm." Goda Aruna sambil tertawa kecil."Buba peluk!!" Seru Deandra mendatangi Ressa dengan tubuh yang basah. Perempuan hamil itu membulatkan mata."No.. No.. Honey, Buba gak mau ikutan basah!" Tolak Ressa berlindung di belakang Aruna. Gadis remaja itu tertawa gelak terus menggoda Ressa. Dia hanya ingin membuat buba-nya itu tidak hanya melamun menunggu sang daddy pulang."Dea, ganti baju gih. Jangan godain Buba-mu terus." Aruna menegur putrinya yang mulai jahil."Baiklah, tunggu Dea kembali." Katanya dengan senyuman cerah.Aruna tersenyum kecil pada putrinya yang semakin dewasa itu. Tanpa tahu kalau Deandra
Ia mencoba menelpon Daddy-nya yang langsung di jawab."Ada apa Sayang?"Yang Dea dengar bukan suara mengantuk, jadi kemana mommy-nya tadi. Kening Deandra sampai bertautan."Daddy habis ngapain sih, Dea gedor pintu dari tadi gak dengar ya?" Sarkas gadis itu kesal. Tangannya sampai merah dan pedas karena menggedor pintu."Maaf Sayang, Daddy tadi di kamar mandi." Jawab Denis tersenyum geli sambil melirik istrinya yang sedang mengeringkan rambut."Lalu Mommy kemana, ditelpon juga gak di jawab?" Tanya Dea penuh selidik."Mandi juga Sayang," jawab Denis polos. Tanpa tahu putrinya sudah menggeram kesal."Bagus!! Besok nanti semua kamar yang kedap suara Dea pasang Bel!!" Sarkasnya jengkel, hatinya yang tadi sangat takut sekarang jadi emosi."Sayang, Sayang ada apa. Kita satu rumah kenapa marah-marah di telpon." Tanya Denis mulai paham kalau putrinya sedang marah."Gimana Dea gak marah, pintu kamar Daddy aja gak dibuka dari tadi!!"Denis langsung beranjak membuka pintu, wajah putrinya itu suda
“Aku mimpi pesawat yang membawamu pulang hilang, aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku takut kamu gak kembali lagi. Aku takut gak bisa lihat kamu lagi,” lirih Ressa semakin terisak.“Aku di sini Sayang, aku gak kenapa-kenapa. Aku baik-baik aja.” Tian mengeratkan pelukan dengan hati-hati sambil mengusap belakang kepala Ressa pelan. Istrinya ini masih terpasang infus di tangan, tapi sudah banyak bergerak.“Jadi sakit gara-gara mimpi, sekacau apapun hatimu, kamu harus tetap makan Sayang, biar sehat. Karena bukan Cuma kamu yang perlu asupan nutrisi, anak kita juga.” Nasehat Tian dengan lembut seraya menciumi puncak kepala Ressa.“Aku kepikiran kamu, mana bisa aku makan. Kamu gak bisa dihubungi,” katanya memanyunkan bibir.“Mas dalam pesawat Sayang, gak main hp.” Tian mendongakkan dagu Ressa pelan. Menghapus pipi yang basah dengan air mata itu. “Aku gak suka lihat kesayanganku ini menangis. Sekarang kita makan, kamu terlalu banyak mengeluarkan air mata Sayang. Aku belum siap kebanjiran.” Gura
"Bukan dedek yang nakal Sayang, tapi Buba-mu yang minta dimanja." Tian mengerling jahil pada sang istri."Buba nangis terus daddy tinggal, terus puasa makan sama bicara juga. Mulai sekarang Daddy gak boleh tinggalin Buba lagi.""Daddy juga gak mau ninggalin Buba, tapi gimana. Gak mungkin Daddy bawa Buba perjalanan jauh Sayang." Tian memberikan pengertian pada anak gadisnya."Apa yang membuat Daddy sangat cinta sama Buba?" Tanya Dea serius. Dia sering cemburu melihat daddy-nya sangat menyayangi ibu sambungnya itu."Cinta kadang tanpa alasan Sayang, kenapa Dea bertanya seperti itu." Tian melirik Ressa, jawaban umum yang dia berikan itu bisa menjebaknya."Kalau suatu saat nanti Dea mencintai seseorang tanpa alasan, apa Daddy akan merestuinya. Walau orang itu sangat Daddy benci."Tian sangat mengerti kemana arah pembicaraan itu. "Jangan pertanyakan itu sekarang Sayang, kan belum terjadi." Ucap Tian tersenyum, pura-pura tidak mengerti dengan ucapan putrinya."Of course Daddy, aku hanya is
"Daddy, ini Dea lagi sedih loh.""Oh ya, jadi putri Daddy ini lagi sedih. Sedih kenapa Sayang, ayo cerita dulu sama Daddy." Goda Tian sambil menciumi pipi Dea membawanya ke dapur. Karena tadi putrinya itu bilangnya kelaparan. Entah hanya pura-pura atau beneran."Makasih Daddy, ngerti banget kalau Dea lapar. Sekalian suapin ya," ujar gadis remaja itu usil setelah didudukkan Tian di kursi."Of course Honey, Daddy suapin pake centong biar cepat besar." "Boleh di coba," Deandra menarik kedua sudut bibirnya sambil menganga. Gelak tawa keluar dari mulut Tian melihat kelakuan putrinya itu. Tian memasukkan centong ke mulut Dea yang digigit gadis itu. "Astaga, nasi dibuat mainan!!" Tegur Aruna. Deandra cepat melepaskan centong dari mulutnya lalu ikut tertawa bersama sang Daddy."Mas, anaknya diajarin yang baik toh. Masa disuapin pake centong," omel Aruna."Putrimu yang mau disuapin pake centong Ru, sebagai Daddy yang baikkan aku nurut aja." Tian membela diri."Daddy kok Dea sendiri sih yan
Mau melangkahkan kaki masuk rumah, semakin dimarahi lagi nanti. Rumah besar juga salah, dia jadi lelah bicara sambil berteriak-teriak."Oke, Daddy Denis yang panggil Daddy. Sekarang kamu langsung ganti baju Sayang, Mommy yang lihat Buba." Sahut Aruna berjalan mendekati putrinya.Istri Denis itu berjalan cepat ke kolam renang, Ressa duduk di kursi memegangi perutnya kesakitan."Ressa tahan sebentar, Denis masih manggil Tian." Aruna mengelus-elus perut Ressa. Dia bingung harus melakukan apa untuk mengurangi rasa sakit di perut Ressa."Mules banget," lirih Ressa sampai berkeringat dingin."Sayang, kita ke rumah sakit." Tanpa babibu Tian langsung menggendong Ressa, Aruna mengikuti di belakang. Dari kolam renang cukup jauh mendatangi halaman depan. Tian membawa beban berat itu sambil ngos-ngosan."Aku bisa jalan Mas, kalau kamu capek gendongnya." Ujar Ressa kasihan melihat Tian kelelahan menggendong tubuhnya yang menggelembung."Diam Sayang, kamu bisa brojol di sini karena kebanyakan bicar
Sedang di dalam ruang bersalin Tian mengomel pada Ressa. Pasalnya sang istri itu berjalan bolak-balik di hadapannya. "Sayang, aku pusing lihat kamu mondar-mandir." "Ini biar dedek tau jalan keluar Mas," ujar Ressa. Pembukaannya belum lengkap, Jadi masih menunggu waktunya melahirkan."Sini aku aja yang nunjukin jalan keluarnya Sayang, aku lebih hapal." Sahut Tian, membuat perawat yang berjaga di ruangan itu tersenyum geli."Mas ngomong apaan sih, bikin malu aja." Ucap perempuan yang mau melahirkan itu ketus."Marah-marah terus, ayo tiduran aja nanti kakimu capek." Ressa tetap saja mondar-mandir. Karena tidak mempan dengan ucapan. Tian membuat istrinya itu berhenti mondar-mandir dengan memeluknya."Kamu ini bisa bikin dedek lama keluar loh, Mas.""Enggak, dedek pintar sama Daddy. Sayang cepat keluar ya, jangan bikin Mommy kesakitan." Bisik Tian di perut Ressa. Tidak berapa lama setelah itu Ressa mengeluh perutnya sangat sakit.Bayi yang ada dalam perut Ressa itu patuh pada Tian. Kelua