"Kita berpelukannya nanti lagi ya Sayang, Mommy yang sedang butuh Dea sekarang." Tian mengusap puncak kepala anak gadisnya."Bye Daddy, jagain Buba dan adek." Ucap Dea sebelum pergi mengikuti sang nenek dan pengawal ayahnya."Of course, Honey." Tian mengacungkan jempolnya dengan senyuman menawan.***"Hei kenapa menangis?" Aruna menepuk pipi putrinya lembut. Setelah sampai rumah tadi ia langsung ketiduran. Bangun-bangun Dea sudah menangis di sampingnya."Mommy kenapa sakit?" Tanya Deandra pelan."Cuma kecapean Sayang, udah jangan nangis ah. Lihat, kamu diketawain Daddy." Tunjuk Aruna pada sang suami yang senyam senyum sendiri."Daddy emang nakal," Dea memanyunkan bibir cemberut seraya menyeka air mata. Nasib punya ayah dua-duanya usil ya begini."Daddy salah terus deh, kan Daddy gak nyubit kamu kenapa jadi dibilang nakal." Denis sangat gemas dengan putri sambungnya ini, mengunyel-unyel di pipi."Nih buktinya Daddy nakal!!""Daddy sayang sama kamu bukan nakal," Denis terkekeh geli. "M
"Daddy, Mommy sakit apa?" Sambut Deandra.Denis baru pulang memeriksa Aruna sesuai saran sang ibu mertua. Pria itu membawa Dea duduk terlebih dahulu sebelum memberitahunya. Ia khawatir anak gadisnya ini merasa terabaikan."Mommy hamil Sayang, Dea gak papa." Ucap Denis pelan menggenggam tangan putrinya."Dea gak papa, malahan senang mau punya adik lagi." Jawab Dea dengan senyuman ceria. Aruna menghela napas lega. Tadi sangat khawatir saat dokter memberitahu kalau dia positif hamil. Ia tidak ingin putrinya itu merasa terasingkan dan dibeda-bedakan kasih sayang saat memiliki anak dari Denis. Mereka sangat menjaga perasaan Deandra."Makasih Sayang, Daddy tetap sayang sama Dea kok." Denis memeluk Dea seraya mengusap punggungnya hangat."I know Daddy," jawabnya dengan senyuman manis. Sekarang ia di kelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya. Hal yang hanya di dapatkannya dari sang ibu selama dua belas tahun ini.Suara bel mengalihkan atensi tiga orang itu, Aruna bergegas membuka
"Mulutnya, gak dikasih saringan!!" Seru Denis geram pada perempuan yang baru brojol itu. Salah-salah itu akan menjadi pemicu perdebatan diantara dengan Tian."Aku bukan kelapa yang harus disaring dulu untuk mendapatkan santannya Denis.""Terserah kau saja, asal kau bahagia." Gumam Denis jengkel."Kenapa jadi sewot sih, cukup ibu hamil yang sensitif. Bapaknya jangan!" Oceh Ressa semakin menjadi-jadi, seperti tidak baru selesai melahirkan."Urus istrimu itu Tian, bikin kesal aja!" Gerutu Denis keluar dari kamar."Hei, aku adik iparmu jangan semena-mena!" Teriak Ressa.Denis mengendikkan bahu tetap pergi dari kamar Tian."Sayang, mulutnya baru dijahit loh, masih bisa nyinyir aja." Tegur Tian dengan kekehan."Maass, kamu gak jelas!""Kalian semua yang gak jelas. Dea jadi pusing!!" Gumam Deandra melerai perdebatan unfaedah itu. Sebenarnya apa yang mereka permasalahkan. Hanya candaan Daddy yang tertukarkan. Kenapa Daddy-nya yang satu itu jadi sewot.***"Kenapa jadi sewot sih, Ressa cuma be
"Haid," jawabnya pelan."Oh, ayo Mommy temani ganti di kamarmu."Deandra mengangguk kecil. Aruna paham, putrinya itu baru kedatangan tamu pertama kali tidak memiliki persiapan apapun."Mas, aku temani Dea ke kamar dulu." Ijin Aruna, setelah mengambil stok pembalut di lemarinya.Denis mengangguk, setelah ibu dan anak itu pergi ia menghela napas panjang. Mereka harus memperhatikan Deandra lebih ekstra lagi. Ia takut Azmi tiba-tiba datang menemui Dea lagi dan melakukan hal yang di luar batas."Mommy, perutku sakit." Rengek Dea setelah keluar dari kamar mandi. Ia langsung berbaring di tempat tidur."Mommy ambilkan obat pereda nyeri ya Sayang." Baginya mungkin hal seperti itu sudah biasa setiap tamu bulanan datang. Tapi tidak untuk gadis yang baru menginjak remaja itu."Dea kenapa Ru?" Tanya Tian yang melihat Aruna terburu-buru keluar dari kamar putrinya."Sakit perut Mas karena baru pertama haid," jawab Aruna cepat."Haid?" Tian melongo, putri kecilnya sudah haid. Itu artinya Dea bukan ana
"Gimana, sudah tahu dimana keberadaan ayah Dea?" Tanya Ressa pada kakak perempuannya, Aruna. Saat ini ia sedang berada di hotel tempat Aruna menginap, mereka baru tiba tadi malam dari luar negeri."Sudah, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menemuinya. Semoga dia mau bertemu dengan putrinya," jawab perempuan berusia tiga puluh enam tahun itu. "Tante kangen," gadis beranjak remaja bernama Deandra itu memeluk dan mengecupi pipi Ressa. Mereka lama tidak bertemu karena tinggal di luar negeri, sehari-hari di rumah ibunya mengajarkan bahasa Indonesia, jadi dia tidak canggung mengucapkannya. "Tante kangen juga sama kamu, kamu kenapa cepat sekali besar dan makin cantik. Pasti daddy-mu senang bertemu denganmu." "Benarkah, semoga Daddy mau menerima Dea jadi anaknya." Harap gadis berusia dua belas tahun itu. Sejak lahir dia tidak tahu siapa ayahnya, Mom Aruna selalu menceritakan tentang ayah hal-hal yang baik. Tidak ada kebencian yang tumbuh di hatinya, hanya rindu ingin bertemu dan memel
"Aru kembali ke Indonesia," lapor Denis, menunjukkan foto perempuan cantik yang sedang bersama seorang anak perempuan.Tian mengamati dengan lekat foto anak perempuan yang sangat mirip dengannya. Kata orang, anak perempuan cenderung lebih mirip dengan sang ayah, apakah itu benar. "Aru membohongiku, dia bilang sudah menggugurkan anak itu. Tapi kenapa anak gadis ini sangat mirip denganku, apa tujuannya kembali kesini?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Tian, di tengah resah hatinya. Ia takut Ressa mengetahui semua tentang masa lalu yang selama ini ditutupnya rapat. Hanya Denis yang tahu dengan semua rahasianya. "Entahlah, aku akan mengirim orang untuk mengawasi mereka." "Jangan sampai dia tahu keberadaanku, apalagi bertemu dengan Ressa. Aku takut semua yang baru kumulai ini akan berakhir lagi, Denis." Tian mendesah frustasi.Segala yang terjadi di masa lalu itu sangat menggores hatinya, hingga membekas sampai sekarang. Luka itu belumlah sembuh, hanya kering di bagian luarnya saj
Usai makan perempuan hamil itu langsung masuk ke kamar. Hingga malam Ressa tidak mendapati sang suami menyusul ke kamar. Bahkan ia sempat ketiduran. Dengan langkah malas kakinya beranjak ke ruang tengah. Tidak ada Tian disana, di kamar sampingnya pun juga tidak ada. Kemana perginya sang suami. Biasanya Tian akan selalu merayu saat dia marah. Ressa memeriksa garasi, kosong. Mobil Tian tidak ada. Hatinya mencelos, kemana Tian pergi tanpa berpamitan padanya. Apakah menemui Aru? Paginya Ressa hanya sarapan roti, tidak memasak karena perutnya sedang tidak bersahabat. Lagian suaminya juga tidak ada di rumah. Makan malam kemarin masih utuh dan berakhir di tempat sampah. Telinganya mendengar suara derit langkah kaki, Tian sudah kembali. Ia harus tetap berakting biasa saja, tidak boleh terlihat kecewa. Biar dia yang menanggung semua luka ini sendirian tanpa perlu orang lain tahu. "Aku gak masak, mau sarapan roti?" Tawar Ressa basa-basi, mulutnya sudah gatal ingin marah-marah tapi ditahanny
"Maaf Honey," lirih Tian tanpa membuka mata, menggenggam tangan sang istri yang masih duduk di sisinya, deru napasnya sudah mulai beraturan. "Aku takut kamu pergi, seperti dia yang dulu pergi meninggalkanku. Bahkan aku tidak diberi kesempatan untuk melihat anakku sendiri. Aku sudah mengubur dalam semua tentangnya. Baru aku ingin memulai semuanya denganmu, dia malah muncul di kehidupanku lagi." Tian mengungkapkan isi hatinya, setakut itu ditinggalkan oleh Ressa dan calon anaknya.Ressa membawa membawa tangannya mengusap rambut sang suami. Selemah itu dia kalau Tian sudah mengeluarkan kata-kata manisnya."Jika kamu sangat takut kehilanganku, maka aku sangat takut kamu kembali pada kehidupanmu yang dulu, Tian. Ingin aku mempercayaimu, tapi lagi-lagi dunia mengecohku, aku tidak berdaya, aku bisa apa." Lelaki itu membuka mata lalu tersenyum membelai pipi istrinya. "Kalau kamu ingin pergi, pergilah sekarang, mumpung aku berubah pikiran. Aku menyayangimu, Ressa, titip anakku." Setelah mer