Usai makan perempuan hamil itu langsung masuk ke kamar. Hingga malam Ressa tidak mendapati sang suami menyusul ke kamar. Bahkan ia sempat ketiduran. Dengan langkah malas kakinya beranjak ke ruang tengah. Tidak ada Tian disana, di kamar sampingnya pun juga tidak ada.
Kemana perginya sang suami. Biasanya Tian akan selalu merayu saat dia marah. Ressa memeriksa garasi, kosong. Mobil Tian tidak ada. Hatinya mencelos, kemana Tian pergi tanpa berpamitan padanya. Apakah menemui Aru?Paginya Ressa hanya sarapan roti, tidak memasak karena perutnya sedang tidak bersahabat. Lagian suaminya juga tidak ada di rumah. Makan malam kemarin masih utuh dan berakhir di tempat sampah.Telinganya mendengar suara derit langkah kaki, Tian sudah kembali. Ia harus tetap berakting biasa saja, tidak boleh terlihat kecewa. Biar dia yang menanggung semua luka ini sendirian tanpa perlu orang lain tahu."Aku gak masak, mau sarapan roti?" Tawar Ressa basa-basi, mulutnya sudah gatal ingin marah-marah tapi ditahannya."Enggak, sudah sarapan?" Tanya Tian sambil tersenyum manis, seolah tidak masalah baru pulang pagi."Iya, ya sudah aku bereskan kalau kamu gak mau sarapan." Ucap Ressa tenang, meskipun dalam hatinya ingin sekali marah melihat suaminya yang tidak merasa berdosa meninggalkannya tidur sendirian."Aku mau mandi dulu ya?"Ressa hanya menjawab dengan anggukan kepala. Pikirannya sudah melayang kemana-mana memikirkan Tian.Apa Tian menginap di tempat Aru? Batinnya bertanya-tanya, bagaimana nanti nasib anak dalam kandungannya kalau Tian memutuskan menikahi kakaknya. Memikirkannya saja membuat hati Ressa tidak karuan.***"Sa, aku berangkat ke kantor dulu ya. Mungkin pulangnya agak malam karena lagi ada proyek baru." Tian menyempatkan mengecup kening Ressa yang sedang menyapu di teras. Istrinya ini tidak mau mempekerjakan asisten rumah tangga, padahal sudah ditawarinya berkali-kali."Iya, hati-hati, jangan lupa makan." Ucap Ressa lembut seraya melambaikan tangan seolah tidak ada apa-apa yang terjadi dengan hatinya.Sampai jam sepuluh malam Ressa menunggu Tian pulang, tapi suaminya itu tidak ada tanda-tanda pulang ke rumah."Kamu tidur dimana lagi, apa benar di tempat Aru." Gumamnya pada diri sendiri, lagi-lagi ia tidur sendirian, suaminya itu baru menampakkan batang hidung di pagi hari."Dari mana?" tanyanya dingin. "Perempuan mana lagi yang kamu temui Tian," cetusnya dengan wajah tak ramah. Ternyata kesabarannya hanyalah setipis tisu yang terbagi-bagi. Ia tidak bisa bersikap tidak peduli dan membiarkan Tian memperlakukannya sesuka hati."Aku tidak menemui perempuan manapun, Honey," jawab Tian. Ia hanya menenangkan pikiran, melihat Ressa membuat hatinya terlampau sakit. Tapi dia tidak bisa berterus terang pada perempuannya ini. "Lalu kemana Tian, kamu biarkan aku tidur sendirian di rumah dan pergi tanpa berpamitan. Kamu pikir sebagai istrimu aku bisa tenang dengan semua rekam jejakmu itu." Cetus Ressa, berusaha menahan air matanya agar tidak berjatuhan saat ini juga."Maaf Honey," Tian mendekat dan merengkuh tubuh istrinya, "maaf sudah membuatmu tidur sendirian. Sumpah, aku tidak bertemu perempuan manapun, aku tidur di apartemen.""Apa gunanya aku di rumah ini kalau pada akhirnya kamu tetap tidur di apartemen, Tian. Lebih baik aku yang pergi dari rumah ini," ucap Ressa lalu masuk ke kamar dan memasukkan pakaian ke dalam koper."Jangan pergi, Sayang." Tian menghentikan istrinya yang sedang mengemasi pakaian."Aku ada disini juga nggak ada gunanya!" sarkas Ressa, berpikir ulang untuk mempertahankan rumah tangganya."Sayang, tolong dengarkan aku." Tian membawa istrinya untuk duduk disisi tempat tidur. Menenangkan perempuan hamilnya yang sedang emosi. "Aku akan menjelaskan semuanya, tapi tolong jangan pergi, Sayang."Ressa menahan napas, perasaannya tidak enak. Apa Tian sudah tahu kalau memiliki seorang putri."Aku menjauh darimu karena merasa bersalah setiap kali berada di dekatmu, Sayang. Aku terlalu takut kamu pergi meninggalkanku Sa, janji jangan pergi setelah aku jujur ya." Mohon Tian dengan mata berkaca-kaca, sangat takut kehilangan keluarga kecil yang baru saja dibangunnya.Ressa tahu kemana arah pembicaraan ini, itu artinya Tian sudah tahu kalau memiliki seorang anak dari perempuan lain. Tapi belum tahu kalau dia dan Aruna bersaudara."Aku punya anak dari perempuan lain Sa, umurnya sekarang mungkin sudah dua belas tahun." Lirih Tian yang langsung merengkuh tubuh Ressa, takut sang istri langsung kabur darinya. Perempuan hamil itu mengatur napasnya susah payah. Ia masih belum siap mendengar langsung pengakuan dari suaminya. Meskipun sudah tahu, tetap saja rasanya sangat menyakitkan."Bisa kamu menceraikan aku Tian, dan jaga anakmu itu dengan baik. Biar aku yang menjaga anak kita ini, aku tidak akan melarangnya bertemu denganmu nanti. Aku juga tidak akan menggugurkannya seperti mantan-mantanmu dulu. Aku gak akan sanggup mendengar ada berapa perempuan lagi yang melahirkan anakmu." Lirih Ressa terisak sendu, rasanya sangat menyakitkan mengatakan itu. Namun kenyataannya, Tian tidak hanya menghamili dirinya.Apa yang sedang menghantamnya sekarang. Pasti ini doa ibu yang sedang bekerja. Mungkin ini semua hukuman buatnya karena sudah menentang ibu. Ressa menyeka air matanya lalu berusaha tersenyum manis."Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan kamu, Ressa!" Tegas Tian, mengambil ponsel lalu menelpon Denis agar mengirimkan orang untuk berjaga di rumahnya. Ia tidak akan membiarkan Ressa pergi walau selangkah dari rumah."Kamu egois, Tian." Ressa memukuli dada suaminya. "Kamu jahat, kamu ingin membuatku seperti tawanan di rumah ini." "Semua aku lakukan agar kamu tetap berada di sisiku, Ressa. Biar aku jadi egois, aku tidak ingin kehilangan kamu.""Aku mau pergi dari sini Tian, lepasin aku." Ujar Ressa memberontak, "aku gak sanggup, aku gak sanggup," lirihnya pilu."Tidak akan, aku tidak akan melepaskanmu Ressa!" Bentak Tian terbawa emosi, mendengar Ressa ingin bercerai darinya membuatnya hilang kesabaran. "Diam atau aku ikat kamu."Ressa berhenti memberontak, kalau Tian mengikatnya ia tidak akan bisa bergerak bebas, kasihan janinnya."Berani pergi dari rumah ini aku tidak akan memberikan ampun untukmu!" Ucap Tian dingin, melepaskan Ressa dari pelukannya lalu berbaring dengan mata terpejam sambil mengatur napas agar emosinya dapat terkendali.Ressa diam mematung melihat kemarahan suaminya. Harusnya dia yang marah, tapi sekarang kenapa malah Tian yang marah."Maaf Honey," lirih Tian tanpa membuka mata, menggenggam tangan sang istri yang masih duduk di sisinya, deru napasnya sudah mulai beraturan. "Aku takut kamu pergi, seperti dia yang dulu pergi meninggalkanku. Bahkan aku tidak diberi kesempatan untuk melihat anakku sendiri. Aku sudah mengubur dalam semua tentangnya. Baru aku ingin memulai semuanya denganmu, dia malah muncul di kehidupanku lagi." Tian mengungkapkan isi hatinya, setakut itu ditinggalkan oleh Ressa dan calon anaknya.Ressa membawa membawa tangannya mengusap rambut sang suami. Selemah itu dia kalau Tian sudah mengeluarkan kata-kata manisnya."Jika kamu sangat takut kehilanganku, maka aku sangat takut kamu kembali pada kehidupanmu yang dulu, Tian. Ingin aku mempercayaimu, tapi lagi-lagi dunia mengecohku, aku tidak berdaya, aku bisa apa." Lelaki itu membuka mata lalu tersenyum membelai pipi istrinya. "Kalau kamu ingin pergi, pergilah sekarang, mumpung aku berubah pikiran. Aku menyayangimu, Ressa, titip anakku." Setelah mer
"Aku harus apa, jika Dea menginginkan ayahnya." Ressa berujar setelah mereka cukup lama saling diam dengan pikiran masing-masing. Tian hanya bisa membisu, dia bahkan tidak tahu tindakan apa yang akan dipilihnya nanti jika itu terjadi. "Jika kamu pikir aku tidak cemburu dengan Aru, kamu salah. Aku bahkan tahu kamu sangat mencintai Aru waktu itu. Mungkin cintamu untuknya itu melebihi cintamu padaku. Lepaskan aku jika nanti kamu sulit untuk memilih." Ressa tersenyum menepuk pipi Tian di tengah serpihan hatinya yang berantakan. "Beri aku waktu memikirkan semuanya Sa, agar apa yang aku putuskan terbaik untuk kita semua. Aku akan bicara dengan Aru dan meminta maaf padanya karena sudah menelantarkan anakku." Tian memeluk Ressa dari belakang, membenamkan wajah di ceruk leher sang istri. Dia sangat takut kehilangan Ressa dan calon anaknya. Tapi jika memaksa mereka bertahan di sisinya itu juga menyakitkan untuk Ressa. Apakah ia harus melepaskan. Sesuatu yang di genggam sangat erat bisa jadi
"Daddy, kita akan ketemu nenek dan kakek sama mommy kan? Setelah itu kalian menikah, kita akan hidup bahagia bersama. Tidak akan terpisah lagi." "Dea, Daddy sudah me—" "Tian," potong Aruna sambil menggeleng pelan. Berharap Tian tidak mengecewakan putrinya di pertemuan pertama. "Tapi aku gak bisa Aru," lirih Tian sangat pelan. "Please kita bahas itu nanti, Tian. Jangan buat Dea sedih sekarang," mohon Aruna. Tian hanya diam, tidak menolak juga tidak mengiyakan keinginan Deandra yang diartikan gadis kecil itu sebagai persetujuan. Ressa sudah menyiapkan kopernya, mendatangi Tian yang masih melamun di halaman belakang. "Jangan cari aku dulu, setelah melahirkan aku akan mengabarimu dimana tinggal. Kamu bisa bertemu anakmu nanti. Bahagiakan Aru dan Dea, mereka keluarga impianmu Tian, aku pamit." Ressa memeluk Tian untuk terakhir kalinya. "Maafkan aku, Sayang." Tian memejamkan mata, satu tetes cairan bening terjatuh di sana. "Maaf aku selalu membuatmu terluka, bawa ATM ini," katanya me
Untuk menghilangkan pusing, Tian menemui putrinya, menyempatkan waktu mengajaknya bermain. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang sangat bahagia. "Kapan Daddy menikahi mommy?" Tanya Dea saat mereka makan siang di sebuah restoran. Tian tersenyum lembut menepuk puncak kepala putrinya, "sabar ya Sayang. Gak bisa secepat itu, Daddy lagi banyak kerjaan yang harus diselesaikan." "Yes Daddy, Mommy gak usah balik, oke. Kita akan sama-sama di sini," ucap Dea ceria. Aruna hanya tersenyum menanggapi. Ia merasa Tian tidak nyaman berada di dekatnya, mereka harus bicara empat mata nanti untuk menghindari masalah kedepannya. "Makan yang banyak, biar putri Daddy cepat besar." Raga Tian memang ada di sini, tapi jiwanya sedang mengkhawatirkan keadaan Ressa. Belum satu hari dia sudah dibuat hampir gila oleh istrinya itu. *** Ressa membuka surat yang berlogo pengadilan agama. Tian mengirimkan untuknya. "Secepat ini," gumamnya sambil tersenyum. Padahal pernikahan mereka baru berjalan satu mi
Tian memarkirkan mobilnya di depan rumah Erfan. Saat memencet bel, dia mendapati sahabatnya itulah yang membuka pintu. "Erfan benarkan?" Tanya Aruna pangling, "kalian masih bersahabat sampai sekarang?" Perempuan itu menatap Erfan dan Tian bergantian. Erfan mengangguk sambil tersenyum tipis mengajak Aruna dan Tian masuk. "Sayang, ada tamu." Panggilnya pada sang istri yang sedang membuat kue di dapur bersama Ressa. "Sa, boleh minta tolong buatkan minum, penuh tepung nih." Hira mengerling genit pada sahabatnya. "Iya, mau minum apa? Kopi manis, kopi pahit, susu atau darah segar?" Sahut Resa diikuti dengusan. "Lo kira dukun yang datang." Hira terkekeh geli, sahabatnya itu tidak terlihat seperti sedang patah hati atau frustasi. "Mungkin, siapa tau dukun yang datang buat bantu aku mengirim santet pada Tian." Jawab Ressa dengan kekehan. "Apa yang lo bisa aja deh. Asal jangan air comberan," sinis Hira. "Baiklah, jangan salahkan gue kalau mereka gue kasih air jampi-jampu dan jadi ke pel
"Gue gak mau lihat lo bersikap seperti itu pada Ressa lagi. Lo gak mikir bagaimana terlukanya Ressa dengan semua masa lalu yang lo sembunyikan!" Ucap Erfan emosi. Aruna yang ada di tempat itu hanya diam, tidak bisa mengatakan apapun. "Ya, gue salah." Desis Tian, "Aru masih mau bicara sama Ressa. Kalau nggak kita pulang." "Aku pamit sama Ressa dulu," izin Aruna yang diangguki Tian. Ressa duduk di balkon sambil menatap langit. Sebenarnya dia ini apa bagi Tian, jika tetap Aruna lah yang terpilih. Aruna, Aruna dan Aruna. Dari dulu selalu saja Aruna yang jadi kebanggaan. Nikahnya cuma satu minggu, kepikirannya entah sampai kapan. Ressa menepis semua perkataan Tian yang bisa membuatnya klepek-klepek. "Mau makan sesuatu, biar gue buatin?" Tawar Hira sambil tersenyum. Sahabatnya ini sangat kuat. Ressa menggelengkan kepala. "Dunia ini sempit banget ya Ra, kenapa harus Tian yang menghamili Aru." Ressa tersenyum simpul, "untung pernikahan ini tidak diketahui banyak orang. Jadi gue masih
"Honey, mau ya?" Tian meringsek dalam pelukan Ressa tidak mempedulikan ada Erfan dan Hira di sana. Sungguh urat malunya sudah putus "Aku gak niat berbagi suami, Tian! Aku tidak sedang main sinetron, tidak niat dengan ajakanmu." Desis Ressa kesal. "Demi Dea, demi anak kita, demi aku Honey. Please, aku gak kuat jauh dari kalian." Mohon Tian dengan memelas. "Itu bukan urusanku, masalah kita sudah selesai, kamu yang memilih Aru dan menceraikanku. Jangan meminta aku yang berkorban demi kebahagiaan kalian," sahut Ressa tegas. Ia tidak ingin ada produser sinetron yang meliriknya dan menjadikannya pemain sinetron dadakan karena cocok berakting menjadi istri yang rela berbagi suami. "Aku memilih Aru demi Dea, Ressa." Bela Tian lemas. Ressa tersenyum getir sekarang saja dia harus mengalah demi Dea. Apalagi anaknya nanti pasti akan selalu tersingkirkan oleh anak Aruna itu. "Aku gak bisa, Tian. Titik, gak pake koma! Erfan yang memanggilmu ke sini. Jadi silahkan kalian bicara." Ujarnya ber
"Sekarang mau apa, hm." Tian menciumi perut buncit yang di dalam ada anaknya sedang bersemayam. "Di sini dulu mau peluk kamu, setelah ini aku gak bisa peluk kamu lagi." Ujar Ressa manja, mengalungkan tangannya ke leher Tian. Tuhan, maafkan dia yang sudah main belakang dengan suami saudaranya sendiri. "Bisa, masih bisa Sayang. Kalau kita terus di sini orang-orang bisa pipis di celana." Kekeh Tian lalu menelpon Denis untuk menyiapkan mobil di pintu belakang. "Kita keluar dari sini, Sayang. Kamu jangan lihat apapun ya. Peluk aku biar gak ada yang kenal sama kamu." Ressa mengangguk, Tian membawa perempuannya itu dalam gendongan menuju mobil yang sudah Denis siapkan. Anggap saja dia sedang menolong perempuan yang pingsan kalau ada yang bertanya. "Gila!" Denis berdecak saat Tian datang membawa Ressa. "Semua orang sedang sibuk mencarimu, Tian. Kamu malah sibuk dengan mantan istrimu." "Emang gue peduli," Tian tertawa kecil sambil memeluk Ressa. "Ke rumah yang dulu," titahnya. Denis la