"Daddy, kita akan ketemu nenek dan kakek sama mommy kan? Setelah itu kalian menikah, kita akan hidup bahagia bersama. Tidak akan terpisah lagi."
"Dea, Daddy sudah me—""Tian," potong Aruna sambil menggeleng pelan. Berharap Tian tidak mengecewakan putrinya di pertemuan pertama."Tapi aku gak bisa Aru," lirih Tian sangat pelan."Please kita bahas itu nanti, Tian. Jangan buat Dea sedih sekarang," mohon Aruna. Tian hanya diam, tidak menolak juga tidak mengiyakan keinginan Deandra yang diartikan gadis kecil itu sebagai persetujuan.Ressa sudah menyiapkan kopernya, mendatangi Tian yang masih melamun di halaman belakang."Jangan cari aku dulu, setelah melahirkan aku akan mengabarimu dimana tinggal. Kamu bisa bertemu anakmu nanti. Bahagiakan Aru dan Dea, mereka keluarga impianmu Tian, aku pamit." Ressa memeluk Tian untuk terakhir kalinya."Maafkan aku, Sayang." Tian memejamkan mata, satu tetes cairan bening terjatuh di sana. "Maaf aku selalu membuatmu terluka, bawa ATM ini," katanya memberikan kartu ATM pada Ressa."Jangan hidup susah, aku gak mau kamu kelelahan. Bayar perawat untuk menjagamu, ini keputusanmu aku tidak bisa menahan lagi karena kamu yang tidak ingin tinggal.""Iya," Ressa menerima kartu itu. Dia memang butuh uang untuk bertahan hidup dan juga kebutuhan janinnya."Jangan minta cerai, aku cuma memberimu jeda waktu menjauh dariku. Aku tidak akan menceraikanmu," Tian memberikan kecupan di seluruh wajah Ressa lalu melepaskan istri tersayangnya untuk pergi.Hanya sebentar, ya dia hanya akan memberikan waktu sebentar untuk istrinya ini menenangkan diri.Ressa menaiki taksi menuju rumah sahabatnya. Dia tahu Tian tidak akan benar-benar melepaskannya. Suaminya itu punya seribu satu cara untuk menjeratnya kembali.Sesampainya di kediaman sang sahabat, Ressa menyeret kopernya. Hira sedang di teras hendak melepaskan suaminya berangkat kerja."Ressa, ada apa?" Tegur Erfan, suami Hira lebih dulu. "Ayo masuk," ajaknya, mengambil alih koper Ressa dan membawa masuk ke rumah, lalu meminta pada asisten rumah tangga untuk menyiapkan kamar tamu.Hira menatap iba sahabatnya lalu membawanya duduk."Tian berbuat ulah apa Sa?" Tanya Erfan dengan tatapan khawatir."Rumit," ucap Ressa lirih. Erfan merupakan mantan bosnya, dia bertemu Tian karena dulu pria itu sering berada di kantor Erfan."Akan lebih rumit kalau kami hanya menerka-nerka apa yang terjadi diantara kalian, bagaimana kami bisa membantu." Ujar Hira lembut membawa sahabatnya dalam pelukan."Tian punya anak dari perempuan lain Ra, perempuan itu Aru." Ucap Ressa sendu, tidak ada air mata yang terjatuh di sana. Walau hatinya sangat sakit tapi dia masih bisa kuat di depan orang lain.Hira membulatkan mata terkejut, menatap suaminya yang sudah memijat pelipis. "Jadi Dea anak Tian?"Ressa mengangguk pelan, "dari dulu Dea sangat menginginkan ayahnya Ra. Aku tidak ingin mengecewakannya.""Tapi kamu bisa bicarakan ini dengan Aru, Sa. Aku yakin dia akan mengerti kalau kamu bilang Tian itu suamimu." Saran Hira, dia mengenal Aru. Saat perempuan itu sedang hamil tua ia dan Ressa yang membantu merawatnya."Aku gak bisa, Ra. Kasihan Dea.""Anak kamu juga perlu ayah, Sa." Hira menatap suaminya butuh pencerahan."Aku mengenal Tian, Sa. Dia pasti tidak akan menceraikanmu dan menikahi Aru. Tian pasti bisa menyelesaikan semuanya tanpa melepaskanmu. Dia hanya memberi kamu waktu untuk menenangkan diri selama dia memecahkan masalah ini," tutur Erfan."Aru mencintai Tian dan juga sebaliknya Tian masih sangat mencintai Aru." Ressa mengungkapkan apa yang ada dipikirannya. Itulah yang pikirannya katakan, suaminya masih mencintai perempuan lain."Aku mengenal Tian tidak hanya setahun dua tahun Sa, walaupun dia menyembunyikan masalahnya dengan Aru. Tapi aku mengetahuinya sejak dulu." Ungkap Erfan yang membuat Hira melotot pada suaminya itu. Itu niat menghibur apa menjatuhkan mental sih."Ketika Tian memutuskan menikah denganmu, aku yakin perasaan cinta pada Aru sudah tidak ada lagi." Lanjut Erfan, yang membuat Hira lega."Aku yang akan menemui Aru dan menjelaskan semua padanya. Sekarang kamu istirahat, tidak ada yang bisa mengganggumu di sini.""Jangan katakan pada Aru, Ra. Jangan kecewakan Dea," mohon Ressa."Lihat bagaimana nanti," putus Hira membawa Ressa ke kamar tamu. Dia tidak akan diam saja membiarkan sahabatnya ini terluka. Aruna membesarkan anaknya sendiri itu pilihannya karena tidak mau dinikahi pelaku."Ra, please. Kasihan Dea, dia masih kecil." Mohon Ressa di kamarnya."Sekecil apapun Dea, dia akan mengerti nanti kalau ayahnya sudah punya istri. Lagipula kamu tidak memisahkan ayah dan anak." Hira membuka lemari dan mengambil pashmina lalu memasangkan di kepala Ressa. "Cantik," pujinya saat pashmina itu terpasang di kepala sahabatnya."Itu kan sebenarnya yang Tian mau, tapi kamu terlalu buru-buru Sa.""Entahlah Ra, aku buntu. Sedari awal memang hubunganku dengan Tian salah. Mungkin Tuhan marah padaku. Aku bukan anak yang baik, lengkaplah sudah." Ressa menyalahkan diri sendiri atas keadaan yang menimpanya sekarang."Allah sayang kalian, Sa. Ini hanya pengingat bukan hukuman. Kalau ini hukuman, kamu tidak akan ada di sini dalam keadaan masih sehat dan bisa bernapas bebas." Hira mengingatkan dengan lembut. Ressa sedang mengalami tekanan berat, ia tidak bisa menasehati dengan cara keras."Aku capek!" Lirih Ressa."Istirahat, bukan menyerah. Pernikahan kalian baru satu minggu, ini baru ombak kecil dalam hubungan kalian. Tenangkan diri biar bisa berpikir jernih, jangan pikirkan yang aneh-aneh." Hira menepuk pelan pipi sang sahabat, menasehati memang mudah. Melaluinya yang berat.***Tian memijat pelipisnya yang nyeri, baru satu minggu hidupnya berwarna sekarang sudah kelam lagi. Ia tahu kemana istrinya pergi dan sudah memastikan kalau Ressa aman di sana. Hanya saja bagaimana dia menghadapi Deandra dan menjelaskan pada anaknya itu."Bengong tidak akan menyelesaikan masalah, Tian. Lo harus tegas, siapa yang mau lo pertahankan."Suami Ressa itu menoleh ke arah pintu, sahabatnya sudah berdiri seperti jin pintu di sana dengan tangan terlipat di depan dada."Dea ingin gue menikahi ibunya, Fan. Itu satu-satunya permohonan anak gue, agar dia bisa terus memeluk gue sebagai ayahnya. Nasabnya dengan gue terputuskan? Dia bukan mahram gue, itu yang Dea bilang. Walau gue gak paham banyak, tapi sedikit gue ngerti, apa yang dia mau. Apa salah, kalau gue memenuhi keinginannya."Erfan tertegun, Tian tetap harus menikahi Aruna agar bisa menjadi mahram Deandra, walau nasabnya dengan sang ayah terputus."Gue cuma pengen memberikan itu, tapi Ressa tidak akan bisa mengerti." Sambung Tian frustasi, ia pusing memikirkan istrinya yang pergi."Lo harus tetap menjalankan pernikahan yang sesungguhnya Tian kalau ingin menikahi Aruna, jangan sampai salah niat.""Itu artinya gue harus melepaskan Ressa, dia akan meminta cerai kalau gue meniduri perempuan lain." Tian menggeleng pelan, tidak tahu jalur mana yang harus dia ambil. "Parahnya lagi mereka kakak adik, Erfan."Pernyataan Tian yang terakhir membuat Erfan terperanjat. Tadi di rumah dia pikir Ressa mengenal Aruna karena mereka bersahabat seperti dengan Hira."Satu-satunya jalan gue harus menceraikan Ressa dan menikahi Aru kalau ingin menuruti keinginan Dea, atau gue tetap bertahan dengan Ressa dan anak gue kecewa yang bisa memicu keributan lain. Ressa sudah dibenci ibunya, dia akan bertambah tertekan kalau Aru dan Dea membencinya.""Ressa maunya bagaimana?" Tanya Erfan, suami Hira itu ikut memijat pelipis karena bingung harus memberikan pendapat apa."Cerai.""Mungkin jodoh kalian memang sampai di sini, dan keinginan dua orang itu terpenuhi." Erfan tertawa mirisnya dengan pendapat bodohnya."Ya, sebaiknya memang begitu. Gue titip Ressa, jangan biarkan dia pergi dari rumah lo, Fan. Dengan begini dia tidak akan terus terluka karena berada di sisi gue." Ucap Tian akhirnya setelah lama berpikir. Awalnya dia tidak ingin melepaskan Ressa. Namun semakin dijerat, Ressa akan semakin tertekan dengannya.Untuk menghilangkan pusing, Tian menemui putrinya, menyempatkan waktu mengajaknya bermain. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang sangat bahagia. "Kapan Daddy menikahi mommy?" Tanya Dea saat mereka makan siang di sebuah restoran. Tian tersenyum lembut menepuk puncak kepala putrinya, "sabar ya Sayang. Gak bisa secepat itu, Daddy lagi banyak kerjaan yang harus diselesaikan." "Yes Daddy, Mommy gak usah balik, oke. Kita akan sama-sama di sini," ucap Dea ceria. Aruna hanya tersenyum menanggapi. Ia merasa Tian tidak nyaman berada di dekatnya, mereka harus bicara empat mata nanti untuk menghindari masalah kedepannya. "Makan yang banyak, biar putri Daddy cepat besar." Raga Tian memang ada di sini, tapi jiwanya sedang mengkhawatirkan keadaan Ressa. Belum satu hari dia sudah dibuat hampir gila oleh istrinya itu. *** Ressa membuka surat yang berlogo pengadilan agama. Tian mengirimkan untuknya. "Secepat ini," gumamnya sambil tersenyum. Padahal pernikahan mereka baru berjalan satu mi
Tian memarkirkan mobilnya di depan rumah Erfan. Saat memencet bel, dia mendapati sahabatnya itulah yang membuka pintu. "Erfan benarkan?" Tanya Aruna pangling, "kalian masih bersahabat sampai sekarang?" Perempuan itu menatap Erfan dan Tian bergantian. Erfan mengangguk sambil tersenyum tipis mengajak Aruna dan Tian masuk. "Sayang, ada tamu." Panggilnya pada sang istri yang sedang membuat kue di dapur bersama Ressa. "Sa, boleh minta tolong buatkan minum, penuh tepung nih." Hira mengerling genit pada sahabatnya. "Iya, mau minum apa? Kopi manis, kopi pahit, susu atau darah segar?" Sahut Resa diikuti dengusan. "Lo kira dukun yang datang." Hira terkekeh geli, sahabatnya itu tidak terlihat seperti sedang patah hati atau frustasi. "Mungkin, siapa tau dukun yang datang buat bantu aku mengirim santet pada Tian." Jawab Ressa dengan kekehan. "Apa yang lo bisa aja deh. Asal jangan air comberan," sinis Hira. "Baiklah, jangan salahkan gue kalau mereka gue kasih air jampi-jampu dan jadi ke pel
"Gue gak mau lihat lo bersikap seperti itu pada Ressa lagi. Lo gak mikir bagaimana terlukanya Ressa dengan semua masa lalu yang lo sembunyikan!" Ucap Erfan emosi. Aruna yang ada di tempat itu hanya diam, tidak bisa mengatakan apapun. "Ya, gue salah." Desis Tian, "Aru masih mau bicara sama Ressa. Kalau nggak kita pulang." "Aku pamit sama Ressa dulu," izin Aruna yang diangguki Tian. Ressa duduk di balkon sambil menatap langit. Sebenarnya dia ini apa bagi Tian, jika tetap Aruna lah yang terpilih. Aruna, Aruna dan Aruna. Dari dulu selalu saja Aruna yang jadi kebanggaan. Nikahnya cuma satu minggu, kepikirannya entah sampai kapan. Ressa menepis semua perkataan Tian yang bisa membuatnya klepek-klepek. "Mau makan sesuatu, biar gue buatin?" Tawar Hira sambil tersenyum. Sahabatnya ini sangat kuat. Ressa menggelengkan kepala. "Dunia ini sempit banget ya Ra, kenapa harus Tian yang menghamili Aru." Ressa tersenyum simpul, "untung pernikahan ini tidak diketahui banyak orang. Jadi gue masih
"Honey, mau ya?" Tian meringsek dalam pelukan Ressa tidak mempedulikan ada Erfan dan Hira di sana. Sungguh urat malunya sudah putus "Aku gak niat berbagi suami, Tian! Aku tidak sedang main sinetron, tidak niat dengan ajakanmu." Desis Ressa kesal. "Demi Dea, demi anak kita, demi aku Honey. Please, aku gak kuat jauh dari kalian." Mohon Tian dengan memelas. "Itu bukan urusanku, masalah kita sudah selesai, kamu yang memilih Aru dan menceraikanku. Jangan meminta aku yang berkorban demi kebahagiaan kalian," sahut Ressa tegas. Ia tidak ingin ada produser sinetron yang meliriknya dan menjadikannya pemain sinetron dadakan karena cocok berakting menjadi istri yang rela berbagi suami. "Aku memilih Aru demi Dea, Ressa." Bela Tian lemas. Ressa tersenyum getir sekarang saja dia harus mengalah demi Dea. Apalagi anaknya nanti pasti akan selalu tersingkirkan oleh anak Aruna itu. "Aku gak bisa, Tian. Titik, gak pake koma! Erfan yang memanggilmu ke sini. Jadi silahkan kalian bicara." Ujarnya ber
"Sekarang mau apa, hm." Tian menciumi perut buncit yang di dalam ada anaknya sedang bersemayam. "Di sini dulu mau peluk kamu, setelah ini aku gak bisa peluk kamu lagi." Ujar Ressa manja, mengalungkan tangannya ke leher Tian. Tuhan, maafkan dia yang sudah main belakang dengan suami saudaranya sendiri. "Bisa, masih bisa Sayang. Kalau kita terus di sini orang-orang bisa pipis di celana." Kekeh Tian lalu menelpon Denis untuk menyiapkan mobil di pintu belakang. "Kita keluar dari sini, Sayang. Kamu jangan lihat apapun ya. Peluk aku biar gak ada yang kenal sama kamu." Ressa mengangguk, Tian membawa perempuannya itu dalam gendongan menuju mobil yang sudah Denis siapkan. Anggap saja dia sedang menolong perempuan yang pingsan kalau ada yang bertanya. "Gila!" Denis berdecak saat Tian datang membawa Ressa. "Semua orang sedang sibuk mencarimu, Tian. Kamu malah sibuk dengan mantan istrimu." "Emang gue peduli," Tian tertawa kecil sambil memeluk Ressa. "Ke rumah yang dulu," titahnya. Denis la
"Morning Honey," sapa Tian pada Ressa yang baru bangun. Dia pulang ke rumah jam tiga subuh, setelah tidur beberapa jam menemani Aruna."Hei kapan pulang, aku pikir kamu kembali ke hotel.""Aku emang kembali ke hotel. Sepertinya aku harus mencarikan mereka rumah yang dekat di sekitar sini, agar aku mudah menemui Dea.""Kamu atur aja gimana baiknya, atau kamu tinggal di sana aku di rumah ini sendiri juga gak papa." Ressa akhirnya pasrah dengan statusnya yang jadi istri kedua. Dengan segala sesak yang disimpannya sendirian."Tian, jangan bandingkan aku dengan Aru, bisa? Saat kamu bersamanya nanti, kamu pasti akan melihat segala kelebihan yang dimilikinya."Tian memeluk perempuan tersayangnya ini, tadi malam sudah keceplosan membandingkan Ressa dengan Aruna. Pasti sejak kecil istrinya ini selalu disisihkan."Iya Sayang, aku mau jujur boleh?" "Aku tahu, gak perlu bilang." Ressa mengelus pipi Tian dengan lembut. Bagaimana dia tidak tahu saat melihat tanda percintaan di leher Tian sebesar
"Honey, bangun yuk. Badan kamu bisa sakit tiduran seharian." Tian berusaha membangunkan Ressa yang sampai lewat tengah hari belum mau beranjak dari tempat tidur."Udah dong ngambeknya, Sayang." Istri muda merajuk, balik ke rumah istri tua. Kalau dua-duanya merajuk, ana kawin tiga. Tian menyanyi dalam hati sambil tertawa kecil. Demi menemani Ressa dia tidak ke kantor hari ini.Tian membangunkan paksa Ressa lalu mengusap-usap perutnya. "Dedek, bilangin mama merajuknya jangan lama-lama. Jangan bikin papa bingung.""Sini ngomong, mau apa Sayang." Tian merapikan rambut Ressa yang berantakan. Dia seperti membujuk anak kecil yang sedang merajuk. Lengkap sudah, ibu hamil muda dibikin sakit hati ya begini jadinya. Pria itu bangun, menggendong tubuh Ressa yang sebenarnya berat. Membawanya berjalan-jalan di dalam kamar, tidak mungkinkan dia menggendong Ressa keliling komplek.Apalagi cara yang harus digunakannya, kalau diam dan tidak mau
Ressa terbangun dengan peluh membasahi keningnya. Ia memeriksa ponsel karena Tian belum pulang. Napasnya lebih berat saat mendapati pesan kalau sang suami menginap di rumah istri pertamanya. Wajar saja, selama satu bulan ini Tian tidak pernah meninggalkannya."Huh!" Ressa menarik napas panjang saat rasa sakit menyerang perutnya. Ia mengerang dengan keringat dingin mengalir deras."Tenang Sayang, kuat sama mama ya." Ressa mengelus-elus perutnya untuk mengusir rasa sakit.Ia bangun ke kamar mandi, tubuhnya sangat lemas sekarang. Perempuan itu menghubungi Tian, bukan niat ingin mengganggu suaminya. Tapi dia sudah tidak tahan lagi. Namun berkali-kali mencoba menelpon tidak ada jawaban. Dengan terpaksa Ressa menelpon Hira, siapa lagi yang bisa membantunya sekarang. Ibunya? Itu hanya mimpi. Atau ayahnya, yang ada menimbulkan pertengkaran sang ayah dengan ibu saja nanti."Ra, tolong. Sakiiit, Tian belum pulang." Ucap Ressa lemah saat panggilan telpon langsung dijawab Hira. Ia tidak tahan l