"Hei kenapa bertengkar?" Bingung Aruna yang mengusul keluar karena mendengar keributan. Ternyata Denis yang marah-marah pada Tian."Lo juga, di mana hati lo, Aruna. Lo merasa menang karena bisa memiliki Tian, hah! Adik lo itu, adik lo yang sudah banyak berkorban buat lo. Di mana lo saat dia berjuang sendirian, hah. Gue kecewa sama lo!" Tukas Denis lalu pergi dari rumah itu setelah meluapkan amarahnya."Mas ada apa?" Tanya Aruna bingung pada Tian. Dia bingung, Denis tiba-tiba marah padanya."Ressa di rumah sakit keguguran," jawab Tian pelan. Lelaki itu masuk ke kamar mengambil barang-barangnya. Ia sempatkan memeriksa ponsel dan betapa terkejutnya Tian melihat panggilan tak terjawab dari Ressa sebanyak dua puluh kali.Tian meninggalkan kamar tanpa mempedulikan Aruna yang juga terlihat sendu."Aku ikut, Mas." Tian hanya menganggukkan kepala lalu keluar duluan, menunggu di mobil. Tuhan, andai dia tidak mengabaikan Ressa mungkin anaknya masih bisa diselamatkan malam ini. Apalagi yang bis
Di ruang tunggu, Aruna terdiam seribu bahasa, duduk dengan jarak hanya tiga kursi dari Denis. Hira dan Erfan telah pulang duluan, meninggalkan Aruna dan Denis dalam ketegangan. Kaos lengan pendek yang dikenakan Aruna tidak mampu menahan dinginnya malam yang menusuk tulang."Aru, masuk!" perintah Denis dengan nada dingin dan tidak bersahabat.Aruna mengerjap-ngerjap, terkejut dengan nada suara Denis yang tiba-tiba berubah. "Lo mau mati kedinginan di luar, hah!" Ujar Denis karena Aruna tidak bergerak. Sebenarnya kasihan pada Aruna, tidak seharusnya dia marah-marah dengan perempuan itu. Tapi emosinya kadung memuncak.Aruna mengangguk dengan kepala tertunduk, langkahnya ragu menuju ke ruangan Ressa. Dinding ruangan yang kaku dan suara bisikan angin seolah mampu menyadarkannya bahwa keputusan yang akan diambil sangat berat. Namun, begitu melihat keadaan Ressa yang terbaring lemah di brankar pasien, ia yakin bahwa inilah jalan terbaik untuk mereka.
Denis mengantarkan Aruna ke rumahnya setelah meninggalkan rumah sakit tempat Ressa dirawat. Begitu sampai, ia membantu Aruna masuk ke dalam rumah dan mendudukkan perempuan itu di sofa ruang tamu. Terlihat wajah Aruna yang murung dan lesu, tak ada sepatah kata yang terucap dari mulutnya sejak mereka meninggalkan rumah sakit.Denis bergegas menuju dapur, mengambilkan segelas air putih dan membuatkan roti bakar untuk Aruna. Ia berusaha membuat suasana menjadi lebih ringan, meskipun ia tahu perasaan Aruna sedang sangat terpuruk."Makan dulu, baru menangis," ujar Denis sambil memaksa Aruna makan roti bakar yang dibuatnya. Ia menyuapkan roti itu ke mulut perempuan yang saat ini sedang melamun, berusaha membangkitkan semangatnya.Perlahan, Aruna mulai membuka mulutnya dan menerima suapan roti yang disodorkan oleh Denis. Mata perempuan itu tampak berkaca-kaca, namun ia mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Entah apa yang sedang dirasakan saat ini. Seperti
"Jangan berbicara seperti itu lagi, Honey." Ujar Tian sambil memohon, kenapa istrinya ini kepala batu sekali. Ia jadi kehabisan cara untuk membujuk."Sudah tidak ada lagikah rasa cinta kamu buatku, Sa. Tidak maukah kamu melihat perjuanganku sedikit saja. Jujur, aku lelah Sayang.""Kalau lelah, dilepaskan, bukan bertahan." Ressa menanggapi dengan santai. Tian meringis, istrinya ini benar-benar kepala batu ternyata. Lelaki itu tidak menjawab, kembali menyandarkan kepalanya di bahu Ressa sampai tertidur. Dia tidak bohong ketika mengatakan lelah. Badannya memang sangat lelah.Ressa menoleh setelah lama tidak ada suara, hanya terdengar suara napas yang berhembus teratur. "Astaga tidur," desisnya. Membaringkan perlahan tubuh Tian ke sofa, lalu membenarkan posisi kakinya, setelahnya ia mencari Hira."Ra ada kompresan, badan Tian panas.""Hm, ada." Ressa mengikuti Hira yang berjalan menuju dapur setelah mengambilkan handuk kecil."Masih mau bertahan sama Tian?" Tanya Hira serius sambil men
Tian memegangi kepalanya yang terasa lebih berat. Menyingkirkan handuk kecil yang ada di keningnya."Sayang, kenapa menangis?" Ia bangun mendekati Ressa, mata perempuan itu masih berair. Bodohnya Tian bertanya seperti itu, jelas-jelas istrinya menangis sebab dirinya."Pulang yuk Sayang, kita istirahat di rumah." Tian duduk di samping Ressa, menariknya dalam pelukan. "Seberapa banyak pun aku mengucapkan maaf itu pasti tidak akan bisa menebus semua salahku. Tidak dapat mengembalikan anak kita. Aku rela dibenci seluruh dunia asal kamu tidak ada di dalamnya. Aku mencintaimu Ressa Azkia, istriku tersayang."Tian menempelkan pipinya pada Ressa, hatinya ikutan seperti dicabik-cabik melihat Ressa yang menangis dalam diam."Ayo pulang," Tian merangkul Ressa, menuntunnya ke mobil, syukurlah tidak ada penolakan. Dia akan belajar sabar lagi menemani patung hidupnya ini. "Maaf gak bisa gendong, badanku lemas." Ucapnya saat memasangkan sabuk pengaman.Tian membawa Ressa pulang ke rumah. Alangkah te
"Daddy, Tante Ressa juga ada di sini!"Suara anak remaja perempuan itu mengalihkan perhatian mereka semua."Dea kita pulang, Sayang." Ajak Aruna pada putrinya."Aku mau pulang kalau Daddy ikut pulang!" Deandra masuk ke dalam rumah mendekati Tian. Lelaki itu menyambutnya dengan pelukan hangat dan kecupan di kening, mencoba menenangkan putrinya."Daddy sakit!" Pekik Deandra, menatap wajah pucat ayahnya yang terlihat lemas. "Ayo kita pulang, Dea obati di rumah."Ressa semakin membenamkan wajahnya pada sang ayah, tidak tahu apalagi yang akan terjadi setelah ini. Dea mungkin akan sangat membencinya. Ia sudah cukup lelah dengan semua drama yang ada dalam rumah tangganya ini."Ayah temani Ressa di kamar, mau?" lirih Ressa sangat pelan. Matanya tidak menangis, hanya hatinya yang menangis pilu. "Iya Sayang," Amrin menuntun putrinya ke kamar melewati Tian yang sedang memeluk Dea. "Mulai sekarang Ayah akan menemani kamu," Amrin mendudukkan Ressa di sisi tempat tidur."Aku sudah besar Ayah, ti
Tian kembali ke kamar setelah ayah mertuanya pulang. "Sayang, sakit?" Tanyanya seraya meniup-niup pipi Ressa yang memar lalu mengecupnya."Sakitnya di sini," Ressa meletakkan telapak tangan Tian di dadanya. Sudah lama Tian tidak melihat tingkah manja istrinya ini."Coba sini aku lihat, berdarah gak, biar aku obatin." "Gak usah modus, aku masih marah sama kamu." Ressa menyingkirkan tangan yang bisa saja berbuat nakal.Tian menyengir lebar, sampai kapan harus puasa dengan istri mudanya ini. Sepertinya masih lama lagi waktu berbuka, mengingat rentetan kesalahan yang dilakukannya."Aku haus," Ressa beranjak ke dapur. Sebenarnya hanya untuk menghindari suaminya. Ia mengambil air putih dan membawanya ke meja makan sambil membelai pipi kirinya yang sedikit nyeri. Nyeri yang lebih banyak bersarang di dalam dadanya. Ressa membenamkan wajah di meja. Bisakah ia bertahan lebih lama lagi dan menyelamatkan rumah tangganya ini. Rasanya terlalu lelah hidup seperti ini.Tian yang masih berada di kam
Deandra sedang duduk di sudut ruangan dengan wajah cemberut dan kedua lengannya bersilang di dada. Denis yang baru saja tiba di rumah Aruna langsung mencoba mendekati Dea yang terlihat merajuk. Ia mendapat tugas untuk membujuk anak itu."Dea mau ikut Om, Sayang," ujar Denis dengan lembut, berusaha melembutkan hati gadis beranjak remaja tersebut.Namun, Deandra hanya menggeleng malas, membuang wajahnya dari Denis, seolah menunjukkan bahwa ia tidak ingin berbicara dengan siapapun.Denis tidak menyerah, ia melangkah mendekati Dea dan dengan hati-hati memindahkan gadis itu ke pangkuannya. "Ada apa, hm?" tanya Denis dengan nada suara yang penuh kelembutan, berusaha mencairkan suasana."Mau cerita sama Om sambil makan cokelat?" lanjut Denis sambil mengeluarkan sebungkus cokelat dari saku jasnya. Untung saja dia telah menyiapkan cokelat sebagai 'senjata' untuk menghadapi Dea."Kenapa istri Daddy harus Tante Ressa? Kata orang ibu tiri itu jahat,