Tian memarkirkan mobilnya di depan rumah Erfan. Saat memencet bel, dia mendapati sahabatnya itulah yang membuka pintu. "Erfan benarkan?" Tanya Aruna pangling, "kalian masih bersahabat sampai sekarang?" Perempuan itu menatap Erfan dan Tian bergantian. Erfan mengangguk sambil tersenyum tipis mengajak Aruna dan Tian masuk. "Sayang, ada tamu." Panggilnya pada sang istri yang sedang membuat kue di dapur bersama Ressa. "Sa, boleh minta tolong buatkan minum, penuh tepung nih." Hira mengerling genit pada sahabatnya. "Iya, mau minum apa? Kopi manis, kopi pahit, susu atau darah segar?" Sahut Resa diikuti dengusan. "Lo kira dukun yang datang." Hira terkekeh geli, sahabatnya itu tidak terlihat seperti sedang patah hati atau frustasi. "Mungkin, siapa tau dukun yang datang buat bantu aku mengirim santet pada Tian." Jawab Ressa dengan kekehan. "Apa yang lo bisa aja deh. Asal jangan air comberan," sinis Hira. "Baiklah, jangan salahkan gue kalau mereka gue kasih air jampi-jampu dan jadi ke pel
"Gue gak mau lihat lo bersikap seperti itu pada Ressa lagi. Lo gak mikir bagaimana terlukanya Ressa dengan semua masa lalu yang lo sembunyikan!" Ucap Erfan emosi. Aruna yang ada di tempat itu hanya diam, tidak bisa mengatakan apapun. "Ya, gue salah." Desis Tian, "Aru masih mau bicara sama Ressa. Kalau nggak kita pulang." "Aku pamit sama Ressa dulu," izin Aruna yang diangguki Tian. Ressa duduk di balkon sambil menatap langit. Sebenarnya dia ini apa bagi Tian, jika tetap Aruna lah yang terpilih. Aruna, Aruna dan Aruna. Dari dulu selalu saja Aruna yang jadi kebanggaan. Nikahnya cuma satu minggu, kepikirannya entah sampai kapan. Ressa menepis semua perkataan Tian yang bisa membuatnya klepek-klepek. "Mau makan sesuatu, biar gue buatin?" Tawar Hira sambil tersenyum. Sahabatnya ini sangat kuat. Ressa menggelengkan kepala. "Dunia ini sempit banget ya Ra, kenapa harus Tian yang menghamili Aru." Ressa tersenyum simpul, "untung pernikahan ini tidak diketahui banyak orang. Jadi gue masih
"Honey, mau ya?" Tian meringsek dalam pelukan Ressa tidak mempedulikan ada Erfan dan Hira di sana. Sungguh urat malunya sudah putus "Aku gak niat berbagi suami, Tian! Aku tidak sedang main sinetron, tidak niat dengan ajakanmu." Desis Ressa kesal. "Demi Dea, demi anak kita, demi aku Honey. Please, aku gak kuat jauh dari kalian." Mohon Tian dengan memelas. "Itu bukan urusanku, masalah kita sudah selesai, kamu yang memilih Aru dan menceraikanku. Jangan meminta aku yang berkorban demi kebahagiaan kalian," sahut Ressa tegas. Ia tidak ingin ada produser sinetron yang meliriknya dan menjadikannya pemain sinetron dadakan karena cocok berakting menjadi istri yang rela berbagi suami. "Aku memilih Aru demi Dea, Ressa." Bela Tian lemas. Ressa tersenyum getir sekarang saja dia harus mengalah demi Dea. Apalagi anaknya nanti pasti akan selalu tersingkirkan oleh anak Aruna itu. "Aku gak bisa, Tian. Titik, gak pake koma! Erfan yang memanggilmu ke sini. Jadi silahkan kalian bicara." Ujarnya ber
"Sekarang mau apa, hm." Tian menciumi perut buncit yang di dalam ada anaknya sedang bersemayam. "Di sini dulu mau peluk kamu, setelah ini aku gak bisa peluk kamu lagi." Ujar Ressa manja, mengalungkan tangannya ke leher Tian. Tuhan, maafkan dia yang sudah main belakang dengan suami saudaranya sendiri. "Bisa, masih bisa Sayang. Kalau kita terus di sini orang-orang bisa pipis di celana." Kekeh Tian lalu menelpon Denis untuk menyiapkan mobil di pintu belakang. "Kita keluar dari sini, Sayang. Kamu jangan lihat apapun ya. Peluk aku biar gak ada yang kenal sama kamu." Ressa mengangguk, Tian membawa perempuannya itu dalam gendongan menuju mobil yang sudah Denis siapkan. Anggap saja dia sedang menolong perempuan yang pingsan kalau ada yang bertanya. "Gila!" Denis berdecak saat Tian datang membawa Ressa. "Semua orang sedang sibuk mencarimu, Tian. Kamu malah sibuk dengan mantan istrimu." "Emang gue peduli," Tian tertawa kecil sambil memeluk Ressa. "Ke rumah yang dulu," titahnya. Denis la
"Morning Honey," sapa Tian pada Ressa yang baru bangun. Dia pulang ke rumah jam tiga subuh, setelah tidur beberapa jam menemani Aruna."Hei kapan pulang, aku pikir kamu kembali ke hotel.""Aku emang kembali ke hotel. Sepertinya aku harus mencarikan mereka rumah yang dekat di sekitar sini, agar aku mudah menemui Dea.""Kamu atur aja gimana baiknya, atau kamu tinggal di sana aku di rumah ini sendiri juga gak papa." Ressa akhirnya pasrah dengan statusnya yang jadi istri kedua. Dengan segala sesak yang disimpannya sendirian."Tian, jangan bandingkan aku dengan Aru, bisa? Saat kamu bersamanya nanti, kamu pasti akan melihat segala kelebihan yang dimilikinya."Tian memeluk perempuan tersayangnya ini, tadi malam sudah keceplosan membandingkan Ressa dengan Aruna. Pasti sejak kecil istrinya ini selalu disisihkan."Iya Sayang, aku mau jujur boleh?" "Aku tahu, gak perlu bilang." Ressa mengelus pipi Tian dengan lembut. Bagaimana dia tidak tahu saat melihat tanda percintaan di leher Tian sebesar
"Honey, bangun yuk. Badan kamu bisa sakit tiduran seharian." Tian berusaha membangunkan Ressa yang sampai lewat tengah hari belum mau beranjak dari tempat tidur."Udah dong ngambeknya, Sayang." Istri muda merajuk, balik ke rumah istri tua. Kalau dua-duanya merajuk, ana kawin tiga. Tian menyanyi dalam hati sambil tertawa kecil. Demi menemani Ressa dia tidak ke kantor hari ini.Tian membangunkan paksa Ressa lalu mengusap-usap perutnya. "Dedek, bilangin mama merajuknya jangan lama-lama. Jangan bikin papa bingung.""Sini ngomong, mau apa Sayang." Tian merapikan rambut Ressa yang berantakan. Dia seperti membujuk anak kecil yang sedang merajuk. Lengkap sudah, ibu hamil muda dibikin sakit hati ya begini jadinya. Pria itu bangun, menggendong tubuh Ressa yang sebenarnya berat. Membawanya berjalan-jalan di dalam kamar, tidak mungkinkan dia menggendong Ressa keliling komplek.Apalagi cara yang harus digunakannya, kalau diam dan tidak mau
Ressa terbangun dengan peluh membasahi keningnya. Ia memeriksa ponsel karena Tian belum pulang. Napasnya lebih berat saat mendapati pesan kalau sang suami menginap di rumah istri pertamanya. Wajar saja, selama satu bulan ini Tian tidak pernah meninggalkannya."Huh!" Ressa menarik napas panjang saat rasa sakit menyerang perutnya. Ia mengerang dengan keringat dingin mengalir deras."Tenang Sayang, kuat sama mama ya." Ressa mengelus-elus perutnya untuk mengusir rasa sakit.Ia bangun ke kamar mandi, tubuhnya sangat lemas sekarang. Perempuan itu menghubungi Tian, bukan niat ingin mengganggu suaminya. Tapi dia sudah tidak tahan lagi. Namun berkali-kali mencoba menelpon tidak ada jawaban. Dengan terpaksa Ressa menelpon Hira, siapa lagi yang bisa membantunya sekarang. Ibunya? Itu hanya mimpi. Atau ayahnya, yang ada menimbulkan pertengkaran sang ayah dengan ibu saja nanti."Ra, tolong. Sakiiit, Tian belum pulang." Ucap Ressa lemah saat panggilan telpon langsung dijawab Hira. Ia tidak tahan l
"Hei kenapa bertengkar?" Bingung Aruna yang mengusul keluar karena mendengar keributan. Ternyata Denis yang marah-marah pada Tian."Lo juga, di mana hati lo, Aruna. Lo merasa menang karena bisa memiliki Tian, hah! Adik lo itu, adik lo yang sudah banyak berkorban buat lo. Di mana lo saat dia berjuang sendirian, hah. Gue kecewa sama lo!" Tukas Denis lalu pergi dari rumah itu setelah meluapkan amarahnya."Mas ada apa?" Tanya Aruna bingung pada Tian. Dia bingung, Denis tiba-tiba marah padanya."Ressa di rumah sakit keguguran," jawab Tian pelan. Lelaki itu masuk ke kamar mengambil barang-barangnya. Ia sempatkan memeriksa ponsel dan betapa terkejutnya Tian melihat panggilan tak terjawab dari Ressa sebanyak dua puluh kali.Tian meninggalkan kamar tanpa mempedulikan Aruna yang juga terlihat sendu."Aku ikut, Mas." Tian hanya menganggukkan kepala lalu keluar duluan, menunggu di mobil. Tuhan, andai dia tidak mengabaikan Ressa mungkin anaknya masih bisa diselamatkan malam ini. Apalagi yang bis