Alfio membalik sikat tersebut. Puluhan, ah tidak! Mungkin ratusan belatung itu memenuhi sikat hingga membuatnya mual seketika.
Ia buru-buru menyiram sikat itu dengan air dari bak. Entah apa yang terjadi pada sikat itu hingga dihuni banyak belatung. Alfio mengurungkan niat untuk menyikat kamar mandi itu pada akhirnya. Mungkin, nanti ia akan beli sikat baru lebih dulu. Selesai mandi, Alfio dan beranjak menuju kamar. Dilihat Nina tengah berbaring dengan anaknya dalam dekapan wanita itu. “Dik, masih maghrib jangan tiduran!“ ucapnya, namun Nina seperti tak menggubris. “Dik!“ panggilnya. Nina tak juga bergerak. Alfio menghela nafas, memilih menunaikan shalat maghribnya terlebih dahulu sebelum waktunya benar-benar habis. Mungkin wanita itu kecapekan. Ia mencari sajadah, namun tak menemukannya di kamar ini. Mau bertanya sudah pasti Nina tak akan menjawab. Dipanggili untuk bangun juga susah. Akhirnya Alfio membongkar tasnya dan mengambil sajadah dari sana. Membentangkannya menghadap sebuah lemari dengan kaca di tengah. “Allahu Akbar.“ Alfio membaca Al-fatihah dengan khusyu'. Namun entah kenapa merasa seperti ada yang memperhatikannya. Ujung matanya melirik seseorang tengah duduk menekuk lutut di sudut ruangan. Alfio memilih tak menggubris hal itu, shalatnya ia lanjutkan. Masuk ke ruku, sujud, duduk tasyahud awal dan bangkit kembali. “Allahu Akbar.“ “Allahu Akbar.“ Degh Jantung Alfio berdebar keras saat mendengar suara lirih seperti bisikan dari belakangnya. Al-fatihah nya terucap dengan bibir gemetar. Ia meneguk ludah dengan susah payah. Tepat di hadapannya shalat ada cermin dari lemari tengah. Sesosok putih mengenakan mukena tampak ikut ibadah di belakangnya. Mulutnya lirih mengucapkan untaian kalimat shalat. Sosok itu mengikuti suaranya. Tak terdengar jelas, hanya berupa bisikan yang terasa ribut di telinga. Shalat Alfio terganggu, ia tak lagi khusyu'. Namun tetap berusaha melanjutkan. Saat ia sujud, terdengar suara lutut yang terbentur lantai dari arah belakangnya. Sosok itu mengikuti gerakannya. Menetralisir rasa takut. Sesekali Jaka memejamkan mata. Hingga sampai di duduk tasyahud akhir. Alfio bernapas lega karena suara bisikan itu tak lagi terdengar. Ia membuka mata. Tepat di depan sajadah sosok wanita tua tengah bergerak dan merangkak ke arahnya. Alfio memejamkan mata kembali. Jantungnya bertalu seiring dengan mulutnya komat-kamit mempercepat bacaan. Begitu salam berakhir ia cepat mendongak ke depan. Tak ada. Tak ada siapapun di sana. Ia menghembuskan nafas lega, terduduk dengan lemas. “Ya Allah!“ ucapnya kaget saat dilihatnya Nina tengah duduk sembari menimang bayi, namun dengan mata melotot ke arahnya. “Dik, bikin kaget saja.“ Alfio mendekat, ia tertegun sejenak menghentikan gerakannya yang ingin mendekati Nina. Wanita itu sama sekali tak bergerak dari posisinya. Malam semakin larut, maghrib telah habis. Bunyi-bunyian suara binatang dari kebun sebelah rumah agak terasa menyeramkan bagi Alfio. Apalagi dihadapkan posisi aneh seperti ini. “Nina!“ panggilnya lagi dengan tangan terulur menyentuh tangan Nina yang masih terasa sangat dingin seperti es batu. Alfio bahkan menggigil saat memegangnya. Ada apa dengan istrinya itu? “Dik!“ Mata Nina berkedip. Pandangannya lurus ke depan dengan ekor mata melihat ke arah laki-laki. Seketika bulu kuduk laki-laki itu berdiri. “Mas,” panggil Nina dengan posisi yang sama. “Y—ya.“ “Tutup sajadahmu, Mas!“ Alis Alfio terangkat, buru ia menutup sajadah dan melipatnya. Meletakkannya dengan asal di jemuran kamar beserta sarung yang ia pakai. Ia menoleh menatap Nina yang ternyata juga sedang menatapnya. Situasi aneh apa ini? Alfio merasa terintimidasi. Ia kemudian duduk di sebelah Nina. Wanita itu masih tetap pada posisi yang sama. Anak mereka tidur dalam pangkuan sembari seluruh tubuhnya ditutup kain jarik. Merasa aneh, Alfio tergerak untuk membuka kain tersebut. Namun, seketika tangannya ditahan oleh Nina. Nina menggeleng. Telunjuknya terangkat di depan bibir. “Sst… dia masih tidur jangan diganggu!“ “Mas … cuma ingin lihat.“ Nina menggeleng, mencengkeram tangan Alfio dengan kuat. “Aku baru saja menidurkannya.“ “Tapi wajahnya ketutupan kain, nanti dia gak bisa nafas.“ “Memang begitu dia tidur. Kalau gak, nanti bangun.“ Alfio menatap sekilas pada Nina. “Lebih baik Mas ikut Nina ke luar,” ucap Nina sembari meletakkan anak mereka di atas ranjang. Laki-laki itu tak menjawab, ia masih terus menatap anaknya. Agak aneh karena melihat kain jarik itu tak bergerak naik turun. Seolah anaknya tak lagi bernafas. “Mas!“ Kali ini Nina memanggil penuh penekanan. Mencengkeram tangannya kuat dengan mata melebar. Alfio memicing, seperti … ada yang aneh. Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya lagi. Dengan gerakan cepat Alfio membuka kain jarik yang menutupi wajah anaknya. Oee … oee …. Bayi kecil itu menangis seketika. Wajahnya memerah dengan bibir terbuka. Suara tangisan itu terdengar sangat menyayat hati. Pegangan tangan Nina melemah. Wanita itu melirik sinis ke arah Alfio. Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal karena merasa bersalah. “Kan, sudah Nina bilang jangan! Kenapa Mas ngeyel, sih?“ tukas wanita itu sembari mengambil bayi mereka dan mendekapnya. Menimang-nimang bayi kecil itu agar menghentikan tangisannya. “Maaf, Nina. Mas hanya tidak enak melihat anak kita berbaring ditutupi seluruh tubuhnya begitu.“ ucap Alfio lirih. Namun, meski begitu ada kelegaan di hatinya karena kecurigaannya tak berarti. Lagipula mikir apa dia tadi? Tidak mungkinkan bayinya sudah…. “Memang begini Mika tertidur, Mas. Lagipula ini jadi kerjaan Nina lagi. Susah mendiamkan tangisan Mika. Mas, kan, tidak merasakan jadi tidak tahu." Dada Alfio serasa dihantam sesuatu. Ia menyadari kesalahannya karena tak ada di samping Nina kala wanita itu mengurus anak mereka. Tapi semua sudah terlanjur. Toh, dia pergi juga untuk mencari nafkah. Dan sekarang sudah kembali lagi ke sini. Ia bertekad dalam hati untuk memperbaiki dan menjalani hal-hal yang sempat tertinggal karena telah pergi merantau. Dan … ia juga berjanji tak akan meninggalkan Nina dan anak mereka untuk yang kedua kali. Karena rasa rindu selama berada di perantauan benar-benar menyiksanya. Karena kontrak kerjalah makanya ia bertahan. Sebab kalau tidak, saat ponselnya hilang dan Alfio putus komunikasi dengan Nina. Ia akan balik ke Desa saat itu juga. Alfio mendekati Nina dengan netra berembun. Ia mengelus pipi anaknya yang berada dalam dekapan istrinya itu. Namun, seketika alisnya bertaut saat pipi itu terasa dingin menyentuh kulit tangannya. Sama seperti kulit Nina tadi. “Kulitnya dingin, Nina. Anak kita kedinginan. Tambahkan saja selimutnya!“ Alfio mengambil satu buah kain dan memberikannya pada Nina. Wanita itu menatap kain pemberiannya dengan wajah datar. “Tidak usah, dia baik-baik saja, Mas.“ “Tapi …” “Lebih baik Mas keluar dulu! Jangan ganggu aku! Mika itu sensitif, dia tidak akan mau tidur kalau ada suara berisik.“ Alfio mengerjap, dilihat anaknya yang sudah tak menangis namun masih bergerak-gerak gelisah. Ia meletakkan kembali kain di tangannya. “Baiklah kalau begitu. Maafkan Mas, Nina, karena menambah kerjaanmu.“ “Ya, tak masalah, Mas.“ Alfio menghela nafas, keluar dari kamar. Ia melangkah menuju dapur karena perutnya sedikit melilit karena rasa lapar yang mendera. Tadi, Nina mengajaknya keluar untuk memasakkannya makanan. Namun, apa daya hal itu tertunda sejenak. Dan itu semua sebab kecurigaannya. Lagipula siapa yang tak akan merasa aneh jika melihat bayi malam-malam tidur dengan kain menutup seluruh tubuh. Alfio sempat ketakutan tadi saat melihat hal itu.Ia menelisik ruangan di dapur. Membuka kendi yang menjadi tempat persediaan beras. Dahinya berkerut saat melihat beberapa kutu merayap di sana. Beras-beras yang sudah tak layak untuk dimasak, apalagi dikonsumsi. Alfio menyiduk isi beras yang sudah berjamur dan menghitam itu. Membuangnya ke dalam kantung plastik. Membersihkan isi kendi itu dari kutu-kutu yang meraya. Sejenak, ia menoleh ke arah pintu masuk dapur. “Sampai berjamur seperti ini. Apakah Nina tidak memasak nasi selama beberapa bulan?“ ucapnya lirih. Kini pandangannya tertuju pada meja makan. Baru disadarinya ada beberapa lalat yang berkerubung di sana. Sontak, ia berjalan mendekat. Bau busuk memenuhi indra penciumannya. Beberapa makanan itu sudah basi dan berlendir. Menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Alfio mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Sebenarnya kenapa lauk ini sampai basi. Apa Nina juga tidak makan? Apa dia tidak sadar kalau beras sudah membusuk dan lauk tak bisa dikonsumsi. Kalau alasannya
“… iya kata Dani ….“ “… udah meninggal katanya ….“ “… kecelakaan di tempat kerja ….“ “Betul Alfio, Dani bilang kamu kecelakaan di kota,” ucap Mak Atik masih dengan wajah tak percaya. Ia menatap warga lain yang juga mengangguk-angguk setuju “Saya gak pernah kecelakaan, Mak. Alhamdulillah masih sehat walafiat. Satu tahun lalu saya memang hilang komunikasi dengan Dani. Karena ponsel saya hilang saat di perantauan. Mungkin saat itu dia mengira saya hilang kabar dan sudah tiada. Bahkan satu tahun juga saya sudah tak berkomunikasi dengan Nina.“ Mendengar nama Nina disebut. Makin ribut warga Desa, angin semilir berhembus membuat mereka berbisik-bisik persis dengungan lebah. “Sekarang Dani di mana, Mak? Biar Alfio meluruskan padanya, takut salah paham.“ “Dani sudah merantau ke luar kota setelah satu bulan sejak dia mengatakan kamu telah meninggal dunia….“ “Ya, sejak saat itu istri, anak dan Mak mu juga menghilang, Alfio,” sambung Mak Atik menyambung perkataan Mak Rah. “Mengh
Perkataan Alfio terhenti, Nina tiba-tiba saja menutup telinganya dengan erat sembari berbalik dari hadapannya. Nina terduduk sembari menepuk-nepuk telinganya dengan keras. Matanya juga memejam sembari menggeleng. "Nina, sayang, ada apa? Kenapa kamu begini?" "Jangan sebut namamya!" "Apa? Siapa? Mas sebut nama siapa memangnya?" Alfio bingung, ia berusaha menatap Nina tapi wanita itu terus menghindarinya. Drrt ... drttt .... Lampu berkelap-kelip di atas sana mengalihkan pandangan Alfio, suasana redup dan kian mencekam membuatnya seketika membeku di tempat. Sementara Nina masih dengan posisi duduk sembari terus menggumamkan sesuatu. Angin yang tak tahu darimana datangnya tiba-tiba berhembus kencang, menabrakkan jendela dan daun pintu membuat Jaka terkesiap kaget. Mata melotot Nina membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih. Wanita itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip sama sekali. Sembari terus bergumam mengucapkan beberapa hal yang tak Alfio mengerti. "Nina" panggilnya
Baru saja Alfio ingin berbaring kembali. Suara ketukan di pintu yang terdengar lambat dan perlahan itu membuatnya bangkit kembali. Sejenak ia terduduk untuk mendengarkan lagi, mana tahu tadi hanya halusinasi karena suaranya sangat pelan. Tok… tok… tok…. “Alfio.“ Alis Alfio bertaut, ia menoleh pada Nina yang masih pulas tertidur. Itu tadi suara maknya, sudah pulang dari Desa sebelah rupanya. Tapi malam-malam begini…. “Alfio.“ “Iya, Mak, sebentar!“ sahutnya berjalan keluar dari kamar, membuka pintu depan. Kosong. Angin malam bertiup kencang menerpa rambut dan baju yang ia pakai hingga berkibar. Semerbak bau busuk menusuk masuk ke indra penciumannya. Sontak Alfio menutup hidung. Bulu kuduknya meremang seketika. “Mak!“ panggilnya dengan suara lirih. Tak ada sahutan, hanya ada suara desau angin di balik rimbunan dedaunan. Alfio melangkah keluar dari rumah. Memperhatikan jalanan Desa yang lengang. Sudah larut malam, tak ada siapapun di luar sana. Hanya ada suara binatang m
Alfio menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur. Matanya tertuju pada Nina yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Alfio. “Nina,“ panggil Alfio pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Alfio mendekat dan menyentuh pundaknya. Nina menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Alfio. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Nina berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Alfio mual seketika. “Apa yang kamu lakukan?“ tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Nina. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya. Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Alfio membuangnya tepat di tong
"Ngeri, ya Mo.“ Jupri bergidik sembari menatap sekilas pada rumah Alfio. Banyak rumput liar yang tumbuh di rumah tersebut. Dinding papannya juga sudah berlumut di beberapa bagian. “Iya Pri, apalagi kata yang lain waktu ngelihat memang gak ada siapa-siapa selain si Alfio. Berarti dia ….“ “Tinggal sama hantu!“ “Hus!“ Keduanya berjalan cepat saat Alfio yang berada di depan rumah menoleh ke arah mereka. Saling mendorong dan melipir ke pinggir. Hingga sampai di ujung Desa. Tepat di depan ladang tebu yang cukup luas milik Haji Nazam. “Tapi … kau yakin, Mo, kalau Nina itu udah gak ada?“ tanya Jupri memulai pembicaraan. Mereka berdua hendak memanen tebu-tebu itu. Udin mengeluarkan parang dari sarungnya. “Ya, yakin gak yakin sih, Pri. Tapi mengingat dia sering gentayangan terus ngilang tiba-tiba kemungkinan sih, gitu.“ “Aneh, gak, sih. Gak ada mayat yang ditemukan. Padahal pas di cek rumahnya dalam keadaan kosong.“ “Mungkin dibuang jauh kali.“ “Ya kalo memang benar begitu, kira-kira s
Alfio berdiri di depan rumah, nafasnya naik turun tak beraturan karena berjalan cepat tadi. Ia menoleh ke belakang, Ustad Nizar dan para warga tak mengikutinya.Ia mengusap wajah dengan kasar. Penyataan Abah tadi membuat perasaannya bimbang bukan kepalang. Jelas-jelas ia melihat istrinya di depan mata. Tidak mungkin apa yang dikatakan para warga tadi benar."Nina masih hidup! Keluargaku masih hidup," bisik Alfio sembari meyakinkan diri.Namun mengingat kejadian tadi yang di luar nalar terjadi padanya saat mengikuti Nina ke danau membuat Alfio seketika meragukan hal itu.Benarkah itu Nina? Atau sosok yang berusaha mencelakakannya? Alfio bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Suasana sepi, bajunya yang masih basah dan berlumpur membuatnya berjalan berjingkat masuk ke dalam rumah.Jantung Alfio berdetak tak karuan. Bunyinya bertalu hingga sedikit menyesakkan dada. Ia tak melihat Nina di mana pun. Meski menyangkal, ia juga tak menutup
“Desa Tambak Rejo?“ ucap tukang ojek itu sembari menggeleng. “Gak, Mas, yang lain aja.“ Alfio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lima orang ojek sudah dia tanyai untuk mengangkut dirinya menuju Desa di mana kampung halamannya berada. Tak satupun ada yang mau ke sana walau ia sudah menawarkan lebihan ongkos. Senja mulai terbit di ufuk barat. Maghrib hampir menjelang. Sayup-sayup suara mengaji terdengar dari surau terdekat. Hanya tinggal tiga kilometer lagi perjalanannya dan ia tak boleh menyerah begitu saja. “Kenapa, Mas? Saya lebihin kok, ongkosnya.“ Alfio mencoba penawaran terakhir. “Mas orang mana? Orang baru mau ke Desa itu?“ Penawarannya malah diberi pertanyaan oleh si tukang ojek. “Saya orang asli Desa, udah dua tahun gak pulang kampung. Ini rindu sekali dengan rumah, Mas. Bisa, gak, tolongin saya?“ “Pantesan,” gumam si tukang ojek yang masih terdengar jelas oleh Alfio. “Pantesan gimana, Mas?“ “Enggak.“ Alis Alfio bertaut, wajah sang tukang ojek terlihat ketakutan. Namu