Share

BAB 3

Alfio membalik sikat tersebut. Puluhan, ah tidak! Mungkin ratusan belatung itu memenuhi sikat hingga membuatnya mual seketika.

Ia buru-buru menyiram sikat itu dengan air dari bak. Entah apa yang terjadi pada sikat itu hingga dihuni banyak belatung.

Alfio mengurungkan niat untuk menyikat kamar mandi itu pada akhirnya. Mungkin, nanti ia akan beli sikat baru lebih dulu.

Selesai mandi, Alfio dan beranjak menuju kamar. Dilihat Nina tengah berbaring dengan anaknya dalam dekapan wanita itu.

“Dik, masih maghrib jangan tiduran!“ ucapnya, namun Nina seperti tak menggubris. “Dik!“ panggilnya. Nina tak juga bergerak.

Alfio menghela nafas, memilih menunaikan shalat maghribnya terlebih dahulu sebelum waktunya benar-benar habis. Mungkin wanita itu kecapekan.

Ia mencari sajadah, namun tak menemukannya di kamar ini. Mau bertanya sudah pasti Nina tak akan menjawab. Dipanggili untuk bangun juga susah.

Akhirnya Alfio membongkar tasnya dan mengambil sajadah dari sana. Membentangkannya menghadap sebuah lemari dengan kaca di tengah.

“Allahu Akbar.“

Alfio membaca Al-fatihah dengan khusyu'. Namun entah kenapa merasa seperti ada yang memperhatikannya. Ujung matanya melirik seseorang tengah duduk menekuk lutut di sudut ruangan.

Alfio memilih tak menggubris hal itu, shalatnya ia lanjutkan.

Masuk ke ruku, sujud, duduk tasyahud awal dan bangkit kembali.

“Allahu Akbar.“

“Allahu Akbar.“

Degh

Jantung Alfio berdebar keras saat mendengar suara lirih seperti bisikan dari belakangnya. Al-fatihah nya terucap dengan bibir gemetar.

Ia meneguk ludah dengan susah payah. Tepat di hadapannya shalat ada cermin dari lemari tengah. Sesosok putih mengenakan mukena tampak ikut ibadah di belakangnya.

Mulutnya lirih mengucapkan untaian kalimat shalat. Sosok itu mengikuti suaranya. Tak terdengar jelas, hanya berupa bisikan yang terasa ribut di telinga.

Shalat Alfio terganggu, ia tak lagi khusyu'. Namun tetap berusaha melanjutkan. Saat ia sujud, terdengar suara lutut yang terbentur lantai dari arah belakangnya. Sosok itu mengikuti gerakannya.

Menetralisir rasa takut. Sesekali Jaka memejamkan mata. Hingga sampai di duduk tasyahud akhir. Alfio bernapas lega karena suara bisikan itu tak lagi terdengar.

Ia membuka mata. Tepat di depan sajadah sosok wanita tua tengah bergerak dan merangkak ke arahnya.

Alfio memejamkan mata kembali. Jantungnya bertalu seiring dengan mulutnya komat-kamit mempercepat bacaan. Begitu salam berakhir ia cepat mendongak ke depan.

Tak ada.

Tak ada siapapun di sana.

Ia menghembuskan nafas lega, terduduk dengan lemas.

“Ya Allah!“ ucapnya kaget saat dilihatnya Nina tengah duduk sembari menimang bayi, namun dengan mata melotot ke arahnya.

“Dik, bikin kaget saja.“ Alfio mendekat, ia tertegun sejenak menghentikan gerakannya yang ingin mendekati Nina. Wanita itu sama sekali tak bergerak dari posisinya.

Malam semakin larut, maghrib telah habis. Bunyi-bunyian suara binatang dari kebun sebelah rumah agak terasa menyeramkan bagi Alfio. Apalagi dihadapkan posisi aneh seperti ini.

“Nina!“ panggilnya lagi dengan tangan terulur menyentuh tangan Nina yang masih terasa sangat dingin seperti es batu. Alfio bahkan menggigil saat memegangnya.

Ada apa dengan istrinya itu?

“Dik!“

Mata Nina berkedip. Pandangannya lurus ke depan dengan ekor mata melihat ke arah laki-laki. Seketika bulu kuduk laki-laki itu berdiri.

“Mas,” panggil Nina dengan posisi yang sama.

“Y—ya.“

“Tutup sajadahmu, Mas!“

Alis Alfio terangkat, buru ia menutup sajadah dan melipatnya. Meletakkannya dengan asal di jemuran kamar beserta sarung yang ia pakai. Ia menoleh menatap Nina yang ternyata juga sedang menatapnya.

Situasi aneh apa ini? Alfio merasa terintimidasi.

Ia kemudian duduk di sebelah Nina. Wanita itu masih tetap pada posisi yang sama. Anak mereka tidur dalam pangkuan sembari seluruh tubuhnya ditutup kain jarik. Merasa aneh, Alfio tergerak untuk membuka kain tersebut.

Namun, seketika tangannya ditahan oleh Nina. Nina menggeleng. Telunjuknya terangkat di depan bibir. “Sst… dia masih tidur jangan diganggu!“

“Mas … cuma ingin lihat.“

Nina menggeleng, mencengkeram tangan Alfio dengan kuat. “Aku baru saja menidurkannya.“

“Tapi wajahnya ketutupan kain, nanti dia gak bisa nafas.“

“Memang begitu dia tidur. Kalau gak, nanti bangun.“

Alfio menatap sekilas pada Nina.

“Lebih baik Mas ikut Nina ke luar,” ucap Nina sembari meletakkan anak mereka di atas ranjang.

Laki-laki itu tak menjawab, ia masih terus menatap anaknya. Agak aneh karena melihat kain jarik itu tak bergerak naik turun. Seolah anaknya tak lagi bernafas.

“Mas!“ Kali ini Nina memanggil penuh penekanan. Mencengkeram tangannya kuat dengan mata melebar.

Alfio memicing, seperti … ada yang aneh.

Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya lagi. Dengan gerakan cepat Alfio membuka kain jarik yang menutupi wajah anaknya.

Oee … oee ….

Bayi kecil itu menangis seketika. Wajahnya memerah dengan bibir terbuka. Suara tangisan itu terdengar sangat menyayat hati.

Pegangan tangan Nina melemah. Wanita itu melirik sinis ke arah Alfio. Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal karena merasa bersalah.

“Kan, sudah Nina bilang jangan! Kenapa Mas ngeyel, sih?“ tukas wanita itu sembari mengambil bayi mereka dan mendekapnya. Menimang-nimang bayi kecil itu agar menghentikan tangisannya.

“Maaf, Nina. Mas hanya tidak enak melihat anak kita berbaring ditutupi seluruh tubuhnya begitu.“ ucap Alfio lirih. Namun, meski begitu ada kelegaan di hatinya karena kecurigaannya tak berarti.

Lagipula mikir apa dia tadi? Tidak mungkinkan bayinya sudah….

“Memang begini Mika tertidur, Mas. Lagipula ini jadi kerjaan Nina lagi. Susah mendiamkan tangisan Mika. Mas, kan, tidak merasakan jadi tidak tahu."

Dada Alfio serasa dihantam sesuatu. Ia menyadari kesalahannya karena tak ada di samping Nina kala wanita itu mengurus anak mereka.

Tapi semua sudah terlanjur. Toh, dia pergi juga untuk mencari nafkah. Dan sekarang sudah kembali lagi ke sini. Ia bertekad dalam hati untuk memperbaiki dan menjalani hal-hal yang sempat tertinggal karena telah pergi merantau.

Dan … ia juga berjanji tak akan meninggalkan Nina dan anak mereka untuk yang kedua kali. Karena rasa rindu selama berada di perantauan benar-benar menyiksanya.

Karena kontrak kerjalah makanya ia bertahan. Sebab kalau tidak, saat ponselnya hilang dan Alfio putus komunikasi dengan Nina. Ia akan balik ke Desa saat itu juga.

Alfio mendekati Nina dengan netra berembun. Ia mengelus pipi anaknya yang berada dalam dekapan istrinya itu. Namun, seketika alisnya bertaut saat pipi itu terasa dingin menyentuh kulit tangannya. Sama seperti kulit Nina tadi.

“Kulitnya dingin, Nina. Anak kita kedinginan. Tambahkan saja selimutnya!“ Alfio mengambil satu buah kain dan memberikannya pada Nina. Wanita itu menatap kain pemberiannya dengan wajah datar.

“Tidak usah, dia baik-baik saja, Mas.“

“Tapi …”

“Lebih baik Mas keluar dulu! Jangan ganggu aku! Mika itu sensitif, dia tidak akan mau tidur kalau ada suara berisik.“

Alfio mengerjap, dilihat anaknya yang sudah tak menangis namun masih bergerak-gerak gelisah. Ia meletakkan kembali kain di tangannya.

“Baiklah kalau begitu. Maafkan Mas, Nina, karena menambah kerjaanmu.“

“Ya, tak masalah, Mas.“

Alfio menghela nafas, keluar dari kamar. Ia melangkah menuju dapur karena perutnya sedikit melilit karena rasa lapar yang mendera. Tadi, Nina mengajaknya keluar untuk memasakkannya makanan. Namun, apa daya hal itu tertunda sejenak.

Dan itu semua sebab kecurigaannya.

Lagipula siapa yang tak akan merasa aneh jika melihat bayi malam-malam tidur dengan kain menutup seluruh tubuh. Alfio sempat ketakutan tadi saat melihat hal itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status