Share

KELUARGAKU ADA, TAPI TIDAK NYATA
KELUARGAKU ADA, TAPI TIDAK NYATA
Penulis: Zeevanya Renata

BAB 1

“Desa Tambak Rejo?“ ucap tukang ojek itu sembari menggeleng. “Gak, Mas, yang lain aja.“

Alfio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lima orang ojek sudah dia tanyai untuk mengangkut dirinya menuju Desa di mana kampung halamannya berada. Tak satupun ada yang mau ke sana walau ia sudah menawarkan lebihan ongkos.

Senja mulai terbit di ufuk barat. Maghrib hampir menjelang. Sayup-sayup suara mengaji terdengar dari surau terdekat. Hanya tinggal tiga kilometer lagi perjalanannya dan ia tak boleh menyerah begitu saja.

“Kenapa, Mas? Saya lebihin kok, ongkosnya.“ Alfio mencoba penawaran terakhir.

“Mas orang mana? Orang baru mau ke Desa itu?“ Penawarannya malah diberi pertanyaan oleh si tukang ojek.

“Saya orang asli Desa, udah dua tahun gak pulang kampung. Ini rindu sekali dengan rumah, Mas. Bisa, gak, tolongin saya?“

“Pantesan,” gumam si tukang ojek yang masih terdengar jelas oleh Alfio.

“Pantesan gimana, Mas?“

“Enggak.“

Alis Alfio bertaut, wajah sang tukang ojek terlihat ketakutan. Namun sekejak kemudian merasa kasihan melihat lelaki dengan tubuh tegap itu. Ia sudah melihatnya bolak-balik menanyai beberapa ojek namun tidak ada satupun yang mau mengangkut memang.

Desa Tambak Rejo.

Mendengarnya saja sang tukang ojek sudah bergidik ngeri. Ada banyak cerita seram yang beredar di sana dalam beberapa bulan terakhir ini.

Mulai dari beberapa tukang ojek yang mengaku mengangkat seorang penumpang di sana yang sedang menggendong anak dan cerita seram para warga yang katanya dihantui oleh seorang wanita tua dengan wajah berlumuran darah yang tengah mencari anaknya dari pintu ke pintu rumah.

Dan, hal itu selalu berlaku ke maghrib dan menjelam malam. Makanya Desa Tambak Rejo yang dahulu ramai kini selalu tampak sepi saat malam hari tiba.

“Gini aja deh, Mas. Saya bakal antar, tapi sampai depan gapura aja, ya. Selebihnya saya gak bisa. Biar deh ongkosnya dikurangin saya gak masalah," ucap sang tukang ojek pada akhirnya setelah berpikir panjang.

“Yah, nanggung atuh Mas. Lima ratus meter lagi itu ke rumah saya.“

“Duh, saya gak berani. Kalau Mas nya gak mau juga gak apa-apa, deh.“

Alfio berdecak, ia menatap jalan masuk Desa Tambak Rejo yang sudah hampir menggelap. Entah kenapa setelah dua tahun sejak ia merantau belum dipasang lampu jalan di sana.

“Yaudah deh, Mas gak apa-apa," kata Alfio pasrah. Mau bagaimana lagi, ia tak mungkin menunggu. Hanya satu ojek ini yang mau mengantar setelah beberapa menolak.

“Oke, naik!“

Alfio mengangkut tas besarnya. Naik ke atas motor dan menaruh di pangkuan. Motor itu melaju di tengah jalan terjal bebatuan.

Melaju di antara langit yang hampir gelap. Alfio memperhatikan sekitar, pinggir jalan yang biasanya ditumbuhi banyak pohon kelapa, kini sudah berubah menjadi pepohonan tebu. Bahkan, tak jarang ia menemukan satu atau dua rumah yang berdiri sejajar di sepanjang jalan.

Jalan masuk Desa tak sesepi dulu. Namun, entah kenapa tukang ojek yang ia datangi tadi rata-rata tak ada yang berani ke sana. Dulu, ia bersama Dani sahabatnya saat jam sepuluh juga berani jalan kaki keluar dari Desa.

“Sampai sini aja, Mas.“ Tukang ojek memberhentikannya di depan gapura bertuliskan Desa Tambak Rejo.

Alfio menghela nafas, turun dari motor dan membayar ongkos. Tukang ojek itu buru-buru pergi dari hadapannya. Bahkan sebelum Alfio sempat mengucapkan terima kasih.

Sayup-sayup suara adzan maghrib terdengar. Alfio menenteng tas di tangan dan membenarkan letak tas sandang di punggung.

Berbeda dengan jalan masuk sebelum sampai ke gapura tadi. Sudah banyak rumah berdiri dan ada beberapa orang yang berjalan menuju masjid. Desanya malah tak ada perubahan sama sekali.

Juga, Alfio merasa aneh karena suasana Desa yang entah kenapa sangat sepi maghrib ini. Begitu jalan masuk ke dalam, sisi jalan masih dipenuhi pohon tebu hingga membuatnya bingung, karena biasanya di dekat gapura sudah berdiri beberapa rumah. Kini mengapa jauh sekali sampai ke tempat para penduduk.

Kebingungan itu terjawab setelah seratus meter ia berjalan mulai nampak rumah-rumah warga. Alfio bernafas lega.

Ia berjalan dengan penuh semangat di jalanan berbatu yang cukup terjal. Wajah Nina, istrinya yang cantik itu mulai terbayang dalam benaknya.

Dulu, satu tahun lalu saat ia memutuskan untuk pergi merantau ke luar kota. Istrinya tengah hamil lima bulan. Kebutuhan yang semakin sulit dan biaya persalinan yang dibutuhkan Nina karena bayi mereka dinyatakan sungsang membuat persalinannya harus melakukan operasi caesar.

Tentu memakan biaya yang tidak sedikit sementara pekerjaannya yang hanya seorang penderes kelapa tak mencukupi kebutuhan itu. Bahkan untuk memenuhi gizi istrinya saja ia tak mampu.

Maka, atas persetujuan Nina ia pergi merantau. Menitipkan istrinya itu pada Mak Lik, Ibunya yang memang tinggal bersama mereka.

Dua hari sejak kepulangannya dari luar kota. Ia baru bisa sampai ke Desa pada hari ketiga. Entah apa kabar istri dan Maknya. Rasanya rindu sekali mengingat enam bulan lalu ponselnya sempat hilang dan ia hilang komunikasi dengan Nina.

Bahkan kirimannya juga enam bulan sebelumnya tak bisa ia berikan mengingat tak tahu harus menyampaikannya kemana akibat ponselnya hilang. Semua data yang ia perlukan ada di sana. Termasuk nomor Dani yang sering ia titipi uang untuk diberikan pada istrinya.

Terakhir kali ia dengar, istrinya sudah melahirkan. Dan anak mereka terlahir normal dengan jenis kelamin perempuan.

Senja di ufuk barat mulai timbul. Namun Alfio tak lelah meski keringat membanjiri tubuh. Rasa senang dan rindu yang kini membuncah membuatnya lebih semangat untuk melangkah.

Hanya tinggal beberapa ratus meter lagi.

Melewati beberapa rumah, beberapa warga yang tampak asing di matanya. Entahlah, mungkin warga baru dan Mereka menatap Alfio dengan pandangan yang aneh seperti ketakutan.

Menghindarkan kecanggungan, sesekali ia tersenyum. Bukannya membalas, orang-orang itu malah lari terbirit-birit dan menutup pintu rumah mereka.

Ada juga yang mengintipnya dari balik jendela. Saat kepergok, mereka buru-buru menutup tirai. Sangat aneh sekali, hingga membuat perasaannya tak enak.

Alfio mempercepat langkah. Hingga sampai di depan rumah berdinding papan yang masih belum berubah. Rumahnya terletak paling ujung Desa. Sebelah kanannya adalah kebun kelapa milik tetangga dulunya. Entah kenapa sekarang berubah jadi ladang tebu.

Alfio celingukan, karena sepertinya tidak ada tanda-tanda ada orang di rumah. Cukup lama ia berdiri, hingga akhirnya lampu depan rumah itu mulai hidup.

Ia tersenyum sumringah, melangkah maju sembari mengetuk pintu.

“Assalammu'alaikum, Nina!“ panggilnya pelan. Maghrib tengah berlangsung. Sayup-sayup suara iqamat dari surau Desa mulai terdengar. Dengungan nyamuk di telinga sedikit mengganggu. Dan Nina, istrinya tak kunjung menjawab salam.

“Assalammu'alaikum,” salamnya kembali. Kali saja Nina sedang menunaikan shalat maghrib.

Krieeet….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status