“Desa Tambak Rejo?“ ucap tukang ojek itu sembari menggeleng. “Gak, Mas, yang lain aja.“
Alfio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lima orang ojek sudah dia tanyai untuk mengangkut dirinya menuju Desa di mana kampung halamannya berada. Tak satupun ada yang mau ke sana walau ia sudah menawarkan lebihan ongkos. Senja mulai terbit di ufuk barat. Maghrib hampir menjelang. Sayup-sayup suara mengaji terdengar dari surau terdekat. Hanya tinggal tiga kilometer lagi perjalanannya dan ia tak boleh menyerah begitu saja. “Kenapa, Mas? Saya lebihin kok, ongkosnya.“ Alfio mencoba penawaran terakhir. “Mas orang mana? Orang baru mau ke Desa itu?“ Penawarannya malah diberi pertanyaan oleh si tukang ojek. “Saya orang asli Desa, udah dua tahun gak pulang kampung. Ini rindu sekali dengan rumah, Mas. Bisa, gak, tolongin saya?“ “Pantesan,” gumam si tukang ojek yang masih terdengar jelas oleh Alfio. “Pantesan gimana, Mas?“ “Enggak.“ Alis Alfio bertaut, wajah sang tukang ojek terlihat ketakutan. Namun sekejak kemudian merasa kasihan melihat lelaki dengan tubuh tegap itu. Ia sudah melihatnya bolak-balik menanyai beberapa ojek namun tidak ada satupun yang mau mengangkut memang. Desa Tambak Rejo. Mendengarnya saja sang tukang ojek sudah bergidik ngeri. Ada banyak cerita seram yang beredar di sana dalam beberapa bulan terakhir ini. Mulai dari beberapa tukang ojek yang mengaku mengangkat seorang penumpang di sana yang sedang menggendong anak dan cerita seram para warga yang katanya dihantui oleh seorang wanita tua dengan wajah berlumuran darah yang tengah mencari anaknya dari pintu ke pintu rumah. Dan, hal itu selalu berlaku ke maghrib dan menjelam malam. Makanya Desa Tambak Rejo yang dahulu ramai kini selalu tampak sepi saat malam hari tiba. “Gini aja deh, Mas. Saya bakal antar, tapi sampai depan gapura aja, ya. Selebihnya saya gak bisa. Biar deh ongkosnya dikurangin saya gak masalah," ucap sang tukang ojek pada akhirnya setelah berpikir panjang. “Yah, nanggung atuh Mas. Lima ratus meter lagi itu ke rumah saya.“ “Duh, saya gak berani. Kalau Mas nya gak mau juga gak apa-apa, deh.“ Alfio berdecak, ia menatap jalan masuk Desa Tambak Rejo yang sudah hampir menggelap. Entah kenapa setelah dua tahun sejak ia merantau belum dipasang lampu jalan di sana. “Yaudah deh, Mas gak apa-apa," kata Alfio pasrah. Mau bagaimana lagi, ia tak mungkin menunggu. Hanya satu ojek ini yang mau mengantar setelah beberapa menolak. “Oke, naik!“ Alfio mengangkut tas besarnya. Naik ke atas motor dan menaruh di pangkuan. Motor itu melaju di tengah jalan terjal bebatuan. Melaju di antara langit yang hampir gelap. Alfio memperhatikan sekitar, pinggir jalan yang biasanya ditumbuhi banyak pohon kelapa, kini sudah berubah menjadi pepohonan tebu. Bahkan, tak jarang ia menemukan satu atau dua rumah yang berdiri sejajar di sepanjang jalan. Jalan masuk Desa tak sesepi dulu. Namun, entah kenapa tukang ojek yang ia datangi tadi rata-rata tak ada yang berani ke sana. Dulu, ia bersama Dani sahabatnya saat jam sepuluh juga berani jalan kaki keluar dari Desa. “Sampai sini aja, Mas.“ Tukang ojek memberhentikannya di depan gapura bertuliskan Desa Tambak Rejo. Alfio menghela nafas, turun dari motor dan membayar ongkos. Tukang ojek itu buru-buru pergi dari hadapannya. Bahkan sebelum Alfio sempat mengucapkan terima kasih. Sayup-sayup suara adzan maghrib terdengar. Alfio menenteng tas di tangan dan membenarkan letak tas sandang di punggung. Berbeda dengan jalan masuk sebelum sampai ke gapura tadi. Sudah banyak rumah berdiri dan ada beberapa orang yang berjalan menuju masjid. Desanya malah tak ada perubahan sama sekali. Juga, Alfio merasa aneh karena suasana Desa yang entah kenapa sangat sepi maghrib ini. Begitu jalan masuk ke dalam, sisi jalan masih dipenuhi pohon tebu hingga membuatnya bingung, karena biasanya di dekat gapura sudah berdiri beberapa rumah. Kini mengapa jauh sekali sampai ke tempat para penduduk. Kebingungan itu terjawab setelah seratus meter ia berjalan mulai nampak rumah-rumah warga. Alfio bernafas lega. Ia berjalan dengan penuh semangat di jalanan berbatu yang cukup terjal. Wajah Nina, istrinya yang cantik itu mulai terbayang dalam benaknya. Dulu, satu tahun lalu saat ia memutuskan untuk pergi merantau ke luar kota. Istrinya tengah hamil lima bulan. Kebutuhan yang semakin sulit dan biaya persalinan yang dibutuhkan Nina karena bayi mereka dinyatakan sungsang membuat persalinannya harus melakukan operasi caesar. Tentu memakan biaya yang tidak sedikit sementara pekerjaannya yang hanya seorang penderes kelapa tak mencukupi kebutuhan itu. Bahkan untuk memenuhi gizi istrinya saja ia tak mampu. Maka, atas persetujuan Nina ia pergi merantau. Menitipkan istrinya itu pada Mak Lik, Ibunya yang memang tinggal bersama mereka. Dua hari sejak kepulangannya dari luar kota. Ia baru bisa sampai ke Desa pada hari ketiga. Entah apa kabar istri dan Maknya. Rasanya rindu sekali mengingat enam bulan lalu ponselnya sempat hilang dan ia hilang komunikasi dengan Nina. Bahkan kirimannya juga enam bulan sebelumnya tak bisa ia berikan mengingat tak tahu harus menyampaikannya kemana akibat ponselnya hilang. Semua data yang ia perlukan ada di sana. Termasuk nomor Dani yang sering ia titipi uang untuk diberikan pada istrinya. Terakhir kali ia dengar, istrinya sudah melahirkan. Dan anak mereka terlahir normal dengan jenis kelamin perempuan. Senja di ufuk barat mulai timbul. Namun Alfio tak lelah meski keringat membanjiri tubuh. Rasa senang dan rindu yang kini membuncah membuatnya lebih semangat untuk melangkah. Hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Melewati beberapa rumah, beberapa warga yang tampak asing di matanya. Entahlah, mungkin warga baru dan Mereka menatap Alfio dengan pandangan yang aneh seperti ketakutan. Menghindarkan kecanggungan, sesekali ia tersenyum. Bukannya membalas, orang-orang itu malah lari terbirit-birit dan menutup pintu rumah mereka. Ada juga yang mengintipnya dari balik jendela. Saat kepergok, mereka buru-buru menutup tirai. Sangat aneh sekali, hingga membuat perasaannya tak enak. Alfio mempercepat langkah. Hingga sampai di depan rumah berdinding papan yang masih belum berubah. Rumahnya terletak paling ujung Desa. Sebelah kanannya adalah kebun kelapa milik tetangga dulunya. Entah kenapa sekarang berubah jadi ladang tebu. Alfio celingukan, karena sepertinya tidak ada tanda-tanda ada orang di rumah. Cukup lama ia berdiri, hingga akhirnya lampu depan rumah itu mulai hidup. Ia tersenyum sumringah, melangkah maju sembari mengetuk pintu. “Assalammu'alaikum, Nina!“ panggilnya pelan. Maghrib tengah berlangsung. Sayup-sayup suara iqamat dari surau Desa mulai terdengar. Dengungan nyamuk di telinga sedikit mengganggu. Dan Nina, istrinya tak kunjung menjawab salam. “Assalammu'alaikum,” salamnya kembali. Kali saja Nina sedang menunaikan shalat maghrib. Krieeet….Pintu rumah terbuka sedikit, menimbulkan bunyi yang agak membuat bulu kuduk meremang. Nina terpaku di tempat saat tak ada sosok yang muncul. Cahaya redup dari dalam rumah menyambutnya dengan kosong. Tak ada Nina di sana. “Nina," panggil Alfio kembali. Lelaki itu maju satu langkah. Membuka lebih lebar pintu tersebut sampai pada batas dinding. Aneh, tak ada seorang pun. Istrinya, maupun Maknya. Jadi, apa pintunya terbuka sendiri? “Astaghfirullah!“ serunya kaget seraya memegang dada yang berdegup kencang saat berbalik. Nina sudah berdiri di belakangnya dengan pandangan kosong seraya menatapnya. Membuat bulu kuduk Alfio meremang, apalagi Nina yang tiba-tiba berdiri di belakangnya membuat ia kaget setengah mati. “Nina, kenapa kamu bisa di sini? Padahal tadi Mas gak lihat kamu lewat," ucap Alfio pelan. Namun Nina masih menatapnya dengan tajam. Mata wanita itu melotot ke arahnya. Hawa dingin dari luar membuat perasaan Alfio tak enak. Ia mengusap tengkuknya. "Nina ...," panggilnya k
Alfio membalik sikat tersebut. Puluhan, ah tidak! Mungkin ratusan belatung itu memenuhi sikat hingga membuatnya mual seketika. Ia buru-buru menyiram sikat itu dengan air dari bak. Entah apa yang terjadi pada sikat itu hingga dihuni banyak belatung. Alfio mengurungkan niat untuk menyikat kamar mandi itu pada akhirnya. Mungkin, nanti ia akan beli sikat baru lebih dulu. Selesai mandi, Alfio dan beranjak menuju kamar. Dilihat Nina tengah berbaring dengan anaknya dalam dekapan wanita itu. “Dik, masih maghrib jangan tiduran!“ ucapnya, namun Nina seperti tak menggubris. “Dik!“ panggilnya. Nina tak juga bergerak. Alfio menghela nafas, memilih menunaikan shalat maghribnya terlebih dahulu sebelum waktunya benar-benar habis. Mungkin wanita itu kecapekan. Ia mencari sajadah, namun tak menemukannya di kamar ini. Mau bertanya sudah pasti Nina tak akan menjawab. Dipanggili untuk bangun juga susah. Akhirnya Alfio membongkar tasnya dan mengambil sajadah dari sana. Membentangkannya mengha
Ia menelisik ruangan di dapur. Membuka kendi yang menjadi tempat persediaan beras. Dahinya berkerut saat melihat beberapa kutu merayap di sana. Beras-beras yang sudah tak layak untuk dimasak, apalagi dikonsumsi. Alfio menyiduk isi beras yang sudah berjamur dan menghitam itu. Membuangnya ke dalam kantung plastik. Membersihkan isi kendi itu dari kutu-kutu yang meraya. Sejenak, ia menoleh ke arah pintu masuk dapur. “Sampai berjamur seperti ini. Apakah Nina tidak memasak nasi selama beberapa bulan?“ ucapnya lirih. Kini pandangannya tertuju pada meja makan. Baru disadarinya ada beberapa lalat yang berkerubung di sana. Sontak, ia berjalan mendekat. Bau busuk memenuhi indra penciumannya. Beberapa makanan itu sudah basi dan berlendir. Menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Alfio mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Sebenarnya kenapa lauk ini sampai basi. Apa Nina juga tidak makan? Apa dia tidak sadar kalau beras sudah membusuk dan lauk tak bisa dikonsumsi. Kalau alasannya
“… iya kata Dani ….“ “… udah meninggal katanya ….“ “… kecelakaan di tempat kerja ….“ “Betul Alfio, Dani bilang kamu kecelakaan di kota,” ucap Mak Atik masih dengan wajah tak percaya. Ia menatap warga lain yang juga mengangguk-angguk setuju “Saya gak pernah kecelakaan, Mak. Alhamdulillah masih sehat walafiat. Satu tahun lalu saya memang hilang komunikasi dengan Dani. Karena ponsel saya hilang saat di perantauan. Mungkin saat itu dia mengira saya hilang kabar dan sudah tiada. Bahkan satu tahun juga saya sudah tak berkomunikasi dengan Nina.“ Mendengar nama Nina disebut. Makin ribut warga Desa, angin semilir berhembus membuat mereka berbisik-bisik persis dengungan lebah. “Sekarang Dani di mana, Mak? Biar Alfio meluruskan padanya, takut salah paham.“ “Dani sudah merantau ke luar kota setelah satu bulan sejak dia mengatakan kamu telah meninggal dunia….“ “Ya, sejak saat itu istri, anak dan Mak mu juga menghilang, Alfio,” sambung Mak Atik menyambung perkataan Mak Rah. “Mengh
Perkataan Alfio terhenti, Nina tiba-tiba saja menutup telinganya dengan erat sembari berbalik dari hadapannya. Nina terduduk sembari menepuk-nepuk telinganya dengan keras. Matanya juga memejam sembari menggeleng. "Nina, sayang, ada apa? Kenapa kamu begini?" "Jangan sebut namamya!" "Apa? Siapa? Mas sebut nama siapa memangnya?" Alfio bingung, ia berusaha menatap Nina tapi wanita itu terus menghindarinya. Drrt ... drttt .... Lampu berkelap-kelip di atas sana mengalihkan pandangan Alfio, suasana redup dan kian mencekam membuatnya seketika membeku di tempat. Sementara Nina masih dengan posisi duduk sembari terus menggumamkan sesuatu. Angin yang tak tahu darimana datangnya tiba-tiba berhembus kencang, menabrakkan jendela dan daun pintu membuat Jaka terkesiap kaget. Mata melotot Nina membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih. Wanita itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip sama sekali. Sembari terus bergumam mengucapkan beberapa hal yang tak Alfio mengerti. "Nina" panggilnya
Baru saja Alfio ingin berbaring kembali. Suara ketukan di pintu yang terdengar lambat dan perlahan itu membuatnya bangkit kembali. Sejenak ia terduduk untuk mendengarkan lagi, mana tahu tadi hanya halusinasi karena suaranya sangat pelan. Tok… tok… tok…. “Alfio.“ Alis Alfio bertaut, ia menoleh pada Nina yang masih pulas tertidur. Itu tadi suara maknya, sudah pulang dari Desa sebelah rupanya. Tapi malam-malam begini…. “Alfio.“ “Iya, Mak, sebentar!“ sahutnya berjalan keluar dari kamar, membuka pintu depan. Kosong. Angin malam bertiup kencang menerpa rambut dan baju yang ia pakai hingga berkibar. Semerbak bau busuk menusuk masuk ke indra penciumannya. Sontak Alfio menutup hidung. Bulu kuduknya meremang seketika. “Mak!“ panggilnya dengan suara lirih. Tak ada sahutan, hanya ada suara desau angin di balik rimbunan dedaunan. Alfio melangkah keluar dari rumah. Memperhatikan jalanan Desa yang lengang. Sudah larut malam, tak ada siapapun di luar sana. Hanya ada suara binatang m
Alfio menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur. Matanya tertuju pada Nina yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Alfio. “Nina,“ panggil Alfio pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Alfio mendekat dan menyentuh pundaknya. Nina menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Alfio. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Nina berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Alfio mual seketika. “Apa yang kamu lakukan?“ tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Nina. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya. Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Alfio membuangnya tepat di tong
"Ngeri, ya Mo.“ Jupri bergidik sembari menatap sekilas pada rumah Alfio. Banyak rumput liar yang tumbuh di rumah tersebut. Dinding papannya juga sudah berlumut di beberapa bagian. “Iya Pri, apalagi kata yang lain waktu ngelihat memang gak ada siapa-siapa selain si Alfio. Berarti dia ….“ “Tinggal sama hantu!“ “Hus!“ Keduanya berjalan cepat saat Alfio yang berada di depan rumah menoleh ke arah mereka. Saling mendorong dan melipir ke pinggir. Hingga sampai di ujung Desa. Tepat di depan ladang tebu yang cukup luas milik Haji Nazam. “Tapi … kau yakin, Mo, kalau Nina itu udah gak ada?“ tanya Jupri memulai pembicaraan. Mereka berdua hendak memanen tebu-tebu itu. Udin mengeluarkan parang dari sarungnya. “Ya, yakin gak yakin sih, Pri. Tapi mengingat dia sering gentayangan terus ngilang tiba-tiba kemungkinan sih, gitu.“ “Aneh, gak, sih. Gak ada mayat yang ditemukan. Padahal pas di cek rumahnya dalam keadaan kosong.“ “Mungkin dibuang jauh kali.“ “Ya kalo memang benar begitu, kira-kira s