Share

BAB 6

Perkataan Alfio terhenti, Nina tiba-tiba saja menutup telinganya dengan erat sembari berbalik dari hadapannya. Nina terduduk sembari menepuk-nepuk telinganya dengan keras. Matanya juga memejam sembari menggeleng.

"Nina, sayang, ada apa? Kenapa kamu begini?"

"Jangan sebut namamya!"

"Apa? Siapa? Mas sebut nama siapa memangnya?" Alfio bingung, ia berusaha menatap Nina tapi wanita itu terus menghindarinya.

Drrt ... drttt ....

Lampu berkelap-kelip di atas sana mengalihkan pandangan Alfio, suasana redup dan kian mencekam membuatnya seketika membeku di tempat. Sementara Nina masih dengan posisi duduk sembari terus menggumamkan sesuatu.

Angin yang tak tahu darimana datangnya tiba-tiba berhembus kencang, menabrakkan jendela dan daun pintu membuat Jaka terkesiap kaget.

Mata melotot Nina membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih. Wanita itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip sama sekali. Sembari terus bergumam mengucapkan beberapa hal yang tak Alfio mengerti.

"Nina" panggilnya pelan sembari mundur satu langkah ke belakang. Entah kenapa wajah sang istri sekarang membuatnya ketakutan. Apalagi gumaman itu kian keras terdengar.

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

Alfio mengerjap, tak tahu apa yang terjadi saat ini, tapi Nina istrinya seperti bertindak layaknya orang lain. Orang yang tak ia kenal sama sekali.

"Nina," pangil Alfio kembali sembari melangkah mundur kembali saat perlahan ia memperhatikan gerak-gerik Nina yang mulai bergerak bangkit.

"Arrrhhhhhgggg ...!" Nina berlari ke arahnya berteriak melengking memekakkan telinga, membuat Alfio jatuh terjerembab di lantai.

***

Burung-burung malam bertebrangan di sekitar rumah Nina, para warga dan Ustadz Nizar yang sedang dalam perjalanan pulang seketika berhenti melangkah.

Semuanya berbalik, menatap asal suara itu berasal. Dari rumah Alfio yang tadi mereka datangi. Teriakan melengking yang menyayat hati mampu membuat perasaan para warga tidak enak seketika. Semuanya saling pandang dengan wajah ketakutan.

"Apa itu?" tanya salah satu warga pada warga yang lain.

"Entahlah, yang pasti itu dari rumah Alfio," balas warga yang ditanya dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya gemetar menatap sang teman sembari berbalik. "Ayo kita pulang saja!"

"Bagiamana keadaan Alfio, bukankah dia tak baik-baik saja?"

"Daripada memikirkan itu lebih baik kau memikirkan dirimu sendiri. Ini teror, sejak kejadian itu, memang saat maghrib tiba sebaiknya kita berada di rumah saja. Bukankah suatu kesialan kita ikut datang ke rumah Alfio hari ini."

"Mak Rah, kau dengar?"

"Teruslah jalan Mbak Yu, barangkali dia marah dan sekarang mengikuti kita!"

Dua wanita paruh baya itu berjalan cepat, hampir terjatuh beberapa kali saking ketakutannya.

Jeritan melengking Nina dari rumah Alfio itu membuat ketakutan sendiri bagi para warga. Setelah mendengarnya semua bersembunyi, tak ada yang berani keluar dari rumah satupun, bahkan sekedar mengintip dari balik jendela sekalipun.

"Abah!" Ustadz Nizar menoleh, mendengar teriakan itu ia sudah sampai di depan rumahnya. Langkahnya terhenti sembari menelisik, Ratih sang putri mendekat ke arahnya.

"Itu suara apa, Abah? Kenapa terdengar nyaring dan menyayat hati? Ratih sangat pilu mendengarnya juga merinding bersamaan."

Ustad Nizar menatap putrinya sekilas, lalu mengalihkan pandangan pada jalanan yang ia lewati menuju rumah Alfio tadi. Sesosok wanita di balik pohon dengan mata tajam menatap Ustadz Nizar seolah memberi peringatan. Tangannya menimang sesuatu yang dibungkus kain jarik.

Ustad Nizar menghela nafas, mengucap istighfar dan lafaz-lafaz Allah kemudian. Ratih yang sedari tadi memperhatikan, menatap lurus pada apa yang dilihat Ustadz Nizar, namun tak ada apapun di sana.

"Abah," panggilnya lagi berusaha menyadarkan sang Abah yang sedari tadi bertingkah cukup aneh. Apalagi jeritan melengking yang ia dengar tadi cukup membuatnya merinding hingga berniat untuk menutup warungnya saja.

"Astaghfirullah," bisik Ustad Nizar sembari mengusap wajah. Sosok wanita yang sedang menimang anak yang ia lihat sudah tak ada di tempat. Pikirannya melayang pada Alfio, ingin sekali datang ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Namun, ia merasa ini bukan saat yang tepat.

Kedatangannya ke rumah Alfio berduyun-duyun dengan para warga tadi telah membuat sang pemilik rumah marah dan kini memberi peringatan.

"Abah suara apa sebenarnya tadi?" tanya Ratih membuyarkan lamunan Ustadz Nizar, lelaki paruh baya dengan kopiah hitam di kepala itu menoleh, menatap sang putri sembari mengelus kepalanya.

"Tak ada apa-apa, mungkin binatang liar atau sesuatu tengah terjadi di sana."

"Di sana? Di sana mana maksud Abah? Bukankah teriakan itu cukup mengkhawatirkan? Apa tak sebaiknya kita lihat?"

"Untuk saat ini jangan Ratih,  Abah tak tahu apa yang akan terjadi jika kita nekat datang ke sana. Sekarang tutup saja warungnya, kita masuk ke dalam rumah."

Ratih mengangguk, segera menutup warung dengan tergesa dibantu Ustadz Nizar.

"Abah, memangnya suara teriakan itu dari mana berasal?"

"Rumah Alfio."

Ratih terkesiap, gerakannya menutup pintu mulai terhenti. Teringat ribut-ribut setelah maghrib di warungnya tadi entah kenapa membuat perasaaannya tak enak sekarang.

Nafas Alfio berembus tak beraturan. Tepat setelah Nina jatuh di atasnya suara angin dan lampu yang berkedip di atas sana mulai berhenti. Jantungnya berdebar kencang. Suasana sepi diiringi suara binatang malam membuat ia sedikit ketakutan.

"Nina" panggilnya namun Nina diam saja. Disentuhnya tubuh Nina yang masih dingin seperti es. Ia bengkit memapah Nina yang tampaknya tak sadarkan diri.

Wajah pucat tanpa rona itu seketika membuatnya merinding apalagi Nina tampak tak bergerak sama sekali dalam pangkuannya. Tingkah Nina begitu aneh tadi, jeritan keras wanita itu membuatnya merasa bingung.

Memangnya apa yang salah telah ia ucapkan hingga Nina bertingkah demikian? Kenapa tingkah istrinya berubah seperti ini?

Alfio bingung, juga bimbang. Ia memutuskan mengangkat tubuh sang istri masuk ke dalam kamar dan meletakkannya di pembaringan. Entah kenapa tubuh Nina begitu berat. Alfio sampai kewalahan mengangkatnya. Padahal ia dulu bisa mengangkat Nina dengan mudah.

Apakah tubuh Nina bertambah berat atau ketahanan tubuhnya mulai berkurang?

Alfio merasa aneh dengan apa yang terjadi sejak ia pulang, semuanya menjadi sangat rumit hingga ia merasa harus memecahkan teka-teki ini.

Tentang mengapa Dani mengabarkannya meninggal pada para warga sementara ia di kota dalam keadaan sehat walafiat.

Tentang perubahan wajah para warga yang jika ia menyebutkan nama sang istri, mereka layaknya orang yang ketakutan setengah mati

Juga, tentang tingkah Nina yang kadang membuat bulu kuduknya meremang kala melihat mata wanita itu yang tak seperti biasanya.

Alfio berbaring di atas ranjang. Berbaring di samping Nina. Mengusap pipi dingin itu, hal lain yang membuatnya juga bingung. Jika tubuhnya terasa hangat, kenapa tubuh sang istri justru dingin sekali layaknya orang yang sudah ....

Ah!

Alfio menggeleng, mengenyahkan pikiran itu. Ia memeluk istrinya dan sang anak yang berada di tengah mereka. Memutuskan untuk terlelap bersama pikiran yang terus memenuhi kepala.

***

Alfio mengubah posisi, memiringkan tubuh menatap sang bayi sembari mengelus pipinya. Masih dingin sama seperti pertama kali ia sentuh. Kini tangannya beralih pada pipi Nina yang juga sama dinginnya.

Perlahan Alfio bangkit untuk mengambil kain lebar. Guna menyelimuti Nina dan anaknya.

Tok… tok… tok….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status