Perkataan Alfio terhenti, Nina tiba-tiba saja menutup telinganya dengan erat sembari berbalik dari hadapannya. Nina terduduk sembari menepuk-nepuk telinganya dengan keras. Matanya juga memejam sembari menggeleng.
"Nina, sayang, ada apa? Kenapa kamu begini?" "Jangan sebut namamya!" "Apa? Siapa? Mas sebut nama siapa memangnya?" Alfio bingung, ia berusaha menatap Nina tapi wanita itu terus menghindarinya. Drrt ... drttt .... Lampu berkelap-kelip di atas sana mengalihkan pandangan Alfio, suasana redup dan kian mencekam membuatnya seketika membeku di tempat. Sementara Nina masih dengan posisi duduk sembari terus menggumamkan sesuatu. Angin yang tak tahu darimana datangnya tiba-tiba berhembus kencang, menabrakkan jendela dan daun pintu membuat Jaka terkesiap kaget. Mata melotot Nina membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih. Wanita itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip sama sekali. Sembari terus bergumam mengucapkan beberapa hal yang tak Alfio mengerti. "Nina" panggilnya pelan sembari mundur satu langkah ke belakang. Entah kenapa wajah sang istri sekarang membuatnya ketakutan. Apalagi gumaman itu kian keras terdengar. "Bunuh! Bunuh! Bunuh!" Alfio mengerjap, tak tahu apa yang terjadi saat ini, tapi Nina istrinya seperti bertindak layaknya orang lain. Orang yang tak ia kenal sama sekali. "Nina," pangil Alfio kembali sembari melangkah mundur kembali saat perlahan ia memperhatikan gerak-gerik Nina yang mulai bergerak bangkit. "Arrrhhhhhgggg ...!" Nina berlari ke arahnya berteriak melengking memekakkan telinga, membuat Alfio jatuh terjerembab di lantai. *** Burung-burung malam bertebrangan di sekitar rumah Nina, para warga dan Ustadz Nizar yang sedang dalam perjalanan pulang seketika berhenti melangkah. Semuanya berbalik, menatap asal suara itu berasal. Dari rumah Alfio yang tadi mereka datangi. Teriakan melengking yang menyayat hati mampu membuat perasaan para warga tidak enak seketika. Semuanya saling pandang dengan wajah ketakutan. "Apa itu?" tanya salah satu warga pada warga yang lain. "Entahlah, yang pasti itu dari rumah Alfio," balas warga yang ditanya dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya gemetar menatap sang teman sembari berbalik. "Ayo kita pulang saja!" "Bagiamana keadaan Alfio, bukankah dia tak baik-baik saja?" "Daripada memikirkan itu lebih baik kau memikirkan dirimu sendiri. Ini teror, sejak kejadian itu, memang saat maghrib tiba sebaiknya kita berada di rumah saja. Bukankah suatu kesialan kita ikut datang ke rumah Alfio hari ini." "Mak Rah, kau dengar?" "Teruslah jalan Mbak Yu, barangkali dia marah dan sekarang mengikuti kita!" Dua wanita paruh baya itu berjalan cepat, hampir terjatuh beberapa kali saking ketakutannya. Jeritan melengking Nina dari rumah Alfio itu membuat ketakutan sendiri bagi para warga. Setelah mendengarnya semua bersembunyi, tak ada yang berani keluar dari rumah satupun, bahkan sekedar mengintip dari balik jendela sekalipun. "Abah!" Ustadz Nizar menoleh, mendengar teriakan itu ia sudah sampai di depan rumahnya. Langkahnya terhenti sembari menelisik, Ratih sang putri mendekat ke arahnya. "Itu suara apa, Abah? Kenapa terdengar nyaring dan menyayat hati? Ratih sangat pilu mendengarnya juga merinding bersamaan." Ustad Nizar menatap putrinya sekilas, lalu mengalihkan pandangan pada jalanan yang ia lewati menuju rumah Alfio tadi. Sesosok wanita di balik pohon dengan mata tajam menatap Ustadz Nizar seolah memberi peringatan. Tangannya menimang sesuatu yang dibungkus kain jarik. Ustad Nizar menghela nafas, mengucap istighfar dan lafaz-lafaz Allah kemudian. Ratih yang sedari tadi memperhatikan, menatap lurus pada apa yang dilihat Ustadz Nizar, namun tak ada apapun di sana. "Abah," panggilnya lagi berusaha menyadarkan sang Abah yang sedari tadi bertingkah cukup aneh. Apalagi jeritan melengking yang ia dengar tadi cukup membuatnya merinding hingga berniat untuk menutup warungnya saja. "Astaghfirullah," bisik Ustad Nizar sembari mengusap wajah. Sosok wanita yang sedang menimang anak yang ia lihat sudah tak ada di tempat. Pikirannya melayang pada Alfio, ingin sekali datang ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Namun, ia merasa ini bukan saat yang tepat. Kedatangannya ke rumah Alfio berduyun-duyun dengan para warga tadi telah membuat sang pemilik rumah marah dan kini memberi peringatan. "Abah suara apa sebenarnya tadi?" tanya Ratih membuyarkan lamunan Ustadz Nizar, lelaki paruh baya dengan kopiah hitam di kepala itu menoleh, menatap sang putri sembari mengelus kepalanya. "Tak ada apa-apa, mungkin binatang liar atau sesuatu tengah terjadi di sana." "Di sana? Di sana mana maksud Abah? Bukankah teriakan itu cukup mengkhawatirkan? Apa tak sebaiknya kita lihat?" "Untuk saat ini jangan Ratih, Abah tak tahu apa yang akan terjadi jika kita nekat datang ke sana. Sekarang tutup saja warungnya, kita masuk ke dalam rumah." Ratih mengangguk, segera menutup warung dengan tergesa dibantu Ustadz Nizar. "Abah, memangnya suara teriakan itu dari mana berasal?" "Rumah Alfio." Ratih terkesiap, gerakannya menutup pintu mulai terhenti. Teringat ribut-ribut setelah maghrib di warungnya tadi entah kenapa membuat perasaaannya tak enak sekarang. Nafas Alfio berembus tak beraturan. Tepat setelah Nina jatuh di atasnya suara angin dan lampu yang berkedip di atas sana mulai berhenti. Jantungnya berdebar kencang. Suasana sepi diiringi suara binatang malam membuat ia sedikit ketakutan. "Nina" panggilnya namun Nina diam saja. Disentuhnya tubuh Nina yang masih dingin seperti es. Ia bengkit memapah Nina yang tampaknya tak sadarkan diri. Wajah pucat tanpa rona itu seketika membuatnya merinding apalagi Nina tampak tak bergerak sama sekali dalam pangkuannya. Tingkah Nina begitu aneh tadi, jeritan keras wanita itu membuatnya merasa bingung. Memangnya apa yang salah telah ia ucapkan hingga Nina bertingkah demikian? Kenapa tingkah istrinya berubah seperti ini? Alfio bingung, juga bimbang. Ia memutuskan mengangkat tubuh sang istri masuk ke dalam kamar dan meletakkannya di pembaringan. Entah kenapa tubuh Nina begitu berat. Alfio sampai kewalahan mengangkatnya. Padahal ia dulu bisa mengangkat Nina dengan mudah. Apakah tubuh Nina bertambah berat atau ketahanan tubuhnya mulai berkurang? Alfio merasa aneh dengan apa yang terjadi sejak ia pulang, semuanya menjadi sangat rumit hingga ia merasa harus memecahkan teka-teki ini. Tentang mengapa Dani mengabarkannya meninggal pada para warga sementara ia di kota dalam keadaan sehat walafiat. Tentang perubahan wajah para warga yang jika ia menyebutkan nama sang istri, mereka layaknya orang yang ketakutan setengah mati Juga, tentang tingkah Nina yang kadang membuat bulu kuduknya meremang kala melihat mata wanita itu yang tak seperti biasanya. Alfio berbaring di atas ranjang. Berbaring di samping Nina. Mengusap pipi dingin itu, hal lain yang membuatnya juga bingung. Jika tubuhnya terasa hangat, kenapa tubuh sang istri justru dingin sekali layaknya orang yang sudah .... Ah! Alfio menggeleng, mengenyahkan pikiran itu. Ia memeluk istrinya dan sang anak yang berada di tengah mereka. Memutuskan untuk terlelap bersama pikiran yang terus memenuhi kepala. *** Alfio mengubah posisi, memiringkan tubuh menatap sang bayi sembari mengelus pipinya. Masih dingin sama seperti pertama kali ia sentuh. Kini tangannya beralih pada pipi Nina yang juga sama dinginnya. Perlahan Alfio bangkit untuk mengambil kain lebar. Guna menyelimuti Nina dan anaknya. Tok… tok… tok….Baru saja Alfio ingin berbaring kembali. Suara ketukan di pintu yang terdengar lambat dan perlahan itu membuatnya bangkit kembali. Sejenak ia terduduk untuk mendengarkan lagi, mana tahu tadi hanya halusinasi karena suaranya sangat pelan. Tok… tok… tok…. “Alfio.“ Alis Alfio bertaut, ia menoleh pada Nina yang masih pulas tertidur. Itu tadi suara maknya, sudah pulang dari Desa sebelah rupanya. Tapi malam-malam begini…. “Alfio.“ “Iya, Mak, sebentar!“ sahutnya berjalan keluar dari kamar, membuka pintu depan. Kosong. Angin malam bertiup kencang menerpa rambut dan baju yang ia pakai hingga berkibar. Semerbak bau busuk menusuk masuk ke indra penciumannya. Sontak Alfio menutup hidung. Bulu kuduknya meremang seketika. “Mak!“ panggilnya dengan suara lirih. Tak ada sahutan, hanya ada suara desau angin di balik rimbunan dedaunan. Alfio melangkah keluar dari rumah. Memperhatikan jalanan Desa yang lengang. Sudah larut malam, tak ada siapapun di luar sana. Hanya ada suara binatang m
Alfio menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur. Matanya tertuju pada Nina yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Alfio. “Nina,“ panggil Alfio pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Alfio mendekat dan menyentuh pundaknya. Nina menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Alfio. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Nina berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Alfio mual seketika. “Apa yang kamu lakukan?“ tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Nina. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya. Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Alfio membuangnya tepat di tong
"Ngeri, ya Mo.“ Jupri bergidik sembari menatap sekilas pada rumah Alfio. Banyak rumput liar yang tumbuh di rumah tersebut. Dinding papannya juga sudah berlumut di beberapa bagian. “Iya Pri, apalagi kata yang lain waktu ngelihat memang gak ada siapa-siapa selain si Alfio. Berarti dia ….“ “Tinggal sama hantu!“ “Hus!“ Keduanya berjalan cepat saat Alfio yang berada di depan rumah menoleh ke arah mereka. Saling mendorong dan melipir ke pinggir. Hingga sampai di ujung Desa. Tepat di depan ladang tebu yang cukup luas milik Haji Nazam. “Tapi … kau yakin, Mo, kalau Nina itu udah gak ada?“ tanya Jupri memulai pembicaraan. Mereka berdua hendak memanen tebu-tebu itu. Udin mengeluarkan parang dari sarungnya. “Ya, yakin gak yakin sih, Pri. Tapi mengingat dia sering gentayangan terus ngilang tiba-tiba kemungkinan sih, gitu.“ “Aneh, gak, sih. Gak ada mayat yang ditemukan. Padahal pas di cek rumahnya dalam keadaan kosong.“ “Mungkin dibuang jauh kali.“ “Ya kalo memang benar begitu, kira-kira s
Alfio berdiri di depan rumah, nafasnya naik turun tak beraturan karena berjalan cepat tadi. Ia menoleh ke belakang, Ustad Nizar dan para warga tak mengikutinya.Ia mengusap wajah dengan kasar. Penyataan Abah tadi membuat perasaannya bimbang bukan kepalang. Jelas-jelas ia melihat istrinya di depan mata. Tidak mungkin apa yang dikatakan para warga tadi benar."Nina masih hidup! Keluargaku masih hidup," bisik Alfio sembari meyakinkan diri.Namun mengingat kejadian tadi yang di luar nalar terjadi padanya saat mengikuti Nina ke danau membuat Alfio seketika meragukan hal itu.Benarkah itu Nina? Atau sosok yang berusaha mencelakakannya? Alfio bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Suasana sepi, bajunya yang masih basah dan berlumpur membuatnya berjalan berjingkat masuk ke dalam rumah.Jantung Alfio berdetak tak karuan. Bunyinya bertalu hingga sedikit menyesakkan dada. Ia tak melihat Nina di mana pun. Meski menyangkal, ia juga tak menutup
“Desa Tambak Rejo?“ ucap tukang ojek itu sembari menggeleng. “Gak, Mas, yang lain aja.“ Alfio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lima orang ojek sudah dia tanyai untuk mengangkut dirinya menuju Desa di mana kampung halamannya berada. Tak satupun ada yang mau ke sana walau ia sudah menawarkan lebihan ongkos. Senja mulai terbit di ufuk barat. Maghrib hampir menjelang. Sayup-sayup suara mengaji terdengar dari surau terdekat. Hanya tinggal tiga kilometer lagi perjalanannya dan ia tak boleh menyerah begitu saja. “Kenapa, Mas? Saya lebihin kok, ongkosnya.“ Alfio mencoba penawaran terakhir. “Mas orang mana? Orang baru mau ke Desa itu?“ Penawarannya malah diberi pertanyaan oleh si tukang ojek. “Saya orang asli Desa, udah dua tahun gak pulang kampung. Ini rindu sekali dengan rumah, Mas. Bisa, gak, tolongin saya?“ “Pantesan,” gumam si tukang ojek yang masih terdengar jelas oleh Alfio. “Pantesan gimana, Mas?“ “Enggak.“ Alis Alfio bertaut, wajah sang tukang ojek terlihat ketakutan. Namu
Pintu rumah terbuka sedikit, menimbulkan bunyi yang agak membuat bulu kuduk meremang. Nina terpaku di tempat saat tak ada sosok yang muncul. Cahaya redup dari dalam rumah menyambutnya dengan kosong. Tak ada Nina di sana. “Nina," panggil Alfio kembali. Lelaki itu maju satu langkah. Membuka lebih lebar pintu tersebut sampai pada batas dinding. Aneh, tak ada seorang pun. Istrinya, maupun Maknya. Jadi, apa pintunya terbuka sendiri? “Astaghfirullah!“ serunya kaget seraya memegang dada yang berdegup kencang saat berbalik. Nina sudah berdiri di belakangnya dengan pandangan kosong seraya menatapnya. Membuat bulu kuduk Alfio meremang, apalagi Nina yang tiba-tiba berdiri di belakangnya membuat ia kaget setengah mati. “Nina, kenapa kamu bisa di sini? Padahal tadi Mas gak lihat kamu lewat," ucap Alfio pelan. Namun Nina masih menatapnya dengan tajam. Mata wanita itu melotot ke arahnya. Hawa dingin dari luar membuat perasaan Alfio tak enak. Ia mengusap tengkuknya. "Nina ...," panggilnya k
Alfio membalik sikat tersebut. Puluhan, ah tidak! Mungkin ratusan belatung itu memenuhi sikat hingga membuatnya mual seketika. Ia buru-buru menyiram sikat itu dengan air dari bak. Entah apa yang terjadi pada sikat itu hingga dihuni banyak belatung. Alfio mengurungkan niat untuk menyikat kamar mandi itu pada akhirnya. Mungkin, nanti ia akan beli sikat baru lebih dulu. Selesai mandi, Alfio dan beranjak menuju kamar. Dilihat Nina tengah berbaring dengan anaknya dalam dekapan wanita itu. “Dik, masih maghrib jangan tiduran!“ ucapnya, namun Nina seperti tak menggubris. “Dik!“ panggilnya. Nina tak juga bergerak. Alfio menghela nafas, memilih menunaikan shalat maghribnya terlebih dahulu sebelum waktunya benar-benar habis. Mungkin wanita itu kecapekan. Ia mencari sajadah, namun tak menemukannya di kamar ini. Mau bertanya sudah pasti Nina tak akan menjawab. Dipanggili untuk bangun juga susah. Akhirnya Alfio membongkar tasnya dan mengambil sajadah dari sana. Membentangkannya mengha
Ia menelisik ruangan di dapur. Membuka kendi yang menjadi tempat persediaan beras. Dahinya berkerut saat melihat beberapa kutu merayap di sana. Beras-beras yang sudah tak layak untuk dimasak, apalagi dikonsumsi. Alfio menyiduk isi beras yang sudah berjamur dan menghitam itu. Membuangnya ke dalam kantung plastik. Membersihkan isi kendi itu dari kutu-kutu yang meraya. Sejenak, ia menoleh ke arah pintu masuk dapur. “Sampai berjamur seperti ini. Apakah Nina tidak memasak nasi selama beberapa bulan?“ ucapnya lirih. Kini pandangannya tertuju pada meja makan. Baru disadarinya ada beberapa lalat yang berkerubung di sana. Sontak, ia berjalan mendekat. Bau busuk memenuhi indra penciumannya. Beberapa makanan itu sudah basi dan berlendir. Menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Alfio mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Sebenarnya kenapa lauk ini sampai basi. Apa Nina juga tidak makan? Apa dia tidak sadar kalau beras sudah membusuk dan lauk tak bisa dikonsumsi. Kalau alasannya