Baru saja Alfio ingin berbaring kembali. Suara ketukan di pintu yang terdengar lambat dan perlahan itu membuatnya bangkit kembali. Sejenak ia terduduk untuk mendengarkan lagi, mana tahu tadi hanya halusinasi karena suaranya sangat pelan.
Tok… tok… tok…. “Alfio.“ Alis Alfio bertaut, ia menoleh pada Nina yang masih pulas tertidur. Itu tadi suara maknya, sudah pulang dari Desa sebelah rupanya. Tapi malam-malam begini…. “Alfio.“ “Iya, Mak, sebentar!“ sahutnya berjalan keluar dari kamar, membuka pintu depan. Kosong. Angin malam bertiup kencang menerpa rambut dan baju yang ia pakai hingga berkibar. Semerbak bau busuk menusuk masuk ke indra penciumannya. Sontak Alfio menutup hidung. Bulu kuduknya meremang seketika. “Mak!“ panggilnya dengan suara lirih. Tak ada sahutan, hanya ada suara desau angin di balik rimbunan dedaunan. Alfio melangkah keluar dari rumah. Memperhatikan jalanan Desa yang lengang. Sudah larut malam, tak ada siapapun di luar sana. Hanya ada suara binatang malam dan anjing menggonggong yang saling sahut-sahutan. Jadi, tadi suara siapa? Ia mengusap tengkuk, terasa dingin sekarang. Kemudian berbalik masuk ke dalam rumah. Langkahnya terhenti, dengan mata memicing menatap ke dalam rumah tepat di dekat pintu masuk ada Mak Lik di sana. Memakai pakaian yang biasa Alfio tadi lihat. Namun dengan posisi membelakanginya. Rambut Mak Lik digulung dan jalan masuk ke arah dapur dengan langkah pelan serta terbungkuk-bungkuk. “Loh, Mak, kok sudah masuk? Masuk darimana? Alfio gak lihat.“ Alfio berjalan mendekat seraya menutup pintu. Namun Mak Lik sama sekali tak menggubrisnya. “Mak!“ panggil Alfio lagi seraya menyentuh pundak wanita tua itu. “Aaaaaaa… M—mak!“ Alfio jatuh terduduk seraya beringsut mundur ketakukan. Melihat wajah Mak Lik dipenuhi darah. Di pinggang Maknya tertancap pisau yang terus menerus meneteskan darah. Wanita itu berjalan mendekat dengan tangan terulur ke arahnya. “Alfio… Mak rindu… kenapa tidak pulang-pulang….“ “Aaa… Nina! Nina!“ teriak Alfio kalut apalagi tangan itu hampir mendekat ke lehernya. Duk Punggungnya membentur pintu. Sudah diambang batas. Mak Lik terus mendekat. Alfio memejamkan mata sembari berteriak minta tolong. Satu tarikan nafas kuat hingga Alfio terduduk bangun dari tidurnya. Ia terengah-engah, dengan keringat mengalir di dahi. Suhu di kamar itu mendadak naik seketika karena mimpi yang ia alami begitu menakutkan. Alfio menetralkan jantungnya yang berdebar keras. Satu tangannya menopang tubuh yang terasa lemas. Dan terasa aneh saat merasa ranjang itu kosong. Ia menoleh, menatap ke arah kiri tempat Nina tidur tadi malam. Tak ada wanita itu di mana pun. Bahkan bayi yang seharusnya juga tidur di tengah-tengah mereka juga tak ada. “Nina!“ panggilnya sembari menatap sekeliling kamar itu. Tak ada sahutan. Jantungnya berpacu dengan deras. Kenapa rasanya seperti deja vu. Ia takut kalau kejadian tadi menimpanya kembali. Ragu-ragu Alfio membuka pintu kamar. Sedikit-sedikit ia mengintip dari celah pintu yang terbuka. Ruang tengah yang kosong dengan lampu menyala. Tak ada siapapun di sana. Alfio bernafas lega. Ia membuka pintu itu dengan lebar. Lalu keluar memeriksa satu persatu ruangan di rumah ini bahkan sampai di kamar Mak Lik. “Tolong!“ Tangan Alfio yang hendak menarik engsel pintu ia urungkan. Tatapannya beralih pada suara lirih yang terdengar seperti merintih itu. Suara Nina. “Tolong, Mas, Al!“ Terdengar lagi. Alfio melangkah menuju dapur yang tertutup tirai. Tidak ada Nina di sana namun suara itu masih terdengar. Kali ini lebih jelas dan berasal dari pintu belakang rumah. “Nina!“ panggil Alfio pelan. “Tolong, Mas! Nina di sini!“ Alfio menurukan engsel pintu, namun tidak bisa terbuka. Ia menatap keseluruhan pintu tersebut. Kunci di atasnya belum terbuka. Ia menurunkan kunci tersebut. Tapi… bagaimana Nina bisa di luar kalau pintu ini terkunci. Apa wanita itu lewat dari samping rumah? Begitu pintu terbuka, Alfio terbelalak kaget melihat Nina dan bayi mereka tengah terbaring di tanah dalam keadaan beradarah-darah. Sama seperti yang ia lihat tadi saat mimpi bertemu Mak Lik. Baju wanita itu tampak lusuh dan sobek di segala sisi. Alfio berlari mendekat “Nina, apa yang terjadi padamu?“ tanyanya dengan tangan gemetar berusaha menyentuh pipi Nina. Cairan lengket dan berbau anyir itu menyentuh tangannya. Pandangannya beralih pada anak mereka, yang berada dalam dekapan Nina. Mika juga berdarah-darah. Bayi itu tak tampak rewel dan tubuhnya tak lagi naik turun seolah tak bernafas. Alfio ketakutan, takut semua kemungkinan yang ada dalam kepalanya benar-benar terjadi. “Mika … Astaghfirullah, anak kita Nina. Apa yang terjadi sebenarnya? Ayo, Mas, bawa ke tempat Pak Tori—mantri Desa—biar diobati lukanya sebelum semakin parah.“ Nina menggeleng, ada air mata yang keluar dari pipinya. Sesekali wanita itu memejamkan mata seraya meringis menahan sakit hingga membuat Alfio tak tega. Netranya ikut berembun. “Ayo Nina!“ tangan Alfio terulur hendak meraih Mika di tangannya. Namun Nina menahan. “Sudah terlambat, Mas.“ “Belum Nina, kita masih bisa ke sana. Mas akan gendong, Mas kuat kok. Ayo!“ Nina tetap menggeleng. “Ikhlaskan kami,” ucap Nina tak sadarkan diri dengan kepala tergolek lemas. Alfio menatapnya dengan tatapan nanar. “Nina! “ panggil Alfio pelan. “Nina bangun!“ teriaknya mengguncang bahu wanita itu. “Nina!“ tepuknya pelan pada pipi Nina tapi wanita itu tak kunjung bergerak. “Ya Allah, Ya Allah….“ Alfio berusaha meraih Mika dalam dekapannya. Dan Nina di punggungnya. Tapi tubuh keduanya sangat berat hingga ia tak bisa menariknya. “Nina sadarlah!“ seru Alfio dengan linangan air mata. Namun, sekuat apapun ia berusaha. Ia tetap tak mampu meraih tubuh Nina. Seolah ada yang menahan wanita itu beserta bayi dalam dekapannnya. “Nina!“ *** Hhh… hhh… hhh…. Alfio terduduk, mengatur nafasnya yang naik turun tak beraturan. Ia mengerjap menatap sekeliling. Ini di kamarnya dan ia bermimpi lagi. Apa ini? Mimpi dalam mimpi? Degup jantungnya berdebar tak karuan. Tangan kanannya mengurut dada menetralkan rasa. Tangan kirinya ia gunakan untuk menopang tubuh. Sekali lagi, perasaan aneh itu menjalar saat ia merasa tak ada apapun di sampingnya. Begitu menoleh, memang tak ada Nina di sana. Namun, Mika kali ini ada di tengah ranjang. Alfio mendekat menciumi bayi perempuan itu dengan sayang. Teringat mimpi tadi membuatnya kian bersedih. Namun Nina, ada di mana wanita itu. Perasaannya mulai tak enak. Apakah ini masih mimpi juga? Ia bangkit, berjalan keluar. Kini mengintip lagi dari celah-celah pintu. Ruang tengah masih sama, terang dengan lampu menyala dan tak ada apapun di sana. Alfio membuka lebar pintu itu. Menatap sekeliling, matanya menelisik ke seluruh sudut ruangan. "Nina.“ panggilnya dengan suara pelan. Tak ada sahutan. Kresek… kresek….Alfio menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur. Matanya tertuju pada Nina yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Alfio. “Nina,“ panggil Alfio pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Alfio mendekat dan menyentuh pundaknya. Nina menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Alfio. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Nina berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Alfio mual seketika. “Apa yang kamu lakukan?“ tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Nina. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya. Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Alfio membuangnya tepat di tong
"Ngeri, ya Mo.“ Jupri bergidik sembari menatap sekilas pada rumah Alfio. Banyak rumput liar yang tumbuh di rumah tersebut. Dinding papannya juga sudah berlumut di beberapa bagian. “Iya Pri, apalagi kata yang lain waktu ngelihat memang gak ada siapa-siapa selain si Alfio. Berarti dia ….“ “Tinggal sama hantu!“ “Hus!“ Keduanya berjalan cepat saat Alfio yang berada di depan rumah menoleh ke arah mereka. Saling mendorong dan melipir ke pinggir. Hingga sampai di ujung Desa. Tepat di depan ladang tebu yang cukup luas milik Haji Nazam. “Tapi … kau yakin, Mo, kalau Nina itu udah gak ada?“ tanya Jupri memulai pembicaraan. Mereka berdua hendak memanen tebu-tebu itu. Udin mengeluarkan parang dari sarungnya. “Ya, yakin gak yakin sih, Pri. Tapi mengingat dia sering gentayangan terus ngilang tiba-tiba kemungkinan sih, gitu.“ “Aneh, gak, sih. Gak ada mayat yang ditemukan. Padahal pas di cek rumahnya dalam keadaan kosong.“ “Mungkin dibuang jauh kali.“ “Ya kalo memang benar begitu, kira-kira s
Alfio berdiri di depan rumah, nafasnya naik turun tak beraturan karena berjalan cepat tadi. Ia menoleh ke belakang, Ustad Nizar dan para warga tak mengikutinya.Ia mengusap wajah dengan kasar. Penyataan Abah tadi membuat perasaannya bimbang bukan kepalang. Jelas-jelas ia melihat istrinya di depan mata. Tidak mungkin apa yang dikatakan para warga tadi benar."Nina masih hidup! Keluargaku masih hidup," bisik Alfio sembari meyakinkan diri.Namun mengingat kejadian tadi yang di luar nalar terjadi padanya saat mengikuti Nina ke danau membuat Alfio seketika meragukan hal itu.Benarkah itu Nina? Atau sosok yang berusaha mencelakakannya? Alfio bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Suasana sepi, bajunya yang masih basah dan berlumpur membuatnya berjalan berjingkat masuk ke dalam rumah.Jantung Alfio berdetak tak karuan. Bunyinya bertalu hingga sedikit menyesakkan dada. Ia tak melihat Nina di mana pun. Meski menyangkal, ia juga tak menutup
“Desa Tambak Rejo?“ ucap tukang ojek itu sembari menggeleng. “Gak, Mas, yang lain aja.“ Alfio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lima orang ojek sudah dia tanyai untuk mengangkut dirinya menuju Desa di mana kampung halamannya berada. Tak satupun ada yang mau ke sana walau ia sudah menawarkan lebihan ongkos. Senja mulai terbit di ufuk barat. Maghrib hampir menjelang. Sayup-sayup suara mengaji terdengar dari surau terdekat. Hanya tinggal tiga kilometer lagi perjalanannya dan ia tak boleh menyerah begitu saja. “Kenapa, Mas? Saya lebihin kok, ongkosnya.“ Alfio mencoba penawaran terakhir. “Mas orang mana? Orang baru mau ke Desa itu?“ Penawarannya malah diberi pertanyaan oleh si tukang ojek. “Saya orang asli Desa, udah dua tahun gak pulang kampung. Ini rindu sekali dengan rumah, Mas. Bisa, gak, tolongin saya?“ “Pantesan,” gumam si tukang ojek yang masih terdengar jelas oleh Alfio. “Pantesan gimana, Mas?“ “Enggak.“ Alis Alfio bertaut, wajah sang tukang ojek terlihat ketakutan. Namu
Pintu rumah terbuka sedikit, menimbulkan bunyi yang agak membuat bulu kuduk meremang. Nina terpaku di tempat saat tak ada sosok yang muncul. Cahaya redup dari dalam rumah menyambutnya dengan kosong. Tak ada Nina di sana. “Nina," panggil Alfio kembali. Lelaki itu maju satu langkah. Membuka lebih lebar pintu tersebut sampai pada batas dinding. Aneh, tak ada seorang pun. Istrinya, maupun Maknya. Jadi, apa pintunya terbuka sendiri? “Astaghfirullah!“ serunya kaget seraya memegang dada yang berdegup kencang saat berbalik. Nina sudah berdiri di belakangnya dengan pandangan kosong seraya menatapnya. Membuat bulu kuduk Alfio meremang, apalagi Nina yang tiba-tiba berdiri di belakangnya membuat ia kaget setengah mati. “Nina, kenapa kamu bisa di sini? Padahal tadi Mas gak lihat kamu lewat," ucap Alfio pelan. Namun Nina masih menatapnya dengan tajam. Mata wanita itu melotot ke arahnya. Hawa dingin dari luar membuat perasaan Alfio tak enak. Ia mengusap tengkuknya. "Nina ...," panggilnya k
Alfio membalik sikat tersebut. Puluhan, ah tidak! Mungkin ratusan belatung itu memenuhi sikat hingga membuatnya mual seketika. Ia buru-buru menyiram sikat itu dengan air dari bak. Entah apa yang terjadi pada sikat itu hingga dihuni banyak belatung. Alfio mengurungkan niat untuk menyikat kamar mandi itu pada akhirnya. Mungkin, nanti ia akan beli sikat baru lebih dulu. Selesai mandi, Alfio dan beranjak menuju kamar. Dilihat Nina tengah berbaring dengan anaknya dalam dekapan wanita itu. “Dik, masih maghrib jangan tiduran!“ ucapnya, namun Nina seperti tak menggubris. “Dik!“ panggilnya. Nina tak juga bergerak. Alfio menghela nafas, memilih menunaikan shalat maghribnya terlebih dahulu sebelum waktunya benar-benar habis. Mungkin wanita itu kecapekan. Ia mencari sajadah, namun tak menemukannya di kamar ini. Mau bertanya sudah pasti Nina tak akan menjawab. Dipanggili untuk bangun juga susah. Akhirnya Alfio membongkar tasnya dan mengambil sajadah dari sana. Membentangkannya mengha
Ia menelisik ruangan di dapur. Membuka kendi yang menjadi tempat persediaan beras. Dahinya berkerut saat melihat beberapa kutu merayap di sana. Beras-beras yang sudah tak layak untuk dimasak, apalagi dikonsumsi. Alfio menyiduk isi beras yang sudah berjamur dan menghitam itu. Membuangnya ke dalam kantung plastik. Membersihkan isi kendi itu dari kutu-kutu yang meraya. Sejenak, ia menoleh ke arah pintu masuk dapur. “Sampai berjamur seperti ini. Apakah Nina tidak memasak nasi selama beberapa bulan?“ ucapnya lirih. Kini pandangannya tertuju pada meja makan. Baru disadarinya ada beberapa lalat yang berkerubung di sana. Sontak, ia berjalan mendekat. Bau busuk memenuhi indra penciumannya. Beberapa makanan itu sudah basi dan berlendir. Menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Alfio mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Sebenarnya kenapa lauk ini sampai basi. Apa Nina juga tidak makan? Apa dia tidak sadar kalau beras sudah membusuk dan lauk tak bisa dikonsumsi. Kalau alasannya
“… iya kata Dani ….“ “… udah meninggal katanya ….“ “… kecelakaan di tempat kerja ….“ “Betul Alfio, Dani bilang kamu kecelakaan di kota,” ucap Mak Atik masih dengan wajah tak percaya. Ia menatap warga lain yang juga mengangguk-angguk setuju “Saya gak pernah kecelakaan, Mak. Alhamdulillah masih sehat walafiat. Satu tahun lalu saya memang hilang komunikasi dengan Dani. Karena ponsel saya hilang saat di perantauan. Mungkin saat itu dia mengira saya hilang kabar dan sudah tiada. Bahkan satu tahun juga saya sudah tak berkomunikasi dengan Nina.“ Mendengar nama Nina disebut. Makin ribut warga Desa, angin semilir berhembus membuat mereka berbisik-bisik persis dengungan lebah. “Sekarang Dani di mana, Mak? Biar Alfio meluruskan padanya, takut salah paham.“ “Dani sudah merantau ke luar kota setelah satu bulan sejak dia mengatakan kamu telah meninggal dunia….“ “Ya, sejak saat itu istri, anak dan Mak mu juga menghilang, Alfio,” sambung Mak Atik menyambung perkataan Mak Rah. “Mengh