Share

BAB 8

Alfio menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur.

Matanya tertuju pada Nina yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Alfio.

“Nina,“ panggil Alfio pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Alfio mendekat dan menyentuh pundaknya.

Nina menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Alfio. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Nina berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Alfio mual seketika.

“Apa yang kamu lakukan?“ tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Nina. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya.

Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Alfio membuangnya tepat di tong sampah sudut dapur setelah memasukkannya ke kantung plastik.

“Kenapa kamu makan ini, Dik? Ini sudah basi gak bisa dimakan!“ Alfio merebut kantung plastik dari tangan Nina. Mengikatnya kemudian.

“Itu masih enak, Mas. Kembaliin!“ tangan Nina terulur hendak merebut. Namun dengan cekatan Alfio menjauhkan kantung plastik itu.

“Kamu bisa sakit perut nanti. Sekarang muntahkan apa yang ada di mulut kamu.

Nina menggeleng, malah wanita itu mengunyah makanan dalam mulutnya dan menelannya.

Alfio meringis, merasa mual. Mencium baunya saja ia tak lagi selera apalagi memakannya. Bagaimana Nina bisa….

“Biasanya Nina juga makan makanan itu sama Mak Lik dan gak terjadi apa-apa, Mas. Sekarang balikin soalnya Nina masih lapar.“

“Enggak! Kamu ini aneh sekali. Mas, kan, sudah bilang ini makanan basi bahkan sudah berjamur. Sekarang kamu ke kamar mandi bersihkan mulutmu, Nina. Biar Mas masakin makanan baru.“

Nina tak menghiraukan perkataan Alfio. Wanita itu bangkit berdiri begitu saja dan melangkah keluar dari dapur. Tanpa membersihkan mulutnya. Entah apa yang dirasa wanita itu akan makanan ini.

Salah Alfio sendiri sebenarnya kenapa tak langsung membuang keluar rumah malam kemarin. Tapi… bukankah baunya juga sangat menyengat, seharusnya Nina sadar.

Ia menggeleng, membuka pintu belakang dan mencampakkan kantung plastik itu keluar halaman belakang tempat tumpukan sampah di sana berada.

Sejenak ia memperhatikam halaman yang sangat kotor itu. Banyak dedaunan kering juga sampah bertebaran di sana sini. Sedikit bau busuk kembali menyeruak indra penciuman.

“Mas!“

Alfio menoleh saat Nina tiba-tiba saja berdiri di belakangnya. Wanita itu menunjuk-nunjuk hutan pohon tebu yang berada di belakang halaman rumah mereka.

“Mika hilang.“

“Hilang?“ Alfio bangkit dari posisinya jongkok. “Hilang di mana?“

“Tengah hutan, Mas.“

“Kok, bisa? Kapan kamu bawa dia ke….“

“Nanti saja tanyanya, ayo kita cari!“

Alfio melemparkan asal potongan kain yang ia pegang tadi. Sekarang ia berlari menyusul Nina yang masuk ke dalam hutan. Perasaannya tak karuan mengingat bayi mereka masih sangat kecil.

Tapi… kenapa bisa masuk ke hutan? Sementara Nina menyusulnya ke sini.

Sejenak Alfio ragu untuk melanjutkan langkah.

Pagi sudah menjelang ternyata. Saat ia melihat cahaya kekuningan mulai muncul dari arah timur. Kali ini Alfio yakin kalau ini bukan mimpi.

Ia menutup pintu tersebut. Membersihkan segala hal yang kotor termasuk piring-piring bekas makanan basi kemarin.

Kemudian menanak nasi untuk makannya bersama Nina nanti.

**

Alfio selesai memasak mie instan dan juga telur. Karena selain itu ia tak pandai hal lain. Ia memanggil Nina, menghidangkannya tepat di hadapan wanita itu saat mie masih mengepulkan asap.

“Makan Nina! Cuma ini yang Mas bisa masak. Tapi setidaknya ini lebih layak dari makanan basi yang kamu makan tadi,” ucap Alfio sembari tersenyum.

Kemudian Ia mengambil gelas untuk menuang air minum. Saat berbalik menghadap meja makan. Alfio mulai tertegun.

Nina memakan mie buatannya dengan lahap. Seharusnya Alfio senang, tapi … mie itu baru matang dan masih sangat panas. Apalagi Nina makan menggunakan tangan. Dan wanita itu terlihat biasa saja.

Bahkan setelah mie di piringnya habis, Nina mengambil mie di piring Alfio dan mulai melahapnya juga.

“Nina lapar?“ tanya Alfio dengan heran. Meletakkan segelas air di hadapan Nina. Wanita itu menenggaknya hingga habis. “Mau Mas, masakin lagi?“ sambungnya.

“Gak usah, Mas.“

“Beneran?“ tanya Alfio ragu.

“Iya.“

“Oh ya sudah kalau begitu,” ucap Alfio masih dengan tatapan bingung. Mie untuknya sudah di makan oleh Nina. Maka dia berniat untuk memasak mie lagi.

“Mas gak keluar dari rumah, kan, nanti? Gak pergi ke rumah Ustadz Nizar kan?“

Sejenak Alfio menghentikan kegiatannya. Menatap Nina yang juga sedang menatapnya.

“Memangnya kenapa? Dari kemarin kenapa ngotot sekali menyuruh Mas agar jangan bertemu dengan Abah? Dia, kan, guru ngaji kamu juga dulu.“

“Mas! Nina sudah bilang dari kemarin, kan? Mas gak ingat.“

“Iya, ingat,” ucap Alfio sembari menoleh. “Tapi Mas butuh alasan.“

“Pokonya jangan bertemu dengan ustadz Nizar. Kalau Mas masih mau bertemu Nina,” ucap istrinya keukeuh meninggalkan Alfio. Mata laki-laki itu menatap kosong pada air yang telah mendidih.

Segitu ngototnya Nina melarang. Sebenarnya kenapa?

***

Selesai makan, Alfio hanya pergi ke halaman tebu di samping rumah guna bersih-bersih. Menuruti perkataan wanita itu daripada merajuk.

Satu dua warga yang Jaka kenali melewati rumahnya. Mereka Bang Nomo dan Bang Jupri. Dua laki-laki yang usianya tak terlalu terpaut jauh dengan Alfio. Namun saat ia menoleh untuk menyapa, kedua orang itu lari terbirit-birit melewatinya.

Alfio menggeleng, tak habis pikir. Belum hilang rasa penasarannya karena Nina yang terus bertingkah aneh. Kini para warga Desa juga berlaku aneh padanya.

Alfio berkacak pinggang, menatap beberapa batang pohon singkong yang tergeletak di pinggir ladang tebu. Teringatnya di halaman belakang rumahnya cukup luas. Mungkin ia bisa menanam beberapa batang ubi di sana. Lumayan daunnya bisa disayur.

Ia memotong batang ubi itu menjadi beberapa bagian. Lalu membawanya ke belakang rumah melalui halaman samping.

Alfio mengambil cangkul yang ada tepat di sudut halaman belakang. Sejenak matanya memicing saat melihat bercak kecoklatan yang menempel di cangkul tersebut.

Mengabaikan hal itu, Alfio mulai menggemburkan tanah itu bagian demi bagian. Menanam beberapa batang pohon singkong di sana sampai matanya menangkap sesuatu yang agak aneh.

Sebuah potongan kain lusuh ada di dalam tanah yang ia cangkuli tersebut. Alfio mengambil kain dengan motif yang ia ingat betul bentuknya. Kain itu adalah potongan dari salah satu baju Nina yang ia berikan pada ulang tahun wanita itu yang kedua puluh enam. Tepat satu tahun pernikahan mereka.

Baju kesayangan yang selalu Nina pakai. Bahkan sangat menjaga baju itu agar tidak rusak. Mustahil melihat potongan kain ini ada diantara tumpukan tanah. Mengingat wanita itu sangat menjaganya.

Apa Nina membuang bajunya atau….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status