Alfio menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur.
Matanya tertuju pada Nina yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Alfio. “Nina,“ panggil Alfio pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Alfio mendekat dan menyentuh pundaknya. Nina menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Alfio. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Nina berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Alfio mual seketika. “Apa yang kamu lakukan?“ tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Nina. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya. Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Alfio membuangnya tepat di tong sampah sudut dapur setelah memasukkannya ke kantung plastik. “Kenapa kamu makan ini, Dik? Ini sudah basi gak bisa dimakan!“ Alfio merebut kantung plastik dari tangan Nina. Mengikatnya kemudian. “Itu masih enak, Mas. Kembaliin!“ tangan Nina terulur hendak merebut. Namun dengan cekatan Alfio menjauhkan kantung plastik itu. “Kamu bisa sakit perut nanti. Sekarang muntahkan apa yang ada di mulut kamu. Nina menggeleng, malah wanita itu mengunyah makanan dalam mulutnya dan menelannya. Alfio meringis, merasa mual. Mencium baunya saja ia tak lagi selera apalagi memakannya. Bagaimana Nina bisa…. “Biasanya Nina juga makan makanan itu sama Mak Lik dan gak terjadi apa-apa, Mas. Sekarang balikin soalnya Nina masih lapar.“ “Enggak! Kamu ini aneh sekali. Mas, kan, sudah bilang ini makanan basi bahkan sudah berjamur. Sekarang kamu ke kamar mandi bersihkan mulutmu, Nina. Biar Mas masakin makanan baru.“ Nina tak menghiraukan perkataan Alfio. Wanita itu bangkit berdiri begitu saja dan melangkah keluar dari dapur. Tanpa membersihkan mulutnya. Entah apa yang dirasa wanita itu akan makanan ini. Salah Alfio sendiri sebenarnya kenapa tak langsung membuang keluar rumah malam kemarin. Tapi… bukankah baunya juga sangat menyengat, seharusnya Nina sadar. Ia menggeleng, membuka pintu belakang dan mencampakkan kantung plastik itu keluar halaman belakang tempat tumpukan sampah di sana berada. Sejenak ia memperhatikam halaman yang sangat kotor itu. Banyak dedaunan kering juga sampah bertebaran di sana sini. Sedikit bau busuk kembali menyeruak indra penciuman. “Mas!“ Alfio menoleh saat Nina tiba-tiba saja berdiri di belakangnya. Wanita itu menunjuk-nunjuk hutan pohon tebu yang berada di belakang halaman rumah mereka. “Mika hilang.“ “Hilang?“ Alfio bangkit dari posisinya jongkok. “Hilang di mana?“ “Tengah hutan, Mas.“ “Kok, bisa? Kapan kamu bawa dia ke….“ “Nanti saja tanyanya, ayo kita cari!“ Alfio melemparkan asal potongan kain yang ia pegang tadi. Sekarang ia berlari menyusul Nina yang masuk ke dalam hutan. Perasaannya tak karuan mengingat bayi mereka masih sangat kecil. Tapi… kenapa bisa masuk ke hutan? Sementara Nina menyusulnya ke sini. Sejenak Alfio ragu untuk melanjutkan langkah. Pagi sudah menjelang ternyata. Saat ia melihat cahaya kekuningan mulai muncul dari arah timur. Kali ini Alfio yakin kalau ini bukan mimpi. Ia menutup pintu tersebut. Membersihkan segala hal yang kotor termasuk piring-piring bekas makanan basi kemarin. Kemudian menanak nasi untuk makannya bersama Nina nanti. ** Alfio selesai memasak mie instan dan juga telur. Karena selain itu ia tak pandai hal lain. Ia memanggil Nina, menghidangkannya tepat di hadapan wanita itu saat mie masih mengepulkan asap. “Makan Nina! Cuma ini yang Mas bisa masak. Tapi setidaknya ini lebih layak dari makanan basi yang kamu makan tadi,” ucap Alfio sembari tersenyum. Kemudian Ia mengambil gelas untuk menuang air minum. Saat berbalik menghadap meja makan. Alfio mulai tertegun. Nina memakan mie buatannya dengan lahap. Seharusnya Alfio senang, tapi … mie itu baru matang dan masih sangat panas. Apalagi Nina makan menggunakan tangan. Dan wanita itu terlihat biasa saja. Bahkan setelah mie di piringnya habis, Nina mengambil mie di piring Alfio dan mulai melahapnya juga. “Nina lapar?“ tanya Alfio dengan heran. Meletakkan segelas air di hadapan Nina. Wanita itu menenggaknya hingga habis. “Mau Mas, masakin lagi?“ sambungnya. “Gak usah, Mas.“ “Beneran?“ tanya Alfio ragu. “Iya.“ “Oh ya sudah kalau begitu,” ucap Alfio masih dengan tatapan bingung. Mie untuknya sudah di makan oleh Nina. Maka dia berniat untuk memasak mie lagi. “Mas gak keluar dari rumah, kan, nanti? Gak pergi ke rumah Ustadz Nizar kan?“ Sejenak Alfio menghentikan kegiatannya. Menatap Nina yang juga sedang menatapnya. “Memangnya kenapa? Dari kemarin kenapa ngotot sekali menyuruh Mas agar jangan bertemu dengan Abah? Dia, kan, guru ngaji kamu juga dulu.“ “Mas! Nina sudah bilang dari kemarin, kan? Mas gak ingat.“ “Iya, ingat,” ucap Alfio sembari menoleh. “Tapi Mas butuh alasan.“ “Pokonya jangan bertemu dengan ustadz Nizar. Kalau Mas masih mau bertemu Nina,” ucap istrinya keukeuh meninggalkan Alfio. Mata laki-laki itu menatap kosong pada air yang telah mendidih. Segitu ngototnya Nina melarang. Sebenarnya kenapa? *** Selesai makan, Alfio hanya pergi ke halaman tebu di samping rumah guna bersih-bersih. Menuruti perkataan wanita itu daripada merajuk. Satu dua warga yang Jaka kenali melewati rumahnya. Mereka Bang Nomo dan Bang Jupri. Dua laki-laki yang usianya tak terlalu terpaut jauh dengan Alfio. Namun saat ia menoleh untuk menyapa, kedua orang itu lari terbirit-birit melewatinya. Alfio menggeleng, tak habis pikir. Belum hilang rasa penasarannya karena Nina yang terus bertingkah aneh. Kini para warga Desa juga berlaku aneh padanya. Alfio berkacak pinggang, menatap beberapa batang pohon singkong yang tergeletak di pinggir ladang tebu. Teringatnya di halaman belakang rumahnya cukup luas. Mungkin ia bisa menanam beberapa batang ubi di sana. Lumayan daunnya bisa disayur. Ia memotong batang ubi itu menjadi beberapa bagian. Lalu membawanya ke belakang rumah melalui halaman samping. Alfio mengambil cangkul yang ada tepat di sudut halaman belakang. Sejenak matanya memicing saat melihat bercak kecoklatan yang menempel di cangkul tersebut. Mengabaikan hal itu, Alfio mulai menggemburkan tanah itu bagian demi bagian. Menanam beberapa batang pohon singkong di sana sampai matanya menangkap sesuatu yang agak aneh. Sebuah potongan kain lusuh ada di dalam tanah yang ia cangkuli tersebut. Alfio mengambil kain dengan motif yang ia ingat betul bentuknya. Kain itu adalah potongan dari salah satu baju Nina yang ia berikan pada ulang tahun wanita itu yang kedua puluh enam. Tepat satu tahun pernikahan mereka. Baju kesayangan yang selalu Nina pakai. Bahkan sangat menjaga baju itu agar tidak rusak. Mustahil melihat potongan kain ini ada diantara tumpukan tanah. Mengingat wanita itu sangat menjaganya. Apa Nina membuang bajunya atau…."Ngeri, ya Mo.“ Jupri bergidik sembari menatap sekilas pada rumah Alfio. Banyak rumput liar yang tumbuh di rumah tersebut. Dinding papannya juga sudah berlumut di beberapa bagian. “Iya Pri, apalagi kata yang lain waktu ngelihat memang gak ada siapa-siapa selain si Alfio. Berarti dia ….“ “Tinggal sama hantu!“ “Hus!“ Keduanya berjalan cepat saat Alfio yang berada di depan rumah menoleh ke arah mereka. Saling mendorong dan melipir ke pinggir. Hingga sampai di ujung Desa. Tepat di depan ladang tebu yang cukup luas milik Haji Nazam. “Tapi … kau yakin, Mo, kalau Nina itu udah gak ada?“ tanya Jupri memulai pembicaraan. Mereka berdua hendak memanen tebu-tebu itu. Udin mengeluarkan parang dari sarungnya. “Ya, yakin gak yakin sih, Pri. Tapi mengingat dia sering gentayangan terus ngilang tiba-tiba kemungkinan sih, gitu.“ “Aneh, gak, sih. Gak ada mayat yang ditemukan. Padahal pas di cek rumahnya dalam keadaan kosong.“ “Mungkin dibuang jauh kali.“ “Ya kalo memang benar begitu, kira-kira s
Alfio berdiri di depan rumah, nafasnya naik turun tak beraturan karena berjalan cepat tadi. Ia menoleh ke belakang, Ustad Nizar dan para warga tak mengikutinya.Ia mengusap wajah dengan kasar. Penyataan Abah tadi membuat perasaannya bimbang bukan kepalang. Jelas-jelas ia melihat istrinya di depan mata. Tidak mungkin apa yang dikatakan para warga tadi benar."Nina masih hidup! Keluargaku masih hidup," bisik Alfio sembari meyakinkan diri.Namun mengingat kejadian tadi yang di luar nalar terjadi padanya saat mengikuti Nina ke danau membuat Alfio seketika meragukan hal itu.Benarkah itu Nina? Atau sosok yang berusaha mencelakakannya? Alfio bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Suasana sepi, bajunya yang masih basah dan berlumpur membuatnya berjalan berjingkat masuk ke dalam rumah.Jantung Alfio berdetak tak karuan. Bunyinya bertalu hingga sedikit menyesakkan dada. Ia tak melihat Nina di mana pun. Meski menyangkal, ia juga tak menutup
“Desa Tambak Rejo?“ ucap tukang ojek itu sembari menggeleng. “Gak, Mas, yang lain aja.“ Alfio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lima orang ojek sudah dia tanyai untuk mengangkut dirinya menuju Desa di mana kampung halamannya berada. Tak satupun ada yang mau ke sana walau ia sudah menawarkan lebihan ongkos. Senja mulai terbit di ufuk barat. Maghrib hampir menjelang. Sayup-sayup suara mengaji terdengar dari surau terdekat. Hanya tinggal tiga kilometer lagi perjalanannya dan ia tak boleh menyerah begitu saja. “Kenapa, Mas? Saya lebihin kok, ongkosnya.“ Alfio mencoba penawaran terakhir. “Mas orang mana? Orang baru mau ke Desa itu?“ Penawarannya malah diberi pertanyaan oleh si tukang ojek. “Saya orang asli Desa, udah dua tahun gak pulang kampung. Ini rindu sekali dengan rumah, Mas. Bisa, gak, tolongin saya?“ “Pantesan,” gumam si tukang ojek yang masih terdengar jelas oleh Alfio. “Pantesan gimana, Mas?“ “Enggak.“ Alis Alfio bertaut, wajah sang tukang ojek terlihat ketakutan. Namu
Pintu rumah terbuka sedikit, menimbulkan bunyi yang agak membuat bulu kuduk meremang. Nina terpaku di tempat saat tak ada sosok yang muncul. Cahaya redup dari dalam rumah menyambutnya dengan kosong. Tak ada Nina di sana. “Nina," panggil Alfio kembali. Lelaki itu maju satu langkah. Membuka lebih lebar pintu tersebut sampai pada batas dinding. Aneh, tak ada seorang pun. Istrinya, maupun Maknya. Jadi, apa pintunya terbuka sendiri? “Astaghfirullah!“ serunya kaget seraya memegang dada yang berdegup kencang saat berbalik. Nina sudah berdiri di belakangnya dengan pandangan kosong seraya menatapnya. Membuat bulu kuduk Alfio meremang, apalagi Nina yang tiba-tiba berdiri di belakangnya membuat ia kaget setengah mati. “Nina, kenapa kamu bisa di sini? Padahal tadi Mas gak lihat kamu lewat," ucap Alfio pelan. Namun Nina masih menatapnya dengan tajam. Mata wanita itu melotot ke arahnya. Hawa dingin dari luar membuat perasaan Alfio tak enak. Ia mengusap tengkuknya. "Nina ...," panggilnya k
Alfio membalik sikat tersebut. Puluhan, ah tidak! Mungkin ratusan belatung itu memenuhi sikat hingga membuatnya mual seketika. Ia buru-buru menyiram sikat itu dengan air dari bak. Entah apa yang terjadi pada sikat itu hingga dihuni banyak belatung. Alfio mengurungkan niat untuk menyikat kamar mandi itu pada akhirnya. Mungkin, nanti ia akan beli sikat baru lebih dulu. Selesai mandi, Alfio dan beranjak menuju kamar. Dilihat Nina tengah berbaring dengan anaknya dalam dekapan wanita itu. “Dik, masih maghrib jangan tiduran!“ ucapnya, namun Nina seperti tak menggubris. “Dik!“ panggilnya. Nina tak juga bergerak. Alfio menghela nafas, memilih menunaikan shalat maghribnya terlebih dahulu sebelum waktunya benar-benar habis. Mungkin wanita itu kecapekan. Ia mencari sajadah, namun tak menemukannya di kamar ini. Mau bertanya sudah pasti Nina tak akan menjawab. Dipanggili untuk bangun juga susah. Akhirnya Alfio membongkar tasnya dan mengambil sajadah dari sana. Membentangkannya mengha
Ia menelisik ruangan di dapur. Membuka kendi yang menjadi tempat persediaan beras. Dahinya berkerut saat melihat beberapa kutu merayap di sana. Beras-beras yang sudah tak layak untuk dimasak, apalagi dikonsumsi. Alfio menyiduk isi beras yang sudah berjamur dan menghitam itu. Membuangnya ke dalam kantung plastik. Membersihkan isi kendi itu dari kutu-kutu yang meraya. Sejenak, ia menoleh ke arah pintu masuk dapur. “Sampai berjamur seperti ini. Apakah Nina tidak memasak nasi selama beberapa bulan?“ ucapnya lirih. Kini pandangannya tertuju pada meja makan. Baru disadarinya ada beberapa lalat yang berkerubung di sana. Sontak, ia berjalan mendekat. Bau busuk memenuhi indra penciumannya. Beberapa makanan itu sudah basi dan berlendir. Menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Alfio mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Sebenarnya kenapa lauk ini sampai basi. Apa Nina juga tidak makan? Apa dia tidak sadar kalau beras sudah membusuk dan lauk tak bisa dikonsumsi. Kalau alasannya
“… iya kata Dani ….“ “… udah meninggal katanya ….“ “… kecelakaan di tempat kerja ….“ “Betul Alfio, Dani bilang kamu kecelakaan di kota,” ucap Mak Atik masih dengan wajah tak percaya. Ia menatap warga lain yang juga mengangguk-angguk setuju “Saya gak pernah kecelakaan, Mak. Alhamdulillah masih sehat walafiat. Satu tahun lalu saya memang hilang komunikasi dengan Dani. Karena ponsel saya hilang saat di perantauan. Mungkin saat itu dia mengira saya hilang kabar dan sudah tiada. Bahkan satu tahun juga saya sudah tak berkomunikasi dengan Nina.“ Mendengar nama Nina disebut. Makin ribut warga Desa, angin semilir berhembus membuat mereka berbisik-bisik persis dengungan lebah. “Sekarang Dani di mana, Mak? Biar Alfio meluruskan padanya, takut salah paham.“ “Dani sudah merantau ke luar kota setelah satu bulan sejak dia mengatakan kamu telah meninggal dunia….“ “Ya, sejak saat itu istri, anak dan Mak mu juga menghilang, Alfio,” sambung Mak Atik menyambung perkataan Mak Rah. “Mengh
Perkataan Alfio terhenti, Nina tiba-tiba saja menutup telinganya dengan erat sembari berbalik dari hadapannya. Nina terduduk sembari menepuk-nepuk telinganya dengan keras. Matanya juga memejam sembari menggeleng. "Nina, sayang, ada apa? Kenapa kamu begini?" "Jangan sebut namamya!" "Apa? Siapa? Mas sebut nama siapa memangnya?" Alfio bingung, ia berusaha menatap Nina tapi wanita itu terus menghindarinya. Drrt ... drttt .... Lampu berkelap-kelip di atas sana mengalihkan pandangan Alfio, suasana redup dan kian mencekam membuatnya seketika membeku di tempat. Sementara Nina masih dengan posisi duduk sembari terus menggumamkan sesuatu. Angin yang tak tahu darimana datangnya tiba-tiba berhembus kencang, menabrakkan jendela dan daun pintu membuat Jaka terkesiap kaget. Mata melotot Nina membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih. Wanita itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip sama sekali. Sembari terus bergumam mengucapkan beberapa hal yang tak Alfio mengerti. "Nina" panggilnya