“… iya kata Dani ….“
“… udah meninggal katanya ….“ “… kecelakaan di tempat kerja ….“ “Betul Alfio, Dani bilang kamu kecelakaan di kota,” ucap Mak Atik masih dengan wajah tak percaya. Ia menatap warga lain yang juga mengangguk-angguk setuju “Saya gak pernah kecelakaan, Mak. Alhamdulillah masih sehat walafiat. Satu tahun lalu saya memang hilang komunikasi dengan Dani. Karena ponsel saya hilang saat di perantauan. Mungkin saat itu dia mengira saya hilang kabar dan sudah tiada. Bahkan satu tahun juga saya sudah tak berkomunikasi dengan Nina.“ Mendengar nama Nina disebut. Makin ribut warga Desa, angin semilir berhembus membuat mereka berbisik-bisik persis dengungan lebah. “Sekarang Dani di mana, Mak? Biar Alfio meluruskan padanya, takut salah paham.“ “Dani sudah merantau ke luar kota setelah satu bulan sejak dia mengatakan kamu telah meninggal dunia….“ “Ya, sejak saat itu istri, anak dan Mak mu juga menghilang, Alfio,” sambung Mak Atik menyambung perkataan Mak Rah. “Menghilang, Mak?“ ucap Alfio tak percaya. Dahinya berkerut. Menghilang bagaimana yang dimaksud? “Iya, satu bulan sejak kamu dinyatakan meninggal. Istri kamu menghilang, pergi dari rumah dan gak ada yang tahu dia ada di mana. Dan sejak saat itu….“ Ucapan Mak Atik berhenti saat Mak Rah menyenggol tangannya. Mak Rah melotot ke arahnya, memperingatkan. “Tapi istri saya gak menghilang, Mak. Istri saya ada di rumah sama anak saya,” tukas Alfio semakin tak mengerti. “Di rumah?“ seru Mak Atik dengan mata melebar. Wanita itu melirik Mak Rah. “Sudah pulang mungkin,” bisik Mak Rah. “Terus yang kita lihat selama ini…? “Sst!“ Mak Rah menempelkan telunjuk di bibir. “Jangan diucapkan! Gak enak sama Alfio kalo istrinya ternyata benar-benar sudah pulang.“ “Iya Mak, kalau Mak mau, Mak bisa datang ke rumah.“ Alfio meyakinkan. Kedua wanita tua itu saling berpandangan. Menggelengkan kepala, menatap ustadz Nizar yang juga tercengang mendengar penjelasan Alfio. Satu tahun sejak kepindahannya ke Desa ini banyak desas-desus yang beredar pasal muridnya itu. Tak terkecuali istri Alfio, Nina. “Boleh kami ke rumahmu Alfio? “ tanya Ustadz Nizar pada akhirnya. Demi memastikan sesuatu juga seolah sadar apa yang sedang dirisaukan para warga Desa saat ini. “Boleh Abah, silahkan!“ Ia mengangguk dengan yakin. Alfio pergi menuntun jalan. Mak Atik, Mak Rah, Ustadz Nizar, dan para warga juga ikut di belakang. Mereka menyusuri jalanan berbatu Desa yang sunyi. Sesekali Mak Atik mengusap tengkuknya. “Kok, aku merinding ya Mbak, yu!“ “Sama, Mbak, aku juga. Aku takut kita jumpa Nina.“ “Jangan keras-keras! Nanti Alfio dengar.“ Rombongan itu tiba di depan rumah Alfio. Laki-laki itu melangkah menuju pintu. “Nina! “ panggil Alfio keras pada daun pintu. Semuanya menunggu dengan jantung berdebar. Pasalnya, sejak desas-desus meninggalnya Alfio di perantauan. Nina serta anak dan Mak Lik menghilang begitu saja tanpa jejak. Rumah mereka terkunci dalam keadaan kosong dan tak ada siapapun. Para warga Desa pikir kedua orang dewasa itu telah pergi dari Desa karena sangat terpukul oleh kepergian Alfio. Membuat mereka tak lagi curiga ataupun mencari. Namun setelahnya.… Desa Tambak Rejo menjadi Desa yang mencekam. Setiap maghrib atau menjelang ufuk merah mulai timbul dan langit mulai kemerahan. Akan ada suara tangisan wanita sampai maghrib menghilang. Menggema ke seluruh Desa. Saat malam hari, akan ada sosok perempuan yang mirip sekali dengan Nina sedang menimang bayi di depan rumah Jaka. Jika di datangi maka sosok itu akan menghilang tak berbekas. Malah terkadang sosok Mak Lik yang beberapa kali kedapatan mengetuk pintu rumah warga untuk mencari Alfio kemudian hilang tak berjejak saat dilihat. Hilangnya Nina, anaknya dan Mak Lik menjadi teror menakutkan bagi para warga Desa. Bahkan kabar itu juga sampai ke Desa sebelah. Hingga orang-orang mulai takut berkeliaran di Desa pada malam hari karena sering diganggu. Masih jadi misteri, bagaimana kabar kehilangan tiga orang itu menjadi arwah yang menakuti warga. Beberapa memiliki kesimpulan kalau mereka sudah … mati. Namun, tak pernah ditemukan mayat Nina, Mak Lik atau anaknya di manapun. Sehingga para warga hanya bisa berspekulasi. Pun gangguan itu membuat orang-orang tak ada yang berani mendekati rumah itu lagi. “Nina! “ panggil Alfio kembali. Namun tetap tak ada sahutan. Kali ini ia berjalan membuka pintu dan masuk ke dalam. Para warga termasuk Ustadz Nizar melongok untuk melihat apa yang ada di dalam sana. Terdengar suara Alfio bercakap-cakap dengan sesuatu. Kemudian, laki-laki itu keluar … seorang diri. Tak ada siapapun yang mengikuti di belakangnya padahal warga berharap memang ada Nina di sana. “Abah, Mak Atik, Mak Rah dan yang lainnya. Ini istri saya, Nina. Dia masih ada di rumah dan tidak pernah menghilang.“ Para warga ribut seketika. Yang ditunjuk Alfio adalah ruang kosong di sampingnya. Tidak ada siapapun di sana selain dirinya sendiri. Rumah itu juga tampak kumuh dengan rumput liar tumbuh di beberapa sisi. Namun, laki-laki itu bertingkah seolah benar-benar ada seseorang yang berdiri di sisinya. Gila! Alfio sudah benar-benar gila!. Hanya Ustadz Nizar yang tersisa dari beberapa warga yang berkerumun. Semuanya bubar secara sukarela dan tak lagi ingin tahu. Pandangan Ustadz Nizar tertuju pada wanita di samping Alfio yang sedang menatap tajam ke arahnya. Tatapan itu sama sekali tidak beralih. Bahkan saat ustadz Nizar mendekat pada Alfio. “Jangan tinggalkan shalat, ya, Al! Jangan lupa mengaji juga. Tidak ada siapapun yang bisa menolongmu kecuali Allah.“ Dahi Alfio berkerut saat Ustadz Nizar menyampaikan hal itu. Namun, tak urung ia juga mengangguk. “Iya, Abah.“ “Abah pulang dulu. Besok datanglah ke rumah Abah, ada yang ingin Abah sampaikan.“ Alfio mengangguk, begitu Abah mengucap salam dan pergi dari rumahnya, Nina yang sedari tadi berdiri di sampingnya kini berjalan dengan langkah menghentak dan membanting pintu rumah. Alfio kemudian menyusulnya. “Kenapa Mas keluar dari rumah?“ “Mas beli beras dan mie instan buat makan kita.“ “Nina tak suka dengan Ustadz Nizar. Jangan menemui dia lagi.“ “Loh, kenapa? Dia guru ngaji kita dulu, toh. Kenapa gak ingin bertemu?“ “Pokoknya Nina gak mau, Mas! Besok jangan pergi ke rumahnya. Mas di sini saja bersama Nina dan anak kita.“ “Gak bisa Nina, Mas gak enak kalau tidak datang.“ “Kalau begitu terserah, Mas mau pilih Ustadz Nizar atau Nina? Nina juga sudah terbiasa kok ditinggalkan.“ “Nina….“ “Kalau Mas nekat, Mas gak akan jumpa Nina lagi. Sampai kapanpun.“ Alfio menautkan dua alis, menatap punggung Nina yang beranjak masuk ke dalam rumah. Apa maksud istrinya dengan tidak bertemu lagi? "Nina!" panggil Alfio sembari menahan tangan sang istri, dingin menyelimuti membuat Alfio sedikit tersentak. Ia melepaskan segera cengkraman tangannya. Nina berbalik, menatapnya tajam. "Apa, Mas?" "Kenapa kamu begini? Mereka cuma penasaran, juga Ustadz Nizar. Kamu tahu, apa yang mereka bicarakan saat Mas ke warung tadi? Mereka berpikir Mas sudah meninggal, Nina. Mas gak tahu kenapa warga bisa berpikir demikian, padahal Mas masih hidup. Dani yang mengabarkan kalau .... "Perkataan Alfio terhenti, Nina tiba-tiba saja menutup telinganya dengan erat sembari berbalik dari hadapannya. Nina terduduk sembari menepuk-nepuk telinganya dengan keras. Matanya juga memejam sembari menggeleng. "Nina, sayang, ada apa? Kenapa kamu begini?" "Jangan sebut namamya!" "Apa? Siapa? Mas sebut nama siapa memangnya?" Alfio bingung, ia berusaha menatap Nina tapi wanita itu terus menghindarinya. Drrt ... drttt .... Lampu berkelap-kelip di atas sana mengalihkan pandangan Alfio, suasana redup dan kian mencekam membuatnya seketika membeku di tempat. Sementara Nina masih dengan posisi duduk sembari terus menggumamkan sesuatu. Angin yang tak tahu darimana datangnya tiba-tiba berhembus kencang, menabrakkan jendela dan daun pintu membuat Jaka terkesiap kaget. Mata melotot Nina membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih. Wanita itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip sama sekali. Sembari terus bergumam mengucapkan beberapa hal yang tak Alfio mengerti. "Nina" panggilnya
Baru saja Alfio ingin berbaring kembali. Suara ketukan di pintu yang terdengar lambat dan perlahan itu membuatnya bangkit kembali. Sejenak ia terduduk untuk mendengarkan lagi, mana tahu tadi hanya halusinasi karena suaranya sangat pelan. Tok… tok… tok…. “Alfio.“ Alis Alfio bertaut, ia menoleh pada Nina yang masih pulas tertidur. Itu tadi suara maknya, sudah pulang dari Desa sebelah rupanya. Tapi malam-malam begini…. “Alfio.“ “Iya, Mak, sebentar!“ sahutnya berjalan keluar dari kamar, membuka pintu depan. Kosong. Angin malam bertiup kencang menerpa rambut dan baju yang ia pakai hingga berkibar. Semerbak bau busuk menusuk masuk ke indra penciumannya. Sontak Alfio menutup hidung. Bulu kuduknya meremang seketika. “Mak!“ panggilnya dengan suara lirih. Tak ada sahutan, hanya ada suara desau angin di balik rimbunan dedaunan. Alfio melangkah keluar dari rumah. Memperhatikan jalanan Desa yang lengang. Sudah larut malam, tak ada siapapun di luar sana. Hanya ada suara binatang m
Alfio menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur. Matanya tertuju pada Nina yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Alfio. “Nina,“ panggil Alfio pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Alfio mendekat dan menyentuh pundaknya. Nina menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Alfio. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Nina berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Alfio mual seketika. “Apa yang kamu lakukan?“ tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Nina. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya. Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Alfio membuangnya tepat di tong
"Ngeri, ya Mo.“ Jupri bergidik sembari menatap sekilas pada rumah Alfio. Banyak rumput liar yang tumbuh di rumah tersebut. Dinding papannya juga sudah berlumut di beberapa bagian. “Iya Pri, apalagi kata yang lain waktu ngelihat memang gak ada siapa-siapa selain si Alfio. Berarti dia ….“ “Tinggal sama hantu!“ “Hus!“ Keduanya berjalan cepat saat Alfio yang berada di depan rumah menoleh ke arah mereka. Saling mendorong dan melipir ke pinggir. Hingga sampai di ujung Desa. Tepat di depan ladang tebu yang cukup luas milik Haji Nazam. “Tapi … kau yakin, Mo, kalau Nina itu udah gak ada?“ tanya Jupri memulai pembicaraan. Mereka berdua hendak memanen tebu-tebu itu. Udin mengeluarkan parang dari sarungnya. “Ya, yakin gak yakin sih, Pri. Tapi mengingat dia sering gentayangan terus ngilang tiba-tiba kemungkinan sih, gitu.“ “Aneh, gak, sih. Gak ada mayat yang ditemukan. Padahal pas di cek rumahnya dalam keadaan kosong.“ “Mungkin dibuang jauh kali.“ “Ya kalo memang benar begitu, kira-kira s
Alfio berdiri di depan rumah, nafasnya naik turun tak beraturan karena berjalan cepat tadi. Ia menoleh ke belakang, Ustad Nizar dan para warga tak mengikutinya.Ia mengusap wajah dengan kasar. Penyataan Abah tadi membuat perasaannya bimbang bukan kepalang. Jelas-jelas ia melihat istrinya di depan mata. Tidak mungkin apa yang dikatakan para warga tadi benar."Nina masih hidup! Keluargaku masih hidup," bisik Alfio sembari meyakinkan diri.Namun mengingat kejadian tadi yang di luar nalar terjadi padanya saat mengikuti Nina ke danau membuat Alfio seketika meragukan hal itu.Benarkah itu Nina? Atau sosok yang berusaha mencelakakannya? Alfio bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Suasana sepi, bajunya yang masih basah dan berlumpur membuatnya berjalan berjingkat masuk ke dalam rumah.Jantung Alfio berdetak tak karuan. Bunyinya bertalu hingga sedikit menyesakkan dada. Ia tak melihat Nina di mana pun. Meski menyangkal, ia juga tak menutup
“Desa Tambak Rejo?“ ucap tukang ojek itu sembari menggeleng. “Gak, Mas, yang lain aja.“ Alfio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lima orang ojek sudah dia tanyai untuk mengangkut dirinya menuju Desa di mana kampung halamannya berada. Tak satupun ada yang mau ke sana walau ia sudah menawarkan lebihan ongkos. Senja mulai terbit di ufuk barat. Maghrib hampir menjelang. Sayup-sayup suara mengaji terdengar dari surau terdekat. Hanya tinggal tiga kilometer lagi perjalanannya dan ia tak boleh menyerah begitu saja. “Kenapa, Mas? Saya lebihin kok, ongkosnya.“ Alfio mencoba penawaran terakhir. “Mas orang mana? Orang baru mau ke Desa itu?“ Penawarannya malah diberi pertanyaan oleh si tukang ojek. “Saya orang asli Desa, udah dua tahun gak pulang kampung. Ini rindu sekali dengan rumah, Mas. Bisa, gak, tolongin saya?“ “Pantesan,” gumam si tukang ojek yang masih terdengar jelas oleh Alfio. “Pantesan gimana, Mas?“ “Enggak.“ Alis Alfio bertaut, wajah sang tukang ojek terlihat ketakutan. Namu
Pintu rumah terbuka sedikit, menimbulkan bunyi yang agak membuat bulu kuduk meremang. Nina terpaku di tempat saat tak ada sosok yang muncul. Cahaya redup dari dalam rumah menyambutnya dengan kosong. Tak ada Nina di sana. “Nina," panggil Alfio kembali. Lelaki itu maju satu langkah. Membuka lebih lebar pintu tersebut sampai pada batas dinding. Aneh, tak ada seorang pun. Istrinya, maupun Maknya. Jadi, apa pintunya terbuka sendiri? “Astaghfirullah!“ serunya kaget seraya memegang dada yang berdegup kencang saat berbalik. Nina sudah berdiri di belakangnya dengan pandangan kosong seraya menatapnya. Membuat bulu kuduk Alfio meremang, apalagi Nina yang tiba-tiba berdiri di belakangnya membuat ia kaget setengah mati. “Nina, kenapa kamu bisa di sini? Padahal tadi Mas gak lihat kamu lewat," ucap Alfio pelan. Namun Nina masih menatapnya dengan tajam. Mata wanita itu melotot ke arahnya. Hawa dingin dari luar membuat perasaan Alfio tak enak. Ia mengusap tengkuknya. "Nina ...," panggilnya k
Alfio membalik sikat tersebut. Puluhan, ah tidak! Mungkin ratusan belatung itu memenuhi sikat hingga membuatnya mual seketika. Ia buru-buru menyiram sikat itu dengan air dari bak. Entah apa yang terjadi pada sikat itu hingga dihuni banyak belatung. Alfio mengurungkan niat untuk menyikat kamar mandi itu pada akhirnya. Mungkin, nanti ia akan beli sikat baru lebih dulu. Selesai mandi, Alfio dan beranjak menuju kamar. Dilihat Nina tengah berbaring dengan anaknya dalam dekapan wanita itu. “Dik, masih maghrib jangan tiduran!“ ucapnya, namun Nina seperti tak menggubris. “Dik!“ panggilnya. Nina tak juga bergerak. Alfio menghela nafas, memilih menunaikan shalat maghribnya terlebih dahulu sebelum waktunya benar-benar habis. Mungkin wanita itu kecapekan. Ia mencari sajadah, namun tak menemukannya di kamar ini. Mau bertanya sudah pasti Nina tak akan menjawab. Dipanggili untuk bangun juga susah. Akhirnya Alfio membongkar tasnya dan mengambil sajadah dari sana. Membentangkannya mengha