Share

BAB 5

“… iya kata Dani ….“

“… udah meninggal katanya ….“

“… kecelakaan di tempat kerja ….“

“Betul Alfio, Dani bilang kamu kecelakaan di kota,” ucap Mak Atik masih dengan wajah tak percaya. Ia menatap warga lain yang juga mengangguk-angguk setuju

“Saya gak pernah kecelakaan, Mak. Alhamdulillah masih sehat walafiat. Satu tahun lalu saya memang hilang komunikasi dengan Dani. Karena ponsel saya hilang saat di perantauan. Mungkin saat itu dia mengira saya hilang kabar dan sudah tiada. Bahkan satu tahun juga saya sudah tak berkomunikasi dengan Nina.“

Mendengar nama Nina disebut. Makin ribut warga Desa, angin semilir berhembus membuat mereka berbisik-bisik persis dengungan lebah.

“Sekarang Dani di mana, Mak? Biar Alfio meluruskan padanya, takut salah paham.“

“Dani sudah merantau ke luar kota setelah satu bulan sejak dia mengatakan kamu telah meninggal dunia….“

“Ya, sejak saat itu istri, anak dan Mak mu juga menghilang, Alfio,” sambung Mak Atik menyambung perkataan Mak Rah.

“Menghilang, Mak?“ ucap Alfio tak percaya. Dahinya berkerut. Menghilang bagaimana yang dimaksud?

“Iya, satu bulan sejak kamu dinyatakan meninggal. Istri kamu menghilang, pergi dari rumah dan gak ada yang tahu dia ada di mana. Dan sejak saat itu….“

Ucapan Mak Atik berhenti saat Mak Rah menyenggol tangannya. Mak Rah melotot ke arahnya, memperingatkan.

“Tapi istri saya gak menghilang, Mak. Istri saya ada di rumah sama anak saya,” tukas Alfio semakin tak mengerti.

“Di rumah?“ seru Mak Atik dengan mata melebar. Wanita itu melirik Mak Rah.

“Sudah pulang mungkin,” bisik Mak Rah.

“Terus yang kita lihat selama ini…?

“Sst!“ Mak Rah menempelkan telunjuk di bibir. “Jangan diucapkan! Gak enak sama Alfio kalo istrinya ternyata benar-benar sudah pulang.“

“Iya Mak, kalau Mak mau, Mak bisa datang ke rumah.“ Alfio meyakinkan.

Kedua wanita tua itu saling berpandangan. Menggelengkan kepala, menatap ustadz Nizar yang juga tercengang mendengar penjelasan Alfio.

Satu tahun sejak kepindahannya ke Desa ini banyak desas-desus yang beredar pasal muridnya itu. Tak terkecuali istri Alfio, Nina.

“Boleh kami ke rumahmu Alfio? “ tanya Ustadz Nizar pada akhirnya. Demi memastikan sesuatu juga seolah sadar apa yang sedang dirisaukan para warga Desa saat ini.

“Boleh Abah, silahkan!“ Ia mengangguk dengan yakin.

Alfio pergi menuntun jalan. Mak Atik, Mak Rah, Ustadz Nizar, dan para warga juga ikut di belakang. Mereka menyusuri jalanan berbatu Desa yang sunyi.

Sesekali Mak Atik mengusap tengkuknya.

“Kok, aku merinding ya Mbak, yu!“

“Sama, Mbak, aku juga. Aku takut kita jumpa Nina.“

“Jangan keras-keras! Nanti Alfio dengar.“

Rombongan itu tiba di depan rumah Alfio. Laki-laki itu melangkah menuju pintu.

“Nina! “ panggil Alfio keras pada daun pintu.

Semuanya menunggu dengan jantung berdebar. Pasalnya, sejak desas-desus meninggalnya Alfio di perantauan.

Nina serta anak dan Mak Lik menghilang begitu saja tanpa jejak. Rumah mereka terkunci dalam keadaan kosong dan tak ada siapapun.

Para warga Desa pikir kedua orang dewasa itu telah pergi dari Desa karena sangat terpukul oleh kepergian Alfio. Membuat mereka tak lagi curiga ataupun mencari.

Namun setelahnya.…

Desa Tambak Rejo menjadi Desa yang mencekam. Setiap maghrib atau menjelang ufuk merah mulai timbul dan langit mulai kemerahan. Akan ada suara tangisan wanita sampai maghrib menghilang. Menggema ke seluruh Desa.

Saat malam hari, akan ada sosok perempuan yang mirip sekali dengan Nina sedang menimang bayi di depan rumah Jaka. Jika di datangi maka sosok itu akan menghilang tak berbekas.

Malah terkadang sosok Mak Lik yang beberapa kali kedapatan mengetuk pintu rumah warga untuk mencari Alfio kemudian hilang tak berjejak saat dilihat.

Hilangnya Nina, anaknya dan Mak Lik menjadi teror menakutkan bagi para warga Desa. Bahkan kabar itu juga sampai ke Desa sebelah. Hingga orang-orang mulai takut berkeliaran di Desa pada malam hari karena sering diganggu.

Masih jadi misteri, bagaimana kabar kehilangan tiga orang itu menjadi arwah yang menakuti warga. Beberapa memiliki kesimpulan kalau mereka sudah … mati.

Namun, tak pernah ditemukan mayat Nina, Mak Lik atau anaknya di manapun. Sehingga para warga hanya bisa berspekulasi. Pun gangguan itu membuat orang-orang tak ada yang berani mendekati rumah itu lagi.

“Nina! “ panggil Alfio kembali. Namun tetap tak ada sahutan. Kali ini ia berjalan membuka pintu dan masuk ke dalam.

Para warga termasuk Ustadz Nizar melongok untuk melihat apa yang ada di dalam sana. Terdengar suara Alfio bercakap-cakap dengan sesuatu.

Kemudian, laki-laki itu keluar … seorang diri. Tak ada siapapun yang mengikuti di belakangnya padahal warga berharap memang ada Nina di sana.

“Abah, Mak Atik, Mak Rah dan yang lainnya. Ini istri saya, Nina. Dia masih ada di rumah dan tidak pernah menghilang.“

Para warga ribut seketika. Yang ditunjuk Alfio adalah ruang kosong di sampingnya. Tidak ada siapapun di sana selain dirinya sendiri.

Rumah itu juga tampak kumuh dengan rumput liar tumbuh di beberapa sisi.

Namun, laki-laki itu bertingkah seolah benar-benar ada seseorang yang berdiri di sisinya.

Gila! Alfio sudah benar-benar gila!.

Hanya Ustadz Nizar yang tersisa dari beberapa warga yang berkerumun. Semuanya bubar secara sukarela dan tak lagi ingin tahu.

Pandangan Ustadz Nizar tertuju pada wanita di samping Alfio yang sedang menatap tajam ke arahnya. Tatapan itu sama sekali tidak beralih. Bahkan saat ustadz Nizar mendekat pada Alfio.

“Jangan tinggalkan shalat, ya, Al! Jangan lupa mengaji juga. Tidak ada siapapun yang bisa menolongmu kecuali Allah.“

Dahi Alfio berkerut saat Ustadz Nizar menyampaikan hal itu. Namun, tak urung ia juga mengangguk.

“Iya, Abah.“

“Abah pulang dulu. Besok datanglah ke rumah Abah, ada yang ingin Abah sampaikan.“

Alfio mengangguk, begitu Abah mengucap salam dan pergi dari rumahnya, Nina yang sedari tadi berdiri di sampingnya kini berjalan dengan langkah menghentak dan membanting pintu rumah. Alfio kemudian menyusulnya.

“Kenapa Mas keluar dari rumah?“

“Mas beli beras dan mie instan buat makan kita.“

“Nina tak suka dengan Ustadz Nizar. Jangan menemui dia lagi.“

“Loh, kenapa? Dia guru ngaji kita dulu, toh. Kenapa gak ingin bertemu?“

“Pokoknya Nina gak mau, Mas! Besok jangan pergi ke rumahnya. Mas di sini saja bersama Nina dan anak kita.“

“Gak bisa Nina, Mas gak enak kalau tidak datang.“

“Kalau begitu terserah, Mas mau pilih Ustadz Nizar atau Nina? Nina juga sudah terbiasa kok ditinggalkan.“

“Nina….“

“Kalau Mas nekat, Mas gak akan jumpa Nina lagi. Sampai kapanpun.“

Alfio menautkan dua alis, menatap punggung Nina yang beranjak masuk ke dalam rumah. Apa maksud istrinya dengan tidak bertemu lagi?

"Nina!" panggil Alfio sembari menahan tangan sang istri, dingin menyelimuti membuat Alfio sedikit tersentak. Ia melepaskan segera cengkraman tangannya. Nina berbalik, menatapnya tajam.

"Apa, Mas?"

"Kenapa kamu begini? Mereka cuma penasaran, juga Ustadz Nizar. Kamu tahu, apa yang mereka bicarakan saat Mas ke warung tadi? Mereka berpikir Mas sudah meninggal, Nina. Mas gak tahu kenapa warga bisa berpikir demikian, padahal Mas masih hidup. Dani yang mengabarkan kalau .... "

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status