Share

BAB 2

Pintu rumah terbuka sedikit, menimbulkan bunyi yang agak membuat bulu kuduk meremang. Nina terpaku di tempat saat tak ada sosok yang muncul. Cahaya redup dari dalam rumah menyambutnya dengan kosong. Tak ada Nina di sana.

“Nina," panggil Alfio kembali. Lelaki itu maju satu langkah. Membuka lebih lebar pintu tersebut sampai pada batas dinding.

Aneh, tak ada seorang pun. Istrinya, maupun Maknya. Jadi, apa pintunya terbuka sendiri?

“Astaghfirullah!“ serunya kaget seraya memegang dada yang berdegup kencang saat berbalik. Nina sudah berdiri di belakangnya dengan pandangan kosong seraya menatapnya. Membuat bulu kuduk Alfio meremang, apalagi Nina yang tiba-tiba berdiri di belakangnya membuat ia kaget setengah mati.

“Nina, kenapa kamu bisa di sini? Padahal tadi Mas gak lihat kamu lewat," ucap Alfio pelan. Namun Nina masih menatapnya dengan tajam. Mata wanita itu melotot ke arahnya. Hawa dingin dari luar membuat perasaan Alfio tak enak. Ia mengusap tengkuknya.

"Nina ...," panggilnya kembali tak berkedip, mengerjap menatap Alfio lekat. Tidak melotot seperti tadi. Matanya kini menatap hangat ke arahnya, mengembun dengan air menggenang di pelupuk mata, penuh kerinduan.

“Mas pulang,” lirihnya dengan air mata menetes di pipi.

Alfio bernafas lega, ia mengangguk, melangkah mendekat, hendak memeluk. Namun Nina menahan tubuh laki-laki itu dengan tangannya.

“Kenapa Mas baru pulang sekarang?“ ucapnya sedih. “Nina rindu Mas Al.“

“Maaf Nina.“

“Setiap malam menunggu Mas Al pulang. Duduk di bawah jendela sambil menunggu tapi Mas gak pulang-pulang.“

“Maafkan, Mas, Nina. Ada beberapa kendala yang membuat Mas tertahan di luar kota.“

“Orang itu bilang Mas sudah tiada.“ Tangis Nina belum reda. Alfio tergerak memeluk istrinya itu dengan penuh rindu. Dinginnya kulit Nina menyentuh kulitnya. Sebentar membuatnya terkesiap karena kulit Nina sedingin es. Namun kerinduan membuatnya mengabaikan hal itu.

“Siapa yang bilang Nina? Buktinya Mas di sini sekarang, ada di hadapanmu. Sekarang Mas tidak akan pernah pergi lagi. Mas janji Nina, Mas sudah mengumpulkan uang cukup banyak di perantauan. Insya Allah cukup untuk hidup kita dan buka usaha ke depannya.“

Alfio memeluk erat tubuh Nina. Dinginnya kulit wanita itu semakin terasa, sejenak membuat alisnya bertaut seiring dengan tangis Nina yang masih belum reda.

Patah-patah mulut wanita dengan rambut panjang itu berucap pelan, “mas terlambat….“

Alfio melepas pelukan dari Nina, menatap wanita itu sekilas. Sama sekali tak mendengar bisik lirih wanita itu tadi. Pandangannya beralih ke dalam rumah yang terasa kosong dan sunyi.

“Ayo masuk ke dalam, Mas!" ajak Nina padanya.

Alfio mengangguk, mengambil tas yang tadi ia taruh di sampingnya tadi. Nina ikut membantu membawa tas yang lebih kecil.

Begitu masuk ke dalam ruangan, mata Alfio menelisik menatap dinding papan yang terlihat kotor dan kumuh. Di sudut-sudut ruangan terdapat tumpukan pasir yang seperti tak tersapu.

Beberapa sarang laba-laba yang berada di atas plafon. Seperti sudah lama ada di sana dan tak pernah dibersihkan. Hawa dingin menyergap, bercampur dengan aroma debu.

Alfio duduk di atas tikar yang terbentang. Menyapu bagian tempatnya ingin duduk lebih dulu. Sangat kotor sekali, bahkan di ujung-ujung tikar juga sudah sangat rapuh seperti tak pernah di pakai.

Ia kini menatap lampu yang menyala diatas sana. Beberapa kali berkelip-kelip dan juga redup. Seperti sudah terlalu lama menyala dan tak pernah diganti.

Kenapa sekotor ini? Apa istrinya itu tak pernah bersih-bersih?

Ia melihat Nina yang tengah menutup pintu dengan tas kecil miliknya di tangan wanita itu. Mulutnya hendak terbuka ingin bertanya tentang keadaan rumah, namun hal itu membuatnya takut. Takut Nina tersinggung padanya sementara ia baru saja pulang.

Biarlah, hanya masalah kebersihan. Mungkin selama ini Nina sibuk mengurus anak, hingga tak sempat bebersih rumah.

“Di mana anak kita, Dik?“ tanya Alfio pada akhirnya. Memilih pertanyaan aman.

Nina berhenti melangkah di depan pintu saat akan masuk ke dalam kamar. Nina berkata tanpa menoleh, "dia di dalam, sedang tidur.“

“Tidur, ya? Mas rindu sekali padanya. Dari lahir tak pernah bertemu. Mas ingin lihat, Dik.“

“Jangan!“ Nina menoleh menatap tajam Alfio membuat tubuhnya yang terangkat hendak bangkit dari duduk seketika berhenti mendadak. Merasa heran melihat tingkah istrinya itu.

Tatapan tajam Nina perlahan melunak. Ia kini menatap Alfio dengan hangat seperti biasa. "D—dia baru saja tertidur, soalnya tadi sempat rewel.“

“Maghrib begini tidur?“

“Iya, nangis terus dari tadi, Mas, susah dieminnya. Jadi jangan ganggu dulu.“

“Ya sudah kalau begitu.“ Alfio mengitari sekeliling ruangan itu lagi. “Kalau Mak Lik di mana? Mas juga ingin bertemu dengan Emak.“

“Mak ke Desa sebelah, tempat temannya. Lusa baru pulang.“

Alfio mengangguk-angguk. Ia bangkit dari duduk. Sementara Nina pergi ke kamar mereka guna meletakkan tas suaminya.

Teringat Alfio, ia belum shalat maghrib. Ia beranjak menuju kamar mandi. Melewati dua kamar sebelumnya. Satu kamar tempat dirinya dan Nina biasa tidur dan di sebelahnya kamar berisi Mak Lik.

Saat Alfio melewati kamar yang terbuka sedikit itu. Ekor matanya tak sengaja melihat sesuatu yang … aneh.

Langkahnya terhenti, seketika ia menoleh. Menatap dari celah kecil pintu yang tak tertutup dengan rapat. Ada seorang wanita tua berambut putih panjang dengan rok kain sedang menyisir rambutnya. Perawakannya seperti Mak Lik.

Tapi, bukannya tadi Nina bilang Mak Lik sedang pergi ke Desa sebelah?

Sejenak, Alfio terpaku. Hendak membuka pintu itu perlahan.

“Ngapain, Mas?“

Ia tersentak, menoleh, dilihatnya sang istri sudah berada di belakangnya.

“Anu, Dik, tadi ada….“ Alfio membuka pintu kamar Mak Lik dengan lebar. Menatap ruangan yang tak berpenghuni. Hanya ada lemari dan ranjang Mak Lik.

“Ada apa?“ Nina melongokkan kepala, tak melihat apapun.

“Tadi, Mas lihat ada Mak di sini.“

“Mak? Tadi, kan, Nina bilang kalau Mak ke Desa sebelah, Mas. Gak mungkin ada di sini.“

“Iya, makanya Mas juga heran.“ Alfio menggaruk-garuk kepalanya. Tapi tadi ia benar-benar melihat Mak Lik. Apa cuma halusinasinya saja?

“Mas kecapekan mungkin, karena perjalanan jauh. Ditambah rindu sama Mak, jadi terbayang-bayang. Sudah sana mandi dulu!“

“Iya mungkin,” tukas Alfio mengangguk. “Ya sudah, Mas mandi dulu. Kebetulan juga belum shalat maghrib.“

Raut wajah Nina tiba-tiba saja berubah, matanya menatap tajam ke arah Alfio. Membuat laki-laki itu tambah bingung dengan tingkah aneh istrinya.

“Kenapa, Dik? Kamu udah shalat?“

Nina menggeleng, kini matanya tampak kosong dan tak bersahabat.

“Kamu gak bisa shalat?“

“Iya,” jawab wanita itu datar.

“Ya sudah.“ Alfio meninggalkan Nina yang masih terus menatapnya hingga hilang di balik pintu dapur.

Laki-laki masuk ke dalam kamar mandi. Hampir kepeleset karena lantai yang berlumut. Untungnya ia sempat berpegangan pada bak air.

Licin sekali seperti tak pernah di sikat.

Ia mengambil sikat yang tergeletak di sudut kamar mandi. Mengangkatnya dan kemudian menyikat sisi-sisi yang terasa licin.

Lamat-lamat ia memperhatikan, ada sesuatu yang keluar dari sikat itu saat Alfio menyikat lantai. Matanya memicing, sesuatu yang menggeliat dan bergerak-gerak itu sukses membuatnya bergidik ngeri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status