Pintu rumah terbuka sedikit, menimbulkan bunyi yang agak membuat bulu kuduk meremang. Nina terpaku di tempat saat tak ada sosok yang muncul. Cahaya redup dari dalam rumah menyambutnya dengan kosong. Tak ada Nina di sana.
“Nina," panggil Alfio kembali. Lelaki itu maju satu langkah. Membuka lebih lebar pintu tersebut sampai pada batas dinding. Aneh, tak ada seorang pun. Istrinya, maupun Maknya. Jadi, apa pintunya terbuka sendiri? “Astaghfirullah!“ serunya kaget seraya memegang dada yang berdegup kencang saat berbalik. Nina sudah berdiri di belakangnya dengan pandangan kosong seraya menatapnya. Membuat bulu kuduk Alfio meremang, apalagi Nina yang tiba-tiba berdiri di belakangnya membuat ia kaget setengah mati. “Nina, kenapa kamu bisa di sini? Padahal tadi Mas gak lihat kamu lewat," ucap Alfio pelan. Namun Nina masih menatapnya dengan tajam. Mata wanita itu melotot ke arahnya. Hawa dingin dari luar membuat perasaan Alfio tak enak. Ia mengusap tengkuknya. "Nina ...," panggilnya kembali tak berkedip, mengerjap menatap Alfio lekat. Tidak melotot seperti tadi. Matanya kini menatap hangat ke arahnya, mengembun dengan air menggenang di pelupuk mata, penuh kerinduan. “Mas pulang,” lirihnya dengan air mata menetes di pipi. Alfio bernafas lega, ia mengangguk, melangkah mendekat, hendak memeluk. Namun Nina menahan tubuh laki-laki itu dengan tangannya. “Kenapa Mas baru pulang sekarang?“ ucapnya sedih. “Nina rindu Mas Al.“ “Maaf Nina.“ “Setiap malam menunggu Mas Al pulang. Duduk di bawah jendela sambil menunggu tapi Mas gak pulang-pulang.“ “Maafkan, Mas, Nina. Ada beberapa kendala yang membuat Mas tertahan di luar kota.“ “Orang itu bilang Mas sudah tiada.“ Tangis Nina belum reda. Alfio tergerak memeluk istrinya itu dengan penuh rindu. Dinginnya kulit Nina menyentuh kulitnya. Sebentar membuatnya terkesiap karena kulit Nina sedingin es. Namun kerinduan membuatnya mengabaikan hal itu. “Siapa yang bilang Nina? Buktinya Mas di sini sekarang, ada di hadapanmu. Sekarang Mas tidak akan pernah pergi lagi. Mas janji Nina, Mas sudah mengumpulkan uang cukup banyak di perantauan. Insya Allah cukup untuk hidup kita dan buka usaha ke depannya.“ Alfio memeluk erat tubuh Nina. Dinginnya kulit wanita itu semakin terasa, sejenak membuat alisnya bertaut seiring dengan tangis Nina yang masih belum reda. Patah-patah mulut wanita dengan rambut panjang itu berucap pelan, “mas terlambat….“ Alfio melepas pelukan dari Nina, menatap wanita itu sekilas. Sama sekali tak mendengar bisik lirih wanita itu tadi. Pandangannya beralih ke dalam rumah yang terasa kosong dan sunyi. “Ayo masuk ke dalam, Mas!" ajak Nina padanya. Alfio mengangguk, mengambil tas yang tadi ia taruh di sampingnya tadi. Nina ikut membantu membawa tas yang lebih kecil. Begitu masuk ke dalam ruangan, mata Alfio menelisik menatap dinding papan yang terlihat kotor dan kumuh. Di sudut-sudut ruangan terdapat tumpukan pasir yang seperti tak tersapu. Beberapa sarang laba-laba yang berada di atas plafon. Seperti sudah lama ada di sana dan tak pernah dibersihkan. Hawa dingin menyergap, bercampur dengan aroma debu. Alfio duduk di atas tikar yang terbentang. Menyapu bagian tempatnya ingin duduk lebih dulu. Sangat kotor sekali, bahkan di ujung-ujung tikar juga sudah sangat rapuh seperti tak pernah di pakai. Ia kini menatap lampu yang menyala diatas sana. Beberapa kali berkelip-kelip dan juga redup. Seperti sudah terlalu lama menyala dan tak pernah diganti. Kenapa sekotor ini? Apa istrinya itu tak pernah bersih-bersih? Ia melihat Nina yang tengah menutup pintu dengan tas kecil miliknya di tangan wanita itu. Mulutnya hendak terbuka ingin bertanya tentang keadaan rumah, namun hal itu membuatnya takut. Takut Nina tersinggung padanya sementara ia baru saja pulang. Biarlah, hanya masalah kebersihan. Mungkin selama ini Nina sibuk mengurus anak, hingga tak sempat bebersih rumah. “Di mana anak kita, Dik?“ tanya Alfio pada akhirnya. Memilih pertanyaan aman. Nina berhenti melangkah di depan pintu saat akan masuk ke dalam kamar. Nina berkata tanpa menoleh, "dia di dalam, sedang tidur.“ “Tidur, ya? Mas rindu sekali padanya. Dari lahir tak pernah bertemu. Mas ingin lihat, Dik.“ “Jangan!“ Nina menoleh menatap tajam Alfio membuat tubuhnya yang terangkat hendak bangkit dari duduk seketika berhenti mendadak. Merasa heran melihat tingkah istrinya itu. Tatapan tajam Nina perlahan melunak. Ia kini menatap Alfio dengan hangat seperti biasa. "D—dia baru saja tertidur, soalnya tadi sempat rewel.“ “Maghrib begini tidur?“ “Iya, nangis terus dari tadi, Mas, susah dieminnya. Jadi jangan ganggu dulu.“ “Ya sudah kalau begitu.“ Alfio mengitari sekeliling ruangan itu lagi. “Kalau Mak Lik di mana? Mas juga ingin bertemu dengan Emak.“ “Mak ke Desa sebelah, tempat temannya. Lusa baru pulang.“ Alfio mengangguk-angguk. Ia bangkit dari duduk. Sementara Nina pergi ke kamar mereka guna meletakkan tas suaminya. Teringat Alfio, ia belum shalat maghrib. Ia beranjak menuju kamar mandi. Melewati dua kamar sebelumnya. Satu kamar tempat dirinya dan Nina biasa tidur dan di sebelahnya kamar berisi Mak Lik. Saat Alfio melewati kamar yang terbuka sedikit itu. Ekor matanya tak sengaja melihat sesuatu yang … aneh. Langkahnya terhenti, seketika ia menoleh. Menatap dari celah kecil pintu yang tak tertutup dengan rapat. Ada seorang wanita tua berambut putih panjang dengan rok kain sedang menyisir rambutnya. Perawakannya seperti Mak Lik. Tapi, bukannya tadi Nina bilang Mak Lik sedang pergi ke Desa sebelah? Sejenak, Alfio terpaku. Hendak membuka pintu itu perlahan. “Ngapain, Mas?“ Ia tersentak, menoleh, dilihatnya sang istri sudah berada di belakangnya. “Anu, Dik, tadi ada….“ Alfio membuka pintu kamar Mak Lik dengan lebar. Menatap ruangan yang tak berpenghuni. Hanya ada lemari dan ranjang Mak Lik. “Ada apa?“ Nina melongokkan kepala, tak melihat apapun. “Tadi, Mas lihat ada Mak di sini.“ “Mak? Tadi, kan, Nina bilang kalau Mak ke Desa sebelah, Mas. Gak mungkin ada di sini.“ “Iya, makanya Mas juga heran.“ Alfio menggaruk-garuk kepalanya. Tapi tadi ia benar-benar melihat Mak Lik. Apa cuma halusinasinya saja? “Mas kecapekan mungkin, karena perjalanan jauh. Ditambah rindu sama Mak, jadi terbayang-bayang. Sudah sana mandi dulu!“ “Iya mungkin,” tukas Alfio mengangguk. “Ya sudah, Mas mandi dulu. Kebetulan juga belum shalat maghrib.“ Raut wajah Nina tiba-tiba saja berubah, matanya menatap tajam ke arah Alfio. Membuat laki-laki itu tambah bingung dengan tingkah aneh istrinya. “Kenapa, Dik? Kamu udah shalat?“ Nina menggeleng, kini matanya tampak kosong dan tak bersahabat. “Kamu gak bisa shalat?“ “Iya,” jawab wanita itu datar. “Ya sudah.“ Alfio meninggalkan Nina yang masih terus menatapnya hingga hilang di balik pintu dapur. Laki-laki masuk ke dalam kamar mandi. Hampir kepeleset karena lantai yang berlumut. Untungnya ia sempat berpegangan pada bak air. Licin sekali seperti tak pernah di sikat. Ia mengambil sikat yang tergeletak di sudut kamar mandi. Mengangkatnya dan kemudian menyikat sisi-sisi yang terasa licin. Lamat-lamat ia memperhatikan, ada sesuatu yang keluar dari sikat itu saat Alfio menyikat lantai. Matanya memicing, sesuatu yang menggeliat dan bergerak-gerak itu sukses membuatnya bergidik ngeri.Alfio membalik sikat tersebut. Puluhan, ah tidak! Mungkin ratusan belatung itu memenuhi sikat hingga membuatnya mual seketika. Ia buru-buru menyiram sikat itu dengan air dari bak. Entah apa yang terjadi pada sikat itu hingga dihuni banyak belatung. Alfio mengurungkan niat untuk menyikat kamar mandi itu pada akhirnya. Mungkin, nanti ia akan beli sikat baru lebih dulu. Selesai mandi, Alfio dan beranjak menuju kamar. Dilihat Nina tengah berbaring dengan anaknya dalam dekapan wanita itu. “Dik, masih maghrib jangan tiduran!“ ucapnya, namun Nina seperti tak menggubris. “Dik!“ panggilnya. Nina tak juga bergerak. Alfio menghela nafas, memilih menunaikan shalat maghribnya terlebih dahulu sebelum waktunya benar-benar habis. Mungkin wanita itu kecapekan. Ia mencari sajadah, namun tak menemukannya di kamar ini. Mau bertanya sudah pasti Nina tak akan menjawab. Dipanggili untuk bangun juga susah. Akhirnya Alfio membongkar tasnya dan mengambil sajadah dari sana. Membentangkannya mengha
Ia menelisik ruangan di dapur. Membuka kendi yang menjadi tempat persediaan beras. Dahinya berkerut saat melihat beberapa kutu merayap di sana. Beras-beras yang sudah tak layak untuk dimasak, apalagi dikonsumsi. Alfio menyiduk isi beras yang sudah berjamur dan menghitam itu. Membuangnya ke dalam kantung plastik. Membersihkan isi kendi itu dari kutu-kutu yang meraya. Sejenak, ia menoleh ke arah pintu masuk dapur. “Sampai berjamur seperti ini. Apakah Nina tidak memasak nasi selama beberapa bulan?“ ucapnya lirih. Kini pandangannya tertuju pada meja makan. Baru disadarinya ada beberapa lalat yang berkerubung di sana. Sontak, ia berjalan mendekat. Bau busuk memenuhi indra penciumannya. Beberapa makanan itu sudah basi dan berlendir. Menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Alfio mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Sebenarnya kenapa lauk ini sampai basi. Apa Nina juga tidak makan? Apa dia tidak sadar kalau beras sudah membusuk dan lauk tak bisa dikonsumsi. Kalau alasannya
“… iya kata Dani ….“ “… udah meninggal katanya ….“ “… kecelakaan di tempat kerja ….“ “Betul Alfio, Dani bilang kamu kecelakaan di kota,” ucap Mak Atik masih dengan wajah tak percaya. Ia menatap warga lain yang juga mengangguk-angguk setuju “Saya gak pernah kecelakaan, Mak. Alhamdulillah masih sehat walafiat. Satu tahun lalu saya memang hilang komunikasi dengan Dani. Karena ponsel saya hilang saat di perantauan. Mungkin saat itu dia mengira saya hilang kabar dan sudah tiada. Bahkan satu tahun juga saya sudah tak berkomunikasi dengan Nina.“ Mendengar nama Nina disebut. Makin ribut warga Desa, angin semilir berhembus membuat mereka berbisik-bisik persis dengungan lebah. “Sekarang Dani di mana, Mak? Biar Alfio meluruskan padanya, takut salah paham.“ “Dani sudah merantau ke luar kota setelah satu bulan sejak dia mengatakan kamu telah meninggal dunia….“ “Ya, sejak saat itu istri, anak dan Mak mu juga menghilang, Alfio,” sambung Mak Atik menyambung perkataan Mak Rah. “Mengh
Perkataan Alfio terhenti, Nina tiba-tiba saja menutup telinganya dengan erat sembari berbalik dari hadapannya. Nina terduduk sembari menepuk-nepuk telinganya dengan keras. Matanya juga memejam sembari menggeleng. "Nina, sayang, ada apa? Kenapa kamu begini?" "Jangan sebut namamya!" "Apa? Siapa? Mas sebut nama siapa memangnya?" Alfio bingung, ia berusaha menatap Nina tapi wanita itu terus menghindarinya. Drrt ... drttt .... Lampu berkelap-kelip di atas sana mengalihkan pandangan Alfio, suasana redup dan kian mencekam membuatnya seketika membeku di tempat. Sementara Nina masih dengan posisi duduk sembari terus menggumamkan sesuatu. Angin yang tak tahu darimana datangnya tiba-tiba berhembus kencang, menabrakkan jendela dan daun pintu membuat Jaka terkesiap kaget. Mata melotot Nina membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih. Wanita itu menatapnya dengan tajam tanpa berkedip sama sekali. Sembari terus bergumam mengucapkan beberapa hal yang tak Alfio mengerti. "Nina" panggilnya
Baru saja Alfio ingin berbaring kembali. Suara ketukan di pintu yang terdengar lambat dan perlahan itu membuatnya bangkit kembali. Sejenak ia terduduk untuk mendengarkan lagi, mana tahu tadi hanya halusinasi karena suaranya sangat pelan. Tok… tok… tok…. “Alfio.“ Alis Alfio bertaut, ia menoleh pada Nina yang masih pulas tertidur. Itu tadi suara maknya, sudah pulang dari Desa sebelah rupanya. Tapi malam-malam begini…. “Alfio.“ “Iya, Mak, sebentar!“ sahutnya berjalan keluar dari kamar, membuka pintu depan. Kosong. Angin malam bertiup kencang menerpa rambut dan baju yang ia pakai hingga berkibar. Semerbak bau busuk menusuk masuk ke indra penciumannya. Sontak Alfio menutup hidung. Bulu kuduknya meremang seketika. “Mak!“ panggilnya dengan suara lirih. Tak ada sahutan, hanya ada suara desau angin di balik rimbunan dedaunan. Alfio melangkah keluar dari rumah. Memperhatikan jalanan Desa yang lengang. Sudah larut malam, tak ada siapapun di luar sana. Hanya ada suara binatang m
Alfio menoleh ke arah belakang rumah. Dahinya berkerut, suara plastik yang diacak-acak, dari arah sana. Perlahan ia mulai melangkahkan kaki, menyingkap tirai penutup ruang dapur. Matanya tertuju pada Nina yang jongkok di sudut ruangan dekat pintu belakang. Wanita itu tengah Asik melakukan sesuatu. Bunyi-bunyian kantung plastik dan mulut yang mencecap makanan terdengar di telinga Alfio. “Nina,“ panggil Alfio pelan. Wanita itu tak menyahut sampai Alfio mendekat dan menyentuh pundaknya. Nina menoleh, bau busuk menyeruak indra penciuman Alfio. Beberapa lalat bertebrangan di sekitar wanita itu. Mulut Nina berisi sesuatu yang tak sedap di lihat juga berlendir. Baunya membuat perut Alfio mual seketika. “Apa yang kamu lakukan?“ tanyanya sembari menutup hidung. Ia melirik pada kantung plastik di tangan Nina. Matanya terbelalak saat menyadari apa yang ada di dalamnya. Makanan basi yang ia temukan tadi malam di meja makan. Sudah tak layak dikonsumsi dan Alfio membuangnya tepat di tong
"Ngeri, ya Mo.“ Jupri bergidik sembari menatap sekilas pada rumah Alfio. Banyak rumput liar yang tumbuh di rumah tersebut. Dinding papannya juga sudah berlumut di beberapa bagian. “Iya Pri, apalagi kata yang lain waktu ngelihat memang gak ada siapa-siapa selain si Alfio. Berarti dia ….“ “Tinggal sama hantu!“ “Hus!“ Keduanya berjalan cepat saat Alfio yang berada di depan rumah menoleh ke arah mereka. Saling mendorong dan melipir ke pinggir. Hingga sampai di ujung Desa. Tepat di depan ladang tebu yang cukup luas milik Haji Nazam. “Tapi … kau yakin, Mo, kalau Nina itu udah gak ada?“ tanya Jupri memulai pembicaraan. Mereka berdua hendak memanen tebu-tebu itu. Udin mengeluarkan parang dari sarungnya. “Ya, yakin gak yakin sih, Pri. Tapi mengingat dia sering gentayangan terus ngilang tiba-tiba kemungkinan sih, gitu.“ “Aneh, gak, sih. Gak ada mayat yang ditemukan. Padahal pas di cek rumahnya dalam keadaan kosong.“ “Mungkin dibuang jauh kali.“ “Ya kalo memang benar begitu, kira-kira s
Alfio berdiri di depan rumah, nafasnya naik turun tak beraturan karena berjalan cepat tadi. Ia menoleh ke belakang, Ustad Nizar dan para warga tak mengikutinya.Ia mengusap wajah dengan kasar. Penyataan Abah tadi membuat perasaannya bimbang bukan kepalang. Jelas-jelas ia melihat istrinya di depan mata. Tidak mungkin apa yang dikatakan para warga tadi benar."Nina masih hidup! Keluargaku masih hidup," bisik Alfio sembari meyakinkan diri.Namun mengingat kejadian tadi yang di luar nalar terjadi padanya saat mengikuti Nina ke danau membuat Alfio seketika meragukan hal itu.Benarkah itu Nina? Atau sosok yang berusaha mencelakakannya? Alfio bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Ia berjalan masuk ke dalam rumah. Suasana sepi, bajunya yang masih basah dan berlumpur membuatnya berjalan berjingkat masuk ke dalam rumah.Jantung Alfio berdetak tak karuan. Bunyinya bertalu hingga sedikit menyesakkan dada. Ia tak melihat Nina di mana pun. Meski menyangkal, ia juga tak menutup