Share

BAB 4

Ia menelisik ruangan di dapur. Membuka kendi yang menjadi tempat persediaan beras. Dahinya berkerut saat melihat beberapa kutu merayap di sana. Beras-beras yang sudah tak layak untuk dimasak, apalagi dikonsumsi.

Alfio menyiduk isi beras yang sudah berjamur dan menghitam itu. Membuangnya ke dalam kantung plastik. Membersihkan isi kendi itu dari kutu-kutu yang meraya.

Sejenak, ia menoleh ke arah pintu masuk dapur.

“Sampai berjamur seperti ini. Apakah Nina tidak memasak nasi selama beberapa bulan?“ ucapnya lirih. Kini pandangannya tertuju pada meja makan.

Baru disadarinya ada beberapa lalat yang berkerubung di sana. Sontak, ia berjalan mendekat. Bau busuk memenuhi indra penciumannya.

Beberapa makanan itu sudah basi dan berlendir. Menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Alfio mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.

Sebenarnya kenapa lauk ini sampai basi. Apa Nina juga tidak makan? Apa dia tidak sadar kalau beras sudah membusuk dan lauk tak bisa dikonsumsi.

Kalau alasannya karena mengurus bayinya Mika, bukankah ada Mak Lik di rumah ini?

Entahlah, Alfio bingung. Sejak pulang banyak sekali keanehan yang terjadi di rumah ini. Sangat tidak lazim.

Ia mengurungkan niat akhirnya. Membuang makanan itu ke dalam kantung plastik di tangan. Lantas melangkah keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Nina. Ia berniat untuk membeli beberapa kebutuhan pokok di warung.

Mengingat keadaan memprihatinkan di rumah ini juga karena ulahnya yang tak kunjung pulang ke rumah.

Alfio menyusuri jalanan berbatu Desa yang lengang. Posisi rumah yang renggang antara satu dengan lainnya membuat keadaan sangat sunyi di tambah pohon-pohon getah di segala sisi.

Warga Desa pada malam hari tak ada yang keluar. Agak membingungkan Alfio karena dahulu, saat habis maghrib masih banyak anak-anak yang keluar untuk bermain atau berlarian menuju surau terdekat.

Kali ini sepi seperti Desa Mati. Bahkan Alfio ragu jika satu dua rumah di Desa ini ada penghuninya.

Ia sampai di sebuah warung yang ternyata lumayan dekat dari rumahnya. Tadi saat ia berjalan ia tak melihat ada warung ini. Mungkin saja sedang tutup karena maghrib. Lagipula ini mesti warung baru. Karena dahulu, warung susah di dapatkan di sini. Tunggu berjalan agak jauh sampai ke gapura Desa, baru menemukan warung.

“Assalammu'alaikum, Mbak.“ Alfio berucap pada seorang gadis dengan hijab lebar yang sedang merapikan jajanan. Gadis itu menoleh seraya tersenyum ramah.

“Mau beli apa, Kang?“

“Berasnya dua kilo, ada?“

“Oh, nggeh, tunggu sebentar, ya!“

Alfio mengangguk, memperhatikan seisi warung itu. Ia mengambil beberapa kerupuk yang menarik selera.

“Ada lagi, Kang?“ tanya gadis hijab lebar itu dengan satu kantung plastik berisi beras di tangannya.

“Sama mie instan, mbak, lima bungkus dan telurnya lima butir.“

Gadis hijab lebar itu dengan cekatan memasukkan pesanan Jaka ke dalam kantung plastik.

“Ada lagi?“

“Ehm… sama kerupuk yang ini. Totalnya berapa?“

“Empat puluh tujuh ribu.“

Alfio merogoh kantung celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah. Meraihnya satu lembar dan memberikannya pada gadis itu.

“Sebentar kembaliannya, ya, Kang.“ Gadis itu masuk kembali ke dalam warungnya, mengambil duit kembalian Jaka.

“Tih, Wak beli telur tiga butir!“

Suara dari belakang Alfio. Ia menoleh untuk melihat sosok dari suara tersebut. Begitu bertemu pandang, ia tersenyum ramah.“

“Apa kabar Mak Atik.“

“Astaghfirullahal'adzim!“ seru Mak Atik sembari mundur ke belakang. Ia bahkan hampir jatuh karena bertubrukan dengan meja yang digunakan untuk meletakkan sayuran.

“Ya Allah, Mak, hati-hati!“ Alfio mendekat hendak membantu. Namun, Mak Atik mundur-mundur menjauhinya.

“K—kamu siapa? Kenapa mirip sekali dengan Alfio?“ tanya Mak Atik dengan bibir bergetar dan wajahnya pucat pasi.

“Saya memang Alfio, Mak. Siapa lagi?“ ucap Alfio heran melihat perilaku sahabat ibunya itu.

Gadis dengan hijab lebar yang tadi mengambil kembalian juga penasaran dengan apa yang terjadi. Ia buru melangkah ke depan setelah menghitung uang kembalian Alfio.

Suara Mak Atik yang keras dan keributan itu mengundang beberapa warga Desa keluar dari rumahnya.

“Alfio? Alfio anaknya Mak Lik?“

“Iya, Mak.“

“Allahu Akbar!“ Mak Atik memegangi dadanya, sembari terduduk lemas.

“Mak, Mak kenapa, Mak?“

“Ya Allah Alfio !“ seru seseorang dari salah satu warga desa, yang penasaran dengan keributan di warung gadis hijab lebar itu.

Mak Rah kawan maknya Alfio sekaligus kawan Mak Atik juga. Wanita tua dengan songkok di kepalanya itu menunjuk Alfio sembari menutup mulut.

“B—bukannya kamu udah meninggal?“

Alfio terpaku dengan wajah melongo.

Meninggal?

Ia masih ada di sini, kenapa orang-orang menyatakannya begitu.

Maka, dalam sekejap saja. Berita tentang Alfio menyebar dan warung itu semakin ramai. Banyak orang-orang dengan wajah yang Alfio kenal maupun tidak ia kenal mulai berdatangan. Mereka bisik-bisik sembari menatapnya.

“Saya masih hidup, Mak. Kalau tidak saya tidak mungkin ada di sini. Mak Atik, Mak Rah, kalau tidak percaya bisa pegang tangan saya,” ucapnya sembari mengulurkan tangan.

Mak Atik dan Mak Rah saling berpandangan. Keduanya saling dorong untuk menyentuh tangan Alfio. Hingga Mak Rah terbelalak saat menyentuh kulitnya yang hangat.

“Manusia Mbak Yu,” tukasnya pada Mak Atik. Wanita tua itu juga ikut menyentuh.

“Akang ini memang manusia, Wak. Duit yang dikasi sama Ratih juga asli, gak berubah jadi daun.“ Si gadis berhijab lebar itu menjelaskan.

" ... pantas maghrib tadi bertemu di jalan, memang Alfio toh .... "

" ... iya sempat takut, kirain hantu tadi .... "

" ... beneran Alfio ternyata .... "

Alfio mendengar bisik-bisik itu dengan raut bingung. Sejenak tahulah ia kenapa orang-orang berlari menghindarinya saat ia memasuki kampung tadi. Mereka mengira ia sudah tiada sama seperti apa yang dipikirkan Mak Atik.

Dari dalam kedai muncul seorang laki-laki berkopiah karena mendengar keributan yang terjadi.

“Ada apa ini?“

Alfio sontak tersentak melihat laki-laki itu. Guru ngajinya dahulu—Ustadz Nizar—yang tinggal di Desa sebelah. Mungkin satu tahun lalu saat Alfio merantau, laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu pindah ke sini.

Kalau begitu, berarti gadis hijab lebar yang melayaninya membeli tadi adalah putri bungsu Ustadz Nizar. Ratih.

Dahulu sembari mengajar ngaji, gadis itu sering ditimang-timang. Maka dengan takzim karena bertemu, Alfio mengulurkan tangan untuk menyalam gurunya itu.

“Assalammu'alaikum Abah, apa kabar?“ tukasnya membuat Ustadz Nizar terkejut. Laki-laki itu menatap Alfio dengan alis bertaut.

“Loh, sampeyan ini Alfio?“

“Nggeh, Abah.“

Ustadz Nizar menatap warga yang berkerumun. Tahulah dia apa yang telah terjadi hingga menimbulkan keributan seperti ini.

“Kamu sehat Alfio?“ ucap Ustadz Nizar kemudian. Bisik-bisik dari para warga terdengar kembali.

“Sehat Abah, alhamdulillah.“

“Bukannya kata Dani kamu udah meninggal, Alfio!“ cetus salah satu warga membuat alis Alfio bertaut. Ia menatap Ustad Nizar bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status