Ayra tertawa terbahak mendengar ucapan Ibra. Ia tidak lagi bisa menahannya setelah sejak tadi berusaha menahan gelak tawanya agar tidak pecah. Fahri menatap Ayra dengan tatapan bingung. Juga Ibra melakukan hal yang sama. "Kenapa ketawa Sayang?" tanya Ibea lembut sembari mengelus rambut hitam Ayra. Fahri melengos karena tidak mau melihat pemandangan yang menyakitkan baginya itu. "Yah lucu aja, Mas, aku masih ingat banget Ibunya selalu berkata kalau aku gak pernah berhak atas gaji yang diterimanya padahal mungkin mereka lupa atau pura-pura lupa kalau hasil kerja dari tetesan keringatnya itu ada hak aku juga sebagai istrinya dulu. Yh, benar kata kamu, Mas, kalau tidak mau berbagi dengan menantu biar dia nikahi saja anaknya itu yang katanya paling tampan dan mapan sedunia. Cuih! Hal yang paling membuatku menyesal seumur hidupku adalah mendoakannya di setiap malamku agar memberikan rezeki yang berlimpah untuknya tapi nyatanya setelah dikabulkan oleh yang kuasa mereka menganggap aku han
"Sudah ngelihatnya itu lho ilermu sampe netes begitu. Jadi laki kok gak konsekuen banget dikasih lihat barang mulus dikit udah belok aja tuh mata. Makanya kalau jadi suami tuh yang bener, yang namanya rumput tetangga itu memang lebih hijau. Tapi pas disamperin eh gak taunya cuna rumput sintetis alias palsu. Hahahahaha," ejek Ibra lagi. Tawanya kali ini jauh lebih kencang dari pada yang tadi. Sedangkan Ayra hanya tersenyum sinis melihat ke arah Fahri yang lagi-lagi kembali menundukkan kepalanya. Huh, udah kayak kerupuk kesiram air. Benyek!"Kalau begitu saya permisi, Pi, mau lanjut bekerja."Sebelum Fahri meninggalkan ruangan Ibra lagi-lagi suara Ibra membuatnya mematung. "Mulai dari sekarang persiapkan dirimu karena tidak menutup kemungkinan kasus suap yang dimainkan oleh Meyla dan Difa juga akan menyeretmu." Kali ini wajah Ibra terlihat serius. Ayra juga melakukan hal yang sama hanya saja tangan Aura ja lipat di depan dada. "Maksud Papi apa?" Fahri menoleh dan menatap Ibra. Ia mene
"Heh Fahri ini bulan berikutnya kenapa disamakan dengan bulan lalu?" kesal ibu Fahri dengan suara yang ditinggikan.Wanita paruh baya itu tidak habis pikir dengan anak lelakinya yang seakan-akan lupa. Ah, atau memang sengaja pura-pura lupa? Yah, sepertinya begitu."Ya maaf, Bu. Seingatku belum lama aku kasih Ibu uang buat sekolah Nazwa. Maaf kalau bikin Ibu tersinggung. Tapi aku beneran gak ada maksud begitu, Bu.""Halah, jangan alasan kamu, Fahri. Kalau kamu udah gak mau kasih uang ke Ibu dan biayain adik kamu, bilang dong," imbuh ibunya Fahri yang semakin tersulut emosinya."Bukan begitu, Bu. Aku–""Bagus. Ibu tahu kalau kamu emang anak yang berbakti. Ibu tunggu transferanmu, ya," sela wanita itu memotong perkataan anaknya. Tidak memberi kesempatan kepada fahri untuk memberikan bantahan."CK! Iya Bu iya aku ngerti."Fahri lantas menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku setelah ibunya memutuskan sambungan telepon. Dia menyugar rambutnya. Sedikit kesal dengan ibunya yang selalu menel
"Siapa yang kamu bilang gak punya otak hah?!" teriak ibunya Fahri tidak terima sambil berkacak pinggang.Fahri menelan salivanya dengan susah payah. Otaknya berputar mencari ide untuk berkilah."Ma-maksudku bukan Ibu. Iya, seperti itu. Aku cuma terbawa emosi setelah liat berita di TV tadi, Bu," kilah Fahri berbohong. Tentu dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Atau mungkin saja dia akan kena pites dan dikutuk menjadi batu tawas oleh ibunya."Ck! Beneran?" Fahri mengangguk cepat. "Awas kalau kamu bohong."Fahri hanya menampilkan cengiran kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali."Gak dong, Bu. Ayo, masuk dulu. Ibu pasti capek, kan?" bujuk Fahri mendorong pekan tubuh ibunya dari belakang. Sementara Nazwa mengikuti mereka di belakang. Berusaha menahan tawa melihat tingkah kakaknya itu.Sambil melangkah memasuki rumah, ibunya Fahri menatap ke sekeliling. Memperhatikan rumah beserta isinya. Tampak cukup luas dan tentunya lebih bagus dari rumah sang ibu. Ya, meski
Tidak lama kemudian Fiona pun muncul di belakang Fahri dan bukannya langsung menemui ibu mertuanya."Kebetulan kamu di sini. Nih bawa minumannya dan aku akan bawa kuenya," titah Fahri yang langsung saja memberikan nampan berisi sirup jeruk ke tangan istrinya. Lalu, berjalan membawa kue di tangannya ke ruang tamu. Pasrah, Fiona mengikuti di belakangnya tanpa melayangkan protes apa pun. Begitu memasuki ruang tamu, ibunya Fahri segera menyenggol lengan Nazwa. Anaknya itu pun segera mengerti dan mengambil alih nampan di tangan Fiona."Kakak ipar gak usah repot-repot. Kita cuma mau berkunjung karena kangen, kok," celetuk Nazwa berbasa-basi. Dia melayangkan senyuman semanis mungkin karena merasa tidak enak kepada kakak iparnya itu."Gak apa-apa, Nazwa. Lagian ini cuma minum aja kok."Fahri segera duduk setelah meletakkan dua toples kue kering yang dibawanya. Fiona duduk tepat di sampingnya."Silahkan, Bu." Fiona mempersilakan sebelum melanjutkan percakapan.Ibunya Fahri dan Nazwa pun menci
Berbanding terbalik dengan ibunya, Fahri justru terlihat kesal dengan ibunya yang pandai bersilat lidah. Sementara Fiona masih mengamati percakapan ibu dan anak itu. Menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya."Tapi, rumah Ibu masih bagus, sih," ucap ibunya Fahri saat anaknya baru saja akan membuka mulut."Ya, itu maksud Fahri. Rumah Ibu masih bagus, jadi gak terlalu mendesak."Merasa lega, Fahri mengambil minuman di depannya dan meminumnya hingga setengah gelas. Bisa berabe kalau ibunya minta rumah baru. Istrinya pun mungkin akan melayangkan protes. Ya, meski selama ini dia belum pernah berkata apa pun saat Fahri memberikan uang kepada keluarganya. Belum pernah bukan artinya tidak akan pernah kan?"Benar juga katamu, Fahri." Ibunya Fahri manggut-manggut sambil memegangi dagunya. "Rumah Ibu gak terlalu mendesak, yang mendesak itu kendaraan. Kasihan Nazwa harus naik angkutan umum terus kalau ke kampus. Gak usah mobil deh, minimal kamu belikan adikmu ini mo
"Kapan kita ke dealer untuk ambil motornya? Ibu sudah gak sabar. Iya, kan, Nazwa?" Fahri bahkan belum menyetujui permintaan itu, tetapi ibunya sudah tidak sabar untuk mengambil motor di dealer. Dia makin kehabisan kata-kata saja."Iya, Bu. Nazwa udah gak sabar buat punya motor sendiri. Nanti Nazwa boncengin Ibu keliling komplek. Biar semua pada tahu kalau aku udah punya motor. Hehe."Nazwa tampak sangat antusias. Wajahnya berbinar bahagia hanya dengan membayangkan dia memiliki motor baru."Ck! Kamu kok diam saja sih, Fahri? Kamu gak lihat adikmu sudah senang seperti itu. Ayo dong kamu jangan merusak suasana. Kapan kita ngambil motornya?" desak ibunya Fahri lagi lantaran Fahri tidak kunjung membuka menjawab."Ta-tapi ...." Fahri melirik ke arah istrinya dengan takut-takut. Lalu, meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia sudah menikah dengan Fiona. Tentu harus mendiskusikan perihal keuangan dengannya. Karena dalam uang Fahri kebanyakan milik Fiona?"Kenapa? Fiona gak setuju?" Tanpa ba b
Fahri berusaha menahan ibunya. "Tapi Fiona–""Gak usah mikirin istrimu. Dia bisa kok di rumah sendirian. Atau kamu mau ikut, Fiona?" tanya ibunya Fahri berbalik ke arah menantunya."Iya aku ikut," jawab Fiona cepat. Dia harus memastikan kalau Nazwa tidak memilih motor yang harganya mahal."Ck! Pisah sebentar pun kamu gak mau. Emang si Fahri bakal ngelirik perempuan lain apa," omel ibunya Fahri dengan suara lirih."Tapi aku siap-siap dulu. Kan gak lucu kalau aku pergi seperti ini." Fiona memang masih juga mengenakan piyama dan hanya mencuci muka tadi.Ibunya Fahri tidak berkata apa pun. Akan tetapi, dia harus setuju agar anaknya mau ikut dengan sukarela. Meski sebenarnya tidak begitu senang karena menantunya itu hanya menghambat saja.Tanpa persetujuan, Fiona gegas berlari menuju kamar untuk bersiap-siap.Sebuah pukulan dari ibunya mendarat di bahu Fahri. "Kenapa sih harus ajak istrimu, Fahri? Kan motor itu bisa dibeli walaupun dia gak ikut. Pergi sebentar aja kalian gak mau pisah. Pas