"Siapa yang kamu bilang gak punya otak hah?!" teriak ibunya Fahri tidak terima sambil berkacak pinggang.Fahri menelan salivanya dengan susah payah. Otaknya berputar mencari ide untuk berkilah."Ma-maksudku bukan Ibu. Iya, seperti itu. Aku cuma terbawa emosi setelah liat berita di TV tadi, Bu," kilah Fahri berbohong. Tentu dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Atau mungkin saja dia akan kena pites dan dikutuk menjadi batu tawas oleh ibunya."Ck! Beneran?" Fahri mengangguk cepat. "Awas kalau kamu bohong."Fahri hanya menampilkan cengiran kuda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali."Gak dong, Bu. Ayo, masuk dulu. Ibu pasti capek, kan?" bujuk Fahri mendorong pekan tubuh ibunya dari belakang. Sementara Nazwa mengikuti mereka di belakang. Berusaha menahan tawa melihat tingkah kakaknya itu.Sambil melangkah memasuki rumah, ibunya Fahri menatap ke sekeliling. Memperhatikan rumah beserta isinya. Tampak cukup luas dan tentunya lebih bagus dari rumah sang ibu. Ya, meski
Tidak lama kemudian Fiona pun muncul di belakang Fahri dan bukannya langsung menemui ibu mertuanya."Kebetulan kamu di sini. Nih bawa minumannya dan aku akan bawa kuenya," titah Fahri yang langsung saja memberikan nampan berisi sirup jeruk ke tangan istrinya. Lalu, berjalan membawa kue di tangannya ke ruang tamu. Pasrah, Fiona mengikuti di belakangnya tanpa melayangkan protes apa pun. Begitu memasuki ruang tamu, ibunya Fahri segera menyenggol lengan Nazwa. Anaknya itu pun segera mengerti dan mengambil alih nampan di tangan Fiona."Kakak ipar gak usah repot-repot. Kita cuma mau berkunjung karena kangen, kok," celetuk Nazwa berbasa-basi. Dia melayangkan senyuman semanis mungkin karena merasa tidak enak kepada kakak iparnya itu."Gak apa-apa, Nazwa. Lagian ini cuma minum aja kok."Fahri segera duduk setelah meletakkan dua toples kue kering yang dibawanya. Fiona duduk tepat di sampingnya."Silahkan, Bu." Fiona mempersilakan sebelum melanjutkan percakapan.Ibunya Fahri dan Nazwa pun menci
Berbanding terbalik dengan ibunya, Fahri justru terlihat kesal dengan ibunya yang pandai bersilat lidah. Sementara Fiona masih mengamati percakapan ibu dan anak itu. Menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya."Tapi, rumah Ibu masih bagus, sih," ucap ibunya Fahri saat anaknya baru saja akan membuka mulut."Ya, itu maksud Fahri. Rumah Ibu masih bagus, jadi gak terlalu mendesak."Merasa lega, Fahri mengambil minuman di depannya dan meminumnya hingga setengah gelas. Bisa berabe kalau ibunya minta rumah baru. Istrinya pun mungkin akan melayangkan protes. Ya, meski selama ini dia belum pernah berkata apa pun saat Fahri memberikan uang kepada keluarganya. Belum pernah bukan artinya tidak akan pernah kan?"Benar juga katamu, Fahri." Ibunya Fahri manggut-manggut sambil memegangi dagunya. "Rumah Ibu gak terlalu mendesak, yang mendesak itu kendaraan. Kasihan Nazwa harus naik angkutan umum terus kalau ke kampus. Gak usah mobil deh, minimal kamu belikan adikmu ini mo
"Kapan kita ke dealer untuk ambil motornya? Ibu sudah gak sabar. Iya, kan, Nazwa?" Fahri bahkan belum menyetujui permintaan itu, tetapi ibunya sudah tidak sabar untuk mengambil motor di dealer. Dia makin kehabisan kata-kata saja."Iya, Bu. Nazwa udah gak sabar buat punya motor sendiri. Nanti Nazwa boncengin Ibu keliling komplek. Biar semua pada tahu kalau aku udah punya motor. Hehe."Nazwa tampak sangat antusias. Wajahnya berbinar bahagia hanya dengan membayangkan dia memiliki motor baru."Ck! Kamu kok diam saja sih, Fahri? Kamu gak lihat adikmu sudah senang seperti itu. Ayo dong kamu jangan merusak suasana. Kapan kita ngambil motornya?" desak ibunya Fahri lagi lantaran Fahri tidak kunjung membuka menjawab."Ta-tapi ...." Fahri melirik ke arah istrinya dengan takut-takut. Lalu, meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia sudah menikah dengan Fiona. Tentu harus mendiskusikan perihal keuangan dengannya. Karena dalam uang Fahri kebanyakan milik Fiona?"Kenapa? Fiona gak setuju?" Tanpa ba b
Fahri berusaha menahan ibunya. "Tapi Fiona–""Gak usah mikirin istrimu. Dia bisa kok di rumah sendirian. Atau kamu mau ikut, Fiona?" tanya ibunya Fahri berbalik ke arah menantunya."Iya aku ikut," jawab Fiona cepat. Dia harus memastikan kalau Nazwa tidak memilih motor yang harganya mahal."Ck! Pisah sebentar pun kamu gak mau. Emang si Fahri bakal ngelirik perempuan lain apa," omel ibunya Fahri dengan suara lirih."Tapi aku siap-siap dulu. Kan gak lucu kalau aku pergi seperti ini." Fiona memang masih juga mengenakan piyama dan hanya mencuci muka tadi.Ibunya Fahri tidak berkata apa pun. Akan tetapi, dia harus setuju agar anaknya mau ikut dengan sukarela. Meski sebenarnya tidak begitu senang karena menantunya itu hanya menghambat saja.Tanpa persetujuan, Fiona gegas berlari menuju kamar untuk bersiap-siap.Sebuah pukulan dari ibunya mendarat di bahu Fahri. "Kenapa sih harus ajak istrimu, Fahri? Kan motor itu bisa dibeli walaupun dia gak ikut. Pergi sebentar aja kalian gak mau pisah. Pas
"Kok kamu ngomong gitu, Fiona? Gak suka kamu sama pilihan kami?" Wajah ibunya Fahri tertekuk. Tidak senang dengan perkataan menantu barunya itu."Iya, Mbak. Ini udah yang paling bagus loh. Emang Mbak Fiona maunya aku beli motor yang seperti apa? Jangan pikir aku mau beli motor yang jelek ya. Bisa jadi bahan tertawaan aku," kesal Nazwa."Tapi itu harganya mahal banget, Bu. Bisa beli mobil loh itu.""Halah alasan saja kamu, Fahri. Bilang saja kamu gak mau beli motor buat adikmu. Padahal kalau Nazwa punya motor kan ibu juga yang enak.""Mas Fahri bukannya gak mau beli motor buat Nazwa, Bu. Kalau harganya yang agak murah boleh kok. Tapi yang Nazwa pilih ini bahkan lebih mahal dari mobil," terang Fiona berusaha menengahi."Masa sih harga motor ini mahal." Ibunya Fahri tampak tidak percaya. "Mbak, motor ini harganya berapa?" tanyanya kepada sales perempuan yang sedari tadi mengikuti mereka."Yang ini harganya 320 juta, Bu. Ini motor Tymax yang modelnya sporty dan gagah," jawab sales itu.M
Sementara Fahri hanya bisa garuk-garuk kepala. Serba salah. Di satu sisi dia tidak ingin melukai hati ibu yang telah melahirkannya. Akan tetapi, di sisi lain apa yang dikatakan istrinya pun benar.Fiona menghentakkan kaki kesal, lalu meninggalkan suami, ipar, dan mertuanya itu. Dia kesal dengan sikap ibunya Fahri yang semena-mena. Akan tetapi, lebih kesal lagi dengan Fahri yang tidak bisa berkata apa-apa."Fiona, tunggu–""Mau ke mana kamu? Belum beli apa-apa loh kita, main pergi aja. Udah, biarin aja istrimu pulang. Dia bisa kok pulang sendiri. Kamu bawa kartu kredit atau atm nya kan?" sergah ibunya Fahri menarik tubuh Fahri."Tapi Fiona, Bu." Fahri memasang wajah iba. Mungkin dengan begitu ibunya akan meluapkan keinginan membeli kendaraan dan membiarkannya menyusul Fiona dan membujuknya."Kalau kamu pergi, jangan pernah temui ibu lagi."Pupus sudah harapan Fahri. Pilihan yang ada terlalu sulit. Tidak mungkin dia pergi dan membuat hubungan dengan sang ibu renggang. Akhirnya, dengan s
"Dasar gak tahu diri! Sudah numpang, gengsi pula."Fahri, Nazwa, dan ibunya sontak memandang ke arah sumber suara. "Fiona? Ngapain kamu balik lagi? Bukannya kamu tadi sudah pergi?!" cibir bu Yuni pada Fiona. Sedangkan Nazwa hanya mencebikkan bibirnya. "Kenapa memangnya? Aku ke sini nyamperin suamiku, takut kalau suamiku kelepasan dan gak bisa nahan keinginan kalian yang banyak maunya itu.""Lho Fahri kan anakku dan dia juga Kakaknya Nazwa, jadi wajar dong kalau kami minta sama dia. Di mana salahnya?""Salahnya adalah uang itu bersumber dariku. Tidak puaskah kalian dengan semua uang gaji Mas Fahri yang diberikan seluruhnya untuk kalian?"Kali ini Fiona benar-benar kesal pada mertua dan adik iparnya itu. Dia bukan Ayra yang bisa ditindas oleh mertua dan ipar. Fiona perempuan masa kini yang menjunjung tinggi nilai harga diri. Sedangkan Fahri, mau marah pada Fiona pun seolah-olah dia tak mampu. Fiona adalah mesin atm nya. Seandainya ia tidak lagi bekerja pun masih bisa Fiona menopang hi