Share

BAB 2: Upgrade Versi 0.0

Kelopak lebar Arini berkedip pelan mendengar perkataan Brandon barusan. Manik cokelatnya masih beradu tatap dengan netra hitam sayu milik lelaki itu. Perlahan tawa aneh keluar dari sela bibir berwarna ranum tersebut.

“Ha … ha … emang ada hubungan di-upgrade? Ada-ada aja lo.” Arini langsung berdiri karena suasana mendadak canggung. “Gue naik dulu ke atas ya. Pegel nih badan. Mau berbaring dulu.”

Saat hendak maju satu langkah, Brandon berhasil menangkap tangannya. Dalam satu kali tarikan, Arini duduk lagi di sofa.

“Emang lo nggak mau kalau kita upgrade hubungan?”

Arini menjepit bibir ketika mengalihkan pandangan ke tempat lain. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya.

“In?”

“Apa?” sahut wanita itu cuek.

Brandon mengembuskan napas pelan ketika menggelengkan kepala. Tatapannya masih mengitari paras Arini yang tampak letih.

“Istirahat dulu gih. Nanti malam aja kita bahas,” suruhnya segera berdiri, lalu mengulurkan tangan.

“Bareng ke atas yuk! Gue juga mau istirahat.” Brandon melirik ke arah tangan yang masih menggantung.

Arini mengangguk setuju, karena memang sudah saatnya beristirahat. Bukan hanya tubuh yang lelah, tapi otaknya juga. Berkali ia memikirkan kemungkinan akan meningkatkan status hubungan dengan Bran, berkali juga kegamangan melanda.

Di samping itu, ia juga masih trauma menjalin hubungan lagi dengan orang lain. Namun entah kenapa ketika orang tersebut adalah Bran, Arini masih bisa mempertimbangkannya. Dia mengenal pria itu tidak hanya setahun atau dua tahun, melainkan sebelas tahun. Tentu sudah hafal betul bagaimana perangainya.

“Lo masih hutang cerita sama gue, In.” Brandon menghentikan langkah ketika tiba di depan pintu kamar yang akan ditempati Arini.

“Kasih waktu dulu ya, Bran. Gue benar-benar belum siap cerita.” Sorot mata Arini mendadak sendu. Tampak jelas kegetiran dari caranya memandang saat ini.

Brandon yang bisa melihat hal itu dengan sangat jelas, hanya bisa meredam amarah yang tersulut. Dia mulai menduga-duga apa yang dilakukan oleh Desta, mantan suami Arini, terhadap sahabatnya. Sesakit apa luka yang telah ditorehkan oleh laki-laki itu kepadanya?

“Gue akan tunggu sampai lo siap cerita, In.” Brandon akhirnya mengalah, kemudian membuka pintu kamar.

“Kamar yang sering lo tempati kalau kita ke sini,” lanjut Bran tersenyum lebar. Hingga saat ini tidak ada satu hal berkaitan dengan Arini yang ia lupakan. Semua terendap indah di dalam ingatan.

“Kamar lo pasti di sebelah.”

Kepala yang dihiasi rambut model layered undercut tersebut bergerak ke atas dan bawah. “Istirahat dulu gih,” anjurnya mengerling ke dalam kamar.

Arini mengusap tengkuk yang terasa kaku, setelah menempuh perjalanan dari Jakarta ke puncak menggunakan sepeda motor. “Iya nih. Bisa istirahat dua jam, sebelum masak bareng Tante nanti,” sahutnya.

Tangan Brandon bergerak ragu ke arah kepala Arini. Keinginan untuk mengusap puncak kepala yang dihiasi rambut panjang itu terpaksa diurungkan, saat wanita itu berlalu dari hadapannya.

Begitu pintu kamar ditutup, Arini langsung bersandar di sana. Telapak tangan kanan meraba dada kiri yang memberi dentuman irama tak beraturan. Kening mengernyit merasakan keanehan.

“Kok jadi berdebar?”

Arini menyeka kening, sehingga poni terangkat ke atas. Dia mengembuskan napas panjang sebelum melangkah ke tempat tidur. Dalam hitungan detik tubuh sudah berbaring nyaman di atas kasur empuk.

Upgrade yuk!”

Upgrade hubungan dong. Masa iya upgrade software handphone.”

Kalimat yang diucapkan Brandon tadi terngiang di telinga Arini. Dia kembali duduk sembari menepuk kedua belah pipi.

“Fokus, In. Lo nggak boleh pikirkan ini. Anggap Bran lagi bercanda.” Arini memejamkan kedua mata seraya menggelengkan kepala. “Ingat apa yang dikatakan Tante Lisa tadi. Bantu bujuk Bran biar mau ketemu sama anak temennya.”

Arini bermonolog-ria ketika hatinya mulai bimbang. Tidak mungkin menjalin hubungan dengan sahabat sendiri. Dia juga berpikir Lisa tidak akan merestui mereka, jika melangkah lebih jauh lagi.

“Nanti malam gue bakalan bujuk Bran. Kasihan Tante, pasti kesepian. Makanya suruh Bran nikah, biar ada temani di rumah,” gumam Arini mengangguk mantap.

***

Hari ini cukup melelahkan bagi Arini. Bagaimana tidak, setelah beristirahat dua jam ia kembali berjibaku di dapur membantu Lisa memasak. Dia jadi bernostalgia dengan masa lalu. Dulu sebelum rumah tangga wanita paruh baya itu bermasalah, mereka sering melakukannya di rumah keluarga Harun.

Arini sering diminta datang untuk sekedar membantunya memasak. Mereka bertukar cerita dan berbicara banyak hal. Sekarang juga sama. Berbagai pertanyaan seputar kegiatan Arini sebelum kembali ke Jakarta dilontarkan oleh wanita paruh baya itu. Lisa juga memancingnya agar mau bercerita tentang apa yang terjadi terhadap pernikahannya.

“Maaf, Tan. Aku belum siap cerita tentang itu,” ucap Arini dengan kepala menunduk tadi siang.

Lisa menyerah dan tidak mau memaksanya lagi. Percakapan dialihkan membahas Brandon yang berhasil lolos dari perjodohan yang dirancang olehnya. Karena itulah, Arini berjanji akan membantu wanita paruh baya itu sebisa mungkin agar sahabatnya mau bertemu dengan perempuan pilihan sang Ibu.

Mengenai upgrade hubungan yang dikatakan Brandon tadi siang, sebisa mungkin tidak akan diturutinya. Jika saja berani meningkatkan level hubungan, maka bisa jadi persahabatan mereka akan jatuh ke versi 0.0.

“Tumben malam-malam di sini, bukannya tidur.” Suara bariton menyentakkan lamunan Arini.

Wanita itu sedang duduk di ayunan taman belakang vila milik keluarga Harun. Keheningan malam ditemani bintang-bintang membuat Arini merasa lebih nyaman. Sesaat ia lupa dengan pahitnya pernikahan yang menyisakan trauma di hati.

Begitu mendengar suara Bran, ia langsung menoleh ke kiri. Tarikan napas panjang terdengar sebelum merespon perkataan sahabatnya.

“Lagi pengin aja duduk di sini sambil lihat bintang,” sahut Arini tersenyum lembut. Kepalanya mendongak melihat pintu masuk vila. “Tante mana?”

“Udah tidur. Kekenyangan mungkin, karena banyak makan tadi pas makan malam.”

Brandon duduk tepat di samping Arini, sehingga ayunan yang tadi bergerak berhenti sebentar. Beruntung ayunan kayu itu bisa menampung dua orang.

“Duduk sana gih, Bran. Ntar talinya putus loh,” suruh Arini menunjuk ayunan satu lagi.

Pria itu menggeleng enggan. “Maunya di sini aja deket lo.”

Arini berdecak seraya mencubit pinggang Brandon.

“Eh, kita bisa jatuh loh, In,” protesnya khawatir hilang keseimbangan.

“Bener juga ya,” desis Arini kembali mendongakkan kepala menatap langit.

Brandon mendorong pelan kaki ke tanah, sehingga ayunan kembali bergerak. “Gimana?”

“Gimana apanya?” Arini menoleh ke kiri sedikit. Dia bisa melihat mata sayu Brandon tengah memandangnya lekat.

Upgrade hubungan.”

Bola mata cokelat miliknya berputar malas. “Upgrade ke versi 0.0 mau?”

Wajah Bran langsung mengerucut. “Itu downgrade, In. Bukan upgrade. Gimana sih? Lo ‘kan lebih pintar dari gue.”

Arini tergelak mendengar perkataan Brandon. Secara akademis dirinya memang lebih unggul dari pria ini. Namun, di bidang percintaan jelas kalah telak. Dia berada jauh di bawah Bran.

“Bran,” panggil Arini tidak merespon perkataan Brandon barusan.

“Apa?”

Brandon mengulurkan tangan, sehingga bisa meraih bahu kanan Arini. Dia merebahkan kepala wanita itu di bahu, seperti yang kerap dilakukan dulu saat bergalau-ria.

“Tante Lisa tadi minta tolong sama gue,” kata Arini bersandar nyaman di bahu lebar Bran.

“Jangan bilang suruh lo bujuk gue ketemu sama anak teman-temannya itu,” balas Bran merebahkan kepala di atas kepala Arini.

Wanita itu melingkarkan tangan di lengan kanan Brandon, sehingga terasa suhu hangat yang ditransferkan oleh tubuh sahabatnya.

“Kenapa sih nggak mau?” Bola mata cokelat Arini terangkat, agar bisa melihat Brandon meski tidak jelas.

Bahu Brandon terasa naik, kemudian turun lagi ke bawah. “Males. Nggak ada yang bikin gue berdebar.”

Arini tertawa pelan mendengar alasan tidak masuk akal sahabatnya. “Gimana mau berdebar kalau belum apa-apa udah nolak duluan.”

“Males,” sahut Bran singkat.

Suasana hening sebentar sebelum Brandon kembali berujar, “Jadi kalau lo mau bujuk gue biar mau ketemu sama cewek-cewek itu, mending nggak usah deh.”

Arini menegakkan kepala dan melihat wajah Bran yang tampak dingin.

“Kok gitu? Kasihan Tante dong, Bran. Tante pengin banget lo cepet-cepet nikah,” komentar Arini.

Brandon menggelengkan kepala.

“Bran?”

“Lo udah tahu gue nggak mau komitmen ‘kan, In?”

“Tadi lo ajak gue buat upgrade hubungan. Emang mau tanpa komitmen?”

Brandon memutar tubuh sedikit ke kanan. Kepalanya menunduk, sehingga bisa menatap Arini lurus.

“Kecuali sama lo, In.” Tangannya bergerak tanpa ragu membelai rambut Arini yang tergerai lepas ke bawah. Dia memandang dua manik cokelat yang melihatnya dengan kedipan pelan. “Kita udah saling kenal dan nggak bakalan mungkin menyakiti satu sama lain.”

“Dua tahun tanpa lo, hidup gue hampa, In.” Brandon berhenti sebentar ketika masih mengamati paras Arini yang menegang dengan lekat.

“Gue juga, Bran. Setiap hari kangen sama lo,” balas Arini tercekat.

“Nah trus kenapa nggak mau upgrade hubungan?”

Karena nggak mungkin lo nikahin gue. Status kita nggak sama lagi, Bran, batin Arini lirih.

“Nggak bisa jawab?” gumam Bran ketika kepalanya mendekat dengan wajah Arini.

Tangan yang tadi membelai lembut pinggir kepala, kini pindah ke samping wajah Arini. Jemari panjang Brandon turun ke bawah dagu, sebelum mengangkatnya sedikit. Mata hitam itu memandang sayu bibir mungil yang pernah dikecapnya ketika kelas dua SMA secara diam-diam. Keinginan untuk mengecup lagi muncul di pikiran.

“Gue belum siap, Bran,” sahut Arini sebelum bibir mereka bersentuhan.

“Gue bukan orang yang tepat buat lo,” tambahnya tersenyum samar.

“Siapa bilang?”

“Gue.” Arini menurunkan lagi tangan Brandon, lalu menggenggamnya erat. “Kali ini mau ya ketemu sama cewek itu,” bujuknya lagi.

Brandon menarik napas berat sebelum menanggapi permintaan Arini. “Oke, tapi dengan satu syarat.”

“Syarat apa?”

“Gue pengin cium bibir lo sekali aja.”

Bola mata Arini langsung membulat sempurna nyaris keluar. Serangan semut api langsung bertubi-tubi hinggap di pinggang Brandon.

“Geli, In. Eh nggak, sakit. Geli juga sih,” racau Bran cekikikan.

“Lo nyebelin!”

“Biarin. Yang penting lo sayang.”

“Nggak jadi sayang ah.”

“Beneran nggak sayang lagi sama gue? Berarti cinta dong?” Brandon tidak henti menggoda Arini, karena senang melihatnya kesal seperti ini. Paling tidak, wanita itu bisa melupakan kesedihan yang masih terpancar jelas di wajah tirusnya.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status