Brandon
“Pulang sekarang, Bran?” tanya pria berkepala plontos ketika melihat Brandon mengambil botol minum.
Hanya botol minum yang boleh dibawa ke dalam ruangan. Perusahaan melarang para agent membawa ponsel, dompet dan benda lain. Dikhawatirkan data pelanggan bisa bocor dan disalahgunakan oleh mereka.
“Iya, Bang,” jawabnya singkat, “duluan ya.”
Brandon langsung meninggalkan ruangan tepat satu menit menjelang pukul 21.00. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju loker. Dengan sigap ia mengambil tas, lalu menutupnya lagi. Pikiran yang tidak tenang sejak tadi menuntun pria itu bergerak ke basemen parkiran.
Ketika berada di dalam lift, pandangan netra sayu Bran menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang chat dengan Arini. Pesan yang dikirim satu jam lalu belum dibalas olehnya. Brandon membuang napas singkat memikirkan alasan pesannya belum dibalas oleh wanita itu.
“Apa masih sama Fahmi ya?” duganya memejamkan mata.
Begitu pintu lift terbuka, Bran bergegas menuju sepeda motor yang selalu menemani selama beberapa bulan terakhir. Motor matic Honda Vario berwarna merah dengan garis hitam. Setelah menyerahkan kartu parkir, ia menarik gas sehingga berhasil melewati tanjakan area parkiran basemen gedung.
Kurang dari sepuluh menit, ia sudah berada di gang kecil yang hanya bisa dilewati dua motor. Bagian kiri dan kanan terdapat rumah berjejer rapat. Brandon memarkir motor di depan kosan yang memiliki pagar tinggi berwarna hitam.
Dia mendongakkan kepala agar bisa melihat ke balik pagar. Tidak ada tanda-tanda ada penghuni yang berkeliaran di lorong antara kamar yang berderet di sebelah kiri dan kanan. Brandon merogoh saku, kemudian mengeluarkan ponsel.
“Kok nggak diangkat sih?” gumamnya cemas ketika tidak mendapat jawaban.
“Apa udah tidur?” Brandon bermonolog sembari mondar-mandir seperti orang gila. Untung ganteng, jadi orang lain berpikir berkali-kali dulu memberikan label gila kepadanya. Haha!
Brandon menengadahkan kepala melihat langit yang ditaburi bintang. Embusan napas panjang meluncur di sela bibir. Keinginan untuk bertemu dengan Arini terpaksa harus dibatalkan. Mustahil jika dia memasuki pagar di malam hari seperti ini.
Saat ingin menyalakan motor, ia melihat sepasang manusia sedang melangkah sembari tertawa di ujung gang. Begitu jarak terpangkas, Brandon bisa memandang dengan jelas siapa itu?
“Iin?” bisiknya pada diri sendiri. Tilikan netra sayu itu berpindah ke samping kiri. “Bang Fahmi.”
Snuut!
Melihat bagaimana bahagianya Arini sekarang, tentu tidak ada alasan lagi buat Brandon untuk khawatir. Itulah yang diinginkan pria tersebut, melihat senyum menghias wajah sahabatnya. Dan orang yang bisa membuat wanita itu bahagia adalah Fahmi.
Gue akan kasih kalian jalan, In. Siapapun itu asal lo bahagia, gue ikhlas, batin Brandon tanpa ragu.
Tanpa menunggu lagi, Brandon cepat-cepat memutar balik motor berniat pergi dari sana. Dia tidak ingin mengganggu sepasang manusia yang mungkin sedang pendekatan alias PDKT itu.
“Bran!!” panggil Arini terdengar cukup keras, mampu membuat Brandon menekan rem kiri dan kanan bersamaan.
Brandon menoleh ke belakang dan melihat Arini berjarak satu meter di belakang motornya.
“Kok nggak telepon mau ke sini? Udah lama?” tanyanya dengan napas yang sedikit sesak, karena berlari begitu tahu Brandon ada di sana.
“Cek handphone lo deh!” ketus pria itu singkat.
Kening Arini berkerut bingung saat menurunkan tas ransel. Dia meletakkan ponsel di saku paling kecil di sana. Raut bersalah terpancar di parasnya ketika membaca tulisan dua panggilan tak terjawab dan satu pesan dari Brandon.
“Sorry, Bran. Gue nggak tahu kalau ada telepon masuk,” ucap Arini sungguh-sungguh.
“Pasti lagi asyik ngobrol sama Bang Fahmi ya?” balas Brandon mengerling ke arah Fahmi yang ternyata masih berdiri di depan pagar kosannya.
Arini menggelengkan kepala, sehingga rambut yang dikuncir itu bergoyang. “Tadi gue sama Bang Fahmi makan aja kok.”
Brandon menurunkan pandangan ke arah perut yang keroncongan. Salah satu niatnya datang ke sini karena ingin mengajak Arini makan.
“Oh ya udah. Gue balik dulu,” ujar Brandon bersiap pergi dari sana.
“Bran,” henti Arini memegang tangan Brandon. Dia memiringkan kepala dan memperhatikan raut wajah sahabatnya lekat. “Kenapa sih?”
“Siapa?”
“Lo.”
“Gue nggak kenapa-napa.”
“Yakin?”
Brandon memejamkan mata menyadari keanehan sikapnya terhadap Arini. Tidak seharusnya ia ketus seperti ini.
“Gue lagi lapar aja. Tadi sih pengin ajak lo makan, ternyata udah makan.” Akhirnya bibir yang sedikit tipis di bagian atas itu tertarik ke samping. “Masuk gih. Tidur. Lo pasti capek.”
Arini menggelengkan kepala, kemudian naik ke atas motor Brandon. “Gue temenin lo makan lagi deh,” katanya setelah duduk di jok belakang.
Brandon tersenyum lebar menyadari tidak ada yang berubah dari Arini. Wanita itu paling mengerti dengan dirinya dan tidak bisa membuatnya marah.
“Maaf ya.” Brandon menoleh ke belakang sebelum menarik gas.
“Maaf kenapa?” Arini kembali memiringkan kepala, agar bisa melihat Bran dengan benar.
“Karena udah sensi. Ternyata orang kalau lapar bisa sensitif ya,” canda Brandon disambut pukulan di bahu.
“Jalan gih. Biar balik nggak kemaleman.”
Brandon mengangguk singkat. Dalam hitungan detik motor sudah bergerak menuju jalan keluar yang terhubung dengan jalan Tanah Abang IV.
“Nggak bawa helm, Bran?” teriak Arini dari belakang, agar bisa terdengar karena mereka sudah memasuki area jalan raya.
“Ada nih.” Brandon menepuk helm yang menggantung di sela kaki. “Nggak pake juga nggak pa-pa, In. Malam ini.”
Semenjak tahu Arini bekerja di perusahaan yang sama, Brandon selalu membawa dua helm ketika sif mereka berdekatan. Sudah bisa ditebak apa alasannya bukan? Haha!
“Bener juga ya.” Arini berpegangan ke pinggang Brandon seperti biasa.
“Mau makan ke mana sih?” tanya Arini memastikan.
“KFC Cideng aja. Biar deket,” jawab Brandon mengeraskan suara, “biar lo bisa makan burger atau apa kek.”
“Emang masih buka?”
“Ya ampun, In. Lo lupa kalau KFC itu buka 24 jam?!”
“Astaga bener juga ya. Kok gue bisa lupa.”
Brandon menarik napas panjang ketika sedih menyelinap ke relung hati. Dia tidak menyangka apa yang telah menimpa Arini memberi dampak besar kepada wanita cerdas itu.
Tak lama kemudian motor yang dikendarai Brandon berhenti di depan gedung junk food ayam goreng terkenal di seantero dunia. Eh, benar tidak? Ah lupakan saja.
Setelah masuk, Brandon langsung bergerak menuju tempat pemesanan. Dia memilih menu paket nasi, dada ayam dan minuman soda diganti dengan air mineral, karena ia tidak suka soda. Plus satu burger untuk Arini.
“Duduk di sana yuk, In. Biar enak ngobrol,” ajak Brandon mengerling ke pojokan dengan tangan memegang nampan.
Mereka berjalan beriringan ke tempat yang dituju, kemudian mengambil tempat duduk masing-masing.
“Ini buat si Kutilang Dara,” kata Brandon tersenyum tengil.
“Sialan lo!” sungut Arini berdecak pelan.
“Dasar kunyuk dekil,” cibirnya lagi.
Keduanya tertawa dengan saling berbagi pandang.
“Gitu dong senyum. Gue senang lihat lo bahagia, In.” Brandon menumpu dagu di punggung tangan seraya menatap lekat sahabatnya.
“Emang gue bahagia.”
Brandon menggelengkan kepala. “Sejak bertemu lagi lo beda banget. Nggak kayak Arini yang gue kenal.”
Arini mengalihkan pandangan ke tempat lain. Dia memang tidak bisa berbohong kepada Brandon. Berpura-pura bahagia juga tidak akan berhasil.
“Apapun yang bisa bikin lo tersenyum lagi, bakal gue dukung.” Brandon meraih tangan Arini yang terkulai di atas meja.
“Gue janji akan berusaha maksimal sebagai sahabat, agar bisa balikin lo kayak dulu lagi.” Brandon menggenggam erat jemari Arini. “Arini yang galak, berani dan nggak kenal takut. Arini yang selalu tersenyum, sampai lesung pipi ini nongol.”
Brandon menempelkan ujung jari telunjuk di tempat lesung pipi Arini sering muncul.
“Bikin Tante Lisa bahagia juga dong, Bran.” Arini masih belum menyerah ternyata. Kali ini ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menunaikan janji kepada ibu Brandon.
“Lo sayang banget ya sama nyokap gue?”
“Lo udah tahu jawabannya, Bran.”
Terdengar tarikan napas panjang dari sela hidung mancung milik Brandon. Sejak dulu, ia tahu kalau Arini menyayangi Lisa seperti ibu kandung sendiri. Jika ditanya siapa yang lebih disayangi antara Brandon dan Lisa? Maka jawabannya adalah wanita paruh baya yang bersahaja itu.
“Oke. Kalau itu yang bikin lo dan Mama bahagia, gue setuju.” Brandon menegakkan tubuh ketika mengangguk sekali. “Tapi dengan satu syarat.”
“Apa?” Mata Arini menyipit seketika. “Jangan minta yang aneh-aneh lagi deh.”
Brandon menggeleng singkat. “Nggak aneh-aneh kok. Gampang.”
Arini menaikkan dagu sedikit ke atas, pertanda ingin mendengar syarat yang akan diajukan Brandon.
“Kita double date. Gimana?
Kening berukuran sedang milik Arini mengernyit bingung. “Double date?”
“Iya. Gue sama anak teman nyokap dan lo sama Bang Fahmi. Gimana?” Sebelah alis Brandon naik ke atas ketika senyum miring tercetak di parasnya.
Bersambung....
AriniMata cokelat lebar Arini membulat sempurna mendengar syarat yang diajukan Brandon. Ini sungguh gila! Bagaimana bisa ia melakukan kencan ganda, apalagi melibatkan Fahmi? Astaga, darah seakan naik ke kepala yang dihiasi rambut hitam panjang itu sekarang. Embusan napas keras ditiupkan ke atas, sehingga poni yang menutupi kening terangkat ke atas.“Nggak mau! Nggak akan pernah!” cetus Arini menggeleng tegas.“Kalau gitu gue juga nggak akan pernah temui cewek-cewek yang disodorin Nyokap,” balas Brandon melipat tangan di depan dada berlagak cuek.“Bran!” protes Arini dengan mata sedikit mengecil.Brandon berdiri lalu melangkah menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Perut yang lapar, tidak mengizinkannya untuk berdebat dengan Arini sekarang. Tiba di tempat duduk, pria itu mulai mencampurkan nasi dan ayam goreng yang sudah diolesi saus.Arini ingin mencecar dengan kata-kata, tapi tidak jadi. Dia bisa melihat sahabatnya sedang kelaparan. Kasihan juga jika diomeli, bisa tersedak atau
AriniBunyi dering ponsel membangunkan Arini yang sedang tidur lelap. Tangan perlahan meraba bagian samping bantal mencari keberadaan gadget pipih tersebut. Kelopak mata cokelat miliknya terbuka sedikit ketika melihat siapa yang menelepon sepagi ini.“Tante Lisa!” sentaknya membuat kelopak langsung terangkat sempurna.Wanita itu berdeham berkali-kali sebelum menggeser tombol hijau ke atas. “Halo, Tan,” sapanya setelah yakin suara terdengar normal.“Rin. Maaf telepon kamu pagi-pagi,” sahut Lisa terdengar gelisah di seberang sana.“Nggak apa-apa, Tan. Aku juga udah bangun,” balas Arini setengah berbohong. Gengsi jika wanita paruh baya itu tahu kalau dirinya masih tidur pukul 06.00.“Tante boleh minta tolong tidak?”“Iya, Tan. Ada yang bisa aku bantu?”“Brandon tadi telepon Tante, katanya tidak bisa datang hari ini. Lagi demam. Kamu bisa ke apartemennya, Rin? Tante khawatir kenapa-napa.” Lisa mengutarakan maksud dan tujuan menelepon Arini sepagi ini.“Tante lagi di Bandung temani Om, bar
Arini tersentak sehingga tubuhnya mundur ke belakang. Tatapan mata cokelat itu kembali tertumpu dengan netra sayu Brandon. Mereka berbagi pandang dalam waktu yang lama. Suasana ini membuat keduanya bingung. Mendadak aneh.“Gue … mau bikin sarapan dulu. Lo pasti belum makan dari tadi.”Lagi-lagi Brandon menahan tangan Arini. Dia menggeleng pelan. “Bentar lagi Bi Ijah datang bawain makanan.”Wanita itu mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk mengurangi rasa gugup. Bingung juga mencari cara untuk mengatasi rasa canggung ini.“In. Gue kedinginan. Bisa tolong ambil selimut di kamar nggak?” pinta Brandon saat badan mulai menggigil.Air muka Arini langsung berganti cemas. Tangannya bergerak meraba kening, pipi hingga leher Brandon.“Ya ampun, panas lo naik lagi, Bran. Beneran udah minum obat?” selidik Arini curiga.Brandon tidak menjawab karena tubuh bergetar bersamaan dengan bibir yang bergerak cepat.“Mending ke kamar aja deh, Bran. Masih kuat ‘kan?”Pria itu mengedipkan mata pelan pert
“Gue kabari Bang Fahmi dulu kalau nggak jadi pergi. Kasihan nanti tungguin,” cetus Arini menarik tangannya.Usaha yang dilakukan gagal, karena pegangan Brandon begitu erat. “Lo perhatian banget sama Fahmi. Gue lagi sakit lo marahin,” tudingnya dengan tampang seperti anak kecil.Arini menatap malas. “Kok gitu sih? Gue ‘kan lebih perhatian sama lo. Buktinya langsung datang pas tahu lo demam.”Wanita itu menarik napas panjang, kemudian melepaskan pegangan tangan Brandon. Dia merapikan lagi selimut agar tetap menghangatkan tubuh yang masih gemetar.“Sekarang lo tidur dulu. Gue mau kasih tahu Bang Fahmi.” Arini mengambil handuk kecil yang menempel di kening Brandon, lantas membasahkannya dengan air hangat. Dia meletakkan lagi kain tebal tersebut di kening pria itu sebelum berdiri.“Habis itu ke sini ya. Jangan tinggalin gue.” Brandon menggeleng pelan. “Nggak, lo sarapan dulu gih. Jangan sampai sakit juga gara-gara jagain gue.”Arini mengangguk seraya menegakkan tubuh. “Tidur ya, Bran. Isti
AriniBeberapa hari kemudianSepasang mata cokelat mengerjap perlahan saat mendengar ponsel berdering. Jemari panjang nan ramping kuning langsat bergerak mengambil ponsel di samping bantal. Kernyitan muncul di antara alis ketika pandangan terpaku ke layar gadget pipih tersebut.“Bran,” gumamnya berusaha menghalau kantuk yang masih terasa.“Tumben telepon pagi-pagi,” sapa Arini setelah menggeser tombol hijau.“Pengin denger suara lo pertama kali, In.” Suara serak Brandon sudah mewakili tanda ia baru saja bangun tidur.Kerutan di kening Arini semakin rapat. “Maksudnya.”“Ya, pengin suara lo yang pertama kali gue denger pas bangun tidur,” jelas Brandon diiringi tawa renyah, tapi terdengar malas khas orang bangun tidur.Arini berdecak seraya mengubah posisi tidur menjadi telentang. “Udah, ‘kan? Gue mau mandi dulu.”“Belum.”Kali ini wanita tersebut mendesah pelan. Andai sekarang ia menelepon pacar atau suaminya tentu ia akan senang mendengar kalimat yang dilontarkan Brandon. Namun, Arini
“Gue kangen ayam kecap buatan lo, In.”Itulah yang dikatakan Brandon agar Arini setuju pulang dengannya. Sumpah demi apapun, ia terganggu dengan kehadiran Fahmi di sisi sahabatnya. Jika sebelumnya Bran semangat menjodohkan pria itu dengan Iin, tapi sekarang berbeda. Dia benar-benar tidak mau melihatnya lagi di dekat wanita itu.Arini tetaplah sama dengan sebelumnya, yang menjadikan Brandon sebagai prioritas utama. Sejak dulu, ia tidak bisa menolak jika Bran sudah meminta sesuatu. Begitu kuat ikatan persahabatan yang terjadi di antara mereka.“Maaf, Bang. Kita ngobrolnya lain kali ya?” ucap Arini merasa bersalah kepada Fahmi, sebelum mereka pergi dari restoran. Dia bisa melihat kekecewaan yang tergambar di wajah pria itu.Namun, Fahmi mengerti kenapa Arini memilih pulang bersama dengan Brandon dibandingkan dengannya. Dia lebih dewasa dari sepasang sahabat tersebut, sudah seharusnya mampu berpikir dengan jernih. Mereka sudah bersahabat sejak lama, sementara ia hanya pendatang dan tidak
Jantung Brandon berdebar semakin kencang ketika melihat rona merah yang terpancar di paras Arini. Tampak semakin cantik dan menarik. Inilah saat yang dinanti-nanti. Tiga centimeter lagi, bibirnya bisa merasakan manis dan lembut bibir mungil kemerahan itu.Hampir dua tahun menahan hasrat, jelas membuat Bran kehilangan kendali saat ini. Sama halnya dengan Arini, ia tidak lagi berpikir panjang. Logika telah lenyap, diambil alih oleh gairah yang bergejolak di dalam diri. Berdua di apartemen yang sepi. Tidak ada siapa-siapa dan bebas melakukan apa saja.Tangan yang lepas kini bergerak ke balik punggung Arini, sehingga bisa menarik tubuh ramping itu merapat ke tubuhnya. Brandon beringsut maju ke depan, memangkas jarak agar tidak lagi memberi jeda di antara mereka. Kinilah waktunya untuk melabuhkan kecupan di bibir mungil yang menjadi incaran Bran sejak lama.Mata sayu Brandon terpejam menjelang kedua bibir itu bertemu. Hanya kecupan lembut yang diberikan sebagai pemanasan. Dia ingin tahu bag
“Artinya setuju?” Brandon menatap lurus Arini ingin kepastian.Arini menarik bibirnya nyaris membentuk satu garis. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum membuat keputusan.“Nggak boleh ada perasaan. Kita hanya partner di atas ranjang. Nggak lebih!” tegasnya setelah berpikir matang-matang. Rupanya setan menang dan bersorak riang mendengar keputusan Arini.Senyum mengembang di paras Brandon ketika mengangguk tanpa ragu. “Gue jamin nggak akan ada perasaan. Jangan khawatir.”“Kita nggak boleh lakukan tiap hari. Hanya ketika lo atau gue butuh.” Arini masih memberi persyaratan lain.“Oke. Setuju!” Dada Brandon rasanya ingin meledak membayangkan akan bercinta dengan sahabat yang didambakan sejak lama. Meski ia harus membulatkan tekad mengenyahkan segala bentuk perasaan di dalam hati.“Ada lagi?” sambungnya dengan sebelah alis naik ke atas.“Harus pakai pengaman dan kita nggak akan bercinta ketika gue dalam masa subur.” Arini masih bernegosiasi.“Noted.” Sesaat kemudian Brandon menepuk jidat