Jantung Brandon berdebar semakin kencang ketika melihat rona merah yang terpancar di paras Arini. Tampak semakin cantik dan menarik. Inilah saat yang dinanti-nanti. Tiga centimeter lagi, bibirnya bisa merasakan manis dan lembut bibir mungil kemerahan itu.Hampir dua tahun menahan hasrat, jelas membuat Bran kehilangan kendali saat ini. Sama halnya dengan Arini, ia tidak lagi berpikir panjang. Logika telah lenyap, diambil alih oleh gairah yang bergejolak di dalam diri. Berdua di apartemen yang sepi. Tidak ada siapa-siapa dan bebas melakukan apa saja.Tangan yang lepas kini bergerak ke balik punggung Arini, sehingga bisa menarik tubuh ramping itu merapat ke tubuhnya. Brandon beringsut maju ke depan, memangkas jarak agar tidak lagi memberi jeda di antara mereka. Kinilah waktunya untuk melabuhkan kecupan di bibir mungil yang menjadi incaran Bran sejak lama.Mata sayu Brandon terpejam menjelang kedua bibir itu bertemu. Hanya kecupan lembut yang diberikan sebagai pemanasan. Dia ingin tahu bag
“Artinya setuju?” Brandon menatap lurus Arini ingin kepastian.Arini menarik bibirnya nyaris membentuk satu garis. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum membuat keputusan.“Nggak boleh ada perasaan. Kita hanya partner di atas ranjang. Nggak lebih!” tegasnya setelah berpikir matang-matang. Rupanya setan menang dan bersorak riang mendengar keputusan Arini.Senyum mengembang di paras Brandon ketika mengangguk tanpa ragu. “Gue jamin nggak akan ada perasaan. Jangan khawatir.”“Kita nggak boleh lakukan tiap hari. Hanya ketika lo atau gue butuh.” Arini masih memberi persyaratan lain.“Oke. Setuju!” Dada Brandon rasanya ingin meledak membayangkan akan bercinta dengan sahabat yang didambakan sejak lama. Meski ia harus membulatkan tekad mengenyahkan segala bentuk perasaan di dalam hati.“Ada lagi?” sambungnya dengan sebelah alis naik ke atas.“Harus pakai pengaman dan kita nggak akan bercinta ketika gue dalam masa subur.” Arini masih bernegosiasi.“Noted.” Sesaat kemudian Brandon menepuk jidat
Ketika merasakan jiwa melayang, diayun-ayun oleh kenikmatan yang diberikan Brandon. Arini merasakan nyeri di area intinya. Alhasil ia mencengkram lengan pria itu dengan kuat, tak peduli dengan sakit yang disebabkan olehnya.“Pelan-pelan, Bran. Sakit!” cetus Arini sebelum Brandon melepaskan penyatuannya.Mata yang tadi terpejam perlahan dibuka, sehingga ia bisa melihat raut kaget di paras Brandon. Rona pucat tampak jelas di sana.“Kenapa, Bran?” tanya Arini penuh kebingungan.Pandangan Brandon naik ke wajah Arini dengan was-was. Perasaan bersalah mulai menghantuinya. Andai tahu kenyataan barusan, ia tidak akan mengajak wanita baik-baik ini bercinta.“Lo … beneran udah bercinta dengan Desta, In?” Brandon balik bertanya penuh hati-hati. Dia mengambil selimut dan menutup tubuh Arini yang tersingkap, lalu berbaring di sampingnya.Walau masih bingung, Arini mengangguk membenarkan. Menurutnya ia telah berhubungan badan dengan Desta, meski tidak seperti suami istri pada umumnya.“Berapa kali
Baru saja selesai makan, Brandon dan Arini kembali melanjutkan kenikmatan yang melenakan. Pria itu seakan tidak ingin membiarkan sahabatnya beranjak sejengkal pun dari sisi. Dia mulai candu dengan semua yang ada pada diri Arini.“Kalau Tante Lisa tahu kita begini, pasti kecewa sama gue ya?” desis Arini saat membelakangi Brandon. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu yang memeluknya tanpa penghalang.“Tergantung.”“Kok tergantung?” tanya Arini menatap lurus ke arah lemari.“Ya tergantung Mama tahu pas kita lagi ngapain?” jawab Brandon setengah bercanda.Otak cerdas Arini langsung paham dengan apa yang dikatakan Brandon. Tangannya otomatis menepuk punggung tangan yang melingkar di perutnya.“Tante pasti tahu pin flat lo ya, Bran.” Arini melirik was-was ke pintu kamar. Khawatir jika Lisa muncul di sana sewaktu-waktu.“Tahu dong. Orang flat ini Mama yang punya,” sahut Brandon terdengar enteng.“Kalau gitu gue nggak jadi nginap di sini deh. Mau pulang aja.” Arini menyingkirkan tanga
Jantung Brandon auto mencelos saat mendengar apa yang disampaikan oleh Lisa barusan. Sandy sudah mencarikan calon istri untuknya? Perhatian sekali. Atau jangan-jangan ini adalah pernikahan bisnis yang dirancang untuk meningkatkan performa The Harun’s Group.“Nggak, Ma! Aku udah nggak mau lagi dijodohkan. Cukup ya, Ma,” pinta Brandon tegas tapi tidak mengurangi rasa santun terhadap Lisa.“Ini yang terakhir kali Mama minta sama kamu, Bran. Setelah ini Mama janji tidak akan suruh kamu temui anak-anak kenalan Mama. Mau ya, Nak?” bujuk Lisa terdengar sungguh-sungguh. Jika diperhatikan dengan saksama, ada tekanan dalam nada bicaranya.Brandon menoleh ke tempat Arini duduk. Wanita itu sama sekali tidak terusik dengan permintaan Lisa. Bahkan sejak awal, dialah yang semangat menyuruhnya bertemu dengan perempuan yang dikenalkan sang ibu.“Mama hanya mau aku nikah, ‘kan?” Brandon kembali bersuara.“Awalnya begitu, Bran. Sekarang lebih dari itu,” tanggap Lisa muram.“Lebih dari itu gimana, Ma?”“
AriniSepanjang jalan dari gerbang masuk utama sampai lobi gedung, Arini tertawa seperti orang kurang waras. Perdebatan sengit antara dirinya dan Brandon masih berputar di benaknya.“Nikah?”“Iya. Kita nikah aja, jadi perjodohan itu nggak akan pernah ada.”“Lo udah stress ya?” Arini sampai menempelkan punggung tangan di kening Brandon. “Nggak demam, ‘kan?”“Gue serius, In. Ini satu-satunya cara agar gue nggak dijodoh-jodohin.”“Kenapa harus gue? Bukannya cewek yang mau sama lo ngantre ya? Tinggal tunjuk mau yang mana.” Arini terus mendebat sahabatnya yang tampak frustrasi.“Karena kita udah saling kenal, In. Nggak perlu pengenalan lagi. Nikah besok juga gue mau.”Arini ikut-ikutan stress karena Brandon. “Kita udah sepakat untuk jadi partner di atas ranjang, Bran. Gue belum siap nikah. Nggak bisa!”“Tega banget sih sama sahabat sendiri. Lo mau lihat gue nikah sama orang yang nggak dicintai?”“Trus lo nikah sama gue karena cinta?” Arini mendelik nyalang. Marah hingga hidungnya kembang k
Konsentrasi Arini ambyar setelah mendapatkan telepon dari Lisa tadi pagi. Hingga menjelang siang, ia tidak bisa fokus bekerja. Beruntung tidak ada masalah pelik yang dihadapi pelanggan hari ini. Ketika waktu senggang, ia berpikir keras mencari cara agar Brandon mau menerima perjodohan ini.“Om boleh ceraikan Tante, tapi tidak dengan menghilangkan hak Brandon sepenuhnya dari keluarga ini.” Lisa terdengar pasrah tapi tidak rela ketika mengucapkan kalimat ini tadi pagi.“Tante mau diceraikan Om?” Arini bertanya sangat hati-hati.“Walau Tante masih cinta sama Om. Asal Brandon bahagia, Tante rela diceraikan. Masalahnya tidak sampai di sana, Rin. Tante tidak rela anak Tante satu-satunya kehilangan hak secara materi,” tutur Lisa terisak.Itulah yang membuat Arini berpikir keras. Lisa tidak boleh kehilangan Sandy, ia tahu wanita paruh baya itu masih sangat mencintai suaminya. Begitu juga dengan Brandon yang tidak boleh kehilangan hak waris. Bagaimanapun lelaki itu adalah anak pertama Sandy Ha
BrandonPikiran Brandon kalut. Dia mulai memikirkan yang tidak-tidak. Setelah Arini dan Fahmi pulang, ia menjadi gelisah. Duduk tidak tenang seakan ada bisul besar yang ada di pantatnya. Begitulah waktu yang ia lalui sejak tadi.“Kenapa sih, Bran?” tanya Firto, rekan kerja Brandon berkepala plontos, terusik dengan posisi duduk Brandon yang berubah-ubah.“Kenapa apanya, Bang?” Brandon balik bertanya.“Paling juga kepikiran Arini dan Bang Fahmi tuh, Bang,” timpal Edo dengan raut usil.Brandon menatap dingin pria berkacamata dan bertubuh besar itu. “Sialan lo, Bang.”Firto tergelak melihat Brandon tersungut-sungut. “Makanya kalau punya sahabat secantik Arini, jangan dianggurin kelamaan. Kesalip dua kali dah tuh.”Setelah pukul lima sore, seluruh jajaran supervisor dan manajer operasional tidak ada lagi di ruangan. Suasana floor mulai longgar, sehingga agent bebas bersuara asal tidak terdengar ke tempat agent call berada. Ponsel juga boleh dibawa masuk, asal tidak ada data pelanggan yang
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan