Arini tersentak sehingga tubuhnya mundur ke belakang. Tatapan mata cokelat itu kembali tertumpu dengan netra sayu Brandon. Mereka berbagi pandang dalam waktu yang lama. Suasana ini membuat keduanya bingung. Mendadak aneh.“Gue … mau bikin sarapan dulu. Lo pasti belum makan dari tadi.”Lagi-lagi Brandon menahan tangan Arini. Dia menggeleng pelan. “Bentar lagi Bi Ijah datang bawain makanan.”Wanita itu mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk mengurangi rasa gugup. Bingung juga mencari cara untuk mengatasi rasa canggung ini.“In. Gue kedinginan. Bisa tolong ambil selimut di kamar nggak?” pinta Brandon saat badan mulai menggigil.Air muka Arini langsung berganti cemas. Tangannya bergerak meraba kening, pipi hingga leher Brandon.“Ya ampun, panas lo naik lagi, Bran. Beneran udah minum obat?” selidik Arini curiga.Brandon tidak menjawab karena tubuh bergetar bersamaan dengan bibir yang bergerak cepat.“Mending ke kamar aja deh, Bran. Masih kuat ‘kan?”Pria itu mengedipkan mata pelan pert
“Gue kabari Bang Fahmi dulu kalau nggak jadi pergi. Kasihan nanti tungguin,” cetus Arini menarik tangannya.Usaha yang dilakukan gagal, karena pegangan Brandon begitu erat. “Lo perhatian banget sama Fahmi. Gue lagi sakit lo marahin,” tudingnya dengan tampang seperti anak kecil.Arini menatap malas. “Kok gitu sih? Gue ‘kan lebih perhatian sama lo. Buktinya langsung datang pas tahu lo demam.”Wanita itu menarik napas panjang, kemudian melepaskan pegangan tangan Brandon. Dia merapikan lagi selimut agar tetap menghangatkan tubuh yang masih gemetar.“Sekarang lo tidur dulu. Gue mau kasih tahu Bang Fahmi.” Arini mengambil handuk kecil yang menempel di kening Brandon, lantas membasahkannya dengan air hangat. Dia meletakkan lagi kain tebal tersebut di kening pria itu sebelum berdiri.“Habis itu ke sini ya. Jangan tinggalin gue.” Brandon menggeleng pelan. “Nggak, lo sarapan dulu gih. Jangan sampai sakit juga gara-gara jagain gue.”Arini mengangguk seraya menegakkan tubuh. “Tidur ya, Bran. Isti
AriniBeberapa hari kemudianSepasang mata cokelat mengerjap perlahan saat mendengar ponsel berdering. Jemari panjang nan ramping kuning langsat bergerak mengambil ponsel di samping bantal. Kernyitan muncul di antara alis ketika pandangan terpaku ke layar gadget pipih tersebut.“Bran,” gumamnya berusaha menghalau kantuk yang masih terasa.“Tumben telepon pagi-pagi,” sapa Arini setelah menggeser tombol hijau.“Pengin denger suara lo pertama kali, In.” Suara serak Brandon sudah mewakili tanda ia baru saja bangun tidur.Kerutan di kening Arini semakin rapat. “Maksudnya.”“Ya, pengin suara lo yang pertama kali gue denger pas bangun tidur,” jelas Brandon diiringi tawa renyah, tapi terdengar malas khas orang bangun tidur.Arini berdecak seraya mengubah posisi tidur menjadi telentang. “Udah, ‘kan? Gue mau mandi dulu.”“Belum.”Kali ini wanita tersebut mendesah pelan. Andai sekarang ia menelepon pacar atau suaminya tentu ia akan senang mendengar kalimat yang dilontarkan Brandon. Namun, Arini
“Gue kangen ayam kecap buatan lo, In.”Itulah yang dikatakan Brandon agar Arini setuju pulang dengannya. Sumpah demi apapun, ia terganggu dengan kehadiran Fahmi di sisi sahabatnya. Jika sebelumnya Bran semangat menjodohkan pria itu dengan Iin, tapi sekarang berbeda. Dia benar-benar tidak mau melihatnya lagi di dekat wanita itu.Arini tetaplah sama dengan sebelumnya, yang menjadikan Brandon sebagai prioritas utama. Sejak dulu, ia tidak bisa menolak jika Bran sudah meminta sesuatu. Begitu kuat ikatan persahabatan yang terjadi di antara mereka.“Maaf, Bang. Kita ngobrolnya lain kali ya?” ucap Arini merasa bersalah kepada Fahmi, sebelum mereka pergi dari restoran. Dia bisa melihat kekecewaan yang tergambar di wajah pria itu.Namun, Fahmi mengerti kenapa Arini memilih pulang bersama dengan Brandon dibandingkan dengannya. Dia lebih dewasa dari sepasang sahabat tersebut, sudah seharusnya mampu berpikir dengan jernih. Mereka sudah bersahabat sejak lama, sementara ia hanya pendatang dan tidak
Jantung Brandon berdebar semakin kencang ketika melihat rona merah yang terpancar di paras Arini. Tampak semakin cantik dan menarik. Inilah saat yang dinanti-nanti. Tiga centimeter lagi, bibirnya bisa merasakan manis dan lembut bibir mungil kemerahan itu.Hampir dua tahun menahan hasrat, jelas membuat Bran kehilangan kendali saat ini. Sama halnya dengan Arini, ia tidak lagi berpikir panjang. Logika telah lenyap, diambil alih oleh gairah yang bergejolak di dalam diri. Berdua di apartemen yang sepi. Tidak ada siapa-siapa dan bebas melakukan apa saja.Tangan yang lepas kini bergerak ke balik punggung Arini, sehingga bisa menarik tubuh ramping itu merapat ke tubuhnya. Brandon beringsut maju ke depan, memangkas jarak agar tidak lagi memberi jeda di antara mereka. Kinilah waktunya untuk melabuhkan kecupan di bibir mungil yang menjadi incaran Bran sejak lama.Mata sayu Brandon terpejam menjelang kedua bibir itu bertemu. Hanya kecupan lembut yang diberikan sebagai pemanasan. Dia ingin tahu bag
“Artinya setuju?” Brandon menatap lurus Arini ingin kepastian.Arini menarik bibirnya nyaris membentuk satu garis. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum membuat keputusan.“Nggak boleh ada perasaan. Kita hanya partner di atas ranjang. Nggak lebih!” tegasnya setelah berpikir matang-matang. Rupanya setan menang dan bersorak riang mendengar keputusan Arini.Senyum mengembang di paras Brandon ketika mengangguk tanpa ragu. “Gue jamin nggak akan ada perasaan. Jangan khawatir.”“Kita nggak boleh lakukan tiap hari. Hanya ketika lo atau gue butuh.” Arini masih memberi persyaratan lain.“Oke. Setuju!” Dada Brandon rasanya ingin meledak membayangkan akan bercinta dengan sahabat yang didambakan sejak lama. Meski ia harus membulatkan tekad mengenyahkan segala bentuk perasaan di dalam hati.“Ada lagi?” sambungnya dengan sebelah alis naik ke atas.“Harus pakai pengaman dan kita nggak akan bercinta ketika gue dalam masa subur.” Arini masih bernegosiasi.“Noted.” Sesaat kemudian Brandon menepuk jidat
Ketika merasakan jiwa melayang, diayun-ayun oleh kenikmatan yang diberikan Brandon. Arini merasakan nyeri di area intinya. Alhasil ia mencengkram lengan pria itu dengan kuat, tak peduli dengan sakit yang disebabkan olehnya.“Pelan-pelan, Bran. Sakit!” cetus Arini sebelum Brandon melepaskan penyatuannya.Mata yang tadi terpejam perlahan dibuka, sehingga ia bisa melihat raut kaget di paras Brandon. Rona pucat tampak jelas di sana.“Kenapa, Bran?” tanya Arini penuh kebingungan.Pandangan Brandon naik ke wajah Arini dengan was-was. Perasaan bersalah mulai menghantuinya. Andai tahu kenyataan barusan, ia tidak akan mengajak wanita baik-baik ini bercinta.“Lo … beneran udah bercinta dengan Desta, In?” Brandon balik bertanya penuh hati-hati. Dia mengambil selimut dan menutup tubuh Arini yang tersingkap, lalu berbaring di sampingnya.Walau masih bingung, Arini mengangguk membenarkan. Menurutnya ia telah berhubungan badan dengan Desta, meski tidak seperti suami istri pada umumnya.“Berapa kali
Baru saja selesai makan, Brandon dan Arini kembali melanjutkan kenikmatan yang melenakan. Pria itu seakan tidak ingin membiarkan sahabatnya beranjak sejengkal pun dari sisi. Dia mulai candu dengan semua yang ada pada diri Arini.“Kalau Tante Lisa tahu kita begini, pasti kecewa sama gue ya?” desis Arini saat membelakangi Brandon. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh pria itu yang memeluknya tanpa penghalang.“Tergantung.”“Kok tergantung?” tanya Arini menatap lurus ke arah lemari.“Ya tergantung Mama tahu pas kita lagi ngapain?” jawab Brandon setengah bercanda.Otak cerdas Arini langsung paham dengan apa yang dikatakan Brandon. Tangannya otomatis menepuk punggung tangan yang melingkar di perutnya.“Tante pasti tahu pin flat lo ya, Bran.” Arini melirik was-was ke pintu kamar. Khawatir jika Lisa muncul di sana sewaktu-waktu.“Tahu dong. Orang flat ini Mama yang punya,” sahut Brandon terdengar enteng.“Kalau gitu gue nggak jadi nginap di sini deh. Mau pulang aja.” Arini menyingkirkan tanga