Arini
Mata cokelat lebar Arini membulat sempurna mendengar syarat yang diajukan Brandon. Ini sungguh gila! Bagaimana bisa ia melakukan kencan ganda, apalagi melibatkan Fahmi? Astaga, darah seakan naik ke kepala yang dihiasi rambut hitam panjang itu sekarang. Embusan napas keras ditiupkan ke atas, sehingga poni yang menutupi kening terangkat ke atas.
“Nggak mau! Nggak akan pernah!” cetus Arini menggeleng tegas.
“Kalau gitu gue juga nggak akan pernah temui cewek-cewek yang disodorin Nyokap,” balas Brandon melipat tangan di depan dada berlagak cuek.
“Bran!” protes Arini dengan mata sedikit mengecil.
Brandon berdiri lalu melangkah menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Perut yang lapar, tidak mengizinkannya untuk berdebat dengan Arini sekarang. Tiba di tempat duduk, pria itu mulai mencampurkan nasi dan ayam goreng yang sudah diolesi saus.
Arini ingin mencecar dengan kata-kata, tapi tidak jadi. Dia bisa melihat sahabatnya sedang kelaparan. Kasihan juga jika diomeli, bisa tersedak atau berkurang nafsu makannya. Alhasil, wanita itu mengambil burger yang dibelikan Brandon, lantas menggigit sedikit.
“Sejak kapan deket sama Fahmi?” Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari bibir seksi Brandon.
“Bang Fahmi?” Arini menyipitkan mata sebagai bentuk protes, karena Brandon tidak sopan telah memanggil nama. Jarak usia mereka berdua dengan Fahmi cukup jauh, enam tahun.
Brandon mencoba tersenyum usil. Dengan cepat ia menelan sisa nasi yang dikunyah sebelum menanggapi lagi.
“Cie … mesra banget sih sebut nama Fahmi,” godanya.
Iras wajah Arini berganti datar. “Apaan sih, Bran?”
Terdengar tarikan udara dari sela gigi yang sedang rapat. “Lo nggak berpikiran aneh-aneh, ‘kan?”
“Aneh-aneh gimana?” pancing Brandon memasukkan satu suwir ayam ke mulut.
Kelopak mata Arini berkedip pelan ketika menatap Bran dengan penuh selidik. “Ya, kayaknya lo lagi berpikiran gue deket dalam artian pedekate sama Bang Fahmi.”
Wajah tirus itu sedikit maju ke depan, sehingga membuat Bran tampak salah tingkah. Dia memundurkan kepala ke belakang saat jantung mulai gaduh di dalam.
“Bukan gue, tapi anak-anak di floor yang mikir gitu,” sahutnya sebelum meneguk air mineral kemasan.
Arini mendesah seraya meletakkan sisa burger di atas nampan. Dia bersandar di kursi dengan pandangan ke arah bawah.
“Harusnya lo tahu apa gue deket sama Bang Fahmi atau nggak. Paling nggak lo bisa lihat deketnya sebatas apa.”
“Lo nggak pernah cerita, In.”
Wanita itu menarik napas panjang, sebelum kembali memajukan tubuh ke depan. Kedua tangannya bertumpu saling berimpitan di atas meja.
“Gue sama Bang Fahmi cuma deket, karena tetangga. Ya sering pulang dan berangkat bareng juga sih kalau satu sif.” Arini bergumam sebelum meneruskan perkataannya. “Trus gue bisa tanya-tanya juga masalah kerjaan.”
“Cuma itu doang?” tanya Brandon sambil mengunyah nasi dan potongan ayam.
“Iya. Kayak tadi, ngajak makan juga karena pulang bareng. Kebetulan gue lagi laper.” Arini memiringkan kepala dengan senyum lebar. “Mie ayam yang deket lampu merah itu enak banget, Bran. Lo harus coba!”
Brandon berdecak mendengar perkataan Arini. Dia tahu persis wanita itu suka makan, tapi tubuhnya tidak pernah gemuk.
“Habis berapa porsi emang? Makan lama banget sampai dua jam.”
Jari telunjuk Arini naik ke atas. “Satu. Makannya bentar, ngobrolnya yang lama.”
Kepala yang dihiasi rambut model layered undercut itu manggut-manggut. “Udah mulai nyaman kalau gitu.”
Arini memutar bola mata malas. “Apaan sih? Nyebelin lo!”
“Pokoknya, akhir minggu lo harus ketemu sama tuh cewek. Awas kalau nggak!” sambungnya mulai mengancam.
“Emang kalau nggak mau, lo mau apa?”
Wanita itu menegakkan tubuh lagi sebelum mengucapkan, “Kalau nggak mau, gue pecat lo jadi sahabat,” ancamnya terdengar dan terlihat serius.
***
Brandon
Iin: Ntar sebelum ke kantor mampir dulu ke kosan. Gue bikinin sop hangat buat lo nih.
Iin: Biar lo nggak masuk angin. Floor pasti dingin malam-malam.
Senyum mengembang di wajah Brandon ketika mendapatkan pesan tersebut dari Arini. Keinginan untuk langsung berangkat ke kantor harus diubah menjadi ke tempat kos wanita itu terlebih dahulu. Dengan senang hati Brandon datang ke sana, sekaligus berjumpa dengan sahabatnya. Apalagi ada sop hangat yang sedang menanti.
Arini tidak hanya cantik dan cerdas, tapi pintar memasak juga. Hal itulah yang membuat Brandon berpikir, sahabatnya akan menjadi sosok istri idaman para pria. Namun sayang, hubungan yang bisa ditawarkannya hanyalah persahabatan.
Jika sebelumnya Bran pernah memiliki niat untuk menjalin hubungan serius dengan Arini, sekarang harus pupus karena merasa tidak pantas mendampinginya. Masa lalu yang kelam, ditambah lagi dengan cap sebagai playboy dan tukang PHP (Pemberi Harapan Palsu) membuat nyali pria itu ciut. Dia juga berpendapat Fahmi adalah orang yang tepat untuk Arini.
Hari ini gue harus ngomong sama Bang Fahmi. Mudah-mudahan ada waktu yang tepat, batin Brandon dalam perjalanan menuju kosan Arini.
Bagi Brandon, kebahagiaan Arini adalah yang paling penting. Sejauh ini selain bersama dengan dirinya, wanita itu cukup dekat dengan Fahmi. Dia juga melihat caranya memperhatikan wanita itu, tampak berbeda dengan yang lain.
“Datang juga,” sambut Arini tersenyum lebar seperti biasa, setelah melihat Brandon tiba dengan sepeda motor.
Pria itu berhenti tepat di depan Arini. “Lo nungguin dari tadi?”
Arini mengangguk singkat. “Biar lo nggak kelamaan nunggu,” sahutnya menyerahkan tote bag berisi termos khusus untuk sop.
“Habisin loh, jangan sampai sisa,” sambung wanita itu lagi.
“Iya bawel,” balas Brandon mengusap pinggir kepala Arini. Dia mengangkat tote bag seraya tersenyum. “Makasih ya.”
“Sama-sama. Jaga kesehatan dan jangan sampai sakit menjelang weekend, biar kencan berjalan lancar,” goda Arini tersenyum usil.
Brandon menarik napas berat saat ingat telah setuju untuk bertemu dengan perempuan yang akan dikenalkan oleh Lisa. Akhirnya ia memenuhi keinginan sang Ibu melalui sahabatnya. Pria itu takut jika Arini benar-benar akan mengakhiri persahabatan mereka hanya karena hal sepele seperti ini.
“Iya, Arini Maheswari. Si Kutilangdara yang nggak lagi rata,” ledek Brandon dengan tampang tengil.
“Kampret lo!” sungut Arini mencubit pinggang Brandon.
“Eh, jangan dicubit dong. Ini gue lagi pegang termos, kalau jatuh gimana? Nggak jadi makan dong,” cecar Brandon berusaha menghindar.
Arini menghentikan pergerakan tangannya, karena tidak ingin juga hasil jerih payah memasak sepulang bekerja satu jam lalu tumpah.
“Ya udah, berangkat gih. Ntar telat loh,” suruhnya dengan gerakan mengusir.
“Dih, gue diusir nih ceritanya.”
Bola mata cokelat itu berputar malas.
“Makasih ya, Bestie. Lo emang yang terbaik,” ucap Brandon menggantungkan tote bag di bagian depan.
Arini tersenyum seraya melambaikan tangan. Sementara Brandon memutar motor agar bisa keluar lagi di tempat yang tadi. Terlalu sulit jika harus melewati jalan satu lagi, karena gang sangat sempit dan banyak belokan.
Motor matic itu terus melaju dari jalan Tanah Abang IV menuju jalan Abdul Muis. Tiba di pertigaan, kendaraan roda dua yang dikendarai Brandon bergerak lagi ke gedung tempatnya bekerja. Tak lama kemudian ia tiba di basemen parkiran.
Seperti biasa, Brandon menyimpan jaket kulit di jok motor terlebih dahulu sebelum bergerak menuju lift. Dia melangkah cepat sembari berharap bisa berjumpa dengan Fahmi, meski tidak tahu pria itu masuk sif berapa.
Lift yang ditumpangi Brandon berhenti di lantai satu. Netra sayunya menangkap sosok yang ingin ditemui. Siapa lagi kalau bukan Fahmi.
“Kamu masuk malam juga, Brandon?” sapa Fahmi melihat Brandon ada di dalam lift.
“Iya, Bang. Lo juga?”
“Yah, gitu deh. Biasalah jadwal bulan ini kebanyakan sif malam,” balas pria bermata sipit itu berdiri di samping Brandon.
Brandon menarik napas panjang sebelum mengajak Fahmi berbincang sebentar. Mereka masih memiliki waktu untuk berbicara hingga lift tiba di lantai tujuh.
“Apa pendapat lo tentang Arini, Bang?” cetus Brandon to the point.
Pandangan Fahmi yang tadi menatap pintu lift, kini berpindah dalam waktu yang singkat ke arah Brandon.
“Maksudnya?”
“Gue pengin tahu aja pendapat lo tentang Arini. Soalnya gue lihat kalian dekat,” jelas Brandon berusaha terlihat santai.
Fahmi mengalihkan pandangan sambil tersenyum. Dia menaikkan tali tas ransel yang menggantung di pundak kanan.
“Arini baik, pintar dan cantik. Enak juga diajak ngobrol,” tanggap Fahmi memuji wanita yang baru beberapa bulan dikenalnya.
Brandon mengangguk dua kali bersiap maju ke dekat pintu, karena sebentar lagi lift sampai di lantai tujuh. Dia menepuk pundak Fahmi singkat.
“Kalau lo libur Sabtu ini. Ikut gue double date. Iin juga ikut.” Brandon menoleh ke arah Fahmi yang tampak kaget mendengar perkataannya. “Gue akan bantu lo deketin Iin, asal lo serius sama dia, Bang.”
Bersambung....
AriniBunyi dering ponsel membangunkan Arini yang sedang tidur lelap. Tangan perlahan meraba bagian samping bantal mencari keberadaan gadget pipih tersebut. Kelopak mata cokelat miliknya terbuka sedikit ketika melihat siapa yang menelepon sepagi ini.“Tante Lisa!” sentaknya membuat kelopak langsung terangkat sempurna.Wanita itu berdeham berkali-kali sebelum menggeser tombol hijau ke atas. “Halo, Tan,” sapanya setelah yakin suara terdengar normal.“Rin. Maaf telepon kamu pagi-pagi,” sahut Lisa terdengar gelisah di seberang sana.“Nggak apa-apa, Tan. Aku juga udah bangun,” balas Arini setengah berbohong. Gengsi jika wanita paruh baya itu tahu kalau dirinya masih tidur pukul 06.00.“Tante boleh minta tolong tidak?”“Iya, Tan. Ada yang bisa aku bantu?”“Brandon tadi telepon Tante, katanya tidak bisa datang hari ini. Lagi demam. Kamu bisa ke apartemennya, Rin? Tante khawatir kenapa-napa.” Lisa mengutarakan maksud dan tujuan menelepon Arini sepagi ini.“Tante lagi di Bandung temani Om, bar
Arini tersentak sehingga tubuhnya mundur ke belakang. Tatapan mata cokelat itu kembali tertumpu dengan netra sayu Brandon. Mereka berbagi pandang dalam waktu yang lama. Suasana ini membuat keduanya bingung. Mendadak aneh.“Gue … mau bikin sarapan dulu. Lo pasti belum makan dari tadi.”Lagi-lagi Brandon menahan tangan Arini. Dia menggeleng pelan. “Bentar lagi Bi Ijah datang bawain makanan.”Wanita itu mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk mengurangi rasa gugup. Bingung juga mencari cara untuk mengatasi rasa canggung ini.“In. Gue kedinginan. Bisa tolong ambil selimut di kamar nggak?” pinta Brandon saat badan mulai menggigil.Air muka Arini langsung berganti cemas. Tangannya bergerak meraba kening, pipi hingga leher Brandon.“Ya ampun, panas lo naik lagi, Bran. Beneran udah minum obat?” selidik Arini curiga.Brandon tidak menjawab karena tubuh bergetar bersamaan dengan bibir yang bergerak cepat.“Mending ke kamar aja deh, Bran. Masih kuat ‘kan?”Pria itu mengedipkan mata pelan pert
“Gue kabari Bang Fahmi dulu kalau nggak jadi pergi. Kasihan nanti tungguin,” cetus Arini menarik tangannya.Usaha yang dilakukan gagal, karena pegangan Brandon begitu erat. “Lo perhatian banget sama Fahmi. Gue lagi sakit lo marahin,” tudingnya dengan tampang seperti anak kecil.Arini menatap malas. “Kok gitu sih? Gue ‘kan lebih perhatian sama lo. Buktinya langsung datang pas tahu lo demam.”Wanita itu menarik napas panjang, kemudian melepaskan pegangan tangan Brandon. Dia merapikan lagi selimut agar tetap menghangatkan tubuh yang masih gemetar.“Sekarang lo tidur dulu. Gue mau kasih tahu Bang Fahmi.” Arini mengambil handuk kecil yang menempel di kening Brandon, lantas membasahkannya dengan air hangat. Dia meletakkan lagi kain tebal tersebut di kening pria itu sebelum berdiri.“Habis itu ke sini ya. Jangan tinggalin gue.” Brandon menggeleng pelan. “Nggak, lo sarapan dulu gih. Jangan sampai sakit juga gara-gara jagain gue.”Arini mengangguk seraya menegakkan tubuh. “Tidur ya, Bran. Isti
AriniBeberapa hari kemudianSepasang mata cokelat mengerjap perlahan saat mendengar ponsel berdering. Jemari panjang nan ramping kuning langsat bergerak mengambil ponsel di samping bantal. Kernyitan muncul di antara alis ketika pandangan terpaku ke layar gadget pipih tersebut.“Bran,” gumamnya berusaha menghalau kantuk yang masih terasa.“Tumben telepon pagi-pagi,” sapa Arini setelah menggeser tombol hijau.“Pengin denger suara lo pertama kali, In.” Suara serak Brandon sudah mewakili tanda ia baru saja bangun tidur.Kerutan di kening Arini semakin rapat. “Maksudnya.”“Ya, pengin suara lo yang pertama kali gue denger pas bangun tidur,” jelas Brandon diiringi tawa renyah, tapi terdengar malas khas orang bangun tidur.Arini berdecak seraya mengubah posisi tidur menjadi telentang. “Udah, ‘kan? Gue mau mandi dulu.”“Belum.”Kali ini wanita tersebut mendesah pelan. Andai sekarang ia menelepon pacar atau suaminya tentu ia akan senang mendengar kalimat yang dilontarkan Brandon. Namun, Arini
“Gue kangen ayam kecap buatan lo, In.”Itulah yang dikatakan Brandon agar Arini setuju pulang dengannya. Sumpah demi apapun, ia terganggu dengan kehadiran Fahmi di sisi sahabatnya. Jika sebelumnya Bran semangat menjodohkan pria itu dengan Iin, tapi sekarang berbeda. Dia benar-benar tidak mau melihatnya lagi di dekat wanita itu.Arini tetaplah sama dengan sebelumnya, yang menjadikan Brandon sebagai prioritas utama. Sejak dulu, ia tidak bisa menolak jika Bran sudah meminta sesuatu. Begitu kuat ikatan persahabatan yang terjadi di antara mereka.“Maaf, Bang. Kita ngobrolnya lain kali ya?” ucap Arini merasa bersalah kepada Fahmi, sebelum mereka pergi dari restoran. Dia bisa melihat kekecewaan yang tergambar di wajah pria itu.Namun, Fahmi mengerti kenapa Arini memilih pulang bersama dengan Brandon dibandingkan dengannya. Dia lebih dewasa dari sepasang sahabat tersebut, sudah seharusnya mampu berpikir dengan jernih. Mereka sudah bersahabat sejak lama, sementara ia hanya pendatang dan tidak
Jantung Brandon berdebar semakin kencang ketika melihat rona merah yang terpancar di paras Arini. Tampak semakin cantik dan menarik. Inilah saat yang dinanti-nanti. Tiga centimeter lagi, bibirnya bisa merasakan manis dan lembut bibir mungil kemerahan itu.Hampir dua tahun menahan hasrat, jelas membuat Bran kehilangan kendali saat ini. Sama halnya dengan Arini, ia tidak lagi berpikir panjang. Logika telah lenyap, diambil alih oleh gairah yang bergejolak di dalam diri. Berdua di apartemen yang sepi. Tidak ada siapa-siapa dan bebas melakukan apa saja.Tangan yang lepas kini bergerak ke balik punggung Arini, sehingga bisa menarik tubuh ramping itu merapat ke tubuhnya. Brandon beringsut maju ke depan, memangkas jarak agar tidak lagi memberi jeda di antara mereka. Kinilah waktunya untuk melabuhkan kecupan di bibir mungil yang menjadi incaran Bran sejak lama.Mata sayu Brandon terpejam menjelang kedua bibir itu bertemu. Hanya kecupan lembut yang diberikan sebagai pemanasan. Dia ingin tahu bag
“Artinya setuju?” Brandon menatap lurus Arini ingin kepastian.Arini menarik bibirnya nyaris membentuk satu garis. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum membuat keputusan.“Nggak boleh ada perasaan. Kita hanya partner di atas ranjang. Nggak lebih!” tegasnya setelah berpikir matang-matang. Rupanya setan menang dan bersorak riang mendengar keputusan Arini.Senyum mengembang di paras Brandon ketika mengangguk tanpa ragu. “Gue jamin nggak akan ada perasaan. Jangan khawatir.”“Kita nggak boleh lakukan tiap hari. Hanya ketika lo atau gue butuh.” Arini masih memberi persyaratan lain.“Oke. Setuju!” Dada Brandon rasanya ingin meledak membayangkan akan bercinta dengan sahabat yang didambakan sejak lama. Meski ia harus membulatkan tekad mengenyahkan segala bentuk perasaan di dalam hati.“Ada lagi?” sambungnya dengan sebelah alis naik ke atas.“Harus pakai pengaman dan kita nggak akan bercinta ketika gue dalam masa subur.” Arini masih bernegosiasi.“Noted.” Sesaat kemudian Brandon menepuk jidat
Ketika merasakan jiwa melayang, diayun-ayun oleh kenikmatan yang diberikan Brandon. Arini merasakan nyeri di area intinya. Alhasil ia mencengkram lengan pria itu dengan kuat, tak peduli dengan sakit yang disebabkan olehnya.“Pelan-pelan, Bran. Sakit!” cetus Arini sebelum Brandon melepaskan penyatuannya.Mata yang tadi terpejam perlahan dibuka, sehingga ia bisa melihat raut kaget di paras Brandon. Rona pucat tampak jelas di sana.“Kenapa, Bran?” tanya Arini penuh kebingungan.Pandangan Brandon naik ke wajah Arini dengan was-was. Perasaan bersalah mulai menghantuinya. Andai tahu kenyataan barusan, ia tidak akan mengajak wanita baik-baik ini bercinta.“Lo … beneran udah bercinta dengan Desta, In?” Brandon balik bertanya penuh hati-hati. Dia mengambil selimut dan menutup tubuh Arini yang tersingkap, lalu berbaring di sampingnya.Walau masih bingung, Arini mengangguk membenarkan. Menurutnya ia telah berhubungan badan dengan Desta, meski tidak seperti suami istri pada umumnya.“Berapa kali