Arini
“Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!”
Kalimat yang diucapkan Brandon ketika tiba di area kubikel kembali berputar di ingatan Arini. Entah berapa kali diulang bagai kaset kusut sejak ia meninggalkan lantai tujuh beberapa menit lalu.
Kenapa, Rin? Ada yang salah? Kok lo kayaknya terganggu sama perkataan Brandon tadi? Bukannya kalian emang hanya sebatas sahabat? protes batinnya menyadarkan.
“Faktanya emang gitu, ‘kan?” gumamnya tanpa sadar.
“Fakta apa, Rin?” tanya pemilik suara bas yang kini berjalan di sampingnya.
Pandangan yang hanya menatap lantai gedung B1 kini berpindah ke kanan. “Eh?”
“Kamu lagi pikirkan apa?” Fahmi menghentikan langkah sebelum mendorong jeruji putar berwarna hitam, agar bisa keluar dari gedung.
Kepala yang dihiasi rambut panjang diikat ke atas itu menggeleng pelan. Arini tersenyum aneh seraya menggoyangkan kedua tangan.
“Nggak ada apa-apa kok, Bang,” sahutnya lalu memegang tali tas ransel yang menggantung di sebelah bahu. Dia langsung mendorong jeruji putar, agar bisa melewati pagar.
Sementara Fahmi mempercepat langkah menyusul Arini yang sudah berdiri di pinggir jalan. Mereka berhenti sebentar, sebelum menyeberangi jalan kecil yang tidak banyak dilewati kendaraan.
“Mau makan mie ayam, Rin?” Fahmi mengajukan pertanyaan lagi.
“Mie ayam?” Arini menoleh sesaat, kemudian fokus lagi melihat jalan yang akan ditempuh.
“Iya, tuh,” sahut Fahmi menunjuk gerobak mie ayam yang ada di dekat pertigaan jalan Abdul Muis.
“Mie ayamnya enak. Kamu udah coba?”
“Belum.”
“Makan yuk! Aku jamin kamu ketagihan,” ajak pria bertubuh lebih tinggi sepuluh centimeter dari Arini tersebut.
Sebenarnya Arini ingin menolak, tapi tidak enak. Apalagi mereka bisa dikatakan tetangga. Ya, tempat kos wanita itu dan Fahmi hanya berjarak dua rumah. Oleh karena itu mereka menjadi dekat. Ketika memiliki sif kerja yang sama, mereka sering berangkat berbarengan ke kantor. Kecuali hari ini. Arini memilih berangkat lebih awal, khawatir terlambat.
Arini menerima tawaran Fahmi. Dia sendiri juga lapar dan tidak ada bahan yang bisa dijadikan makan malam di kosan. Alhasil di sinilah mereka berada setelah menyeberang jalan besar. Tenda penjual mie ayam yang katanya enak.
“Mie ayam dua porsi, Mas,” pinta Fahmi setelah memilih tempat duduk yang paling pinggir. Dia duduk berhadap-hadapan dengan Arini. Tatapan mata sipitnya mengamati raut wajah cantik yang tampak tidak tenang.
“Tadi kiwing banget ya?” Fahmi membuka percakapan.
Kiwing adalah plesetan dari kata queuing yang biasa disebut ketika banyaknya antrian call atau chat masuk. Hal ini sudah lumrah terjadi di dunia contact center, apalagi jika berada saat high season.
“Iya, Bang. Sampai pegel nih jari.” Arini mengangkat kedua tangan dan memperlihatkan jari-jarinya.
“Ya begitulah di contact center, Rin. Pas lagi rame ya kurang lebih kayak tadi. Apalagi pas libur lebaran, natal dan tahun baru.” Mata sipit Fahmi membesar ketika membayangkan betapa sibuk mereka ketika hari libur tersebut. “Kamu nggak akan bisa bernapas.”
“Yang kasihan itu ya agent call,” tambahnya lagi.
“Sama aja bukan, Bang? Chat juga kasihan, apalagi sampai handle lima chat sekaligus. Jari-jari dan otot tangan juga pegel balas chat,” tanggap Arini kurang setuju, “kalau call hanya handle satu case dalam satu waktu.”
Fahmi menggelengkan kepala seraya tersenyum. “Nggak gitu, Rin. Kelihatannya gampang di call, tapi once kamu coba nanti, bakalan tahu gimana rasanya.”
Bibir Arini mengerucut ketika kepala bergerak ke atas dan bawah. Dia tidak boleh berdebat mengenai masalah ini, karena Fahmi pasti tahu lebih banyak dibandingkan dirinya. Pria ini sudah memakan asam garam dunia contact center selama beberapa tahun.
“Selain libur hari raya dan tahun baru, kapan lagi rame, Bang?” Wanita itu ingin tahu lebih banyak hal mengenai dunia kerja yang digeluti sekarang.
“Bencana alam. Kalau cuaca nggak bersahabat, trus banjir di bandara. Pokoknya apa aja yang menyebabkan penerbangan dibatalkan,” papar Fahmi singkat dan padat.
Bibir mungil berwarna kemerahan itu membulat. Ketika ingin mengajukan pertanyaan lagi, penjual sudah meletakkan dua porsi mie ayam yang dipesan tadi. Arini harus menunda dulu keinginan untuk mengajukan pertanyaan berikut.
“Coba deh, Rin. Kamu bakal ketagihan,” cetus Fahmi mengerling ke arah mie ayam yang siap santap di hadapan Arini.
Arini tersenyum sebelum melihat mie ayam berkuah bening dicampur dua daging bakso. Dia memperhatikan detail mie ayam tersebut sebelum mengaduk saus dan cabe. Rasa penasaran untuk mencicipi rasanya sudah tidak mengizinkan wanita itu menunda waktu lagi. Tangan segera menggerakkan sendok untuk membaurkan saus dan cabe, sehingga warna kuah berubah. Dalam hitungan detik satu sendok mie dan potongan daging ayam beserta kuah sudah masuk ke mulut.
Wanita itu mengunyah pelan mie yang berada di dalam mulut, berusaha meresapi rasa yang berbaur di dalamnya. Mie ini terasa begitu lembut dan tidak kenyal. Bumbu di kuah juga pas di indera perasa. Tilikan mata Arini kini berpindah ke arah bakso yang belum disentuh. Dia memotong bakso tersebut setengah, lalu menyuapnya.
Gumaman terdengar ketika Arini mengunyah bakso yang empuk nyaris tidak memiliki urat dan tulang halus. Benar-benar dibuat dari daging pilihan, tanpa dimasukkan tulang rawan juga. Tanpa sadar kepalanya bergerak ke atas dan bawah, setuju dengan perkataan Fahmi. Mie ayam ini enak sekali.
“Gimana?” desis Fahmi yang sejak tadi mematut Arini.
“Enak banget, Bang.” Arini menunjuk mangkuk mie ayam yang ada di depannya, lalu mengangkat kedua ibu jari bersamaan. “Salah satu mie ayam terenak yang pernah aku coba.”
“Nggak nyangka ada mie ayam enak di sini. Dulu kayaknya belum ada deh,” sambungnya lagi.
Kening Fahmi berkerut mendengar perkataan Arini. “Maksudnya? Kamu pernah tinggal di Jakarta?”
Arini mengangguk dua kali. “Aku dulu tinggal di jalan Tanah Abang IV, Bang,” sahutnya menunjuk pertigaan kecil tak jauh dari sana.
“Oya?”
“Dari kecil sampai kuliah. Begitu Papa pensiun, keluargaku balik ke Bukittinggi lagi.”
“Pantesan kamu tahu daerah sini.”
Senyum terulas di wajah Arini ketika ingat masa-masa indah yang pernah dilewati di daerah ini. “Nggak nyangka juga sih bisa dapat kerja deket sini juga. Jadi bisa bernostalgia deh.”
Mata sipit Fahmi kembali mengitari wajah Arini yang tampak memerah, karena kepanasan dan kepedasan makan mie ayam. Tanpa sadar ia mengulum senyum menyadari ada yang aneh di dalam diri.
“Empat hari lagi kamu libur, ‘kan?” tebak Fahmi sebelum memasukkan suapan berikutnya.
Arini mengangkat bahu singkat ketika menghabiskan kunyahan berikut. “Nggak tahu, Bang. Belum cek jadwal lagi.”
“Tadi aku nggak sengaja lihat jadwal agent.” Fahmi meneguk air mineral sedikit, sebelum kembali berbicara. “Kamu suka nonton nggak, Rin?”
“Suka.”
“Suka film apa?”
“Semua asal bagus.”
Fahmi manggut-manggut.
“Waktu SMA dan kuliah sering nonton sama Brandon. Dia sama kayak aku, suka semua jenis film. Action, romance, horor, pokoknya semua,” kenang Arini tersenyum manis mengingat hari-hari yang dilalui bersama Brandon.
Pria bermata sipit itu menjepit bibir sebentar. “Kamu udah lama ya kenal sama Brandon?”
“Dari kelas satu SMA, Bang. Udah sebelas tahun.”
“Oya?”
Arini mengangguk singkat. “Nggak nyangka bisa sahabatan sama dia sampai sekarang. Padahal dulu kita sempat musuhan.”
Wanita itu seperti tidak bisa menahan diri ketika menceritakan sejarah pertemanannya dengan Brandon. Wajah tampak berbinar seiringan dengan sorot mata yang ekspresif. Arini begitu antusias jika menguraikan perjalanan persahabatan mereka.
“Hebat juga ya.” Fahmi berdecak kagum mendengar cerita persahabatan Arini dan Brandon. “Apa salah satu di antara kalian ada yang diam-diam suka?”
“Maaf, maksudnya menurutku nggak ada persahabatan murni di antara laki-laki dan perempuan,” jelasnya kemudian.
Kepala Arini menunduk dalam mendengar pertanyaan Fahmi. Senyum getir tergambar di parasnya. Sesaat kemudian pandangan mata cokelat lebar itu naik melihat pria yang duduk di depan.
“Nggak ada, Bang. Hubungan kami hanya sebatas sahabat. Itu aja, nggak akan pernah lebih,” ungkap Arini tersenyum lebar ketika mengucapkan kalimat terakhir.
Bersambung....
Brandon“Pulang sekarang, Bran?” tanya pria berkepala plontos ketika melihat Brandon mengambil botol minum.Hanya botol minum yang boleh dibawa ke dalam ruangan. Perusahaan melarang para agent membawa ponsel, dompet dan benda lain. Dikhawatirkan data pelanggan bisa bocor dan disalahgunakan oleh mereka.“Iya, Bang,” jawabnya singkat, “duluan ya.”Brandon langsung meninggalkan ruangan tepat satu menit menjelang pukul 21.00. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju loker. Dengan sigap ia mengambil tas, lalu menutupnya lagi. Pikiran yang tidak tenang sejak tadi menuntun pria itu bergerak ke basemen parkiran.Ketika berada di dalam lift, pandangan netra sayu Bran menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang chat dengan Arini. Pesan yang dikirim satu jam lalu belum dibalas olehnya. Brandon membuang napas singkat memikirkan alasan pesannya belum dibalas oleh wanita itu.“Apa masih sama Fahmi ya?” duganya memejamkan mata.Begitu pintu lift terbuka, Bran bergegas menuju sepeda motor yang selalu m
AriniMata cokelat lebar Arini membulat sempurna mendengar syarat yang diajukan Brandon. Ini sungguh gila! Bagaimana bisa ia melakukan kencan ganda, apalagi melibatkan Fahmi? Astaga, darah seakan naik ke kepala yang dihiasi rambut hitam panjang itu sekarang. Embusan napas keras ditiupkan ke atas, sehingga poni yang menutupi kening terangkat ke atas.“Nggak mau! Nggak akan pernah!” cetus Arini menggeleng tegas.“Kalau gitu gue juga nggak akan pernah temui cewek-cewek yang disodorin Nyokap,” balas Brandon melipat tangan di depan dada berlagak cuek.“Bran!” protes Arini dengan mata sedikit mengecil.Brandon berdiri lalu melangkah menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Perut yang lapar, tidak mengizinkannya untuk berdebat dengan Arini sekarang. Tiba di tempat duduk, pria itu mulai mencampurkan nasi dan ayam goreng yang sudah diolesi saus.Arini ingin mencecar dengan kata-kata, tapi tidak jadi. Dia bisa melihat sahabatnya sedang kelaparan. Kasihan juga jika diomeli, bisa tersedak atau
AriniBunyi dering ponsel membangunkan Arini yang sedang tidur lelap. Tangan perlahan meraba bagian samping bantal mencari keberadaan gadget pipih tersebut. Kelopak mata cokelat miliknya terbuka sedikit ketika melihat siapa yang menelepon sepagi ini.“Tante Lisa!” sentaknya membuat kelopak langsung terangkat sempurna.Wanita itu berdeham berkali-kali sebelum menggeser tombol hijau ke atas. “Halo, Tan,” sapanya setelah yakin suara terdengar normal.“Rin. Maaf telepon kamu pagi-pagi,” sahut Lisa terdengar gelisah di seberang sana.“Nggak apa-apa, Tan. Aku juga udah bangun,” balas Arini setengah berbohong. Gengsi jika wanita paruh baya itu tahu kalau dirinya masih tidur pukul 06.00.“Tante boleh minta tolong tidak?”“Iya, Tan. Ada yang bisa aku bantu?”“Brandon tadi telepon Tante, katanya tidak bisa datang hari ini. Lagi demam. Kamu bisa ke apartemennya, Rin? Tante khawatir kenapa-napa.” Lisa mengutarakan maksud dan tujuan menelepon Arini sepagi ini.“Tante lagi di Bandung temani Om, bar
Arini tersentak sehingga tubuhnya mundur ke belakang. Tatapan mata cokelat itu kembali tertumpu dengan netra sayu Brandon. Mereka berbagi pandang dalam waktu yang lama. Suasana ini membuat keduanya bingung. Mendadak aneh.“Gue … mau bikin sarapan dulu. Lo pasti belum makan dari tadi.”Lagi-lagi Brandon menahan tangan Arini. Dia menggeleng pelan. “Bentar lagi Bi Ijah datang bawain makanan.”Wanita itu mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk mengurangi rasa gugup. Bingung juga mencari cara untuk mengatasi rasa canggung ini.“In. Gue kedinginan. Bisa tolong ambil selimut di kamar nggak?” pinta Brandon saat badan mulai menggigil.Air muka Arini langsung berganti cemas. Tangannya bergerak meraba kening, pipi hingga leher Brandon.“Ya ampun, panas lo naik lagi, Bran. Beneran udah minum obat?” selidik Arini curiga.Brandon tidak menjawab karena tubuh bergetar bersamaan dengan bibir yang bergerak cepat.“Mending ke kamar aja deh, Bran. Masih kuat ‘kan?”Pria itu mengedipkan mata pelan pert
“Gue kabari Bang Fahmi dulu kalau nggak jadi pergi. Kasihan nanti tungguin,” cetus Arini menarik tangannya.Usaha yang dilakukan gagal, karena pegangan Brandon begitu erat. “Lo perhatian banget sama Fahmi. Gue lagi sakit lo marahin,” tudingnya dengan tampang seperti anak kecil.Arini menatap malas. “Kok gitu sih? Gue ‘kan lebih perhatian sama lo. Buktinya langsung datang pas tahu lo demam.”Wanita itu menarik napas panjang, kemudian melepaskan pegangan tangan Brandon. Dia merapikan lagi selimut agar tetap menghangatkan tubuh yang masih gemetar.“Sekarang lo tidur dulu. Gue mau kasih tahu Bang Fahmi.” Arini mengambil handuk kecil yang menempel di kening Brandon, lantas membasahkannya dengan air hangat. Dia meletakkan lagi kain tebal tersebut di kening pria itu sebelum berdiri.“Habis itu ke sini ya. Jangan tinggalin gue.” Brandon menggeleng pelan. “Nggak, lo sarapan dulu gih. Jangan sampai sakit juga gara-gara jagain gue.”Arini mengangguk seraya menegakkan tubuh. “Tidur ya, Bran. Isti
AriniBeberapa hari kemudianSepasang mata cokelat mengerjap perlahan saat mendengar ponsel berdering. Jemari panjang nan ramping kuning langsat bergerak mengambil ponsel di samping bantal. Kernyitan muncul di antara alis ketika pandangan terpaku ke layar gadget pipih tersebut.“Bran,” gumamnya berusaha menghalau kantuk yang masih terasa.“Tumben telepon pagi-pagi,” sapa Arini setelah menggeser tombol hijau.“Pengin denger suara lo pertama kali, In.” Suara serak Brandon sudah mewakili tanda ia baru saja bangun tidur.Kerutan di kening Arini semakin rapat. “Maksudnya.”“Ya, pengin suara lo yang pertama kali gue denger pas bangun tidur,” jelas Brandon diiringi tawa renyah, tapi terdengar malas khas orang bangun tidur.Arini berdecak seraya mengubah posisi tidur menjadi telentang. “Udah, ‘kan? Gue mau mandi dulu.”“Belum.”Kali ini wanita tersebut mendesah pelan. Andai sekarang ia menelepon pacar atau suaminya tentu ia akan senang mendengar kalimat yang dilontarkan Brandon. Namun, Arini
“Gue kangen ayam kecap buatan lo, In.”Itulah yang dikatakan Brandon agar Arini setuju pulang dengannya. Sumpah demi apapun, ia terganggu dengan kehadiran Fahmi di sisi sahabatnya. Jika sebelumnya Bran semangat menjodohkan pria itu dengan Iin, tapi sekarang berbeda. Dia benar-benar tidak mau melihatnya lagi di dekat wanita itu.Arini tetaplah sama dengan sebelumnya, yang menjadikan Brandon sebagai prioritas utama. Sejak dulu, ia tidak bisa menolak jika Bran sudah meminta sesuatu. Begitu kuat ikatan persahabatan yang terjadi di antara mereka.“Maaf, Bang. Kita ngobrolnya lain kali ya?” ucap Arini merasa bersalah kepada Fahmi, sebelum mereka pergi dari restoran. Dia bisa melihat kekecewaan yang tergambar di wajah pria itu.Namun, Fahmi mengerti kenapa Arini memilih pulang bersama dengan Brandon dibandingkan dengannya. Dia lebih dewasa dari sepasang sahabat tersebut, sudah seharusnya mampu berpikir dengan jernih. Mereka sudah bersahabat sejak lama, sementara ia hanya pendatang dan tidak
Jantung Brandon berdebar semakin kencang ketika melihat rona merah yang terpancar di paras Arini. Tampak semakin cantik dan menarik. Inilah saat yang dinanti-nanti. Tiga centimeter lagi, bibirnya bisa merasakan manis dan lembut bibir mungil kemerahan itu.Hampir dua tahun menahan hasrat, jelas membuat Bran kehilangan kendali saat ini. Sama halnya dengan Arini, ia tidak lagi berpikir panjang. Logika telah lenyap, diambil alih oleh gairah yang bergejolak di dalam diri. Berdua di apartemen yang sepi. Tidak ada siapa-siapa dan bebas melakukan apa saja.Tangan yang lepas kini bergerak ke balik punggung Arini, sehingga bisa menarik tubuh ramping itu merapat ke tubuhnya. Brandon beringsut maju ke depan, memangkas jarak agar tidak lagi memberi jeda di antara mereka. Kinilah waktunya untuk melabuhkan kecupan di bibir mungil yang menjadi incaran Bran sejak lama.Mata sayu Brandon terpejam menjelang kedua bibir itu bertemu. Hanya kecupan lembut yang diberikan sebagai pemanasan. Dia ingin tahu bag