Arini
“Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!”
Kalimat yang diucapkan Brandon ketika tiba di area kubikel kembali berputar di ingatan Arini. Entah berapa kali diulang bagai kaset kusut sejak ia meninggalkan lantai tujuh beberapa menit lalu.
Kenapa, Rin? Ada yang salah? Kok lo kayaknya terganggu sama perkataan Brandon tadi? Bukannya kalian emang hanya sebatas sahabat? protes batinnya menyadarkan.
“Faktanya emang gitu, ‘kan?” gumamnya tanpa sadar.
“Fakta apa, Rin?” tanya pemilik suara bas yang kini berjalan di sampingnya.
Pandangan yang hanya menatap lantai gedung B1 kini berpindah ke kanan. “Eh?”
“Kamu lagi pikirkan apa?” Fahmi menghentikan langkah sebelum mendorong jeruji putar berwarna hitam, agar bisa keluar dari gedung.
Kepala yang dihiasi rambut panjang diikat ke atas itu menggeleng pelan. Arini tersenyum aneh seraya menggoyangkan kedua tangan.
“Nggak ada apa-apa kok, Bang,” sahutnya lalu memegang tali tas ransel yang menggantung di sebelah bahu. Dia langsung mendorong jeruji putar, agar bisa melewati pagar.
Sementara Fahmi mempercepat langkah menyusul Arini yang sudah berdiri di pinggir jalan. Mereka berhenti sebentar, sebelum menyeberangi jalan kecil yang tidak banyak dilewati kendaraan.
“Mau makan mie ayam, Rin?” Fahmi mengajukan pertanyaan lagi.
“Mie ayam?” Arini menoleh sesaat, kemudian fokus lagi melihat jalan yang akan ditempuh.
“Iya, tuh,” sahut Fahmi menunjuk gerobak mie ayam yang ada di dekat pertigaan jalan Abdul Muis.
“Mie ayamnya enak. Kamu udah coba?”
“Belum.”
“Makan yuk! Aku jamin kamu ketagihan,” ajak pria bertubuh lebih tinggi sepuluh centimeter dari Arini tersebut.
Sebenarnya Arini ingin menolak, tapi tidak enak. Apalagi mereka bisa dikatakan tetangga. Ya, tempat kos wanita itu dan Fahmi hanya berjarak dua rumah. Oleh karena itu mereka menjadi dekat. Ketika memiliki sif kerja yang sama, mereka sering berangkat berbarengan ke kantor. Kecuali hari ini. Arini memilih berangkat lebih awal, khawatir terlambat.
Arini menerima tawaran Fahmi. Dia sendiri juga lapar dan tidak ada bahan yang bisa dijadikan makan malam di kosan. Alhasil di sinilah mereka berada setelah menyeberang jalan besar. Tenda penjual mie ayam yang katanya enak.
“Mie ayam dua porsi, Mas,” pinta Fahmi setelah memilih tempat duduk yang paling pinggir. Dia duduk berhadap-hadapan dengan Arini. Tatapan mata sipitnya mengamati raut wajah cantik yang tampak tidak tenang.
“Tadi kiwing banget ya?” Fahmi membuka percakapan.
Kiwing adalah plesetan dari kata queuing yang biasa disebut ketika banyaknya antrian call atau chat masuk. Hal ini sudah lumrah terjadi di dunia contact center, apalagi jika berada saat high season.
“Iya, Bang. Sampai pegel nih jari.” Arini mengangkat kedua tangan dan memperlihatkan jari-jarinya.
“Ya begitulah di contact center, Rin. Pas lagi rame ya kurang lebih kayak tadi. Apalagi pas libur lebaran, natal dan tahun baru.” Mata sipit Fahmi membesar ketika membayangkan betapa sibuk mereka ketika hari libur tersebut. “Kamu nggak akan bisa bernapas.”
“Yang kasihan itu ya agent call,” tambahnya lagi.
“Sama aja bukan, Bang? Chat juga kasihan, apalagi sampai handle lima chat sekaligus. Jari-jari dan otot tangan juga pegel balas chat,” tanggap Arini kurang setuju, “kalau call hanya handle satu case dalam satu waktu.”
Fahmi menggelengkan kepala seraya tersenyum. “Nggak gitu, Rin. Kelihatannya gampang di call, tapi once kamu coba nanti, bakalan tahu gimana rasanya.”
Bibir Arini mengerucut ketika kepala bergerak ke atas dan bawah. Dia tidak boleh berdebat mengenai masalah ini, karena Fahmi pasti tahu lebih banyak dibandingkan dirinya. Pria ini sudah memakan asam garam dunia contact center selama beberapa tahun.
“Selain libur hari raya dan tahun baru, kapan lagi rame, Bang?” Wanita itu ingin tahu lebih banyak hal mengenai dunia kerja yang digeluti sekarang.
“Bencana alam. Kalau cuaca nggak bersahabat, trus banjir di bandara. Pokoknya apa aja yang menyebabkan penerbangan dibatalkan,” papar Fahmi singkat dan padat.
Bibir mungil berwarna kemerahan itu membulat. Ketika ingin mengajukan pertanyaan lagi, penjual sudah meletakkan dua porsi mie ayam yang dipesan tadi. Arini harus menunda dulu keinginan untuk mengajukan pertanyaan berikut.
“Coba deh, Rin. Kamu bakal ketagihan,” cetus Fahmi mengerling ke arah mie ayam yang siap santap di hadapan Arini.
Arini tersenyum sebelum melihat mie ayam berkuah bening dicampur dua daging bakso. Dia memperhatikan detail mie ayam tersebut sebelum mengaduk saus dan cabe. Rasa penasaran untuk mencicipi rasanya sudah tidak mengizinkan wanita itu menunda waktu lagi. Tangan segera menggerakkan sendok untuk membaurkan saus dan cabe, sehingga warna kuah berubah. Dalam hitungan detik satu sendok mie dan potongan daging ayam beserta kuah sudah masuk ke mulut.
Wanita itu mengunyah pelan mie yang berada di dalam mulut, berusaha meresapi rasa yang berbaur di dalamnya. Mie ini terasa begitu lembut dan tidak kenyal. Bumbu di kuah juga pas di indera perasa. Tilikan mata Arini kini berpindah ke arah bakso yang belum disentuh. Dia memotong bakso tersebut setengah, lalu menyuapnya.
Gumaman terdengar ketika Arini mengunyah bakso yang empuk nyaris tidak memiliki urat dan tulang halus. Benar-benar dibuat dari daging pilihan, tanpa dimasukkan tulang rawan juga. Tanpa sadar kepalanya bergerak ke atas dan bawah, setuju dengan perkataan Fahmi. Mie ayam ini enak sekali.
“Gimana?” desis Fahmi yang sejak tadi mematut Arini.
“Enak banget, Bang.” Arini menunjuk mangkuk mie ayam yang ada di depannya, lalu mengangkat kedua ibu jari bersamaan. “Salah satu mie ayam terenak yang pernah aku coba.”
“Nggak nyangka ada mie ayam enak di sini. Dulu kayaknya belum ada deh,” sambungnya lagi.
Kening Fahmi berkerut mendengar perkataan Arini. “Maksudnya? Kamu pernah tinggal di Jakarta?”
Arini mengangguk dua kali. “Aku dulu tinggal di jalan Tanah Abang IV, Bang,” sahutnya menunjuk pertigaan kecil tak jauh dari sana.
“Oya?”
“Dari kecil sampai kuliah. Begitu Papa pensiun, keluargaku balik ke Bukittinggi lagi.”
“Pantesan kamu tahu daerah sini.”
Senyum terulas di wajah Arini ketika ingat masa-masa indah yang pernah dilewati di daerah ini. “Nggak nyangka juga sih bisa dapat kerja deket sini juga. Jadi bisa bernostalgia deh.”
Mata sipit Fahmi kembali mengitari wajah Arini yang tampak memerah, karena kepanasan dan kepedasan makan mie ayam. Tanpa sadar ia mengulum senyum menyadari ada yang aneh di dalam diri.
“Empat hari lagi kamu libur, ‘kan?” tebak Fahmi sebelum memasukkan suapan berikutnya.
Arini mengangkat bahu singkat ketika menghabiskan kunyahan berikut. “Nggak tahu, Bang. Belum cek jadwal lagi.”
“Tadi aku nggak sengaja lihat jadwal agent.” Fahmi meneguk air mineral sedikit, sebelum kembali berbicara. “Kamu suka nonton nggak, Rin?”
“Suka.”
“Suka film apa?”
“Semua asal bagus.”
Fahmi manggut-manggut.
“Waktu SMA dan kuliah sering nonton sama Brandon. Dia sama kayak aku, suka semua jenis film. Action, romance, horor, pokoknya semua,” kenang Arini tersenyum manis mengingat hari-hari yang dilalui bersama Brandon.
Pria bermata sipit itu menjepit bibir sebentar. “Kamu udah lama ya kenal sama Brandon?”
“Dari kelas satu SMA, Bang. Udah sebelas tahun.”
“Oya?”
Arini mengangguk singkat. “Nggak nyangka bisa sahabatan sama dia sampai sekarang. Padahal dulu kita sempat musuhan.”
Wanita itu seperti tidak bisa menahan diri ketika menceritakan sejarah pertemanannya dengan Brandon. Wajah tampak berbinar seiringan dengan sorot mata yang ekspresif. Arini begitu antusias jika menguraikan perjalanan persahabatan mereka.
“Hebat juga ya.” Fahmi berdecak kagum mendengar cerita persahabatan Arini dan Brandon. “Apa salah satu di antara kalian ada yang diam-diam suka?”
“Maaf, maksudnya menurutku nggak ada persahabatan murni di antara laki-laki dan perempuan,” jelasnya kemudian.
Kepala Arini menunduk dalam mendengar pertanyaan Fahmi. Senyum getir tergambar di parasnya. Sesaat kemudian pandangan mata cokelat lebar itu naik melihat pria yang duduk di depan.
“Nggak ada, Bang. Hubungan kami hanya sebatas sahabat. Itu aja, nggak akan pernah lebih,” ungkap Arini tersenyum lebar ketika mengucapkan kalimat terakhir.
Bersambung....
Brandon“Pulang sekarang, Bran?” tanya pria berkepala plontos ketika melihat Brandon mengambil botol minum.Hanya botol minum yang boleh dibawa ke dalam ruangan. Perusahaan melarang para agent membawa ponsel, dompet dan benda lain. Dikhawatirkan data pelanggan bisa bocor dan disalahgunakan oleh mereka.“Iya, Bang,” jawabnya singkat, “duluan ya.”Brandon langsung meninggalkan ruangan tepat satu menit menjelang pukul 21.00. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju loker. Dengan sigap ia mengambil tas, lalu menutupnya lagi. Pikiran yang tidak tenang sejak tadi menuntun pria itu bergerak ke basemen parkiran.Ketika berada di dalam lift, pandangan netra sayu Bran menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang chat dengan Arini. Pesan yang dikirim satu jam lalu belum dibalas olehnya. Brandon membuang napas singkat memikirkan alasan pesannya belum dibalas oleh wanita itu.“Apa masih sama Fahmi ya?” duganya memejamkan mata.Begitu pintu lift terbuka, Bran bergegas menuju sepeda motor yang selalu m
AriniMata cokelat lebar Arini membulat sempurna mendengar syarat yang diajukan Brandon. Ini sungguh gila! Bagaimana bisa ia melakukan kencan ganda, apalagi melibatkan Fahmi? Astaga, darah seakan naik ke kepala yang dihiasi rambut hitam panjang itu sekarang. Embusan napas keras ditiupkan ke atas, sehingga poni yang menutupi kening terangkat ke atas.“Nggak mau! Nggak akan pernah!” cetus Arini menggeleng tegas.“Kalau gitu gue juga nggak akan pernah temui cewek-cewek yang disodorin Nyokap,” balas Brandon melipat tangan di depan dada berlagak cuek.“Bran!” protes Arini dengan mata sedikit mengecil.Brandon berdiri lalu melangkah menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Perut yang lapar, tidak mengizinkannya untuk berdebat dengan Arini sekarang. Tiba di tempat duduk, pria itu mulai mencampurkan nasi dan ayam goreng yang sudah diolesi saus.Arini ingin mencecar dengan kata-kata, tapi tidak jadi. Dia bisa melihat sahabatnya sedang kelaparan. Kasihan juga jika diomeli, bisa tersedak atau
AriniBunyi dering ponsel membangunkan Arini yang sedang tidur lelap. Tangan perlahan meraba bagian samping bantal mencari keberadaan gadget pipih tersebut. Kelopak mata cokelat miliknya terbuka sedikit ketika melihat siapa yang menelepon sepagi ini.“Tante Lisa!” sentaknya membuat kelopak langsung terangkat sempurna.Wanita itu berdeham berkali-kali sebelum menggeser tombol hijau ke atas. “Halo, Tan,” sapanya setelah yakin suara terdengar normal.“Rin. Maaf telepon kamu pagi-pagi,” sahut Lisa terdengar gelisah di seberang sana.“Nggak apa-apa, Tan. Aku juga udah bangun,” balas Arini setengah berbohong. Gengsi jika wanita paruh baya itu tahu kalau dirinya masih tidur pukul 06.00.“Tante boleh minta tolong tidak?”“Iya, Tan. Ada yang bisa aku bantu?”“Brandon tadi telepon Tante, katanya tidak bisa datang hari ini. Lagi demam. Kamu bisa ke apartemennya, Rin? Tante khawatir kenapa-napa.” Lisa mengutarakan maksud dan tujuan menelepon Arini sepagi ini.“Tante lagi di Bandung temani Om, bar
Arini tersentak sehingga tubuhnya mundur ke belakang. Tatapan mata cokelat itu kembali tertumpu dengan netra sayu Brandon. Mereka berbagi pandang dalam waktu yang lama. Suasana ini membuat keduanya bingung. Mendadak aneh.“Gue … mau bikin sarapan dulu. Lo pasti belum makan dari tadi.”Lagi-lagi Brandon menahan tangan Arini. Dia menggeleng pelan. “Bentar lagi Bi Ijah datang bawain makanan.”Wanita itu mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk mengurangi rasa gugup. Bingung juga mencari cara untuk mengatasi rasa canggung ini.“In. Gue kedinginan. Bisa tolong ambil selimut di kamar nggak?” pinta Brandon saat badan mulai menggigil.Air muka Arini langsung berganti cemas. Tangannya bergerak meraba kening, pipi hingga leher Brandon.“Ya ampun, panas lo naik lagi, Bran. Beneran udah minum obat?” selidik Arini curiga.Brandon tidak menjawab karena tubuh bergetar bersamaan dengan bibir yang bergerak cepat.“Mending ke kamar aja deh, Bran. Masih kuat ‘kan?”Pria itu mengedipkan mata pelan pert
“Gue kabari Bang Fahmi dulu kalau nggak jadi pergi. Kasihan nanti tungguin,” cetus Arini menarik tangannya.Usaha yang dilakukan gagal, karena pegangan Brandon begitu erat. “Lo perhatian banget sama Fahmi. Gue lagi sakit lo marahin,” tudingnya dengan tampang seperti anak kecil.Arini menatap malas. “Kok gitu sih? Gue ‘kan lebih perhatian sama lo. Buktinya langsung datang pas tahu lo demam.”Wanita itu menarik napas panjang, kemudian melepaskan pegangan tangan Brandon. Dia merapikan lagi selimut agar tetap menghangatkan tubuh yang masih gemetar.“Sekarang lo tidur dulu. Gue mau kasih tahu Bang Fahmi.” Arini mengambil handuk kecil yang menempel di kening Brandon, lantas membasahkannya dengan air hangat. Dia meletakkan lagi kain tebal tersebut di kening pria itu sebelum berdiri.“Habis itu ke sini ya. Jangan tinggalin gue.” Brandon menggeleng pelan. “Nggak, lo sarapan dulu gih. Jangan sampai sakit juga gara-gara jagain gue.”Arini mengangguk seraya menegakkan tubuh. “Tidur ya, Bran. Isti
AriniBeberapa hari kemudianSepasang mata cokelat mengerjap perlahan saat mendengar ponsel berdering. Jemari panjang nan ramping kuning langsat bergerak mengambil ponsel di samping bantal. Kernyitan muncul di antara alis ketika pandangan terpaku ke layar gadget pipih tersebut.“Bran,” gumamnya berusaha menghalau kantuk yang masih terasa.“Tumben telepon pagi-pagi,” sapa Arini setelah menggeser tombol hijau.“Pengin denger suara lo pertama kali, In.” Suara serak Brandon sudah mewakili tanda ia baru saja bangun tidur.Kerutan di kening Arini semakin rapat. “Maksudnya.”“Ya, pengin suara lo yang pertama kali gue denger pas bangun tidur,” jelas Brandon diiringi tawa renyah, tapi terdengar malas khas orang bangun tidur.Arini berdecak seraya mengubah posisi tidur menjadi telentang. “Udah, ‘kan? Gue mau mandi dulu.”“Belum.”Kali ini wanita tersebut mendesah pelan. Andai sekarang ia menelepon pacar atau suaminya tentu ia akan senang mendengar kalimat yang dilontarkan Brandon. Namun, Arini
“Gue kangen ayam kecap buatan lo, In.”Itulah yang dikatakan Brandon agar Arini setuju pulang dengannya. Sumpah demi apapun, ia terganggu dengan kehadiran Fahmi di sisi sahabatnya. Jika sebelumnya Bran semangat menjodohkan pria itu dengan Iin, tapi sekarang berbeda. Dia benar-benar tidak mau melihatnya lagi di dekat wanita itu.Arini tetaplah sama dengan sebelumnya, yang menjadikan Brandon sebagai prioritas utama. Sejak dulu, ia tidak bisa menolak jika Bran sudah meminta sesuatu. Begitu kuat ikatan persahabatan yang terjadi di antara mereka.“Maaf, Bang. Kita ngobrolnya lain kali ya?” ucap Arini merasa bersalah kepada Fahmi, sebelum mereka pergi dari restoran. Dia bisa melihat kekecewaan yang tergambar di wajah pria itu.Namun, Fahmi mengerti kenapa Arini memilih pulang bersama dengan Brandon dibandingkan dengannya. Dia lebih dewasa dari sepasang sahabat tersebut, sudah seharusnya mampu berpikir dengan jernih. Mereka sudah bersahabat sejak lama, sementara ia hanya pendatang dan tidak
Jantung Brandon berdebar semakin kencang ketika melihat rona merah yang terpancar di paras Arini. Tampak semakin cantik dan menarik. Inilah saat yang dinanti-nanti. Tiga centimeter lagi, bibirnya bisa merasakan manis dan lembut bibir mungil kemerahan itu.Hampir dua tahun menahan hasrat, jelas membuat Bran kehilangan kendali saat ini. Sama halnya dengan Arini, ia tidak lagi berpikir panjang. Logika telah lenyap, diambil alih oleh gairah yang bergejolak di dalam diri. Berdua di apartemen yang sepi. Tidak ada siapa-siapa dan bebas melakukan apa saja.Tangan yang lepas kini bergerak ke balik punggung Arini, sehingga bisa menarik tubuh ramping itu merapat ke tubuhnya. Brandon beringsut maju ke depan, memangkas jarak agar tidak lagi memberi jeda di antara mereka. Kinilah waktunya untuk melabuhkan kecupan di bibir mungil yang menjadi incaran Bran sejak lama.Mata sayu Brandon terpejam menjelang kedua bibir itu bertemu. Hanya kecupan lembut yang diberikan sebagai pemanasan. Dia ingin tahu bag
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan