Brandon
Alih-alih menanyakan tentang kedekatan Arini dan Fahmi, Brandon memilih diam. Dia yakin sahabatnya pasti akan bercerita jika memang ada sesuatu di antara mereka.
Begitu mulai bekerja, Brandon memutuskan fokus menangani keluhan pelanggan terlebih dahulu. Dia tidak berbincang dengan Arini, karena khawatir jika nanti melakukan kesalahan dalam memberikan solusi atas masalah yang dihadapi pelanggan.
Bekerja di bidang contact center benar-benar membutuhkan fokus maksimal. Harus mampu menganalisa kendala yang alami pelanggan, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat. Salah sedikit saja, kerugian bisa terjadi. Alhasil gaji yang diterima per bulan harus dipotong untuk mengganti kerugian materi yang disebabkan kelalaian.
Apalagi Brandon dan Arini bekerja di channel chat. Dalam satu kali waktu harus menangani lima pelanggan dengan lima keluhan berbeda juga. Terkadang sering lupa dengan kendala yang ditanyakan. Mereka musti membaca ulang lagi chat sebelumnya, agar ingat masalah yang dihadapi pelanggan.
“Hari ini kebanyakan kendala pembayaran ya,” desis Arini seraya menekuk pelan jari-jari yang mulai lelah mengetik di atas keyboard laptop.
“Iya nih. Apalagi BRI lagi routing off (kendala pembayaran dikarenakan sistem bank),” sahut Brandon tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Pria itu membaca confluence (semacam wikipedia untuk product knowledge) untuk mencari penanganan kendala.
“Kalau metode pembayarannya BRI langsung eskalasi aja ke tier dua, biar cepet selesai,” saran Brandon melirik sebentar.
Dia bersiap menyalin kalimat cara pemesanan voucher hotel di kolom balasan chat yang ada di aplikasi Zopim (aplikasi yang digunakan oleh customer service chat untuk membalas keluhan pelanggan). Setelahnya, Brandon menekan enter.
Semua agent bisa mengembuskan napas lega menjelang pukul 18.00. Biasanya jam segini incoming chat (sebutan untuk chat masuk) menurun drastis. Sekaranglah saatnya mereka bisa bersantai dan memiliki kesempatan untuk berbincang. Apalagi level supervisor dan manajer operasional (OM) sudah pulang.
Brandon menoleh sebentar ke arah Fahmi berada. Pria itu duduk di bagian ujung kubikel yang mereka tempati sekarang. Sejak tadi, mata sipit Fahmi sering melihat Arini. Pandangan netra sayu itu bergerak ke samping kiri. Arini masih fokus mengerjakan solving tiket (mengubah status summary chat menjadi diselesaikan), karena sebentar lagi pulang.
“In, Fahmi dari tadi lihatin lo tuh,” pancing Brandon berbisik di samping telinga Arini. Dia tidak bisa menahan diri untuk berkata.
Arini menghentikan aktivitas, kemudian melirik ke ujung kanan kubikel. “Lagi kerja tuh,” sahutnya cuek saat tidak mendapati Fahmi melihat ke arahnya.
“Sekarang iya, tadi lihatin lo.”
“Cuma buat pastikan gue nggak diganggu sama lo kali,” cibir Arini menjulurkan sedikit lidah.
Brandon kembali memutar otak agar bisa memancing Arini mengatakan yang sebenarnya. Dengan tingkat kepintaran yang hanya sebatas rata-rata, ia tidak bisa mendapatkan ide. Artinya rencana pria itu bisa dikatakan gagal total.
“Arini, jangan tarik chat lagi. Fokus dengan solving-an tiket,” perintah Fahmi yang sedang menjaga channel chat hari ini.
“Iya, Bang.”
Bibir Brandon berkerut-kerut mendengar perkataan Fahmi barusan.
“Aku nggak disuruh berhenti juga ya, Bang?” goda salah satu agent chat perempuan.
“Kamu pulang masih lama. Tarik chat yang banyak,” balas Fahmi tertawa singkat.
“Huuu … pilih kasih. Sama Kak Arini aja baik banget,” komentar yang lainnya.
Telinga Brandon terasa panas mendengar gurauan yang dialamatkan oleh agent lain kepada Fahmi dan Arini. Ketika ingin mengajak Arini berbicara lagi, wanita itu malah meminta izin ke luar ruangan karena aux (sistem untuk menghitung waktu izin istirahat makan, short break, toilet dan salat) masih tersisa banyak.
“Izin habisin aux dulu, Bang,” ujar Arini sebelum menekan tombol ‘Aux’ di aplikasi.
“Oke. Lanjut.” Fahmi tersenyum manis kepala Arini.
Tanpa berbicara wanita itu bergerak meninggalkan tempat duduk. Sayang juga jika tidak dihabiskan, karena waktu yang tersisa masih banyak. Total waktu yang diberikan oleh perusahaan kepada masing-masing agent untuk beristirahat adalah 90 menit. Mereka harus bijak menggunakan waktu tersebut.
“Eh, Kak Arini itu janda ‘kan ya?” Tiba-tiba terdengar bisik tetangga dari belakang tempat duduk.
“Emang kalau janda kenapa?”
Suara ini cukup akrab di telinga Brandon. Pria itu menoleh sedikit dan mendapati seorang perempuan berambut ikal menatap seram di balik kacamata yang dikenakan. Dia tahu kalau orang itu adalah Siti, teman satu kos Arini.
“Ya aneh aja sih. Udah sok deketin Kak Brandon, sekarang mau deket-deket sama Bang Fahmi.” Kali ini suara pertama yang menanggapi lagi.
Mereka berbicara seperti itu tanpa sadar ada Brandon duduk di belakang. Pria itu berusaha menahan diri untuk tidak berkomentar. Dia ingin tahu orang seperti apa yang menjadi teman satu kos Arini.
“Nggak ada yang aneh kok. Kak Arini itu cantik, jadi wajar deket sama dua cowok cakep seantero TravelAnda. Jangan syirik deh!” tanggap Siti ketus.
Beberapa agent terus berkomentar karena mulai gabut. Ketika incoming chat tidak banyak, para agent hanya menangani dua sampai tiga chat bersamaan, sehingga mereka memiliki waktu untuk bergibah. Berbeda ketika chat masuk naik seperti tadi siang. Jangankan berbicara, untuk mengisi ulang botol minum saja sulit.
“Tapi menurutku sih, lebih baik Kak Arini sama Bang Fahmi daripada Bang Brandon.” Suara lain menimpali. “Bang Fahmi orangnya baik, dewasa dan nggak pernah aneh-aneh. Sedangkan Bang Brandon tahu sendiri gimana?”
Suara sumbang kembali bergumam mengiyakan pendapat agent perempuan yang entah siapa ini, karena Brandon masih membelakangi kubikel yang mereka tempati. Pria itu hanya bisa menggertakkan gigi mendengar apa yang didengarkan barusan. Dia mulai berpikir, apakah itu sebabnya Arini tidak mau menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat?
Lo pasti nggak mau punya suami kayak gue ‘kan, In? Apalagi masa lalu gue buruk banget. Image gue nggak sebagus Fahmi di sini, batin Brandon terdengar menyedihkan.
Pandangan Brandon beralih kepada Fahmi yang serius menatap laptop. Selama satu tahun lebih bekerja di sini, ia mengenal bagaimana kebiasaan pria yang kini menjabat sebagai Team Leader.
Seperti yang dikatakan agent barusan, Fahmi memang tidak pernah aneh-aneh. Menggoda agent wanita saja selama ini tidak pernah. Ketika tiba waktu salat, ia akan segera beribadah. Prestasi di kantor juga bagus. Buktinya bekerja selama enam bulan sebagai agent, Fahmi berhasil naik jabatan menjadi Team Leader.
Brandon mendesah pelan ketika sadar dirinya tidak ada apa-apa dibandingkan dengan Fahmi. Pria itu memutar tubuh sedikit, sehingga bisa melihat siapa saja yang menggibahkan sahabatnya barusan.
“Kalian dengar baik-baik.” Perkataan Brandon membuat beberapa agent perempuan itu langsung mengalihkan perhatian. Mereka terkejut karena baru sadar orang yang dibicarakan ternyata ada di belakang.
“Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!” tegas Brandon dengan tatapan intimidasi.
“Sekali lagi kalian bergunjing seperti ini tentang Arini, harus berhadapan sama gue!” sambungnya kemudian.
Tidak ada yang berani berkomentar jika Brandon sudah berbicara. Semua diam seperti ada lem di bibir masing-masing. Hanya Siti yang berani bersuara.
“Rasain, makanya jadi orang jangan julid,” celetuknya kesal.
Ketika memutar balik tubuh menghadap laptop, Brandon terkejut melihat keberadaan Arini yang sudah berdiri di sampingnya. Wanita itu menatap datar sebentar, sebelum duduk lagi di kursi.
“Ti-tiket solve lo udah selesai semua, In?” gagap Brandon tahu arti tatapan Arini.
“Hmmm,” gumam wanita itu singkat.
Arini langsung mengganti status aux, kemudian log-out dari semua aplikasi yang digunakan saat bekerja, karena sudah waktunya pulang.
“Pulang sekarang Arini?” Fahmi tiba-tiba telah berdiri di samping Arini.
Wanita itu tersenyum singkat sebelum mengangguk. “Iya, Bang.”
Setelah mengunci layar monitor, Arini segera berdiri. Dia menoleh sebentar ke arah Brandon. “Gue pulang dulu, Bran,” pamitnya singkat.
Brandon mengangguk dengan seulas senyum paksa. “Hati-hati ya.”
Tilikan netra hitamnya beralih ke arah Fahmi. “Tolong jaga Iin baik-baik ya, Bang,” pintanya nyaris tercekat.
Dia hanya merelakan Arini berjalan meninggalkan floor bersama Fahmi. Walau hati meronta, Brandon tidak bisa berbuat apa-apa. Yang diinginkannya sekarang adalah kebahagiaan sahabat yang sangat disayangi.
Mungkin Fahmi adalah orang yang tepat buat lo, In. Maaf kalau gue sempat kepedean waktu minta lo buat upgrade hubungan, lirih Brandon di dalam hati.
Bersambung....
Arini“Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!”Kalimat yang diucapkan Brandon ketika tiba di area kubikel kembali berputar di ingatan Arini. Entah berapa kali diulang bagai kaset kusut sejak ia meninggalkan lantai tujuh beberapa menit lalu.Kenapa, Rin? Ada yang salah? Kok lo kayaknya terganggu sama perkataan Brandon tadi? Bukannya kalian emang hanya sebatas sahabat? protes batinnya menyadarkan.“Faktanya emang gitu, ‘kan?” gumamnya tanpa sadar.“Fakta apa, Rin?” tanya pemilik suara bas yang kini berjalan di sampingnya.Pandangan yang hanya menatap lantai gedung B1 kini berpindah ke kanan. “Eh?”“Kamu lagi pikirkan apa?” Fahmi menghentikan langkah sebelum mendorong jeruji putar berwarna hitam, agar bisa keluar dari gedung.Kepala yang dihiasi rambut panjang diikat ke atas itu menggeleng pelan. Arini tersenyum aneh seraya menggoyangkan kedua tangan.“Nggak ada apa-apa kok, Bang,” sahutnya lalu memegang tali tas ransel yang menggant
Brandon“Pulang sekarang, Bran?” tanya pria berkepala plontos ketika melihat Brandon mengambil botol minum.Hanya botol minum yang boleh dibawa ke dalam ruangan. Perusahaan melarang para agent membawa ponsel, dompet dan benda lain. Dikhawatirkan data pelanggan bisa bocor dan disalahgunakan oleh mereka.“Iya, Bang,” jawabnya singkat, “duluan ya.”Brandon langsung meninggalkan ruangan tepat satu menit menjelang pukul 21.00. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju loker. Dengan sigap ia mengambil tas, lalu menutupnya lagi. Pikiran yang tidak tenang sejak tadi menuntun pria itu bergerak ke basemen parkiran.Ketika berada di dalam lift, pandangan netra sayu Bran menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang chat dengan Arini. Pesan yang dikirim satu jam lalu belum dibalas olehnya. Brandon membuang napas singkat memikirkan alasan pesannya belum dibalas oleh wanita itu.“Apa masih sama Fahmi ya?” duganya memejamkan mata.Begitu pintu lift terbuka, Bran bergegas menuju sepeda motor yang selalu m
AriniMata cokelat lebar Arini membulat sempurna mendengar syarat yang diajukan Brandon. Ini sungguh gila! Bagaimana bisa ia melakukan kencan ganda, apalagi melibatkan Fahmi? Astaga, darah seakan naik ke kepala yang dihiasi rambut hitam panjang itu sekarang. Embusan napas keras ditiupkan ke atas, sehingga poni yang menutupi kening terangkat ke atas.“Nggak mau! Nggak akan pernah!” cetus Arini menggeleng tegas.“Kalau gitu gue juga nggak akan pernah temui cewek-cewek yang disodorin Nyokap,” balas Brandon melipat tangan di depan dada berlagak cuek.“Bran!” protes Arini dengan mata sedikit mengecil.Brandon berdiri lalu melangkah menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Perut yang lapar, tidak mengizinkannya untuk berdebat dengan Arini sekarang. Tiba di tempat duduk, pria itu mulai mencampurkan nasi dan ayam goreng yang sudah diolesi saus.Arini ingin mencecar dengan kata-kata, tapi tidak jadi. Dia bisa melihat sahabatnya sedang kelaparan. Kasihan juga jika diomeli, bisa tersedak atau
AriniBunyi dering ponsel membangunkan Arini yang sedang tidur lelap. Tangan perlahan meraba bagian samping bantal mencari keberadaan gadget pipih tersebut. Kelopak mata cokelat miliknya terbuka sedikit ketika melihat siapa yang menelepon sepagi ini.“Tante Lisa!” sentaknya membuat kelopak langsung terangkat sempurna.Wanita itu berdeham berkali-kali sebelum menggeser tombol hijau ke atas. “Halo, Tan,” sapanya setelah yakin suara terdengar normal.“Rin. Maaf telepon kamu pagi-pagi,” sahut Lisa terdengar gelisah di seberang sana.“Nggak apa-apa, Tan. Aku juga udah bangun,” balas Arini setengah berbohong. Gengsi jika wanita paruh baya itu tahu kalau dirinya masih tidur pukul 06.00.“Tante boleh minta tolong tidak?”“Iya, Tan. Ada yang bisa aku bantu?”“Brandon tadi telepon Tante, katanya tidak bisa datang hari ini. Lagi demam. Kamu bisa ke apartemennya, Rin? Tante khawatir kenapa-napa.” Lisa mengutarakan maksud dan tujuan menelepon Arini sepagi ini.“Tante lagi di Bandung temani Om, bar
Arini tersentak sehingga tubuhnya mundur ke belakang. Tatapan mata cokelat itu kembali tertumpu dengan netra sayu Brandon. Mereka berbagi pandang dalam waktu yang lama. Suasana ini membuat keduanya bingung. Mendadak aneh.“Gue … mau bikin sarapan dulu. Lo pasti belum makan dari tadi.”Lagi-lagi Brandon menahan tangan Arini. Dia menggeleng pelan. “Bentar lagi Bi Ijah datang bawain makanan.”Wanita itu mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk mengurangi rasa gugup. Bingung juga mencari cara untuk mengatasi rasa canggung ini.“In. Gue kedinginan. Bisa tolong ambil selimut di kamar nggak?” pinta Brandon saat badan mulai menggigil.Air muka Arini langsung berganti cemas. Tangannya bergerak meraba kening, pipi hingga leher Brandon.“Ya ampun, panas lo naik lagi, Bran. Beneran udah minum obat?” selidik Arini curiga.Brandon tidak menjawab karena tubuh bergetar bersamaan dengan bibir yang bergerak cepat.“Mending ke kamar aja deh, Bran. Masih kuat ‘kan?”Pria itu mengedipkan mata pelan pert
“Gue kabari Bang Fahmi dulu kalau nggak jadi pergi. Kasihan nanti tungguin,” cetus Arini menarik tangannya.Usaha yang dilakukan gagal, karena pegangan Brandon begitu erat. “Lo perhatian banget sama Fahmi. Gue lagi sakit lo marahin,” tudingnya dengan tampang seperti anak kecil.Arini menatap malas. “Kok gitu sih? Gue ‘kan lebih perhatian sama lo. Buktinya langsung datang pas tahu lo demam.”Wanita itu menarik napas panjang, kemudian melepaskan pegangan tangan Brandon. Dia merapikan lagi selimut agar tetap menghangatkan tubuh yang masih gemetar.“Sekarang lo tidur dulu. Gue mau kasih tahu Bang Fahmi.” Arini mengambil handuk kecil yang menempel di kening Brandon, lantas membasahkannya dengan air hangat. Dia meletakkan lagi kain tebal tersebut di kening pria itu sebelum berdiri.“Habis itu ke sini ya. Jangan tinggalin gue.” Brandon menggeleng pelan. “Nggak, lo sarapan dulu gih. Jangan sampai sakit juga gara-gara jagain gue.”Arini mengangguk seraya menegakkan tubuh. “Tidur ya, Bran. Isti
AriniBeberapa hari kemudianSepasang mata cokelat mengerjap perlahan saat mendengar ponsel berdering. Jemari panjang nan ramping kuning langsat bergerak mengambil ponsel di samping bantal. Kernyitan muncul di antara alis ketika pandangan terpaku ke layar gadget pipih tersebut.“Bran,” gumamnya berusaha menghalau kantuk yang masih terasa.“Tumben telepon pagi-pagi,” sapa Arini setelah menggeser tombol hijau.“Pengin denger suara lo pertama kali, In.” Suara serak Brandon sudah mewakili tanda ia baru saja bangun tidur.Kerutan di kening Arini semakin rapat. “Maksudnya.”“Ya, pengin suara lo yang pertama kali gue denger pas bangun tidur,” jelas Brandon diiringi tawa renyah, tapi terdengar malas khas orang bangun tidur.Arini berdecak seraya mengubah posisi tidur menjadi telentang. “Udah, ‘kan? Gue mau mandi dulu.”“Belum.”Kali ini wanita tersebut mendesah pelan. Andai sekarang ia menelepon pacar atau suaminya tentu ia akan senang mendengar kalimat yang dilontarkan Brandon. Namun, Arini
“Gue kangen ayam kecap buatan lo, In.”Itulah yang dikatakan Brandon agar Arini setuju pulang dengannya. Sumpah demi apapun, ia terganggu dengan kehadiran Fahmi di sisi sahabatnya. Jika sebelumnya Bran semangat menjodohkan pria itu dengan Iin, tapi sekarang berbeda. Dia benar-benar tidak mau melihatnya lagi di dekat wanita itu.Arini tetaplah sama dengan sebelumnya, yang menjadikan Brandon sebagai prioritas utama. Sejak dulu, ia tidak bisa menolak jika Bran sudah meminta sesuatu. Begitu kuat ikatan persahabatan yang terjadi di antara mereka.“Maaf, Bang. Kita ngobrolnya lain kali ya?” ucap Arini merasa bersalah kepada Fahmi, sebelum mereka pergi dari restoran. Dia bisa melihat kekecewaan yang tergambar di wajah pria itu.Namun, Fahmi mengerti kenapa Arini memilih pulang bersama dengan Brandon dibandingkan dengannya. Dia lebih dewasa dari sepasang sahabat tersebut, sudah seharusnya mampu berpikir dengan jernih. Mereka sudah bersahabat sejak lama, sementara ia hanya pendatang dan tidak