Share

BAB 4: Minder (Rendah Diri)

Brandon

Alih-alih menanyakan tentang kedekatan Arini dan Fahmi, Brandon memilih diam. Dia yakin sahabatnya pasti akan bercerita jika memang ada sesuatu di antara mereka.

Begitu mulai bekerja, Brandon memutuskan fokus menangani keluhan pelanggan terlebih dahulu. Dia tidak berbincang dengan Arini, karena khawatir jika nanti melakukan kesalahan dalam memberikan solusi atas masalah yang dihadapi pelanggan.

Bekerja di bidang contact center benar-benar membutuhkan fokus maksimal. Harus mampu menganalisa kendala yang alami pelanggan, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat. Salah sedikit saja, kerugian bisa terjadi. Alhasil gaji yang diterima per bulan harus dipotong untuk mengganti kerugian materi yang disebabkan kelalaian.

Apalagi Brandon dan Arini bekerja di channel chat. Dalam satu kali waktu harus menangani lima pelanggan dengan lima keluhan berbeda juga. Terkadang sering lupa dengan kendala yang ditanyakan. Mereka musti membaca ulang lagi chat sebelumnya, agar ingat masalah yang dihadapi pelanggan.

“Hari ini kebanyakan kendala pembayaran ya,” desis Arini seraya menekuk pelan jari-jari yang mulai lelah mengetik di atas keyboard laptop.

“Iya nih. Apalagi BRI lagi routing off (kendala pembayaran dikarenakan sistem bank),” sahut Brandon tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Pria itu membaca confluence (semacam wikipedia untuk product knowledge) untuk mencari penanganan kendala.

“Kalau metode pembayarannya BRI langsung eskalasi aja ke tier dua, biar cepet selesai,” saran Brandon melirik sebentar.

Dia bersiap menyalin kalimat cara pemesanan voucher hotel di kolom balasan chat yang ada di aplikasi Zopim (aplikasi yang digunakan oleh customer service chat untuk membalas keluhan pelanggan). Setelahnya, Brandon menekan enter.

Semua agent bisa mengembuskan napas lega menjelang pukul 18.00. Biasanya jam segini incoming chat (sebutan untuk chat masuk) menurun drastis. Sekaranglah saatnya mereka bisa bersantai dan memiliki kesempatan untuk berbincang. Apalagi level supervisor dan manajer operasional (OM) sudah pulang.

Brandon menoleh sebentar ke arah Fahmi berada. Pria itu duduk di bagian ujung kubikel yang mereka tempati sekarang. Sejak tadi, mata sipit Fahmi sering melihat Arini. Pandangan netra sayu itu bergerak ke samping kiri. Arini masih fokus mengerjakan solving tiket (mengubah status summary chat menjadi diselesaikan), karena sebentar lagi pulang.

“In, Fahmi dari tadi lihatin lo tuh,” pancing Brandon berbisik di samping telinga Arini. Dia tidak bisa menahan diri untuk berkata.

Arini menghentikan aktivitas, kemudian melirik ke ujung kanan kubikel. “Lagi kerja tuh,” sahutnya cuek saat tidak mendapati Fahmi melihat ke arahnya.

“Sekarang iya, tadi lihatin lo.”

“Cuma buat pastikan gue nggak diganggu sama lo kali,” cibir Arini menjulurkan sedikit lidah.

Brandon kembali memutar otak agar bisa memancing Arini mengatakan yang sebenarnya. Dengan tingkat kepintaran yang hanya sebatas rata-rata, ia tidak bisa mendapatkan ide. Artinya rencana pria itu bisa dikatakan gagal total.

“Arini, jangan tarik chat lagi. Fokus dengan solving-an tiket,” perintah Fahmi yang sedang menjaga channel chat hari ini.

“Iya, Bang.”

Bibir Brandon berkerut-kerut mendengar perkataan Fahmi barusan.

“Aku nggak disuruh berhenti juga ya, Bang?” goda salah satu agent chat perempuan.

“Kamu pulang masih lama. Tarik chat yang banyak,” balas Fahmi tertawa singkat.

“Huuu … pilih kasih. Sama Kak Arini aja baik banget,” komentar yang lainnya.

Telinga Brandon terasa panas mendengar gurauan yang dialamatkan oleh agent lain kepada Fahmi dan Arini. Ketika ingin mengajak Arini berbicara lagi, wanita itu malah meminta izin ke luar ruangan karena aux (sistem untuk menghitung waktu izin istirahat makan, short break, toilet dan salat) masih tersisa banyak.

“Izin habisin aux dulu, Bang,” ujar Arini sebelum menekan tombol ‘Aux’ di aplikasi.

“Oke. Lanjut.” Fahmi tersenyum manis kepala Arini.

Tanpa berbicara wanita itu bergerak meninggalkan tempat duduk. Sayang juga jika tidak dihabiskan, karena waktu yang tersisa masih banyak. Total waktu yang diberikan oleh perusahaan kepada masing-masing agent untuk beristirahat adalah 90 menit. Mereka harus bijak menggunakan waktu tersebut.

“Eh, Kak Arini itu janda ‘kan ya?” Tiba-tiba terdengar bisik tetangga dari belakang tempat duduk.

“Emang kalau janda kenapa?”

Suara ini cukup akrab di telinga Brandon. Pria itu menoleh sedikit dan mendapati seorang perempuan berambut ikal menatap seram di balik kacamata yang dikenakan. Dia tahu kalau orang itu adalah Siti, teman satu kos Arini.

“Ya aneh aja sih. Udah sok deketin Kak Brandon, sekarang mau deket-deket sama Bang Fahmi.” Kali ini suara pertama yang menanggapi lagi.

Mereka berbicara seperti itu tanpa sadar ada Brandon duduk di belakang. Pria itu berusaha menahan diri untuk tidak berkomentar. Dia ingin tahu orang seperti apa yang menjadi teman satu kos Arini.

“Nggak ada yang aneh kok. Kak Arini itu cantik, jadi wajar deket sama dua cowok cakep seantero TravelAnda. Jangan syirik deh!” tanggap Siti ketus.

Beberapa agent terus berkomentar karena mulai gabut. Ketika incoming chat tidak banyak, para agent hanya menangani dua sampai tiga chat bersamaan, sehingga mereka memiliki waktu untuk bergibah. Berbeda ketika chat masuk naik seperti tadi siang. Jangankan berbicara, untuk mengisi ulang botol minum saja sulit.

“Tapi menurutku sih, lebih baik Kak Arini sama Bang Fahmi daripada Bang Brandon.” Suara lain menimpali. “Bang Fahmi orangnya baik, dewasa dan nggak pernah aneh-aneh. Sedangkan Bang Brandon tahu sendiri gimana?”

Suara sumbang kembali bergumam mengiyakan pendapat agent perempuan yang entah siapa ini, karena Brandon masih membelakangi kubikel yang mereka tempati. Pria itu hanya bisa menggertakkan gigi mendengar apa yang didengarkan barusan. Dia mulai berpikir, apakah itu sebabnya Arini tidak mau menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat?

Lo pasti nggak mau punya suami kayak gue ‘kan, In? Apalagi masa lalu gue buruk banget. Image gue nggak sebagus Fahmi di sini, batin Brandon terdengar menyedihkan.

Pandangan Brandon beralih kepada Fahmi yang serius menatap laptop. Selama satu tahun lebih bekerja di sini, ia mengenal bagaimana kebiasaan pria yang kini menjabat sebagai Team Leader.

Seperti yang dikatakan agent barusan, Fahmi memang tidak pernah aneh-aneh. Menggoda agent wanita saja selama ini tidak pernah. Ketika tiba waktu salat, ia akan segera beribadah. Prestasi di kantor juga bagus. Buktinya bekerja selama enam bulan sebagai agent, Fahmi berhasil naik jabatan menjadi Team Leader.

Brandon mendesah pelan ketika sadar dirinya tidak ada apa-apa dibandingkan dengan Fahmi. Pria itu memutar tubuh sedikit, sehingga bisa melihat siapa saja yang menggibahkan sahabatnya barusan.

“Kalian dengar baik-baik.” Perkataan Brandon membuat beberapa agent perempuan itu langsung mengalihkan perhatian. Mereka terkejut karena baru sadar orang yang dibicarakan ternyata ada di belakang.

“Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!” tegas Brandon dengan tatapan intimidasi.

“Sekali lagi kalian bergunjing seperti ini  tentang Arini, harus berhadapan sama gue!” sambungnya kemudian.

Tidak ada yang berani berkomentar jika Brandon sudah berbicara. Semua diam seperti ada lem di bibir masing-masing. Hanya Siti yang berani bersuara.

“Rasain, makanya jadi orang jangan julid,” celetuknya kesal.

Ketika memutar balik tubuh menghadap laptop, Brandon terkejut melihat keberadaan Arini yang sudah berdiri di sampingnya. Wanita itu menatap datar sebentar, sebelum duduk lagi di kursi.

“Ti-tiket solve lo udah selesai semua, In?” gagap Brandon tahu arti tatapan Arini.

“Hmmm,” gumam wanita itu singkat.

Arini langsung mengganti status aux, kemudian log-out dari semua aplikasi yang digunakan saat bekerja, karena sudah waktunya pulang.

“Pulang sekarang Arini?” Fahmi tiba-tiba telah berdiri di samping Arini.

Wanita itu tersenyum singkat sebelum mengangguk. “Iya, Bang.”

Setelah mengunci layar monitor, Arini segera berdiri. Dia menoleh sebentar ke arah Brandon. “Gue pulang dulu, Bran,” pamitnya singkat.

Brandon mengangguk dengan seulas senyum paksa. “Hati-hati ya.”

Tilikan netra hitamnya beralih ke arah Fahmi. “Tolong jaga Iin baik-baik ya, Bang,” pintanya nyaris tercekat.

Dia hanya merelakan Arini berjalan meninggalkan floor bersama Fahmi. Walau hati meronta, Brandon tidak bisa berbuat apa-apa. Yang diinginkannya sekarang adalah kebahagiaan sahabat yang sangat disayangi.

Mungkin Fahmi adalah orang yang tepat buat lo, In. Maaf kalau gue sempat kepedean waktu minta lo buat upgrade hubungan, lirih Brandon di dalam hati.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status