Arini
Senyum indah merekah di paras tirus seorang wanita yang sedang berdiri di depan gedung berwarna biru. Kepala menengadah ke atas ketika tarikan napas panjang terdengar dari sela hidung mancungnya. Sepasang lubang tampak menghiasi kedua belah pipi.
Hari ini ia kembali bekerja seperti biasa, setelah libur dua hari. Menghabiskan liburan bersama dengan Lisa dan Brandon mampu mengangkat beban di pundaknya. Sekarang, kaki yang dihiasi sepatu kets adidas KW itu bisa melangkah ringan.
Ponsel yang bergetar di saku celana jeans menyentakkan lamunan. Tangan ramping berwarna kuning langsat itu merogoh saku, lalu mengeluarkan gadget pipih dari sana. Lagi-lagi kedua lesung pipi muncul ketika bibir mungil Arini tertarik ke samping.
Brandon: Hari ini masuk jam 10 ‘kan, In? Tolong take tempat buat gue di sebelah lo sebelum sif 12. :*
Arini tergelak singkat melihat emoticon cium yang ada di pesan Brandon barusan. Decakan pelan keluar dari sela bibir saat kepala bergerak ke kiri dan kanan, sehingga rambut panjang yang dikuncir itu ikut bergoyang.
Me: Iya bawel. Dari tadi udah berapa kali lo suruh gue take tempat duduk. -_-
Wanita itu bergerak menuju dalam gedung tanpa melihat lagi aplikasi W******p. Arini memasang ID card perusahaan di leher, lalu melepaskan tas ransel dari pundak ketika hampir mencapai gate masuk di dekat resepsionis gedung. Sebelum melewati gerbang tersebut, ia harus meletakkan seluruh barang bawaan termasuk ponsel di atas kotak plastik yang telah disediakan untuk diperiksa.
Bekerja di gedung yang sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat, membuat seluruh karyawan perusahaan yang ada di sini harus melewati pemeriksaan super ketat, sebelum memasuki area lift. Termasuk kantor Business Process Outsourcing (BPO) tempat Arini dan Brandon bekerja sekarang.
“Selamat pagi, Mbak,” sapa pria berusia empat puluhan sebelum Arini melewati area scanner.
“Pagi, Pak,” balas Arini tersenyum ramah ketika meletakkan tas ke atas baki khusus.
“Masuk jam 10 ya, Mbak?” tebak penjaga yang merupakan petugas keamanan Kedutaan Besar.
“Iya, Pak.” Arini kembali mengambil tas dan ponsel yang telah selesai diperiksa melalui X-Ray. “Permisi dulu, Pak.”
Setelahnya wanita itu bergerak menuju area lift. Arini memilih berdiri di depan lift sebelah kiri, karena sedang berada di basemen. Sembari menunggu, ia membuka lagi aplikasi chat yang digandrungi oleh pengguna gadget zaman sekarang.
Brandon: Habis gue masih kangen sama lo, In. Serius!
Brandon: Lo kapan libur lagi? Kita jalan-jalan yuk! Ke Ancol lagi kayak biasa.
Arini geleng-geleng kepala membaca pesan dari Brandon. Baru saja menghabiskan waktu bersama, sekarang pria itu masih saja rindu dengannya. Dalam hati, ia juga merasakan hal yang sama. Ah, andai saja masih lajang alias belum pernah menikah, ia dengan senang hati menerima tawaran pria itu untuk upgrade level hubungan.
Pandangan Arini tertuju kepada pintu lift ketika mendengar bunyi dentingan sekali. Tak lama kotak besi itu ternganga, mengizinkan tiga orang yang menanti kedatangannya untuk masuk. Mata cokelat lebar wanita itu kembali berpindah menatap layar handphone.
Me: Kalau nggak salah masih lama deh off, Bran.
Me: Nanti deh gue lihat jadwal lagi.
Pesan yang dikirimkan Arini belum sampai ke ponsel Brandon, karena terhalang sinyal yang tidak mampir di dalam lift. Alhasil wanita itu harus menunggu kotak besi itu tiba di lantai tujuh, ruang kerja bagian Customer Service proyek TravelAnda berada.
Arini kembali mengantongi ponsel ketika tiba di depan mesin finger print, agar bisa absen terlebih dahulu. Setelahnya, ia kembali mengayunkan kaki menuju ruangan loker penyimpan barang. Tiba di depan loker bernomor 405, Arini memasukkan tas ransel di sana. Karena masih tiga puluh menit lagi sebelum waktu bekerja, ia ingin menghabiskan waktu dengan membalas pesan tidak penting dari Brandon.
Brandon: Upgrade yuk, In.
Bola mata Arini berputar malas membaca kata upgrade lagi.
Me: Mau ya ketemuan sama cewek itu.
Arini memilih duduk di lantai samping loker yang beralaskan karpet berwarna abu-abu. Tatapannya tidak lepas dari layar tampilan ruang chat dengan Brandon. Tidak ada tanda-tanda pria itu membalas pesannya, padahal sudah dibaca.
“Apaan nih? Ngambek?” gumam Arini dengan kening berkerut.
Pandangan netra cokelat itu naik ketika melihat dua pasang kaki perempuan berdiri tepat di depannya. Kening yang sejak tadi berkerut semakin mengernyit menyaksikan raut wajah yang ditunjukkan oleh mereka.
“Kamu anak yang baru kerja beberapa bulan di sini ya?” tanya perempuan berpenampilan modis.
Pakaian yang dikenakan sangat tidak cocok untuk ke kantor outsourcing. Baju kemeja abu-abu ketat, rok pendek di atas lutut dan sepasang sepatu boot menghias kedua tungkainya. Sepasang mata menggunakan softlens abu-abu menatap lebar, membuat bulu mata palsu mencapai bagian atas pelipis.
“Iya, emang kenapa ya?” Arini balik bertanya dengan tatapan dingin. Jika dulu waktu SMA ia sempat takut mendapat intimidasi seperti ini, tapi tidak lagi sekarang.
“Apa hubungan kamu sama Bang Brandon?” Perempuan satu lagi mengajukan pertanyaan.
“Ada perlu apa ya tanya-tanya hubunganku dengan Bran?”
Agent (sebutan untuk karyawan yang bekerja di proyek TravelAnda) wanita yang berpenampilan lebih modis berdecih.
“Jangan sok akrab deh, pakai panggil Bang Brandon dengan Bran,” tukasnya melebarkan mata.
Sebelah alis Arini naik ke atas, karena kesal mendengar perkataan anak kemarin sore berlagak superheroin ini. Ketika ingin berdiri, seseorang tiba-tiba datang.
“Memang gue dan Arini akrab. Ada masalah?” Terdengar suara bariton dari belakang, membuat kedua perempuan itu terperanjat.
“Bang Brandon,” seru mereka berdua serentak.
Arini membuang napas besar setelah berhasil berdiri dengan benar. Dia menatap malas Brandon sebelum berkata, “Urus nih fans lo, Bran. Gue malas berurusan sama fans garis keras lo lagi.”
“Udah bubar sana!” suruh Brandon dengan gerakan mengusir.
Bak ayam yang disuruh masuk lagi ke kandang, kedua perempuan itu langsung berputar balik memasuki floor (sebutan ruang kerja bagi karyawan proyek TravelAnda).
Arini menatap Brandon dengan kedua tangan saling berimpitan di depan dada. “Jadi lo udah di sini dari tadi?”
Brandon menggeleng. “Baru nyampe.”
Mata cokelat itu menyipit tak percaya. “Masa sih?”
“Serius, In. Gue chat lo tadi pas lagi di basemen.”
Wanita itu melangkah menuju loker untuk memasukkan ponsel. Dia tidak lagi membutuhkan benda itu sekarang, karena Brandon sudah ada di kantor.
“Jadi, mau ya?” bujuk Arini setelah mengunci lagi lokernya.
Brandon menggeleng tegas.
“Demi Tante Lisa, Bran.” Arini mengedipkan kedua matanya berkali-kali.
Pria itu menarik napas seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana jeans. Seringai menghias wajah yang dibingkai rahang tegas.
“Oke. Tapi ada satu syarat.”
Decakan keras meluncur dari sela bibir mungil Arini. “Syarat lagi?”
Jari telunjuknya bergerak tepat ke depan wajah Brandon. “Awas kalau ngomong kayak kemarin lagi,” ancamnya mendelik nyalang.
Brandon menggelengkan kepala, kemudian mendekatkan bibir ke telinga Arini berniat membisikkan sesuatu.
“Arini, kamu masuk jam 10 juga?” tanya pria yang memiliki suara bas.
Wanita itu memiringkan tubuh ke kanan, agar bisa melihat siapa yang mengajukan pertanyaan barusan. Seulas senyum langsung terbit di paras Arini membuat kedua lesung pipi tercetak jelas.
“Bang Fahmi masuk jam 10 juga ya?” Arini malah balik bertanya ketika melihat pria itu masih mengenakan tas ransel.
Fahmi adalah salah satu team leader yang bekerja untuk proyek TravelAnda. Arini berada di dalam timnya. Kebetulan pria itu juga tinggal tak jauh dari tempat kos Arini.
“Iya. Ini baru sampai,” balas pria bermata sipit yang memiliki tinggi lima centimeter di bawah Brandon.
Tilikan mata sayu hitam Brandon bergerak bergantian ke arah Arini dan Fahmi berada. Dia menatap curiga sahabatnya. Selama mengenal, wanita itu bukan tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain. Namun, apa yang dilihat sekarang sangat berbeda. Apalagi Arini sampai tersenyum semanis ini kepada Fahmi.
“Kalau begitu nanti pulang sama-sama lagi ya, Rin,” ujar Fahmi setelah memasukkan tas ke loker.
“Boleh, Bang,” sahut Arini mengangguk pelan.
Bibir Brandon berkerut-kerut menyaksikan keakraban yang terpampang nyata di depan mata.
“Pulang sama-sama lagi? Rin?” gumamnya super pelan di tengah kebingungan yang melanda.
Sejak kapan mereka akrab dan pulang sama-sama? Kok si Fahmi panggil Iin dengan nama kecilnya? racau bantin Brandon.
Bersambung....
BrandonAlih-alih menanyakan tentang kedekatan Arini dan Fahmi, Brandon memilih diam. Dia yakin sahabatnya pasti akan bercerita jika memang ada sesuatu di antara mereka.Begitu mulai bekerja, Brandon memutuskan fokus menangani keluhan pelanggan terlebih dahulu. Dia tidak berbincang dengan Arini, karena khawatir jika nanti melakukan kesalahan dalam memberikan solusi atas masalah yang dihadapi pelanggan.Bekerja di bidang contact center benar-benar membutuhkan fokus maksimal. Harus mampu menganalisa kendala yang alami pelanggan, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat. Salah sedikit saja, kerugian bisa terjadi. Alhasil gaji yang diterima per bulan harus dipotong untuk mengganti kerugian materi yang disebabkan kelalaian.Apalagi Brandon dan Arini bekerja di channel chat. Dalam satu kali waktu harus menangani lima pelanggan dengan lima keluhan berbeda juga. Terkadang sering lupa dengan kendala yang ditanyakan. Mereka musti membaca ulang lagi chat sebelumnya, agar ingat masalah yang dih
Arini“Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!”Kalimat yang diucapkan Brandon ketika tiba di area kubikel kembali berputar di ingatan Arini. Entah berapa kali diulang bagai kaset kusut sejak ia meninggalkan lantai tujuh beberapa menit lalu.Kenapa, Rin? Ada yang salah? Kok lo kayaknya terganggu sama perkataan Brandon tadi? Bukannya kalian emang hanya sebatas sahabat? protes batinnya menyadarkan.“Faktanya emang gitu, ‘kan?” gumamnya tanpa sadar.“Fakta apa, Rin?” tanya pemilik suara bas yang kini berjalan di sampingnya.Pandangan yang hanya menatap lantai gedung B1 kini berpindah ke kanan. “Eh?”“Kamu lagi pikirkan apa?” Fahmi menghentikan langkah sebelum mendorong jeruji putar berwarna hitam, agar bisa keluar dari gedung.Kepala yang dihiasi rambut panjang diikat ke atas itu menggeleng pelan. Arini tersenyum aneh seraya menggoyangkan kedua tangan.“Nggak ada apa-apa kok, Bang,” sahutnya lalu memegang tali tas ransel yang menggant
Brandon“Pulang sekarang, Bran?” tanya pria berkepala plontos ketika melihat Brandon mengambil botol minum.Hanya botol minum yang boleh dibawa ke dalam ruangan. Perusahaan melarang para agent membawa ponsel, dompet dan benda lain. Dikhawatirkan data pelanggan bisa bocor dan disalahgunakan oleh mereka.“Iya, Bang,” jawabnya singkat, “duluan ya.”Brandon langsung meninggalkan ruangan tepat satu menit menjelang pukul 21.00. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju loker. Dengan sigap ia mengambil tas, lalu menutupnya lagi. Pikiran yang tidak tenang sejak tadi menuntun pria itu bergerak ke basemen parkiran.Ketika berada di dalam lift, pandangan netra sayu Bran menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang chat dengan Arini. Pesan yang dikirim satu jam lalu belum dibalas olehnya. Brandon membuang napas singkat memikirkan alasan pesannya belum dibalas oleh wanita itu.“Apa masih sama Fahmi ya?” duganya memejamkan mata.Begitu pintu lift terbuka, Bran bergegas menuju sepeda motor yang selalu m
AriniMata cokelat lebar Arini membulat sempurna mendengar syarat yang diajukan Brandon. Ini sungguh gila! Bagaimana bisa ia melakukan kencan ganda, apalagi melibatkan Fahmi? Astaga, darah seakan naik ke kepala yang dihiasi rambut hitam panjang itu sekarang. Embusan napas keras ditiupkan ke atas, sehingga poni yang menutupi kening terangkat ke atas.“Nggak mau! Nggak akan pernah!” cetus Arini menggeleng tegas.“Kalau gitu gue juga nggak akan pernah temui cewek-cewek yang disodorin Nyokap,” balas Brandon melipat tangan di depan dada berlagak cuek.“Bran!” protes Arini dengan mata sedikit mengecil.Brandon berdiri lalu melangkah menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Perut yang lapar, tidak mengizinkannya untuk berdebat dengan Arini sekarang. Tiba di tempat duduk, pria itu mulai mencampurkan nasi dan ayam goreng yang sudah diolesi saus.Arini ingin mencecar dengan kata-kata, tapi tidak jadi. Dia bisa melihat sahabatnya sedang kelaparan. Kasihan juga jika diomeli, bisa tersedak atau
AriniBunyi dering ponsel membangunkan Arini yang sedang tidur lelap. Tangan perlahan meraba bagian samping bantal mencari keberadaan gadget pipih tersebut. Kelopak mata cokelat miliknya terbuka sedikit ketika melihat siapa yang menelepon sepagi ini.“Tante Lisa!” sentaknya membuat kelopak langsung terangkat sempurna.Wanita itu berdeham berkali-kali sebelum menggeser tombol hijau ke atas. “Halo, Tan,” sapanya setelah yakin suara terdengar normal.“Rin. Maaf telepon kamu pagi-pagi,” sahut Lisa terdengar gelisah di seberang sana.“Nggak apa-apa, Tan. Aku juga udah bangun,” balas Arini setengah berbohong. Gengsi jika wanita paruh baya itu tahu kalau dirinya masih tidur pukul 06.00.“Tante boleh minta tolong tidak?”“Iya, Tan. Ada yang bisa aku bantu?”“Brandon tadi telepon Tante, katanya tidak bisa datang hari ini. Lagi demam. Kamu bisa ke apartemennya, Rin? Tante khawatir kenapa-napa.” Lisa mengutarakan maksud dan tujuan menelepon Arini sepagi ini.“Tante lagi di Bandung temani Om, bar
Arini tersentak sehingga tubuhnya mundur ke belakang. Tatapan mata cokelat itu kembali tertumpu dengan netra sayu Brandon. Mereka berbagi pandang dalam waktu yang lama. Suasana ini membuat keduanya bingung. Mendadak aneh.“Gue … mau bikin sarapan dulu. Lo pasti belum makan dari tadi.”Lagi-lagi Brandon menahan tangan Arini. Dia menggeleng pelan. “Bentar lagi Bi Ijah datang bawain makanan.”Wanita itu mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk mengurangi rasa gugup. Bingung juga mencari cara untuk mengatasi rasa canggung ini.“In. Gue kedinginan. Bisa tolong ambil selimut di kamar nggak?” pinta Brandon saat badan mulai menggigil.Air muka Arini langsung berganti cemas. Tangannya bergerak meraba kening, pipi hingga leher Brandon.“Ya ampun, panas lo naik lagi, Bran. Beneran udah minum obat?” selidik Arini curiga.Brandon tidak menjawab karena tubuh bergetar bersamaan dengan bibir yang bergerak cepat.“Mending ke kamar aja deh, Bran. Masih kuat ‘kan?”Pria itu mengedipkan mata pelan pert
“Gue kabari Bang Fahmi dulu kalau nggak jadi pergi. Kasihan nanti tungguin,” cetus Arini menarik tangannya.Usaha yang dilakukan gagal, karena pegangan Brandon begitu erat. “Lo perhatian banget sama Fahmi. Gue lagi sakit lo marahin,” tudingnya dengan tampang seperti anak kecil.Arini menatap malas. “Kok gitu sih? Gue ‘kan lebih perhatian sama lo. Buktinya langsung datang pas tahu lo demam.”Wanita itu menarik napas panjang, kemudian melepaskan pegangan tangan Brandon. Dia merapikan lagi selimut agar tetap menghangatkan tubuh yang masih gemetar.“Sekarang lo tidur dulu. Gue mau kasih tahu Bang Fahmi.” Arini mengambil handuk kecil yang menempel di kening Brandon, lantas membasahkannya dengan air hangat. Dia meletakkan lagi kain tebal tersebut di kening pria itu sebelum berdiri.“Habis itu ke sini ya. Jangan tinggalin gue.” Brandon menggeleng pelan. “Nggak, lo sarapan dulu gih. Jangan sampai sakit juga gara-gara jagain gue.”Arini mengangguk seraya menegakkan tubuh. “Tidur ya, Bran. Isti
AriniBeberapa hari kemudianSepasang mata cokelat mengerjap perlahan saat mendengar ponsel berdering. Jemari panjang nan ramping kuning langsat bergerak mengambil ponsel di samping bantal. Kernyitan muncul di antara alis ketika pandangan terpaku ke layar gadget pipih tersebut.“Bran,” gumamnya berusaha menghalau kantuk yang masih terasa.“Tumben telepon pagi-pagi,” sapa Arini setelah menggeser tombol hijau.“Pengin denger suara lo pertama kali, In.” Suara serak Brandon sudah mewakili tanda ia baru saja bangun tidur.Kerutan di kening Arini semakin rapat. “Maksudnya.”“Ya, pengin suara lo yang pertama kali gue denger pas bangun tidur,” jelas Brandon diiringi tawa renyah, tapi terdengar malas khas orang bangun tidur.Arini berdecak seraya mengubah posisi tidur menjadi telentang. “Udah, ‘kan? Gue mau mandi dulu.”“Belum.”Kali ini wanita tersebut mendesah pelan. Andai sekarang ia menelepon pacar atau suaminya tentu ia akan senang mendengar kalimat yang dilontarkan Brandon. Namun, Arini
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan