Share

Just For Fun, Gak Boleh Baper! (Trilogi Just, Seri-2)
Just For Fun, Gak Boleh Baper! (Trilogi Just, Seri-2)
Penulis: LeeNaGie

BAB 1: Hal yang Mustahil

Seorang wanita berjalan pelan dengan tangan terulur ke depan. Kening berkerut di wajah tirusnya ketika kaki melangkah maju perlahan. Mata yang ditutup kain berwarna hitam sudah jelas tidak bisa melihat apa yang akan ditempuh. Berkat pegangan dari pria yang berada di belakang, ia berhasil memasuki ruang tamu vila yang berukuran besar.

“Apaan sih, Bran? Mata gue kok pakai ditutup segala?” desisnya di tengah kebingungan.

“Lihat aja nanti. Lo pasti senang bukan main begitu lihat kejutan yang ada di dalam,” bisik Brandon memegang bahu wanita itu.

Decakan pelan keluar dari sela bibir mungil berwarna kemerahan milik Arini. Dia terpaksa harus menahan diri, agar tahu kejutan apa yang disediakan oleh Brandon, laki-laki yang telah menjadi sahabatnya sejak sebelas tahun belakangan.

Dua tahun berpisah dari sahabat tersayang membuat hari yang dilewati Arini menjadi kelabu. Tidak ada lagi canda dan tawa yang menemani keseharian seperti sebelumnya. Kegagalan pernikahan membuat wanita cantik itu menjadi semakin terpuruk.

Ya, Arini adalah seorang janda tanpa anak. Dia berpisah setelah dua tahun menikah, karena mantan suaminya seorang gay. Setelah bercerai, ia memutuskan kembali ke Jakarta untuk bekerja.

Tidak disangka, ia bertemu lagi dengan Brandon. Lelaki yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Sahabat yang setia berbagi kebahagiaan dan kesedihan. Tuhan Maha Baik, kedua sahabat yang terpisah lama ini dipertemukan kembali di perusahaan yang sama.

Saat ini Brandon membawa Arini berlibur ke vila yang dimiliki keluarganya, untuk merayakan kembali pertemuan mereka setelah dua tahun berpisah. Ada kejutan yang telah dipersiapkan oleh pria itu di dalam.

“Udah boleh buka nggak nih?” tanya Arini tidak sabar. Dia menggigit bibir bawah saking penasaran.

“Boleh nggak ya?” goda Brandon sebelum menarik tali pengikat yang menutup mata.

“Bran?” protes Arini dengan wajah mengerucut. Tangan kanan bersiap mencari keberadaan pinggang Brandon yang kerap menjadi sasaran jurus semut apinya.

“Sabar, ini gue lagi buka ikatnya,” ujar pria bermata sayu tersebut tersenyum lebar.

Dalam hitungan detik kain hitam yang menutup mata Arini terlepas. Sepasang manik cokelat lebar mulai mengerjap, berusaha menjernihkan penglihatan. Samar tampak wanita paruh baya berambut pendek sedang berdiri dua meter darinya.

“Tante Lisa!!” pekik Arini nyaris histeris ketika melihat sosok yang dikenalnya dengan jelas.

Tanpa dikomando lagi kaki ramping yang ditutupi celana jeans itu langsung bergerak maju. Tak lupa kedua tangan terulur ke depan bersiap memeluk wanita cantik nan bersahaja tersebut.

“Arini. Akhirnya kita bertemu lagi, Nak,” sambut Lisa tak kuasa menahan haru sembari memeluk erat tubuh ramping Arini.

Sama halnya dengan Brandon, wanita paruh baya itu juga tidak bertemu dengan Arini selama dua tahun. Pertemuan terakhir mereka adalah pada hari pernikahan Arini di kota Bukittinggi, daerah asal kedua orang tuanya.

“Iya, Tan. Aku kangen banget,” ucap Arini dengan mata berkaca-kaca.

“Tante juga, Sayang.” Lisa menatap lamat-lamat paras Arini yang tampak lebih kurus dari sebelumnya. Pandangan mata hitam itu turun ke bawah.

“Kenapa kamu kurus sekali sekarang, Rin?” komentar Lisa prihatin dengan kondisi sahabat sang Putra yang telah dianggap seperti anak sendiri. Selama mengenal Arini sebelas tahun, baru sekarang ia melihatnya begitu kurus.

Senyum kecut terulas di paras Arini mendengar perkataan Lisa. Ya, dia kehilangan banyak berat badan setelah menikah dengan orang yang salah. Peliknya proses sidang perceraian membuat tubuhnya semakin menyusut.

“Dulu kamu tidak begini,” sambung Lisa membelai lembut pipi tirus Arini.

“Udah, nanti aja bahasnya. Sekarang duduk dulu. Kita butuh sofa nih, Ma. Bayangin dari Jakarta ke sini naik motor,” sela Brandon merangkul kedua bahu wanita yang sangat berharga dalam hidupnya.

Pria itu tahu Arini masih belum mau bercerita tentang perceraian yang baru terjadi hampir satu tahun lalu. Brandon memahami sahabatnya, sehingga tidak ingin mendesak agar mengatakan penyebab kegagalan rumah tangga, yang baru dibina selama dua tahun.

Lisa tidak melayangkan protes apa-apa, sehingga menurut saja ketika Brandon menggiring mereka menuju sofa. Setelah duduk, pandangannya masih belum lepas dari wajah Arini yang mendadak sendu. Tangan yang mulai dihiasi kerutan itu bergerak meraih jemari panjang dan lentik milik Arini.

“Apapun yang terjadi, kamu berhak bahagia, Rin.” Tilikan mata hitam Lisa pindah kepada Brandon. “Tuh, dia uring-uringan waktu kamu tidak ada di sini.”

Arini tersenyum samar ketika mengalihkan perhatian kepada Brandon. Pria itu sekarang mengedipkan sebelah mata kepadanya.

“Aduh, Tante kok jadi bahas masalah kamu. Kita di sini mau happy-happy.” Lisa menepuk punggung tangan Arini dengan lembut.

“Bawa dulu tas Arini ke atas gih, Bran!” titahnya kepada anak semata wayang.

“Gue tinggal dulu ya, In. Habis itu balik lagi ke sini,” pamit Brandon sebelum pergi ke lantai dua.

Arini menarik napas panjang ketika melihat Brandon menaiki tangga. Senyum terurai di wajah, sehingga sepasang lubang tampak di pipi tirusnya.

“Rin,” panggil Lisa membuat Arini mengalihkan pandangan ke samping kiri.

“Ya, Tan?”

Lisa menoleh sebentar ke lantai dua, sebelum mengatakan sesuatu. “Tante boleh minta tolong tidak?”

“Pasti, Tan. Apa yang bisa aku bantu?”

“Bujuk Brandon buat ketemu sama anak teman Tante minggu depan ya?” Lisa menatap bola mata cokelat Arini bergantian dengan penuh harap.

“Anak teman Tante?”

Wanita paruh baya itu mengangguk membenarkan. “Selama ini ‘kan selain sama Tante, dia nurutnya sama kamu. Kalau kamu yang minta pasti mau.”

Desahan pelan keluar dari sela bibir Lisa yang dihiasi lipstik berwarna merah bata. “Tante ingin Bran cepat-cepat nikah, Rin. Lihat tuh usianya sudah berapa sekarang? Mau nimang cucu juga.”

Tanpa terasa ada sesuatu yang menyesakkan di hati Arini mendengar permintaan Lisa kali ini. Entah kenapa ia terganggu dengan permintaan yang sebenarnya tidak sulit. Dada mendadak berat ketika bernapas.

“Tiga tahun lagi, jika kita masih sama-sama single. Mau nikah sama gue nggak?” Perkataan yang pernah dilontarkan oleh Brandon beberapa bulan lalu kembali terngiang.

Entah serius atau tidak ketika mengucapkannya, hingga sekarang Brandon memperlakukan Arini dengan berbeda. Selalu sedia mengantar dan menjemputnya ke kantor ketika ada waktu. Perhatian kepada Arini juga berbeda. Dia sampai mengajak wanita tersebut menginap di vila, meski bukan pertama kali mereka berada di sini. Vila ini menjadi salah satu saksi bisu perjalanan kisah persahabatan mereka.

Jika kalimat itu diucapkan sebelum Arini menikah, mungkin dengan senang hati akan dilakukan. Dia bersedia menerima ajakan Brandon menikah dua tahun lagi, setelah luka masing-masing sembuh. Namun dengan status yang disandang sekarang, sungguh hal yang mustahil. Lisa belum tentu mau menerima menantu yang memiliki status janda.

“Nanti aku bujuk Bran ya, Tan,” sahut Arini setuju pada akhirnya.

Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan Brandon yang berstatus lajang? Arini sadar dengan statusnya sekarang, seorang janda tanpa anak. Dia tidak boleh memupuk harapan untuk menikah dengan sahabat sendiri, apalagi baru beberapa bulan lalu bercerai dengan pria yang dijodohkan oleh sang Ayah.

“Makasih ya, Rin. Tante senang bertemu kamu lagi.” Lisa tersenyum bahagia mengusap samping kepala Arini penuh kelembutan.

“Sama, Tan. Aku juga,” balas wanita berambut panjang itu dengan senyuman.

“Cie yang baru ketemu. Masih kangen-kangenan dong.” Tiba-tiba terdengar suara bariton dari arah tangga. Brandon melihat ibunya dan Arini bergantian.

Melihat sang Putra datang, Lisa langsung berdiri. “Tolong yang tadi ya, Rin,” pintanya sebelum memutar tubuh menghadap Brandon.

“Aman, Tan.”

“Ada yang mencurigakan nih,” duga Brandon menatap curiga kedua wanita berbeda usia itu bergantian.

Lisa menepuk lengan putranya pelan. “Mama mau istirahat dulu. Kamu jaga Arini, hibur kalau bisa,” perintahnya meski tahu tanpa diminta pun, Brandon pasti akan melakukan hal itu.

“Tante ke kamar dulu istirahat ya, Rin. Habis itu kita masak buat makan siang,” kata perempuan paruh baya tersebut sebelum berlalu dari hadapan sepasang manusia ini.

Setelah Lisa masuk ke kamar, Brandon memilih duduk di samping Arini. Mata sayunya menatap lekat paras tirus yang tampak gugup.

“Mama minta tolong apa?” selidik Brandon seraya menyipitkan mata.

Arini menggeleng dua kali. “Rahasia. Pengin tahu aja lo,” cibirnya seperti anak kecil.

Tidak ada yang berubah dari mereka setelah berpisah dua tahun. Arini tetap menjadi diri sendiri ketika bersama dengan Brandon, tanpa menghiraukan sikap kekanak-kanakan yang kerap muncul saat mereka bersama.

Brandon masih memperhatikan Arini dengan saksama. Tangannya bergerak ke atas sandaran sofa tempat wanita itu duduk. Jari-jari mulai bergerak membelai rambut yang dikuncir. Dia suka memainkan helaian rambut wanita tersebut sejak dulu.

“In,” panggil Brandon setelah suasana sempat hening beberapa saat.

“Hmmm?” gumam Arini tanpa menoleh kepada Bran ketika menyaksikan siaran televisi.

Upgrade yuk!”

Upgrade apanya?”

Arini mengalihkan perhatian. Mata cokelatnya membulat ketika mendapati wajah Brandon hanya berjarak lima centimeter darinya. Sontak kepala yang dihiasi rambut panjang yang terikat ke atas itu mundur ke belakang.

Upgrade hubungan dong. Masa iya upgrade software handphone,” balas Brandon dengan seulas senyum tengil.

Bersambung....

Hai, kakak reader setia kisah Arini dan Brandon. Kita tiba di seri kedua dari trilogi Just, kisah Bran dan Iin ketika mereka dewasa. Semoga suka yaaa! ^^

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status