Seorang wanita berjalan pelan dengan tangan terulur ke depan. Kening berkerut di wajah tirusnya ketika kaki melangkah maju perlahan. Mata yang ditutup kain berwarna hitam sudah jelas tidak bisa melihat apa yang akan ditempuh. Berkat pegangan dari pria yang berada di belakang, ia berhasil memasuki ruang tamu vila yang berukuran besar.
“Apaan sih, Bran? Mata gue kok pakai ditutup segala?” desisnya di tengah kebingungan.
“Lihat aja nanti. Lo pasti senang bukan main begitu lihat kejutan yang ada di dalam,” bisik Brandon memegang bahu wanita itu.
Decakan pelan keluar dari sela bibir mungil berwarna kemerahan milik Arini. Dia terpaksa harus menahan diri, agar tahu kejutan apa yang disediakan oleh Brandon, laki-laki yang telah menjadi sahabatnya sejak sebelas tahun belakangan.
Dua tahun berpisah dari sahabat tersayang membuat hari yang dilewati Arini menjadi kelabu. Tidak ada lagi canda dan tawa yang menemani keseharian seperti sebelumnya. Kegagalan pernikahan membuat wanita cantik itu menjadi semakin terpuruk.
Ya, Arini adalah seorang janda tanpa anak. Dia berpisah setelah dua tahun menikah, karena mantan suaminya seorang gay. Setelah bercerai, ia memutuskan kembali ke Jakarta untuk bekerja.
Tidak disangka, ia bertemu lagi dengan Brandon. Lelaki yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Sahabat yang setia berbagi kebahagiaan dan kesedihan. Tuhan Maha Baik, kedua sahabat yang terpisah lama ini dipertemukan kembali di perusahaan yang sama.
Saat ini Brandon membawa Arini berlibur ke vila yang dimiliki keluarganya, untuk merayakan kembali pertemuan mereka setelah dua tahun berpisah. Ada kejutan yang telah dipersiapkan oleh pria itu di dalam.
“Udah boleh buka nggak nih?” tanya Arini tidak sabar. Dia menggigit bibir bawah saking penasaran.
“Boleh nggak ya?” goda Brandon sebelum menarik tali pengikat yang menutup mata.
“Bran?” protes Arini dengan wajah mengerucut. Tangan kanan bersiap mencari keberadaan pinggang Brandon yang kerap menjadi sasaran jurus semut apinya.
“Sabar, ini gue lagi buka ikatnya,” ujar pria bermata sayu tersebut tersenyum lebar.
Dalam hitungan detik kain hitam yang menutup mata Arini terlepas. Sepasang manik cokelat lebar mulai mengerjap, berusaha menjernihkan penglihatan. Samar tampak wanita paruh baya berambut pendek sedang berdiri dua meter darinya.
“Tante Lisa!!” pekik Arini nyaris histeris ketika melihat sosok yang dikenalnya dengan jelas.
Tanpa dikomando lagi kaki ramping yang ditutupi celana jeans itu langsung bergerak maju. Tak lupa kedua tangan terulur ke depan bersiap memeluk wanita cantik nan bersahaja tersebut.
“Arini. Akhirnya kita bertemu lagi, Nak,” sambut Lisa tak kuasa menahan haru sembari memeluk erat tubuh ramping Arini.
Sama halnya dengan Brandon, wanita paruh baya itu juga tidak bertemu dengan Arini selama dua tahun. Pertemuan terakhir mereka adalah pada hari pernikahan Arini di kota Bukittinggi, daerah asal kedua orang tuanya.
“Iya, Tan. Aku kangen banget,” ucap Arini dengan mata berkaca-kaca.
“Tante juga, Sayang.” Lisa menatap lamat-lamat paras Arini yang tampak lebih kurus dari sebelumnya. Pandangan mata hitam itu turun ke bawah.
“Kenapa kamu kurus sekali sekarang, Rin?” komentar Lisa prihatin dengan kondisi sahabat sang Putra yang telah dianggap seperti anak sendiri. Selama mengenal Arini sebelas tahun, baru sekarang ia melihatnya begitu kurus.
Senyum kecut terulas di paras Arini mendengar perkataan Lisa. Ya, dia kehilangan banyak berat badan setelah menikah dengan orang yang salah. Peliknya proses sidang perceraian membuat tubuhnya semakin menyusut.
“Dulu kamu tidak begini,” sambung Lisa membelai lembut pipi tirus Arini.
“Udah, nanti aja bahasnya. Sekarang duduk dulu. Kita butuh sofa nih, Ma. Bayangin dari Jakarta ke sini naik motor,” sela Brandon merangkul kedua bahu wanita yang sangat berharga dalam hidupnya.
Pria itu tahu Arini masih belum mau bercerita tentang perceraian yang baru terjadi hampir satu tahun lalu. Brandon memahami sahabatnya, sehingga tidak ingin mendesak agar mengatakan penyebab kegagalan rumah tangga, yang baru dibina selama dua tahun.
Lisa tidak melayangkan protes apa-apa, sehingga menurut saja ketika Brandon menggiring mereka menuju sofa. Setelah duduk, pandangannya masih belum lepas dari wajah Arini yang mendadak sendu. Tangan yang mulai dihiasi kerutan itu bergerak meraih jemari panjang dan lentik milik Arini.
“Apapun yang terjadi, kamu berhak bahagia, Rin.” Tilikan mata hitam Lisa pindah kepada Brandon. “Tuh, dia uring-uringan waktu kamu tidak ada di sini.”
Arini tersenyum samar ketika mengalihkan perhatian kepada Brandon. Pria itu sekarang mengedipkan sebelah mata kepadanya.
“Aduh, Tante kok jadi bahas masalah kamu. Kita di sini mau happy-happy.” Lisa menepuk punggung tangan Arini dengan lembut.
“Bawa dulu tas Arini ke atas gih, Bran!” titahnya kepada anak semata wayang.
“Gue tinggal dulu ya, In. Habis itu balik lagi ke sini,” pamit Brandon sebelum pergi ke lantai dua.
Arini menarik napas panjang ketika melihat Brandon menaiki tangga. Senyum terurai di wajah, sehingga sepasang lubang tampak di pipi tirusnya.
“Rin,” panggil Lisa membuat Arini mengalihkan pandangan ke samping kiri.
“Ya, Tan?”
Lisa menoleh sebentar ke lantai dua, sebelum mengatakan sesuatu. “Tante boleh minta tolong tidak?”
“Pasti, Tan. Apa yang bisa aku bantu?”
“Bujuk Brandon buat ketemu sama anak teman Tante minggu depan ya?” Lisa menatap bola mata cokelat Arini bergantian dengan penuh harap.
“Anak teman Tante?”
Wanita paruh baya itu mengangguk membenarkan. “Selama ini ‘kan selain sama Tante, dia nurutnya sama kamu. Kalau kamu yang minta pasti mau.”
Desahan pelan keluar dari sela bibir Lisa yang dihiasi lipstik berwarna merah bata. “Tante ingin Bran cepat-cepat nikah, Rin. Lihat tuh usianya sudah berapa sekarang? Mau nimang cucu juga.”
Tanpa terasa ada sesuatu yang menyesakkan di hati Arini mendengar permintaan Lisa kali ini. Entah kenapa ia terganggu dengan permintaan yang sebenarnya tidak sulit. Dada mendadak berat ketika bernapas.
“Tiga tahun lagi, jika kita masih sama-sama single. Mau nikah sama gue nggak?” Perkataan yang pernah dilontarkan oleh Brandon beberapa bulan lalu kembali terngiang.
Entah serius atau tidak ketika mengucapkannya, hingga sekarang Brandon memperlakukan Arini dengan berbeda. Selalu sedia mengantar dan menjemputnya ke kantor ketika ada waktu. Perhatian kepada Arini juga berbeda. Dia sampai mengajak wanita tersebut menginap di vila, meski bukan pertama kali mereka berada di sini. Vila ini menjadi salah satu saksi bisu perjalanan kisah persahabatan mereka.
Jika kalimat itu diucapkan sebelum Arini menikah, mungkin dengan senang hati akan dilakukan. Dia bersedia menerima ajakan Brandon menikah dua tahun lagi, setelah luka masing-masing sembuh. Namun dengan status yang disandang sekarang, sungguh hal yang mustahil. Lisa belum tentu mau menerima menantu yang memiliki status janda.
“Nanti aku bujuk Bran ya, Tan,” sahut Arini setuju pada akhirnya.
Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan Brandon yang berstatus lajang? Arini sadar dengan statusnya sekarang, seorang janda tanpa anak. Dia tidak boleh memupuk harapan untuk menikah dengan sahabat sendiri, apalagi baru beberapa bulan lalu bercerai dengan pria yang dijodohkan oleh sang Ayah.
“Makasih ya, Rin. Tante senang bertemu kamu lagi.” Lisa tersenyum bahagia mengusap samping kepala Arini penuh kelembutan.
“Sama, Tan. Aku juga,” balas wanita berambut panjang itu dengan senyuman.
“Cie yang baru ketemu. Masih kangen-kangenan dong.” Tiba-tiba terdengar suara bariton dari arah tangga. Brandon melihat ibunya dan Arini bergantian.
Melihat sang Putra datang, Lisa langsung berdiri. “Tolong yang tadi ya, Rin,” pintanya sebelum memutar tubuh menghadap Brandon.
“Aman, Tan.”
“Ada yang mencurigakan nih,” duga Brandon menatap curiga kedua wanita berbeda usia itu bergantian.
Lisa menepuk lengan putranya pelan. “Mama mau istirahat dulu. Kamu jaga Arini, hibur kalau bisa,” perintahnya meski tahu tanpa diminta pun, Brandon pasti akan melakukan hal itu.
“Tante ke kamar dulu istirahat ya, Rin. Habis itu kita masak buat makan siang,” kata perempuan paruh baya tersebut sebelum berlalu dari hadapan sepasang manusia ini.
Setelah Lisa masuk ke kamar, Brandon memilih duduk di samping Arini. Mata sayunya menatap lekat paras tirus yang tampak gugup.
“Mama minta tolong apa?” selidik Brandon seraya menyipitkan mata.
Arini menggeleng dua kali. “Rahasia. Pengin tahu aja lo,” cibirnya seperti anak kecil.
Tidak ada yang berubah dari mereka setelah berpisah dua tahun. Arini tetap menjadi diri sendiri ketika bersama dengan Brandon, tanpa menghiraukan sikap kekanak-kanakan yang kerap muncul saat mereka bersama.
Brandon masih memperhatikan Arini dengan saksama. Tangannya bergerak ke atas sandaran sofa tempat wanita itu duduk. Jari-jari mulai bergerak membelai rambut yang dikuncir. Dia suka memainkan helaian rambut wanita tersebut sejak dulu.
“In,” panggil Brandon setelah suasana sempat hening beberapa saat.
“Hmmm?” gumam Arini tanpa menoleh kepada Bran ketika menyaksikan siaran televisi.
“Upgrade yuk!”
“Upgrade apanya?”
Arini mengalihkan perhatian. Mata cokelatnya membulat ketika mendapati wajah Brandon hanya berjarak lima centimeter darinya. Sontak kepala yang dihiasi rambut panjang yang terikat ke atas itu mundur ke belakang.
“Upgrade hubungan dong. Masa iya upgrade software handphone,” balas Brandon dengan seulas senyum tengil.
Bersambung....
Hai, kakak reader setia kisah Arini dan Brandon. Kita tiba di seri kedua dari trilogi Just, kisah Bran dan Iin ketika mereka dewasa. Semoga suka yaaa! ^^
Kelopak lebar Arini berkedip pelan mendengar perkataan Brandon barusan. Manik cokelatnya masih beradu tatap dengan netra hitam sayu milik lelaki itu. Perlahan tawa aneh keluar dari sela bibir berwarna ranum tersebut.“Ha … ha … emang ada hubungan di-upgrade? Ada-ada aja lo.” Arini langsung berdiri karena suasana mendadak canggung. “Gue naik dulu ke atas ya. Pegel nih badan. Mau berbaring dulu.”Saat hendak maju satu langkah, Brandon berhasil menangkap tangannya. Dalam satu kali tarikan, Arini duduk lagi di sofa.“Emang lo nggak mau kalau kita upgrade hubungan?”Arini menjepit bibir ketika mengalihkan pandangan ke tempat lain. Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya.“In?”“Apa?” sahut wanita itu cuek.Brandon mengembuskan napas pelan ketika menggelengkan kepala. Tatapannya masih mengitari paras Arini yang tampak letih.“Istirahat dulu gih. Nanti malam aja kita bahas,” suruhnya segera berdiri, lalu mengulurkan tangan.“Bareng ke atas yuk! Gue juga mau istirahat.” Brandon melirik ke
AriniSenyum indah merekah di paras tirus seorang wanita yang sedang berdiri di depan gedung berwarna biru. Kepala menengadah ke atas ketika tarikan napas panjang terdengar dari sela hidung mancungnya. Sepasang lubang tampak menghiasi kedua belah pipi.Hari ini ia kembali bekerja seperti biasa, setelah libur dua hari. Menghabiskan liburan bersama dengan Lisa dan Brandon mampu mengangkat beban di pundaknya. Sekarang, kaki yang dihiasi sepatu kets adidas KW itu bisa melangkah ringan.Ponsel yang bergetar di saku celana jeans menyentakkan lamunan. Tangan ramping berwarna kuning langsat itu merogoh saku, lalu mengeluarkan gadget pipih dari sana. Lagi-lagi kedua lesung pipi muncul ketika bibir mungil Arini tertarik ke samping.Brandon: Hari ini masuk jam 10 ‘kan, In? Tolong take tempat buat gue di sebelah lo sebelum sif 12. :*Arini tergelak singkat melihat emoticon cium yang ada di pesan Brandon barusan. Decakan pelan keluar dari sela bibir saat kepala bergerak ke kiri dan kanan, sehingga
BrandonAlih-alih menanyakan tentang kedekatan Arini dan Fahmi, Brandon memilih diam. Dia yakin sahabatnya pasti akan bercerita jika memang ada sesuatu di antara mereka.Begitu mulai bekerja, Brandon memutuskan fokus menangani keluhan pelanggan terlebih dahulu. Dia tidak berbincang dengan Arini, karena khawatir jika nanti melakukan kesalahan dalam memberikan solusi atas masalah yang dihadapi pelanggan.Bekerja di bidang contact center benar-benar membutuhkan fokus maksimal. Harus mampu menganalisa kendala yang alami pelanggan, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat. Salah sedikit saja, kerugian bisa terjadi. Alhasil gaji yang diterima per bulan harus dipotong untuk mengganti kerugian materi yang disebabkan kelalaian.Apalagi Brandon dan Arini bekerja di channel chat. Dalam satu kali waktu harus menangani lima pelanggan dengan lima keluhan berbeda juga. Terkadang sering lupa dengan kendala yang ditanyakan. Mereka musti membaca ulang lagi chat sebelumnya, agar ingat masalah yang dih
Arini“Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!”Kalimat yang diucapkan Brandon ketika tiba di area kubikel kembali berputar di ingatan Arini. Entah berapa kali diulang bagai kaset kusut sejak ia meninggalkan lantai tujuh beberapa menit lalu.Kenapa, Rin? Ada yang salah? Kok lo kayaknya terganggu sama perkataan Brandon tadi? Bukannya kalian emang hanya sebatas sahabat? protes batinnya menyadarkan.“Faktanya emang gitu, ‘kan?” gumamnya tanpa sadar.“Fakta apa, Rin?” tanya pemilik suara bas yang kini berjalan di sampingnya.Pandangan yang hanya menatap lantai gedung B1 kini berpindah ke kanan. “Eh?”“Kamu lagi pikirkan apa?” Fahmi menghentikan langkah sebelum mendorong jeruji putar berwarna hitam, agar bisa keluar dari gedung.Kepala yang dihiasi rambut panjang diikat ke atas itu menggeleng pelan. Arini tersenyum aneh seraya menggoyangkan kedua tangan.“Nggak ada apa-apa kok, Bang,” sahutnya lalu memegang tali tas ransel yang menggant
Brandon“Pulang sekarang, Bran?” tanya pria berkepala plontos ketika melihat Brandon mengambil botol minum.Hanya botol minum yang boleh dibawa ke dalam ruangan. Perusahaan melarang para agent membawa ponsel, dompet dan benda lain. Dikhawatirkan data pelanggan bisa bocor dan disalahgunakan oleh mereka.“Iya, Bang,” jawabnya singkat, “duluan ya.”Brandon langsung meninggalkan ruangan tepat satu menit menjelang pukul 21.00. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju loker. Dengan sigap ia mengambil tas, lalu menutupnya lagi. Pikiran yang tidak tenang sejak tadi menuntun pria itu bergerak ke basemen parkiran.Ketika berada di dalam lift, pandangan netra sayu Bran menatap layar ponsel yang menunjukkan ruang chat dengan Arini. Pesan yang dikirim satu jam lalu belum dibalas olehnya. Brandon membuang napas singkat memikirkan alasan pesannya belum dibalas oleh wanita itu.“Apa masih sama Fahmi ya?” duganya memejamkan mata.Begitu pintu lift terbuka, Bran bergegas menuju sepeda motor yang selalu m
AriniMata cokelat lebar Arini membulat sempurna mendengar syarat yang diajukan Brandon. Ini sungguh gila! Bagaimana bisa ia melakukan kencan ganda, apalagi melibatkan Fahmi? Astaga, darah seakan naik ke kepala yang dihiasi rambut hitam panjang itu sekarang. Embusan napas keras ditiupkan ke atas, sehingga poni yang menutupi kening terangkat ke atas.“Nggak mau! Nggak akan pernah!” cetus Arini menggeleng tegas.“Kalau gitu gue juga nggak akan pernah temui cewek-cewek yang disodorin Nyokap,” balas Brandon melipat tangan di depan dada berlagak cuek.“Bran!” protes Arini dengan mata sedikit mengecil.Brandon berdiri lalu melangkah menuju wastafel untuk membersihkan tangan. Perut yang lapar, tidak mengizinkannya untuk berdebat dengan Arini sekarang. Tiba di tempat duduk, pria itu mulai mencampurkan nasi dan ayam goreng yang sudah diolesi saus.Arini ingin mencecar dengan kata-kata, tapi tidak jadi. Dia bisa melihat sahabatnya sedang kelaparan. Kasihan juga jika diomeli, bisa tersedak atau
AriniBunyi dering ponsel membangunkan Arini yang sedang tidur lelap. Tangan perlahan meraba bagian samping bantal mencari keberadaan gadget pipih tersebut. Kelopak mata cokelat miliknya terbuka sedikit ketika melihat siapa yang menelepon sepagi ini.“Tante Lisa!” sentaknya membuat kelopak langsung terangkat sempurna.Wanita itu berdeham berkali-kali sebelum menggeser tombol hijau ke atas. “Halo, Tan,” sapanya setelah yakin suara terdengar normal.“Rin. Maaf telepon kamu pagi-pagi,” sahut Lisa terdengar gelisah di seberang sana.“Nggak apa-apa, Tan. Aku juga udah bangun,” balas Arini setengah berbohong. Gengsi jika wanita paruh baya itu tahu kalau dirinya masih tidur pukul 06.00.“Tante boleh minta tolong tidak?”“Iya, Tan. Ada yang bisa aku bantu?”“Brandon tadi telepon Tante, katanya tidak bisa datang hari ini. Lagi demam. Kamu bisa ke apartemennya, Rin? Tante khawatir kenapa-napa.” Lisa mengutarakan maksud dan tujuan menelepon Arini sepagi ini.“Tante lagi di Bandung temani Om, bar
Arini tersentak sehingga tubuhnya mundur ke belakang. Tatapan mata cokelat itu kembali tertumpu dengan netra sayu Brandon. Mereka berbagi pandang dalam waktu yang lama. Suasana ini membuat keduanya bingung. Mendadak aneh.“Gue … mau bikin sarapan dulu. Lo pasti belum makan dari tadi.”Lagi-lagi Brandon menahan tangan Arini. Dia menggeleng pelan. “Bentar lagi Bi Ijah datang bawain makanan.”Wanita itu mengalihkan pandangan ke tempat lain untuk mengurangi rasa gugup. Bingung juga mencari cara untuk mengatasi rasa canggung ini.“In. Gue kedinginan. Bisa tolong ambil selimut di kamar nggak?” pinta Brandon saat badan mulai menggigil.Air muka Arini langsung berganti cemas. Tangannya bergerak meraba kening, pipi hingga leher Brandon.“Ya ampun, panas lo naik lagi, Bran. Beneran udah minum obat?” selidik Arini curiga.Brandon tidak menjawab karena tubuh bergetar bersamaan dengan bibir yang bergerak cepat.“Mending ke kamar aja deh, Bran. Masih kuat ‘kan?”Pria itu mengedipkan mata pelan pert
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan