""Menikahlah denganku, aku akan memenuhi segala kebutuhanmu, Al, hanya ada satu syarat, jangan pernah menuntut cinta dariku," ujar Abimanyu Basudewa Rahardian, seorang dosen sombong yang sialnya menjadi pasangan perjodohan Aluna yang dipilih ibunya. Aluna terkejut ketika menemukan Abimanyu di meja nomor 36, langsung disambut dengan lamaran angkuh. Meskipun Aluna menolak, mereka berdua memiliki latar belakang hubungan yang berakhir buruk dan Abimanyu menawarkan pernikahan tanpa melibatkan perasaan.
Sekilas, tak ada yang salah dari Bima, kecuali mulutnya yang super arogan dan juga statusnya sebagai teman masa kecil Aluna-yang sering Aluna bully semasa kecil.Aluna sampai tak bisa berkata-kata ketika dia mencari meja nomor 36 dan mendapati Bima terduduk angkuh disana.Tanpa basa-basi lelaki ini langsung menyambutnya dengan lamaran yang sangat merendahkan."Sebentar Bim, waktu kamu datang kesini, kamu tahu bakal ketemu sama aku?" tanya Aluna sedikit meminta intro. "Karena jujur, aku enggak tahu bakal ketemu kamu disini."Ibu Aluna hanya berkata akan mempertemukan Aluna dengan lelaki pilihannya. Tanpa menyebut nama."Tahu," jawab Bima.Singkat sekali."Kamu tahu pertemuan ini adalah perjodohan untuk masuk ke jenjang yang lebih serius?" ulang Aluna dengan nada suara lebih lantang."Tahu."Jawaban yang sama dilontarkan dengan raut datar tanpa ekspresi."Makanya aku lamar kamu tadi. Jadi gimana, Aluna?""Gimana apanya?" seru Aluna dengan tatapan melotot. Jika yang dimaksud Bima adalah lamarannya yang super angkuh tadi, maka lelaki ini sudah gila.Abimanyu Basudewa yang ada di hadapannya sangat berbeda dengan Abimanyu Basudewa yang pernah mengisi masa kecilnya. Lelaki ini jadi lebih angkuh."Lamaranku tadi."Tanpa berpikir panjang, Aluna sudah mengetahui jawabannya. "Maaf Bim, tapi aku anti menikah dengan lelaki yang usianya di bawahku. Kamu bukan tipeku.""Kamu juga bukan tipeku."Oh sangat jujur sekali, gerutu Aluna. Namun seperti inilah perjodohan menyatukan dua manusia, bukan? Saling menerima adalah intinya. Aluna tidak bisa memilah-milah lelaki mana yang akan dia nikahi lewat meja perjodohan.Kendati demikian, Aluna masih belum percaya, Bimalah yang menjadi partnernya di rencana perjodohan ini. Maksud Aluna, Bima terlalu sempurna tuk diatur-atur nasib percintaannya. Lelaki ini masih muda dan bisa mencari pasangan kemanapun dan siapapun.Berbeda dengan Aluna yang tomboy dan baru saja diselingkuhi pacarnya yang dia kencani selama 11 tahun. Usianya yang 33 tahun membuat perempuan itu ketar-ketir dikejar-kejar deadline usia rahim.Aluna berpikir dia akan bertemu dengan lelaki berkumis japlang, berkacamata tebal yang kesulitan mencari pasangan alih-alih Bima yang memenuhi ekspektasi lelaki sempurna pujaan para perempuan unggulan."Kalau aku bukan tipemu, kenapa kamu datang ke acara yang sudah disetting ibuku ini?" tanya Aluna mendengkus."Karena aku ingin menikah. Berhubung Tante Lizy sedang mencari pasangan buat kamu, ya sudah, aku menawarkan diri," jawab Bima terdengar logis tetapi juga kentara hopeless.Sulit dipercaya! Bima mengatakan ingin menikah seolah pernikahan adalah acara yang dihadiri selama satu pekan dan bukan hubungan sakral yang melibatkan Tuhan di dalamnya."Waktu Mamah nawarin perjodohan, di bayanganku, yang datang adalah lelaki berkacamata kotak yang kesulitan mencari pasangan. Bukan kamu Bim.""Memangnya kenapa dengan aku?"Aluna bergeming membiarkan Bima mencari jawabannya sendiri. Sudah jelas, bukan? Abimanyu Basudewa berwajah rupawan, memiliki pekerjaan menjanjikan dan yang pasti finansialnya sudah stabil."Tunanganku meninggal karena kanker serviks tiga tahun yang lalu, setelah itu aku enggak tertarik lagi mencari perempuan lain." Bima menarik nafas, sepasang matanya yang teduh menatap Aluna dalam-dalam.Aluna pernah mendengar cerita ini sebelumnya, tetapi dia tidak tahu kalau Bima sampai 'tidak tertarik' dengan perempuan lain lagi pasca tunagannya meninggal dunia."Kita sama-sama punya hubungan romansa yang berakhir buruk, aku denger kamu juga diselingkuhi pacarmu, kan? Karena kamu sudah dikejar usia dan aku juga tak tertarik dengan perempuan lain lagi setelah calon istriku meninggal, kenapa kita tidak menikah saja?" ajak Bima menatap Aluna dengan lekat."Kamu tidak tertarik lagi dengan perempuan lain setelah calon istri kamu meninggal tapi ingin menikah denganku? Ya ampun, kamu enggak berpikir itu lucu?" tanya Aluna mendelik. Awalnya dia iba mendengar cerita Bima tetapi ujungnya tak tahan tuk mendelik."Aku cuma berusaha membuat keluargaku berhenti khawatir. Mereka anggap aku gila karena tak berhubungan lagi semenjak calon istriku meninggal.""Dan kamu pikir aku mau menerima kamu? Gila kamu Bim," maki Aluna mendengkus kencang. Dia melirik sepasang manula yang duduk di meja tak jauh dari mejanya. Mereka pasti terganggu dengan suara berisik Aluna."Aku mungkin bisa mencari jutaan perempuan lain di luar sana yang menginginkan pernikahan denganku, tapi tidak dengan kamu Aluna. Usiamu sudah berada di batas maksimal perempuan dianjurkan hamil."Dengan kurang ajar Bima menyindir kekurangan Aluna. Dia pintar membuat lawan bicaranya tak berkutik.Bima yang merupakan lulusan ilmu kedokteran pastinya paham bahwa umumnya perempuan tidak dianjurkan hamil di atas usia 35 tahun.Pada beberapa perempuan, usia 35 tahun masa kesuburan mengalami penurunan sehingga sulit hamil. Sementara pada beberapa lainnya, usia tersebut masih bisa hamil tetapi dengan resiko persalinan yang bisa membahayakan bagi ibu maupun bayi.Sebab Aluna sudah 33 tahun, tersisa 2 tahun tuk bisa hamil secara optimal, bukan? Waktu itu terbilang singkat tuk mencari lelaki yang cocok dan bagus dari segi bibit, bebet dan bobot."Ya, usiaku memang berada di tenggat maksimal perempuan dianjurkan hamil, lalu biar aku ingatkan sekali ya Bim-bim Spiderman, tadi kamu bilang sendiri enggak tertarik lagi dengan perempuan manapun selain calon istri kamu. Lalu, dengan cara bagiamana kamu bisa membantuku soal 'hamil'?" timpal Aluna membalas sindiran Bima dengan sindiran yang tak kalah pedas.Enak saja ngomongin soal umur, dirinya sendiri ngaku enggak tertarik sama perempuan lain, gerutu Aluna.Bima sangat arogan, seolah mengatakan bahwa di dunia ini tak ada yang bisa menggantikan calon istrinya yang meninggal. Ya, Aluna memang tak sesempurna itu sampai membuat lelaki seperti Bima mau menikahinya karena 'tertarik' bukan karena 'mencari pelarian agar keluarga tak khawatir'.Namun cara Bima memintanya menikah sangat menyebalkan."Aku memang tidak tertarik dengan perempuan lain termasuk kamu Aluna, tapi aku masih laki-laki," jawab Bima dengan suara tenang. "Aku bisa menghamili kamu tanpa melibatkan perasaan."Aluna melebarkan pupilnya. Dia mencengkram gelas dan menahan diri agar tidak menyiramkannya ke wajah Bima.Bima mengusap wajahnya yang memucat karena dinginnya ice lemon. Lelaki itu menatap Aluna dan melanjutkan ucapannya. "Waktu optimal rahim kamu tinggal 2 tahun Al, kalau aku bersedia menghamilimu di dalam pernikahan yang membuat keluarga kita bahagia, kamu mau mencari lelaki yang seperti apa lagi Al?""Jadi menikah?" tanya sang Ibu—Lizy, menyambut Aluna yang baru pulang dari pertemuannya dengan Bima.Aluna mendesah kesal. "Aku baru pulang, Mah.""Tapi, kalian udah ngobrol? Udah ada kabar bagus?" Lizy kemudian menengok ke arah depan rumah. "Tadi pulang diantar Bima? Kok dia enggak mampir?""Yeah dia sibuk."Aluna duduk di sofa single, dia memintal jemarinya saking gugupnya. Apa yang harus dia katakan sekarang? Berkata jujur bahwa pertemuannya dengan Bima berakhir buruk? Namun, kenapa rasanya dia tak tega menyaksikan senyum sang Ibu luruh karena kecewa? "Kami belum memutuskan, lagipula ini baru pertemuan pertama," jawab Aluna netral. Hanya itulah yang bisa dia katakan sekarang. "Berarti kalian janji bertemu lagi?" seru Lizy antusias. Tangannya menangkup paha Aluna. Begitu lembut jemari mungil yang sudah keriput itu bergerak mengelus. "Jangan lama-lama ya Al, ayah kamu udah tua. Katanya mau ngasih dia cucu?"Sang Ayah, yang duduk di sebelah Wira melayangkan protes. "Jangan jadik
"Teman-teman kamu laki-laki semua ya?" tanya Bima saat Aluna yang memakai sweater dan training terbahak-bahak membuka kado berwarna hitam yang cukup besar.Malam pertama mereka dihabiskan dengan membuka banyak kado. Rasa lelah karena seharian berada di acara seolah hilang ketika tumpukan kado membuat penasaran."Kenapa emangnya?" tanya Aluna melempar tanya balik. "Semua kado buat kamu dari laki-laki semua. Kalis, Kara, Calvin, Tio, Yandi, Putra ... dan Pras—yang aneh sekali ngasih helm di hari pernikahan kamu.""Astaga sampai hapal," gerutu Aluna menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan kedua kaki terlipat, Aluna merebut hoody pemberian Putra dari tangan Bima. "Dan semua hadiahnya seperti bukan untuk pengantin.""Mereka memang enggak suka sama kamu Bim. Harap dimaklum.""Apa mereka barisan sakit hati? Patah hati saat kamu menikah?""Bisa jadi," jawab Aluna melirik hati-hati ke arah Bima—yang sudah resmi jadi suaminya. Sebenarnya Kalis, Kara, Calvin, Tio, Yandi, Putra dan Pras adalah t
Mungkin karena lelah pasca resepsi, Aluna tidak sadar ketika Bima kembali ke kamar dan tidur di sisinya. Aluna cukup terkejut ketika terbangun, tangannya yang menggeliat melenturkan otot-otot membentur sesuatu yang keras. Aluna menatap lelaki 'baru' di atas ranjangnya. Abimanyu Basudewa. Meringkuk menghadap ke arahnya dengan wajah teduh tanpa dosa. Jika ingatan tangisannya semalam tidak mampir di otaknya, mungkin Aluna akan mengagumi wajah rupawan itu. "Arghh!!!" desis Aluna menggerakkan seluruh jari jemarinya seperti hendak mencakar wajah Bima. Demi apapun, lelaki ini membuat malam pertama pernikahannya seperti mimpi buruk. Aluna ingin memberi perhitungan. Namun tentu itu hanya keinginan terpendam yang tidak bisa dia lakukan sebab ... tidak lucu rasanya Aluna dilaporkan KDRT di hari pertama berumah tangga. Belum mengalihkan tatapan dari wajah Bima, tiba-tiba kelopak mata berbulu mata lentik Bima terbuka. Aluna hampir saja memekik karena terkejut. Terutama karena tatapan Bima
"Sebaiknya kita bikin perjanjian di pernikahan ini. Mungkin berpisah setelah punya anak, bisa jadi syarat utama di perjanjian itu," cetus Aluna menatap Bima dengan tatapan penuh ketakutan. "Aku ... ngerasa harus bikin 'asuransi' buat nyelamatin diri aku sendiri.""Apa yang bikin kamu ngerasa terancam?" tanya Bima ketika mereka bertatapan di depan makam Cassandra. "Semuanya," jawab Aluna menunjuk Bima dan makam Cassandra. Tatapan perempuan itu kosong seperti tengah melamun. "Ini sedikit konyol, tapi aku enggak mungkin rela hamil besar dan melihat kamu berziarah setiap hari ke kuburan ini."Bukan tentang perasaan, tetapi ego Aluna sebagai perempuan merasa tersentil ketika dia melihat Bima lebih 'dalam' menatap pusara kuburan dibanding menatap dirinya—yang berstatus sebagai istri. Ini, benar-benar hanya tentang ego, bukan?"Aku sudah menekankan sejak awal—""Ya aku tahu, kamu sudah menekankan sejak awal kalau pernikahan ini tanpa melibatkan perasaan. Makanya aku mau memberi sedikit jar
"Aku enggak pernah bayangin sih tubuhku dicium-cium sama ... orang lain yang bukan keluargaku. Pasti aneh. Ih jijik ya enggak sih? Apalagi harus buka baju dan ... ya gitu deh ...." Perkataan di atas adalah ucapan Aluna waktu dia kuliah. Aluna Lizna yang tomboy membuat dia memandang 'keintiman' sebagai hal menjijikan. Pemikiran ini terus berlanjut bahkan ketika dia berpacaran dengan Cakra—salah satu sahabatnya. Gaya berpacaran mereka sangat aneh. Cakra bahkan tidak merubah sikapnya ketika mereka resmi berpacaran. Hanya status yang berubah. Selebihnya sama saja. Mereka menjalani hubungan seperti seseorang teman. Tidak ada yang spesial. Tidak heran ketika Cakra selingkuh, Aluna biasa saja. Namun hal itu membuat usia Aluna tidak sejalan dengan pemahamannya akan 'seksualitas'.Aluna sangat amatir. Namun berbeda dengan malam ini ....Bima membuat Aluna merasakan apa itu gugup ketika nafas saling terhembus satu sama lain. Panas sekali tubuhnya. Aluna gelisah bahkan ketika Bima hanya men
Percintaan dini hari tadi yang sangat menakjubkan ... diakhiri dengan panggilan yang bukan dirinya. Jika ada kata yang lebih tinggi dari sakit hati, Aluna akan menggunakan itu.Namun dari sana, Aluna belajar untuk memupus harapannya kepada Bima. Dia kembali mengingat tujuan awalnya menikah; hanya agar 'aman'. Bukan untuk menjadi istri yang dicintai suami. Ya, hanya itu. Untuk itulah, pada esok harinya, Aluna bersikap biasa saja. Dia tetap memakai kaos polos over size kesukaannya dengan training berbahan lembut membalut kaki kurusnya. Tidak ada yang berubah.Tidak akan ada adegan Aluna malu-malu mendapati punggung telanjang suaminya, karena kenyataanya, jangankan tersipu, melihat Bima saja rasanya seperti ada jarum yang menusuk-nusuk jantung Aluna. Dia sakit hati. "Tumben pagi-pagi udah di dapur Al."Aluna menoleh ketika sapaan itu menyapanya. Perempuan itu mengangguk. Tangannya sedikit menaikkan kerah kaos yang agak melorot, ibunya jangan sampai tahu ada banyak bercak kemerahan d
"Kamu mau langsung tidur?" tanya Bima ketika keluar dari kamar mandi Aluna langsung masuk ke atas ranjang. "Hm," jawab Aluna menggumam. Perempuan itu meringkuk di sisi paling ujung, benar-benar menghindari kemungkinan bersentuhan dengan Bima. Padahal ranjang king size itu masih ber-space lebar. "Besok kita pindah.""Hm.""Al?""Aku ngantuk Bim.""Ini benar-benar bukan karena semalam, kan?""Astaga Bim!" seru Aluna menyibak selimut dan dia menekuk sikut agar bisa menatap suaminya itu. Rambut Aluna yang sebahu, kini acak-acakan karena sebelumnya telah dibaringkan di atas ranjang. "Begini ya Bim, berhenti meromantisasi kejadian dini hari tadi—""Tapi kamu menghindariku," potong Bima seolah keberatan dengan hal itu. "Aku enggak menghindari kamu kok, kepergianku tadi pure karena udah janji nemenin Kalis. Karena aku pikir enggak ada yang penting, ya sudah aku iyain," jelas Aluna. "Kamu lupa hari ini harusnya kita beli peralatan?""Peralatan apa?""Rumah.""Itu kan bisa kamu beli sendir
Aluna yang tertidur di sisi kiri, terus membolak-balik tubuhnya ke kiri dan kanan. Tingkahnya itu membuat Bima yang sudah memejamkan mata menoleh tuk menatap istrinya itu. "Kenapa?" tanya Bima dengan suara serak. Aluna menekuk tubuhnya dengan sikut. Dia membalikkan bantal dan menepuk-nepuknya dengan raut wajah datar. Aluna baru menjawab ketika Bima bertanya tuk kedua kalinya. "Aku enggak bisa tidur, mungkin di kuburan mantan tunangan kamu itu lagi sumpahin aku!" seru Aluna ketus. "Dia enggak ikhlas Prince Charming-nya punya wanita lain, jadi nyumpahin siapapun yang tidur disini bakal kena penyakit punggung."Bima tidak menjawab apapun ketika ucapan 'kasar' Aluna diserukan di kamar mereka. Heningnya suasana malam membuat suara Aluna sangat mengudara. Keras sekali. Setelah bolak-balik mencari posisi nyaman yang membuat ranjang bergoyang, akhirnya Aluna mendapatkannya. Dia menekuk lutut dan memeluknya. Aluna nanar menatap lampu nakas. Minimnya pencahayaan tak mampu menyembunyikan
"Al jangan lari!"Aluna tidak mengindahkan teriakan itu. Dia tetap berlari. Dia menggunakan seluruh energinya untuk cepat sampai tangga dan naik ke kamarnya. Aluna akan mengunci pintu sehingga Bima tidak perlu ada di satu ruangan dengannya. Untuk malam ini saja, Aluna ingin sedikit egois. Dia lelah bertengkar. Situasi tegang tak bagus untuk bayinya, apalagi sekarang adalah jam tidur. Aluna tidak boleh stress. "Aku minta maaf Al ..."Di belakang, Bima masih saja meracau. "Selama 3 hari kemarin aku mikirin soal kita, aku mikirin bayi kita juga."Aluna tidak menyukai panggilan 'bayi kita' kendati faktanya bayi ini memang memiliki setengah gen dirinya dan Bima. "Al ..." Teriakan Bima menjadi suara terakhir yang Aluna ingat ketika rasa pening karena terlalu banyak berpikir membuatnya limbung. Dia hampir jatuh terguling di atas tangga, tetapi urung karena Bima tiba-tiba sudah ada di belakang
"Al, bangun! Ada A Bima jemput kamu pulang!" Aluna menggeliat karena diganggu tidurnya. Perempuan itu bergeming berpikir bisikan itu hanya potongan mimpinya. Namun, dengan tangan yang mengelus pipi, Aluna tahu suara itu nyata. Dibukanya mata, Aluna mendapati Lela menatapnya cemas. Tatapan perempuan berwajah manis ini terlihat pucat. Entah karena ini sudah tengah malam atau karena alasan lain."Ada A Bima di depan," bisik Lela mengulang informasi. "Bima?" tanya Aluna menekuk sikut sehingga dia bisa duduk. Aluna menatap kamar Lela yang serba pastel. Ternyata dia memang tidur di kamar Lela, pantas kasurnya terasa lain. Ditatapnya jam dinding yang menjadi dekorasi kamar, ternyata sudah pukul 10 malam."Kok aku bisa tidur disini La?" "Tadi teteh kan ketiduran di kamarnya A Kalis, terus sama Ibu diajak pindah kamar, enggak inget?"Aluna menggeleng. "Oke, oke, yang penting selamat. Yuk keluar?
Wajah Aluna sudah macam korban sengatan lebah. Aluna mengompres matanya yang bengkak di dapur. Dia melakukannya sembari menunggu air di dalam teko yang dia panaskan di kompor lekas mendidih. Desing teko menguar keras. Aluna terjerat dalam lamunan. Perempuan yang memakai kaos semalam itu masih melamun dengan es batu mencair di tangannya. Ketika suara desing teko mendidih makin konstan, Aluna terlonjak dan lekas mematikannya. Betapa terkejutnya Aluna mendapati teko itu sudah kehilangan banyak air. Lamanya waktu yang dia biarkan membuat air di dalamnya menguap hilang. Mendesah, Aluna kembali mengulang. Mungkin perempuan itu tidak sepenuhnya sadar, bahwa alam bawah sadar telah membuatnya berulang kali melihat pintu. Bima tidak pulang sampai pagi. Kemana lelaki itu pergi? "Udahlah Al, mending kamu kerja biar cepet selesai," gumam Aluna menepis rasa khawatirnya. Dia membawa nampan berisi susu hamil rasa strawb
"Kapan aku bilang begitu?" tanya Bima ketika Aluna menyindirnya soal suami tanpa perasaan. Nada suara Abimanyu Basudewa yang mendesis adalah pertanda, lelaki itu tidak sepenuhnya ingat soal kalimat lamarannya yang menyakitkan. "Waktu melamarku, kamu bilang bisa menghamiliku tanpa perasaan ..." jawab Aluna mengatakannya secara gamblang. Otak Bima tampaknya sedang mencerna, kening lelaki itu mengernyit. Lalu ketika hasilnya telah terproses, Abimanyu Basudewa termenung. "Al ...." lirihnya memanggil. Aluna menyeringai. "Semua kemarahan kamu di jalan tadi ... terlalu berlebihan Bim. Kamu keterlaluan karena hampir mencelakakan kita bertiga ...." maki Aluna.Bima mengerjap nanar mendengar kata 'bertiga'."Kamu harus malu marah-marah hanya karena telat dikasih tahu soal kehamilanku Bim, karena sebenarnya sejak awal, kamu udah ngomong ... hamilku itu bukan sesuatu yang bisa kita selebrasikan seperti pasutri pada umumnya!"
Ketika Bima tiba-tiba mengajak pulang dengan nada dingin, Aluna buru-buru menghampiri Bima dan mengajaknya bicara di kamar. Namun, Bima sepertinya mengalami hari buruk. Lelaki itu memaksa Aluna segera pulang. Begitu mutlak, tegas dan tak terbantahkan. "Aku udah izin mau nginep sama Mamah dan Ayah, sorry tadi enggak ngabarin karena ponselku ketinggalan lagi," jelas Aluna tersenyum tipis. "Kamu ikut nginep aja ya Bim?""Kamu enggak paham maksudku Al? Aku bilang pulang, ya pulang!!" Aluna melebarkan pupil terkejut bukan main mendengar nada tajam Bima. Aluna menoleh tuk melihat reaksi orang tuanya, syukurlah suara televisi menjadi peredam suara sehingga mereka tidak mendengar ucapan Bima yang begitu tajam. Aluna kemudian mengalihkan tatapan ke depan. Menatap suaminya. Aluna bukan pembaca ekpsresi, tetapi tajamnya sorot pandang Bima, tentu adalah hal buruk.Menghela nafas, Aluna pun terpaksa mengangguki permintaan Bima u
Rutenya selalu sama, apapun yang tidak diharapkan selalu Tuhan datangkan sebagai ujian. Seperti bakteri dan virus, yang lebih mahir membuat sistem imun belajar untuk kuat (Aluna)***Aluna pernah mendengar, jika kita sudah terlalu yakin akan suatu 'planning' maka akan ada saja sesuatu yang menggagalkannya. Aluna mengalaminya sekarang. Berniat mengabari keluarganya soal kehamilannya satu hari pasca USG, planningnya malah molor sampai 4 hari setelahnya. Ya, telat 3 hari. Dan itu semua tidak sengaja dia lewatkan. Aluna benar-benar lupa akan hal itu. Dia sibuk mengejar deadline pekerjaan setelah hari dimana Bima membawanya ke kampus lantas main ke bioskop.Disini, kadang Aluna sadar bahwa manusia jangan terlalu percaya diri. Aluna yang sudah memikirkan reaksi kedua orang tuanya ketika tahu dia hamil sejatinya sudah melampaui takdir. Dia melupakan Tuhan dalam proses memikirkan planning itu. Yeah, karena sekaran
"Astaga sekarang jam berapa?""Jam setengah 7.""Ya ampun aku belum makan," seru Aluna panik. Bima mengernyitkan dahinya. Aluna si Perempuan gila kerja yang suka mengurung diri tanpa makan sekarang panik hanya karena lupa makan? "Hati-hati Al!" tegur Bima ketika sang Istri hampir terjatuh karena belum sepenuhnya sadar pasca tidur berjam-jam. "Padahal aku setting alarm tahu.""Capek banget kayaknya kamu Al. Kerja dari tadi?""Enggak kerja sama sekali. Cuma duduk doang.""Ya udah jangan cemberut gitu, sekarang sholat dulu, kalau mau mandi pakai air hangat biar enggak masuk angin," kata Bima memberi saran lembut. Aluna mengangguk. Bima gemas sekali karena wajah Aluna yang berkeringat secara otomatis membuat kedua pipinya memerah alami. Sangat cantik. Terutama karena wajah habis bangun Aluna benar-benar menggemaskan dengan mata bengkak menyipit dan juga bibir menekuk.
Ternyata seperti ini rasanya ...Aluna duduk di kursi ruang Obgyn dengan seorang perempuan berkacamata mewawancarainya dengan banyak pertanyaan basic. Tujuan datang ke Obgyn? Kehamilan pertama atau bukan? Sudah cek pakai testpack lebih dulu atau belum? Dan lain sebagainya. Aluna menjawabnya dengan antusias. Sungguh, dia bahagia sekali bisa hamil sehingga setiap moment-nya dia nikmati dengan penuh sukacita. Aluna bahkan tidak insecure ketika ibu-ibu hamil yang datang ke klinik ini hampir semuanya diantar suaminya masing-masing. Fokus utama Aluna saat ini adalah kesehatan bayinya. "Bu Aluna, kayaknya bener deh kita udah pernah ketemu. Di The Jungle ...."Aluna ber-oh panjang. The Jungle adalah restoran milik ayahnya yang sekarang punya banyak cabang. "Iya itu memang punya ayah saja Dok.""Wah kebetulan, The Jungle itu tempat favorit saya.""Ya ampun, dunia sempit ya, lain kali kalau mampir bisa hubun
Testpack digital telah melakukan pekerjaannya. Di jendelanya, tertera 'yes' sebagai jawaban. Aluna menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Emosinya sudah tersedot kemarin malam sehingga subuh ini dia bisa mengontrol diri. Aluna keluar dari kamar dan mencengkram testpack digital itu untuk dia masukan ke dalam kotak. Abimanyu Basudewa yang masih terlelap, dia lewati begitu saja. Alih-alih memberitahu Bima soal ini, Aluna malah membuka laptop. Dia menghitung usia pekerjaannya selama mengambil dua pekerjaan freelance sekaligus. Aluna tidak boleh mengambil banyak pekerjaan selama hamil karena begadang tidak dianjurkan. Dia akan menawarkan pekerjaannya yang belum selesai—dengan kontrak yang lama, ke temannya sesama freelance. "Bisa enggak? Sekitar 113 bab lagi, itu optional, bisa diperpendek maupun diperpanjang kalau memang butuh duit banget," kata Aluna menggigiti ujung kukunya karena gugup. Aluna bahkan belum cuci m