"Kamu mau langsung tidur?" tanya Bima ketika keluar dari kamar mandi Aluna langsung masuk ke atas ranjang. "Hm," jawab Aluna menggumam. Perempuan itu meringkuk di sisi paling ujung, benar-benar menghindari kemungkinan bersentuhan dengan Bima. Padahal ranjang king size itu masih ber-space lebar. "Besok kita pindah.""Hm.""Al?""Aku ngantuk Bim.""Ini benar-benar bukan karena semalam, kan?""Astaga Bim!" seru Aluna menyibak selimut dan dia menekuk sikut agar bisa menatap suaminya itu. Rambut Aluna yang sebahu, kini acak-acakan karena sebelumnya telah dibaringkan di atas ranjang. "Begini ya Bim, berhenti meromantisasi kejadian dini hari tadi—""Tapi kamu menghindariku," potong Bima seolah keberatan dengan hal itu. "Aku enggak menghindari kamu kok, kepergianku tadi pure karena udah janji nemenin Kalis. Karena aku pikir enggak ada yang penting, ya sudah aku iyain," jelas Aluna. "Kamu lupa hari ini harusnya kita beli peralatan?""Peralatan apa?""Rumah.""Itu kan bisa kamu beli sendir
Aluna yang tertidur di sisi kiri, terus membolak-balik tubuhnya ke kiri dan kanan. Tingkahnya itu membuat Bima yang sudah memejamkan mata menoleh tuk menatap istrinya itu. "Kenapa?" tanya Bima dengan suara serak. Aluna menekuk tubuhnya dengan sikut. Dia membalikkan bantal dan menepuk-nepuknya dengan raut wajah datar. Aluna baru menjawab ketika Bima bertanya tuk kedua kalinya. "Aku enggak bisa tidur, mungkin di kuburan mantan tunangan kamu itu lagi sumpahin aku!" seru Aluna ketus. "Dia enggak ikhlas Prince Charming-nya punya wanita lain, jadi nyumpahin siapapun yang tidur disini bakal kena penyakit punggung."Bima tidak menjawab apapun ketika ucapan 'kasar' Aluna diserukan di kamar mereka. Heningnya suasana malam membuat suara Aluna sangat mengudara. Keras sekali. Setelah bolak-balik mencari posisi nyaman yang membuat ranjang bergoyang, akhirnya Aluna mendapatkannya. Dia menekuk lutut dan memeluknya. Aluna nanar menatap lampu nakas. Minimnya pencahayaan tak mampu menyembunyikan
Di toko furniture, Aluna yang memakai jaket jeans menaikkan sebelah alisnya ketika Bima yang terlihat segar dengan kaos dan celana pendek membawanya ke deretan ranjang yang dijual. "Kamu mau yang gimana Al?" tanya Bima sambil melihat-lihat ranjang. Lelaki itu mengelus ukiran ranjang kayu yang terlalu 'berlebihan' dan sangat jauh dari selera Aluna. Syukurlah Bima beralih ke bagian ranjang minimalis. "Ngapain beli ranjang? Kamar tamu sama kamar belakang udah ada, kan?" tanya Aluna pura-pura tak tertarik menatap deretan ranjang di lantai atas toko furnitur ini. Mereka sampai pergi ke luar kota untuk membeli furniture rumah. Biar lengkap, begitu kata Bima ketika Aluna mengeluh lama di jalan. "Buat kamar utama," jawab Bima. Aluna menaikkan sebelah alisnya. "Kan kamar utama udah ada ranjang kenangan penuh cinta yang sangat nyaman."Nada sinis yang diucapkan Aluna membuat Bima menoleh sehingga tatapan mereka bertaut. Aluna menunggu Bima membalas ucapannya. Dia menunggu kesempatan itu
Untuk urusan kamar saja mereka sampai adu urat. Aluna emosi sekali sampai dia menyikat giginya dengan gerakan tergesa-gesa. Bisa dia lihat, wajahnya yang terpantul di cermin wastafel benar-benar memerah. Dia lekas berkumur ketika rasa perih terasa kuat di gusinya. Begitu dia memuntahkan air kumurannya ke westafel, noda darah terlihat. Astaga, Aluna sering lupa mengontrol diri ketika emosi. Dia memang mudah emosi dan bukan perempuan anggun yang memilih diam ketika marah menguasai tubuhnya. Dia akan mengaum seperti singa. Dan mungkin sedikit membanting barang seperti monyet gila. Sedikit bantingan pintu kamar mandi akhirnya menjadi penutup kemarahan Aluna. Perempuan itu mengeraskan wajah ketika Bima terlihat menipiskan bibir melihat pintu kamarnya dibanting keras. Aluna berbaring memunggungi Bima. Dia menopang pipi dengan lengannya. Semalaman itu, hanya karena debat soal dekorasi kamar, sepasang suami istri itu sampai tak saling bicara. Keduanya masih keras kepala. Belum menemuk
"Astaga!!" pekik Aluna ketika Bima menekan klakson berulang kali dengan sangat berisik. Akibat hal itu, Siberian Hamdan menggonggong keras sekali. Siberian manis berbulu lebat milik Hamdan baru berhenti menggonggong ketika mobil Bima sudah hilang dari gerbang. Aluna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan heran. Dia tak menyangka Bima bisa sangat kekanakan. "Its okay Joy, its okay."Aluna menatap Hamdan yang sedang menenangkan anjingnya. Siberian itu luluh di bawah elusan majikannya. Setelah Joy tenang, mereka melanjutkan jogging ke depan lalu berputar tuk kembali ke perumahan mereka. Hamdan adalah tetangga Bima, posisi rumahnya cukup jauh tetapi lelaki itu mengaku sering mengajak Siberiannya jalan-jalan setiap 3 hari sekali. Mereka dengan mudah akrab karena Aluna pecinta binatang. Joy takluk di bawah tangannya. Hal itu sepertinya membuat Hamdan terkesan karena menurut cerita Hamdan, Joy sangat pemalu. Dia akan menyalak galak ketika berhadapan dengan orang asing yang tidak familia
Aluna tak mempercayai apa yang ada di hadapannya. Abimanyu Basudewa yang membawa nampan terasa lain dari biasa. Apa ini akal bulus? Umpan agar lelaki 'tidak punya hati' ini bisa menjebaknya?Aluna masih menyipitkan matanya ketika Bima menaruh nampan itu di atas meja. "Aku naik ke lantai atas," pamitnya meninggalkan Aluna. Aluna memutar kursinya. Dia menatap punggung lebar Bima yang tertelan pintu. Lalu perempuan itu menatap nampan berisi salad buah yang begitu ajaib karena berisi banyak apel. Apa selain mengetahui pekerjaan Aluna, Bima juga mengetahui bahwa apel adalah buah kesukaannya? "Enggak ada racunnya, kan?" gumam Aluna menusuk satu potongan apel berlumur keju dan mayonaise sebelum memasukannya ke mulut. Enak. Dan tidak ada rasa aneh selain gurih dan manis. Baiklah, Aluna akan menganggap Bima sedang di mode baik. Dengan cemilan itulah, Aluna menyelesaikan pekerjaannya. Seman
Aluna sudah belasan kali mendefinisikan cinta yang dia tuangkan ke dalam narasi novel-novelnya. Mulai dari 'cinta' dari pendapat realistis, sampai sedikit melankolis. Namun sebenarnya semua itu hanya teori. Aluna tidak benar-benar paham apa yang dia tulis. Cakra bersemayam di dalam hidupnya selama 11 tahun nyatanya tak berhasil membuat Aluna paham apa itu cinta. Semuanya semu. Sesemu sikap manis Bima pagi ini. Lelaki itu membangunkannya dengan kecupan beruntun di punggung.Rasanya geli. Sensasinya seperti ketika kulitmu diusap kapas berisi alkohol. Dingin. Namun setelah dingin itu hilang, akan ada sensasi panas yang membuat bulu-bulu tubuh meremang. Diiringi jantung berdegup tentu saja. Aluna jadi berpikir, apa semalam kurang? Mereka baru berhenti pukul 1 malam dan itu sangat menguras energi. Aluna sampai berpikir besok dia harus meliburkan diri karena tidak akan sanggup berjalan. Lalu, pagi ini, Bima kembali menggodanya? "Udah bangun, Al?" Panggilan Bima di kupingnya terasa
"Al, Mamah kamu di bawah!"Aluna sedikit meraba-raba apa suara itu mimpi atau kenyataan. Rasa nyaman terbuntal selimut membuatnya tidak ingin bangun. Lalu saat bisikan itu kembali datang bersama kecupan lembut di dahi, Aluna langsung membuka mata. "Mamah kamu di bawah," ulang Bima. Posisi wajahnya begitu dekat. "Mamah?" tanya Aluna bingung. "Iya, Mamah Lizy."Aluna masih linglung sepertinya, sebab dia malah menatap Bima dengan tatapan seolah ucapan Bima tidak dia pahami. Perempuan itu malah melihat jam di dinding dan merasa panik melihat jamnya sudah menunjukan pukul 6. Sewaktu Bima menahan selimut yang melorot, disitulah Aluna sadar dirinya tidak memakai busana di dalam selimut. Kenangan dini hari tergambar dengan cepat. Lalu dia pun sadar, sekarang sudah pagi dan cukup terlambat. "Tadi kamu bilang apa Bim?""Mamah kamu jenguk. Lagi di bawah.""Astaga!!!!" seru Aluna menarik selimut dan menjadikan