Aluna tak mempercayai apa yang ada di hadapannya. Abimanyu Basudewa yang membawa nampan terasa lain dari biasa. Apa ini akal bulus? Umpan agar lelaki 'tidak punya hati' ini bisa menjebaknya?Aluna masih menyipitkan matanya ketika Bima menaruh nampan itu di atas meja. "Aku naik ke lantai atas," pamitnya meninggalkan Aluna. Aluna memutar kursinya. Dia menatap punggung lebar Bima yang tertelan pintu. Lalu perempuan itu menatap nampan berisi salad buah yang begitu ajaib karena berisi banyak apel. Apa selain mengetahui pekerjaan Aluna, Bima juga mengetahui bahwa apel adalah buah kesukaannya? "Enggak ada racunnya, kan?" gumam Aluna menusuk satu potongan apel berlumur keju dan mayonaise sebelum memasukannya ke mulut. Enak. Dan tidak ada rasa aneh selain gurih dan manis. Baiklah, Aluna akan menganggap Bima sedang di mode baik. Dengan cemilan itulah, Aluna menyelesaikan pekerjaannya. Seman
Aluna sudah belasan kali mendefinisikan cinta yang dia tuangkan ke dalam narasi novel-novelnya. Mulai dari 'cinta' dari pendapat realistis, sampai sedikit melankolis. Namun sebenarnya semua itu hanya teori. Aluna tidak benar-benar paham apa yang dia tulis. Cakra bersemayam di dalam hidupnya selama 11 tahun nyatanya tak berhasil membuat Aluna paham apa itu cinta. Semuanya semu. Sesemu sikap manis Bima pagi ini. Lelaki itu membangunkannya dengan kecupan beruntun di punggung.Rasanya geli. Sensasinya seperti ketika kulitmu diusap kapas berisi alkohol. Dingin. Namun setelah dingin itu hilang, akan ada sensasi panas yang membuat bulu-bulu tubuh meremang. Diiringi jantung berdegup tentu saja. Aluna jadi berpikir, apa semalam kurang? Mereka baru berhenti pukul 1 malam dan itu sangat menguras energi. Aluna sampai berpikir besok dia harus meliburkan diri karena tidak akan sanggup berjalan. Lalu, pagi ini, Bima kembali menggodanya? "Udah bangun, Al?" Panggilan Bima di kupingnya terasa
"Al, Mamah kamu di bawah!"Aluna sedikit meraba-raba apa suara itu mimpi atau kenyataan. Rasa nyaman terbuntal selimut membuatnya tidak ingin bangun. Lalu saat bisikan itu kembali datang bersama kecupan lembut di dahi, Aluna langsung membuka mata. "Mamah kamu di bawah," ulang Bima. Posisi wajahnya begitu dekat. "Mamah?" tanya Aluna bingung. "Iya, Mamah Lizy."Aluna masih linglung sepertinya, sebab dia malah menatap Bima dengan tatapan seolah ucapan Bima tidak dia pahami. Perempuan itu malah melihat jam di dinding dan merasa panik melihat jamnya sudah menunjukan pukul 6. Sewaktu Bima menahan selimut yang melorot, disitulah Aluna sadar dirinya tidak memakai busana di dalam selimut. Kenangan dini hari tergambar dengan cepat. Lalu dia pun sadar, sekarang sudah pagi dan cukup terlambat. "Tadi kamu bilang apa Bim?""Mamah kamu jenguk. Lagi di bawah.""Astaga!!!!" seru Aluna menarik selimut dan menjadikan
"Aku minta tolong kancingin kebayaku lho," gerutu Aluna menatap pantulan mereka di cermin lebar. Disana, Bima memegang bahu Aluna yang terbuka dan tengah mengecupi sisi belakangnya. Mendengar sindiran Aluna, Bima mendongak. Lelaki itu tersenyum. Terlihat rupawan dengan rambut yang sudah digel rapih. "Iya yah," sahut Bima merapihkan bagian belakang kebaya Aluna dan mengaitkan kancingnya. "Enggak pakai dalaman lagi Al? Soalnya punggung kamu keliatan.""Modelnya kan begitu," jawab Aluna berbalik tuk melihat pekerjaan suaminya. Syukurlah tiga kancing di belakang punggungnya sudah terkait. Model kebaya Aluna memang sedikit terbuka di belakang. Kancingnya di atas tidak menutupi apapun. Aluna sebenarnya tidak suka dengan kebayanya ini, tetapi dia memang tidak punya kebaya lagi. Hanya satu. "Bee suka pakai dalaman gitu yang warna kulit Al, kamu enggak punya?""Enggak. Lagipula ini cuma bolong dikit doang. Masih sopan buat dipake kunjungan ke rumahnya Rere." Sekarang memang Jumat. Mereka s
"Aku baru sadar udah terlalu lama jadi penyakit di keluargaku. Berulang kali dekat sama lelaki manapun, aku kaya enggak punya keinginan buat berumah tangga. Rasanya kaya kosong. Aku jadi bersyukur kamu yang datang malam itu Bim," cerita Aluna menjilat ice cream miliknya. Sekarang pukul setengah 6 magrib, Bima mengajak Aluna ke toko ice cream sepulang dari Cipasung—rumah Rere. Suasana toko ice cream yang berada di pinggir waduk Darma membuat Aluna merasa ditelanjangi baik jiwa maupun raga. Alam membuatnya bebas. Dia jadi terbuka untuk bercerita. "Karena aku yang akhirnya bikin kamu tertarik buat menikah?" tanya Bima menatap Aluna yang rambut pendeknya diterbangkan angin. "Yep, dalam artian 'terpaksa'. Kamu bikin aku emosi pake bawa deadline rahimku."Bima mendesah. "Sorry kalau itu terdengar menyakitkan.""Its okay, aku malah bersyukur karena kalau bukan dengan cara seperti itu, mungkin sekarang Wira dan Rere enggak akan bahagia," timpal Aluna menatap kapal-kapal di tepian waduk. S
"Aku ... aku enggak enak badan, bisa kamu antar aku ke rumah sakit?" tanya Aluna mencicit berharap Bima mengantarnya ke rumah sakit dan melupakan niatnya pergi ke rumah Cassandra untuk menghadiri pengajian. "Kamu sakit apa?" tanya Bima menghampiri Aluna. Aluna sedikit gagap. Dia tidak tahu harus merangkai alasan apalagi. Seumur hidup, dia tidak pernah ada di posisi berbohong hanya tuk mencari perhatian seorang lelaki. Tahu-tahu lelaki itu sudah ada di depan mata dan meraba dahinya. "Aku pusing," jawab Aluna mendongak menatap Bima. "Bisa ... kamu antar aku ke dokter?""Ya udah kamu siap-siap Al, aku panasin mobil." Raut wajah Aluna sudah merekah oleh senyum sebelum Bima melanjutkan ucapannya yang terpotong. "Kita ke rumah sakit setelah balik dari rumah Cassandra."Tidak. Aluna tidak mau begitu. Dia akan bersikap egois—hanya tuk hari ini saja. "Aku pengen buru-buru ke rumah sakit."Bima menoleh dan menatap Aluna dengan tatapan kebingungan. "Ya kan habis dari rumah Cassandra Al,
Kuburan itu telah ditabur kelopak mawar. Aromanya menjadi pengisi pagi gerimis yang terasa sendu. Bima menaruh buket bunga mawar merah yang berukuran besar. Disandarkannya buket itu di dekat pusara, Bima menatap itu semua dengan nafas tertahan. "Semalam Ibu Mimpi Bim, kamu jadi menantu Ibu," kata suara lembut menyentak lamunan Bima. Bima menoleh, lelaki itu mengumbar senyum tipis. "Aku tetap anak ibu sekalipun Sandra udah meninggal.""Makasih ya Bim," ucap ibu Cassandra dengan tulus. Perempuan yang berambut penuh uban itu berkaca-kaca menatap pusara putrinya. "Kalau dia enggak pergi, mungkin kalian udah bahagia.""Dia juga udah bahagia Bu, di surga.""Tapi Ibu enggak suka kamu udah nikah."Bima terdiam. Dia membiarkan pembicaraan itu mengendap tanpa perlu dia ungkit-ungkit. Tanpa timpalan, topik soal pernikahannya terbuang sia-sia. "Kamu enggak ikut ke panti asuhan?" tanya Ibu Cassandra heran melihat Bima pamit pulang. Perempuan itu bahkan enggan mengulurkan tangan tuk disalin Bi
Macet. Bima sudah tak tahu betapa kali dia mengetuk-ngetukan kepalan tangannya ke roda kemudi. Sesekali lelaki itu melirik ponsel yang tetap hitam tak menampilkan notifikasi apapun. Sekarang sudah malam, sekitar pukul 9 malam, Bima cemas memikirkan kondisi rumah. Al, sedang apa? Apa masih sibuk bekerja sampai lupa makan? Atau sedang marah karena Bima tidak menepati janji untuk pulang cepat? Semua tanya yang tak berujung itu serupa benang yang semakin kusut. Menjerat kepala Bima dan membuatnya tidak fokus. Bima sekali lagi menekan power ponselnya; dia mendial nomor Aluna dan mengumpat karena nomor istrinya itu tidak kunjung aktif. Cukup alot di perjalanan, akhirnya Bima telah sampai di Kuningan. Letak panti asuhannya memang di luar kota, sehingga Bima baru pulang selarut ini karena lama di perjalanan. Bima mendesah lega ketika mobilnya melewati gapura perumahan dimana rumahnya berada. Plat 'Residence Royals' tercetak besar di gapura itu. Bima menelan klakson di depan gerbang ru