Macet. Bima sudah tak tahu betapa kali dia mengetuk-ngetukan kepalan tangannya ke roda kemudi. Sesekali lelaki itu melirik ponsel yang tetap hitam tak menampilkan notifikasi apapun. Sekarang sudah malam, sekitar pukul 9 malam, Bima cemas memikirkan kondisi rumah. Al, sedang apa? Apa masih sibuk bekerja sampai lupa makan? Atau sedang marah karena Bima tidak menepati janji untuk pulang cepat? Semua tanya yang tak berujung itu serupa benang yang semakin kusut. Menjerat kepala Bima dan membuatnya tidak fokus. Bima sekali lagi menekan power ponselnya; dia mendial nomor Aluna dan mengumpat karena nomor istrinya itu tidak kunjung aktif. Cukup alot di perjalanan, akhirnya Bima telah sampai di Kuningan. Letak panti asuhannya memang di luar kota, sehingga Bima baru pulang selarut ini karena lama di perjalanan. Bima mendesah lega ketika mobilnya melewati gapura perumahan dimana rumahnya berada. Plat 'Residence Royals' tercetak besar di gapura itu. Bima menelan klakson di depan gerbang ru
Kualat Lagi Abimanyu Basudewa menatap sang Istri yang diayang seorang lelaki berkulit putih bersih. Aluna memakai jaket tebal dan celana training biru. Sang istri, mencepol rambut sebahunya menyisakan sedikit anak rambut yang berantakan karena tertiup angin. Bima menipiskan bibirnya melihat Aluna kesulitan berjalan. "Perempuannya selain Aluna ada berapa?" tanya Bima menatap Kalis yang berdiri di sisinya. "Cuma Aluna, dia enggak bilang?"Bima melebarkan pupil matanya mendengar jawaban Kalis. "Dia satu-satunya perempuan di rombongan?""Iya," jawab Kalis mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Bima mengangguk. Lelaki itu hanya mengangguk, tak berkata apapun selain membuka pintu agar Aluna masuk ke kursi di sebelah kemudi.Hal yang tak terduga terjadi, Aluna yang sudah mencapai mobil tiba-tiba membuka pintu belakang. Bima tertegun. "Emang harus dilurusin kakinya jadi di jo
"Kita cuma saling membutuhkan di atas ranjang. Udah itu aja. Jadi berhenti baikin aku dan ikut campur ke masalahku! Seengaknya kalau udah punya anak nanti, kita udah terbebas dari pemikiran negatif orang-orang. Itu aja Bim. Terserah mau pisah atau bagaimana setelah punya anak nanti.""Apa aku mengatakan pernikahan ini cuma untuk kebutuhan di atas ranjang?""Enggak, tapi aku iya!!!" jawab Aluna dengan percaya diri. "Satu-satunya alasanku terima lamaran kamu itu cuma buat dapat keturunan. Itu kan yang kamu tekankan waktu lamar aku? Deadline rahim! Waktuku tinggal 2 tahun untuk ada di fase optimal mengandung dan melahirkan, jadi pernikahan normal menurutku cuma itu Bim. Tolong hargai!"Bima tak berkutik ketika Aluna menyudahi pembicaraan 'adu urat' itu dengan meninggalkannya. Terpincang-pincang, Aluna meraih ponselnya dan berjalan menuju charger-an di ruang kerja. Ya, alih-alih menuju laci berisi banyak stop kontak di nakas kamar, Aluna malah menyiksa diri dengan menuruni tangga.Alasan
Semangkuk bubur hangat berada di atas nampan bersama sup jagung. Aromanya membuat Aluna semakin lapar. Terlebih selama menikah ini, Aluna sudah mengetahui citra rasa masakan Bima memang tidak main-main. Sangat pas di lidahnya. Hidangan untuk sarapan itu jelas membuatnya tersiksa atas dua pilihan; memakan masakan itu mengabaikan gengsi, atau sebaliknya. Tetap memberi makan 'gengsi' dengan menolak makanan itu semua. Bima yang berdiri di depan ranjang tampaknya menyadari kebimbangan Aluna. "Dimakan aja, lagipula kamu lagi sakit. Kalau sudah sembuh, kita ikutin keinginan kamu buat masak sendiri-sendiri," kata Bima cukup logis. Aluna yang mendengar ucapan Bima spontan melirik kakinya. Sudah tidak bengkak, tetapi masih sakit dibawa berjalan. DOMS memperumit semuanya, sebab sekarang bukan hanya kaki terkilirnya yang sakit tetapi seluruh tubuhnya. Mengangguk, Aluna putuskan menerima 'kebaikan' Bima. "Aku bantu ....""Enggak usah," tolak Aluna secara halus. "Aku bisa sendiri."Aluna sebi
Hanya sebentar Bagaspati terlihat takut menghadapi kakaknya, setelah itu Bagaspati kembali santai. Cara Bagaspati menanggapi masalah membuat Aluna malu, sebab beberapa hari ini dia mengaku sangat 'drama'.Mereka bermain game consol setelah acara televisi tak membuat mereka terhibur. Aluna yang memang hobi bermain game membuat Bagaspati mengeluarkan banyak sumpah serapah karena dia kalah berkali-kali. "Ah, shit, ini pasti salah tv-nya. Seriusan, enggak pernah kalah aku tuh Al!" Bagaspati berdiri dan mondar-mandir di depan meja yang berisi banyak tumpukan snack. Lelaki itu memegang stik game. Aluna yang terganggu oleh tubuh jangkung Bagaspati memanjangkan kaki kirinya yang tak sakit tuk mendorong paha lelaki itu agar menyingkir. "Ck, awas Gas!!!""Ahhh!!!!" teriak Bagaspati melempar stiknya ke atas sofa."Kaya anak kecil kamu Gas!" maki Aluna lantas bersorak karena dia memenangkan permainan. Aluna mengibaskan rambut sebahunya ke
"Udah makan?"Mengangkat pandangan, Aluna pikir pertanyaan itu sangat bodoh sebab sekarang adalah pukul 12 malam. Alih-alih menjawab, Aluna merebahkan diri di atas ranjang dan menarik selimut sampai dagu. Dia memejamkan mata dan berdoa semoga Bima cukup peka untuk mematikan lampu dan membiarkannya tidur. Sayangnya tidak demikian ....Lelaki yang terlihat lelah itu melonggarkan ikatan dasi di lehernya lantas menyibak selimut tuk melihat kaki Aluna. Duh, Tuhan, dosa enggak sih nendang suami sendiri? Gerutu Aluna memelas. Sungguh, dia mengantuk, dan sangat sensi terhadap sesuatu yang berkaitan dengan Bima. "Aku mau tidur," rengek Aluna menekuk kakinya. Dia melakukannya semata agar tangan besar Bima tidak menyentuh permukaan kulitnya. "Bentar aja.""Kamu mau ribut?""Aku cuma mau lihat kaki kamu Al, bukan ngajak ribut.""Tapi aku enggak mau, bisa kamu hargai pendapatku? Lagipula ini udah
Menghindar sejauh apapun, Aluna tahu semuanya sia-sia sebab Bima adalah suaminya. Hal itu begitu jelas tercantum di buku nikah yang dia simpan di buku berkas. Aluna juga tak mungkin berpura-pura bahwa cincin yang melingkari jari manisnya adalah pemberian dari Bima. Jadilah ... sepulang Bagaspati ke rumahnya, Aluna berusaha lebih baik ke Bima. Menguras emosi juga jika dia 'berusaha' menolak kehadiran dan kebaikan Bima. Udah lah, dia emang dari oroknya baik kali, gumam Aluna mengingatkan hatinya. Bima sudah menjelaskan sendiri jika dia tidak 'bisa' mencintai perempuan lain setelah calon istrinya meninggal. Kebaikan Bima tidak perlu dia permasalahkan. Tidak semua kebaikan mengarah ke perasaan. Aluna hanya ingin menjadi diri sendiri seperti ucapan Bagaspati. Hidupnya hanya sekali dan terasa sia-sia membuat dirinya tertekan oleh banyak tuntutan. Begitu mereka di dalam mobil dalam perjalanan ke rumah orang tua Bima, Aluna tidak lagi menunjukan muka ketus. Dia bersenandung menikmati la
Kejutan Aluna Cassandra Sudjono adalah seorang perempuan berambut panjang sepinggang. Aluna baru melihatnya dari sebuah album yang dia 'curi' dari laci kerja suaminya. Bentuk wajah dan postur tubuhnya seperti Raline Shah. Aluna mengakui, Sandra sangat cantik seperti namanya. Dia sangat anggun, tipikal perempuan yang punya banyak stok rok dan gaun di lemarinya. Hampir semua potret dirinya baik sendiri maupun berdua dengan Bima memakai rok. Sekalipun memakai celana, atasannya sangat perempuan sekali. Sama sekali tidak ada potret Cassandra Sudjono memakai kaos dan training. Cassandra Sudjono berbeda dengan Aluna. Perempuan ini sangat cantik dan menyadari sepenuhnya bahwa fisiknya sempurna. Lihatlah dressnya! Sangat memperlihatkan betapa lekuk tubuhnya bisa membuat lelaki manapun bertekuk lutut termasuk si Kutu Buku Abimanyu Basudewa yang sangat kaku tetapi punya banyak hal yang membuat perempuan manapun menginginkan posisi sebagai istrinya. "Cih!" Aluna mendengkus kasar begitu alb