"Al, Mamah kamu di bawah!"
Aluna sedikit meraba-raba apa suara itu mimpi atau kenyataan. Rasa nyaman terbuntal selimut membuatnya tidak ingin bangun. Lalu saat bisikan itu kembali datang bersama kecupan lembut di dahi, Aluna langsung membuka mata."Mamah kamu di bawah," ulang Bima. Posisi wajahnya begitu dekat."Mamah?" tanya Aluna bingung."Iya, Mamah Lizy."Aluna masih linglung sepertinya, sebab dia malah menatap Bima dengan tatapan seolah ucapan Bima tidak dia pahami. Perempuan itu malah melihat jam di dinding dan merasa panik melihat jamnya sudah menunjukan pukul 6.Sewaktu Bima menahan selimut yang melorot, disitulah Aluna sadar dirinya tidak memakai busana di dalam selimut. Kenangan dini hari tergambar dengan cepat. Lalu dia pun sadar, sekarang sudah pagi dan cukup terlambat."Tadi kamu bilang apa Bim?""Mamah kamu jenguk. Lagi di bawah.""Astaga!!!!" seru Aluna menarik selimut dan menjadikan"Aku minta tolong kancingin kebayaku lho," gerutu Aluna menatap pantulan mereka di cermin lebar. Disana, Bima memegang bahu Aluna yang terbuka dan tengah mengecupi sisi belakangnya. Mendengar sindiran Aluna, Bima mendongak. Lelaki itu tersenyum. Terlihat rupawan dengan rambut yang sudah digel rapih. "Iya yah," sahut Bima merapihkan bagian belakang kebaya Aluna dan mengaitkan kancingnya. "Enggak pakai dalaman lagi Al? Soalnya punggung kamu keliatan.""Modelnya kan begitu," jawab Aluna berbalik tuk melihat pekerjaan suaminya. Syukurlah tiga kancing di belakang punggungnya sudah terkait. Model kebaya Aluna memang sedikit terbuka di belakang. Kancingnya di atas tidak menutupi apapun. Aluna sebenarnya tidak suka dengan kebayanya ini, tetapi dia memang tidak punya kebaya lagi. Hanya satu. "Bee suka pakai dalaman gitu yang warna kulit Al, kamu enggak punya?""Enggak. Lagipula ini cuma bolong dikit doang. Masih sopan buat dipake kunjungan ke rumahnya Rere." Sekarang memang Jumat. Mereka s
"Aku baru sadar udah terlalu lama jadi penyakit di keluargaku. Berulang kali dekat sama lelaki manapun, aku kaya enggak punya keinginan buat berumah tangga. Rasanya kaya kosong. Aku jadi bersyukur kamu yang datang malam itu Bim," cerita Aluna menjilat ice cream miliknya. Sekarang pukul setengah 6 magrib, Bima mengajak Aluna ke toko ice cream sepulang dari Cipasung—rumah Rere. Suasana toko ice cream yang berada di pinggir waduk Darma membuat Aluna merasa ditelanjangi baik jiwa maupun raga. Alam membuatnya bebas. Dia jadi terbuka untuk bercerita. "Karena aku yang akhirnya bikin kamu tertarik buat menikah?" tanya Bima menatap Aluna yang rambut pendeknya diterbangkan angin. "Yep, dalam artian 'terpaksa'. Kamu bikin aku emosi pake bawa deadline rahimku."Bima mendesah. "Sorry kalau itu terdengar menyakitkan.""Its okay, aku malah bersyukur karena kalau bukan dengan cara seperti itu, mungkin sekarang Wira dan Rere enggak akan bahagia," timpal Aluna menatap kapal-kapal di tepian waduk. S
"Aku ... aku enggak enak badan, bisa kamu antar aku ke rumah sakit?" tanya Aluna mencicit berharap Bima mengantarnya ke rumah sakit dan melupakan niatnya pergi ke rumah Cassandra untuk menghadiri pengajian. "Kamu sakit apa?" tanya Bima menghampiri Aluna. Aluna sedikit gagap. Dia tidak tahu harus merangkai alasan apalagi. Seumur hidup, dia tidak pernah ada di posisi berbohong hanya tuk mencari perhatian seorang lelaki. Tahu-tahu lelaki itu sudah ada di depan mata dan meraba dahinya. "Aku pusing," jawab Aluna mendongak menatap Bima. "Bisa ... kamu antar aku ke dokter?""Ya udah kamu siap-siap Al, aku panasin mobil." Raut wajah Aluna sudah merekah oleh senyum sebelum Bima melanjutkan ucapannya yang terpotong. "Kita ke rumah sakit setelah balik dari rumah Cassandra."Tidak. Aluna tidak mau begitu. Dia akan bersikap egois—hanya tuk hari ini saja. "Aku pengen buru-buru ke rumah sakit."Bima menoleh dan menatap Aluna dengan tatapan kebingungan. "Ya kan habis dari rumah Cassandra Al,
Kuburan itu telah ditabur kelopak mawar. Aromanya menjadi pengisi pagi gerimis yang terasa sendu. Bima menaruh buket bunga mawar merah yang berukuran besar. Disandarkannya buket itu di dekat pusara, Bima menatap itu semua dengan nafas tertahan. "Semalam Ibu Mimpi Bim, kamu jadi menantu Ibu," kata suara lembut menyentak lamunan Bima. Bima menoleh, lelaki itu mengumbar senyum tipis. "Aku tetap anak ibu sekalipun Sandra udah meninggal.""Makasih ya Bim," ucap ibu Cassandra dengan tulus. Perempuan yang berambut penuh uban itu berkaca-kaca menatap pusara putrinya. "Kalau dia enggak pergi, mungkin kalian udah bahagia.""Dia juga udah bahagia Bu, di surga.""Tapi Ibu enggak suka kamu udah nikah."Bima terdiam. Dia membiarkan pembicaraan itu mengendap tanpa perlu dia ungkit-ungkit. Tanpa timpalan, topik soal pernikahannya terbuang sia-sia. "Kamu enggak ikut ke panti asuhan?" tanya Ibu Cassandra heran melihat Bima pamit pulang. Perempuan itu bahkan enggan mengulurkan tangan tuk disalin Bi
Macet. Bima sudah tak tahu betapa kali dia mengetuk-ngetukan kepalan tangannya ke roda kemudi. Sesekali lelaki itu melirik ponsel yang tetap hitam tak menampilkan notifikasi apapun. Sekarang sudah malam, sekitar pukul 9 malam, Bima cemas memikirkan kondisi rumah. Al, sedang apa? Apa masih sibuk bekerja sampai lupa makan? Atau sedang marah karena Bima tidak menepati janji untuk pulang cepat? Semua tanya yang tak berujung itu serupa benang yang semakin kusut. Menjerat kepala Bima dan membuatnya tidak fokus. Bima sekali lagi menekan power ponselnya; dia mendial nomor Aluna dan mengumpat karena nomor istrinya itu tidak kunjung aktif. Cukup alot di perjalanan, akhirnya Bima telah sampai di Kuningan. Letak panti asuhannya memang di luar kota, sehingga Bima baru pulang selarut ini karena lama di perjalanan. Bima mendesah lega ketika mobilnya melewati gapura perumahan dimana rumahnya berada. Plat 'Residence Royals' tercetak besar di gapura itu. Bima menelan klakson di depan gerbang ru
Kualat Lagi Abimanyu Basudewa menatap sang Istri yang diayang seorang lelaki berkulit putih bersih. Aluna memakai jaket tebal dan celana training biru. Sang istri, mencepol rambut sebahunya menyisakan sedikit anak rambut yang berantakan karena tertiup angin. Bima menipiskan bibirnya melihat Aluna kesulitan berjalan. "Perempuannya selain Aluna ada berapa?" tanya Bima menatap Kalis yang berdiri di sisinya. "Cuma Aluna, dia enggak bilang?"Bima melebarkan pupil matanya mendengar jawaban Kalis. "Dia satu-satunya perempuan di rombongan?""Iya," jawab Kalis mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. Bima mengangguk. Lelaki itu hanya mengangguk, tak berkata apapun selain membuka pintu agar Aluna masuk ke kursi di sebelah kemudi.Hal yang tak terduga terjadi, Aluna yang sudah mencapai mobil tiba-tiba membuka pintu belakang. Bima tertegun. "Emang harus dilurusin kakinya jadi di jo
"Kita cuma saling membutuhkan di atas ranjang. Udah itu aja. Jadi berhenti baikin aku dan ikut campur ke masalahku! Seengaknya kalau udah punya anak nanti, kita udah terbebas dari pemikiran negatif orang-orang. Itu aja Bim. Terserah mau pisah atau bagaimana setelah punya anak nanti.""Apa aku mengatakan pernikahan ini cuma untuk kebutuhan di atas ranjang?""Enggak, tapi aku iya!!!" jawab Aluna dengan percaya diri. "Satu-satunya alasanku terima lamaran kamu itu cuma buat dapat keturunan. Itu kan yang kamu tekankan waktu lamar aku? Deadline rahim! Waktuku tinggal 2 tahun untuk ada di fase optimal mengandung dan melahirkan, jadi pernikahan normal menurutku cuma itu Bim. Tolong hargai!"Bima tak berkutik ketika Aluna menyudahi pembicaraan 'adu urat' itu dengan meninggalkannya. Terpincang-pincang, Aluna meraih ponselnya dan berjalan menuju charger-an di ruang kerja. Ya, alih-alih menuju laci berisi banyak stop kontak di nakas kamar, Aluna malah menyiksa diri dengan menuruni tangga.Alasan
Semangkuk bubur hangat berada di atas nampan bersama sup jagung. Aromanya membuat Aluna semakin lapar. Terlebih selama menikah ini, Aluna sudah mengetahui citra rasa masakan Bima memang tidak main-main. Sangat pas di lidahnya. Hidangan untuk sarapan itu jelas membuatnya tersiksa atas dua pilihan; memakan masakan itu mengabaikan gengsi, atau sebaliknya. Tetap memberi makan 'gengsi' dengan menolak makanan itu semua. Bima yang berdiri di depan ranjang tampaknya menyadari kebimbangan Aluna. "Dimakan aja, lagipula kamu lagi sakit. Kalau sudah sembuh, kita ikutin keinginan kamu buat masak sendiri-sendiri," kata Bima cukup logis. Aluna yang mendengar ucapan Bima spontan melirik kakinya. Sudah tidak bengkak, tetapi masih sakit dibawa berjalan. DOMS memperumit semuanya, sebab sekarang bukan hanya kaki terkilirnya yang sakit tetapi seluruh tubuhnya. Mengangguk, Aluna putuskan menerima 'kebaikan' Bima. "Aku bantu ....""Enggak usah," tolak Aluna secara halus. "Aku bisa sendiri."Aluna sebi
"Al jangan lari!"Aluna tidak mengindahkan teriakan itu. Dia tetap berlari. Dia menggunakan seluruh energinya untuk cepat sampai tangga dan naik ke kamarnya. Aluna akan mengunci pintu sehingga Bima tidak perlu ada di satu ruangan dengannya. Untuk malam ini saja, Aluna ingin sedikit egois. Dia lelah bertengkar. Situasi tegang tak bagus untuk bayinya, apalagi sekarang adalah jam tidur. Aluna tidak boleh stress. "Aku minta maaf Al ..."Di belakang, Bima masih saja meracau. "Selama 3 hari kemarin aku mikirin soal kita, aku mikirin bayi kita juga."Aluna tidak menyukai panggilan 'bayi kita' kendati faktanya bayi ini memang memiliki setengah gen dirinya dan Bima. "Al ..." Teriakan Bima menjadi suara terakhir yang Aluna ingat ketika rasa pening karena terlalu banyak berpikir membuatnya limbung. Dia hampir jatuh terguling di atas tangga, tetapi urung karena Bima tiba-tiba sudah ada di belakang
"Al, bangun! Ada A Bima jemput kamu pulang!" Aluna menggeliat karena diganggu tidurnya. Perempuan itu bergeming berpikir bisikan itu hanya potongan mimpinya. Namun, dengan tangan yang mengelus pipi, Aluna tahu suara itu nyata. Dibukanya mata, Aluna mendapati Lela menatapnya cemas. Tatapan perempuan berwajah manis ini terlihat pucat. Entah karena ini sudah tengah malam atau karena alasan lain."Ada A Bima di depan," bisik Lela mengulang informasi. "Bima?" tanya Aluna menekuk sikut sehingga dia bisa duduk. Aluna menatap kamar Lela yang serba pastel. Ternyata dia memang tidur di kamar Lela, pantas kasurnya terasa lain. Ditatapnya jam dinding yang menjadi dekorasi kamar, ternyata sudah pukul 10 malam."Kok aku bisa tidur disini La?" "Tadi teteh kan ketiduran di kamarnya A Kalis, terus sama Ibu diajak pindah kamar, enggak inget?"Aluna menggeleng. "Oke, oke, yang penting selamat. Yuk keluar?
Wajah Aluna sudah macam korban sengatan lebah. Aluna mengompres matanya yang bengkak di dapur. Dia melakukannya sembari menunggu air di dalam teko yang dia panaskan di kompor lekas mendidih. Desing teko menguar keras. Aluna terjerat dalam lamunan. Perempuan yang memakai kaos semalam itu masih melamun dengan es batu mencair di tangannya. Ketika suara desing teko mendidih makin konstan, Aluna terlonjak dan lekas mematikannya. Betapa terkejutnya Aluna mendapati teko itu sudah kehilangan banyak air. Lamanya waktu yang dia biarkan membuat air di dalamnya menguap hilang. Mendesah, Aluna kembali mengulang. Mungkin perempuan itu tidak sepenuhnya sadar, bahwa alam bawah sadar telah membuatnya berulang kali melihat pintu. Bima tidak pulang sampai pagi. Kemana lelaki itu pergi? "Udahlah Al, mending kamu kerja biar cepet selesai," gumam Aluna menepis rasa khawatirnya. Dia membawa nampan berisi susu hamil rasa strawb
"Kapan aku bilang begitu?" tanya Bima ketika Aluna menyindirnya soal suami tanpa perasaan. Nada suara Abimanyu Basudewa yang mendesis adalah pertanda, lelaki itu tidak sepenuhnya ingat soal kalimat lamarannya yang menyakitkan. "Waktu melamarku, kamu bilang bisa menghamiliku tanpa perasaan ..." jawab Aluna mengatakannya secara gamblang. Otak Bima tampaknya sedang mencerna, kening lelaki itu mengernyit. Lalu ketika hasilnya telah terproses, Abimanyu Basudewa termenung. "Al ...." lirihnya memanggil. Aluna menyeringai. "Semua kemarahan kamu di jalan tadi ... terlalu berlebihan Bim. Kamu keterlaluan karena hampir mencelakakan kita bertiga ...." maki Aluna.Bima mengerjap nanar mendengar kata 'bertiga'."Kamu harus malu marah-marah hanya karena telat dikasih tahu soal kehamilanku Bim, karena sebenarnya sejak awal, kamu udah ngomong ... hamilku itu bukan sesuatu yang bisa kita selebrasikan seperti pasutri pada umumnya!"
Ketika Bima tiba-tiba mengajak pulang dengan nada dingin, Aluna buru-buru menghampiri Bima dan mengajaknya bicara di kamar. Namun, Bima sepertinya mengalami hari buruk. Lelaki itu memaksa Aluna segera pulang. Begitu mutlak, tegas dan tak terbantahkan. "Aku udah izin mau nginep sama Mamah dan Ayah, sorry tadi enggak ngabarin karena ponselku ketinggalan lagi," jelas Aluna tersenyum tipis. "Kamu ikut nginep aja ya Bim?""Kamu enggak paham maksudku Al? Aku bilang pulang, ya pulang!!" Aluna melebarkan pupil terkejut bukan main mendengar nada tajam Bima. Aluna menoleh tuk melihat reaksi orang tuanya, syukurlah suara televisi menjadi peredam suara sehingga mereka tidak mendengar ucapan Bima yang begitu tajam. Aluna kemudian mengalihkan tatapan ke depan. Menatap suaminya. Aluna bukan pembaca ekpsresi, tetapi tajamnya sorot pandang Bima, tentu adalah hal buruk.Menghela nafas, Aluna pun terpaksa mengangguki permintaan Bima u
Rutenya selalu sama, apapun yang tidak diharapkan selalu Tuhan datangkan sebagai ujian. Seperti bakteri dan virus, yang lebih mahir membuat sistem imun belajar untuk kuat (Aluna)***Aluna pernah mendengar, jika kita sudah terlalu yakin akan suatu 'planning' maka akan ada saja sesuatu yang menggagalkannya. Aluna mengalaminya sekarang. Berniat mengabari keluarganya soal kehamilannya satu hari pasca USG, planningnya malah molor sampai 4 hari setelahnya. Ya, telat 3 hari. Dan itu semua tidak sengaja dia lewatkan. Aluna benar-benar lupa akan hal itu. Dia sibuk mengejar deadline pekerjaan setelah hari dimana Bima membawanya ke kampus lantas main ke bioskop.Disini, kadang Aluna sadar bahwa manusia jangan terlalu percaya diri. Aluna yang sudah memikirkan reaksi kedua orang tuanya ketika tahu dia hamil sejatinya sudah melampaui takdir. Dia melupakan Tuhan dalam proses memikirkan planning itu. Yeah, karena sekaran
"Astaga sekarang jam berapa?""Jam setengah 7.""Ya ampun aku belum makan," seru Aluna panik. Bima mengernyitkan dahinya. Aluna si Perempuan gila kerja yang suka mengurung diri tanpa makan sekarang panik hanya karena lupa makan? "Hati-hati Al!" tegur Bima ketika sang Istri hampir terjatuh karena belum sepenuhnya sadar pasca tidur berjam-jam. "Padahal aku setting alarm tahu.""Capek banget kayaknya kamu Al. Kerja dari tadi?""Enggak kerja sama sekali. Cuma duduk doang.""Ya udah jangan cemberut gitu, sekarang sholat dulu, kalau mau mandi pakai air hangat biar enggak masuk angin," kata Bima memberi saran lembut. Aluna mengangguk. Bima gemas sekali karena wajah Aluna yang berkeringat secara otomatis membuat kedua pipinya memerah alami. Sangat cantik. Terutama karena wajah habis bangun Aluna benar-benar menggemaskan dengan mata bengkak menyipit dan juga bibir menekuk.
Ternyata seperti ini rasanya ...Aluna duduk di kursi ruang Obgyn dengan seorang perempuan berkacamata mewawancarainya dengan banyak pertanyaan basic. Tujuan datang ke Obgyn? Kehamilan pertama atau bukan? Sudah cek pakai testpack lebih dulu atau belum? Dan lain sebagainya. Aluna menjawabnya dengan antusias. Sungguh, dia bahagia sekali bisa hamil sehingga setiap moment-nya dia nikmati dengan penuh sukacita. Aluna bahkan tidak insecure ketika ibu-ibu hamil yang datang ke klinik ini hampir semuanya diantar suaminya masing-masing. Fokus utama Aluna saat ini adalah kesehatan bayinya. "Bu Aluna, kayaknya bener deh kita udah pernah ketemu. Di The Jungle ...."Aluna ber-oh panjang. The Jungle adalah restoran milik ayahnya yang sekarang punya banyak cabang. "Iya itu memang punya ayah saja Dok.""Wah kebetulan, The Jungle itu tempat favorit saya.""Ya ampun, dunia sempit ya, lain kali kalau mampir bisa hubun
Testpack digital telah melakukan pekerjaannya. Di jendelanya, tertera 'yes' sebagai jawaban. Aluna menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Emosinya sudah tersedot kemarin malam sehingga subuh ini dia bisa mengontrol diri. Aluna keluar dari kamar dan mencengkram testpack digital itu untuk dia masukan ke dalam kotak. Abimanyu Basudewa yang masih terlelap, dia lewati begitu saja. Alih-alih memberitahu Bima soal ini, Aluna malah membuka laptop. Dia menghitung usia pekerjaannya selama mengambil dua pekerjaan freelance sekaligus. Aluna tidak boleh mengambil banyak pekerjaan selama hamil karena begadang tidak dianjurkan. Dia akan menawarkan pekerjaannya yang belum selesai—dengan kontrak yang lama, ke temannya sesama freelance. "Bisa enggak? Sekitar 113 bab lagi, itu optional, bisa diperpendek maupun diperpanjang kalau memang butuh duit banget," kata Aluna menggigiti ujung kukunya karena gugup. Aluna bahkan belum cuci m