Share

Hanya Objek

"Aku enggak pernah bayangin sih tubuhku dicium-cium sama ... orang lain yang bukan keluargaku. Pasti aneh. Ih jijik ya enggak sih? Apalagi harus buka baju dan ... ya gitu deh ...."

Perkataan di atas adalah ucapan Aluna waktu dia kuliah. Aluna Lizna yang tomboy membuat dia memandang 'keintiman' sebagai hal menjijikan. Pemikiran ini terus berlanjut bahkan ketika dia berpacaran dengan Cakra—salah satu sahabatnya.

Gaya berpacaran mereka sangat aneh.

Cakra bahkan tidak merubah sikapnya ketika mereka resmi berpacaran. Hanya status yang berubah. Selebihnya sama saja. Mereka menjalani hubungan seperti seseorang teman. Tidak ada yang spesial.

Tidak heran ketika Cakra selingkuh, Aluna biasa saja. Namun hal itu membuat usia Aluna tidak sejalan dengan pemahamannya akan 'seksualitas'.

Aluna sangat amatir.

Namun berbeda dengan malam ini ....

Bima membuat Aluna merasakan apa itu gugup ketika nafas saling terhembus satu sama lain. Panas sekali tubuhnya. Aluna gelisah bahkan ketika Bima hanya menatapnya dari jarak dekat.

Tatapan Bima mengingatkan Aluna bahwa dia adalah perempuan dengan segala kodratnya. Dan Bima adalah seorang lelaki, yang adalah suaminya.

Suami.

Hal itu terus berdengung di kepalanya ketika Bima melingkari perut Aluna dan menariknya merapat.

Astaga, jantung Aluna terasa hendak meledak!

Dia bukan takut, tetapi ... risih.

Kehangatan tubuh Bima membuatnya gelisah. Aluna tahu usianya sangat tidak berkorelasi dengan tingkahnya yang macam ABG, tetapi selama 33 tahun menjadi seorang perempuan, Aluna tidak pernah menggunakan tubuhnya tuk menggoda lelaki manapun.

Dia baru pertama kali di fase ini dan sangat berat, sebab ketika Bima mengecupi bahunya dari luar kaos, Aluna tidak bisa berpikir apapun selain melakukan perlawanan.

Dia ingin menghardik Bima, dan mungkin sedikit memukul mulutnya yang kurang ajar. Sedikit memamerkan ilmu bela dirinya mungkin akan terlihat keren.

Namun sepertinya itu hanya akan terlihat keren ketika dia masih berseragam putih abu dan membekuk 'om-om' jahat yang menggodanya.

Tidak berlaku sekarang saat dirinya terbaring di atas ranjang dengan Bima mencumbu bahunya dari belakang.

Usianya sudah 33 tahun dan seharusnya cukup 'dewasa' tuk menganggap kegiatan 'intim' ini sebagai sesuatu yang lumrah terjadi di dalam pernikahan.

Aluna berpikir situasi ini terlihat sulit karena dia baru pertama kali melakukannya.

Pun dengan Bima, yang sebenarnya bukan lelaki harapannya. Namun bercinta, tidak sepenuhnya memakai akal sehat.

Awalnya Aluna banyak berpikir sampai dia mematung serupa manekin. Dia tampak lupa kalau 'menari tango' dilakukan atas kontribusi dua orang.

Namun setelah akal sehatnya dikuasai gairah dan sifat paling primitif seorang manusia yaitu menyalurkan kebutuhan telah meningkat di kepalanya, Aluna mulai menanggalkan rasa takutnya.

Dia menerima Bima sepenuhnya.

Tubuhnya menyambut lelaki itu serupa gembok bertemu anak kunci. Memang seperti inilah Tuhan membuat lekukan tubuhnya, untuk berpadu dengan lekuk tubuh seorang lelaki.

Kendati Bima tidak mencintainya, Aluna berpikir tidak ada waktu untuk berpikir sebab Aluna sendiri menerima lamaran Bima untuk memenuhi salah satu bucket list-nya memberi Satria cucu.

Ini lah salah satu prosesnya.

Aluna menjadikan hal ini sebagai satu-satunya alasan kenapa dia harus menikmati prosesnya.

"Kali pertama ya, Al?" tanya Bima ketika Aluna beberapa kali mendorong dada Bima saat bibirnya lebih jauh dari sekedar pipi, bibir, dahi dan bahu.

"Hah?" tanya Aluna dengan merah merona.

Dia linglung.

Bima yang mengungkung gemas melihat kernyitan di dahi Aluna.

"Boleh matiin lampunya enggak?"

"Kenapa? Malu? Kamu cantik kok."

"Please ...." Gombalan Bima tidak mempan, sebab Aluna benar-benar di posisi 'kosong'.

"Oke." Bima beranjak dari Aluna tuk mematikan lampu. Tersisa lampu tidur yang membuat suasana kamar Aluna yang serba abu-abu itu terasa lebih hangat.

Ketika Bima mematikan lampu, Aluna yang terbaring di tengah ranjang menatap nyalang ke langit-langit. Tiba-tiba dia ragu. Dia memang menikah untuk 'mengejar' deadline usia rahimnya yang punya batas 'pakai' tetapi waktunya tidak secepat ini, bukan?

Mereka punya waktu 2 tahun, kenapa pula harus malam ini ketika tadi pagi dia menyaksikan Bima mengecup pusara Cassandra dengan tatapan kerinduan?

Aluna sedang mencari sandalnya di kolong ranjang ketika Bima mencekal lengannya.

"Mau kemana?" tanya Bima dengan raut wajah tak tertebak. Aluna tidak tahu sebab dia menolak melihat Bima.

Aluna menghindari kontak mata.

"Mau ke kamar mandi," jawab Aluna merangkai alasan.

"Bukan menghindar, kan?" tanya Bima sedikit menuduh. Nada suaranya membuat Aluna menoleh tuk menatap suaminya itu dengan tatapan kesal.

"Ngapain juga aku ngehindar? Aku tahu pasti kita menikah untuk apa." Aluna menarik nafas dan lupa tuk menghembuskannya saat Bima yang masih memegang sikutnya tiba-tiba menarik punggung tangannya ke depan mulut lelaki itu.

Dalam kondisi pencahayaan remang-remang, Aluna bisa melihat Bima memandangnya penuh kekaguman.

"Kalau kamu tahu pernikahan ini untuk apa, seharusnya jangan menghindar."

Deadline rahim menari-nari di kepala Aluna.

"Kamu brengsek ya Bim," kata Aluna ketika berpikir lelaki di hadapannya ini pintar menggunakan kesempatan di atas kesempitan. Bima tahu dirinya 'tertekan' dengan rahim yang memiliki expired date sehingga lelaki itu menggunakan hal tersebut tuk mengajaknya bercinta.

"Apa yang brengsek dari seorang suami meminta haknya kepada istrinya? Sejak awal, aku enggak lamar kamu cuma buat istri pajangan. Aku menawarkan pernikahan normal buat kamu."

Ya, Aluna pun tahu. Dia sampai hapal di luar kepala terkait hal itu karena Bima terus mengulang-ulang informasi tersebut.

Namun, bukankah wajar bagi Aluna tuk merasa ragu? Ketika dia memberikan tubuhnya untuk Bima, Aluna takut dia akan terjebak oleh pesona lelaki ini.

Abimanyu Basudewa adalah lelaki sempurna dengan perawakan tanpa cela. Tidak sulit mencintai lelaki ini dengan kebaikannya. Namun di pernikahan ini, Aluna dipaksa mematikan perasaanya.

Dia harus melakukannya karena Bima pun demikian.

"Al?" panggil Bima dengan suara lirih.

"Persetan," maki Aluna di benaknya ketika dia memutuskan naik ke atas ranjang.

Bima merengkuh rahangnya. Aluna pasrah di bawah kendali Bima.

Bima terkekeh melihat Aluna mengikuti keinginannya dengan patuh tetapi raut wajahnya begitu keras.

Bima hendak merunduk tuk mengecup pipi Aluna saat perempuan itu menahan dadanya.

"Apa lagi?"

Aluna ingin menegaskan satu hal. Tatapan perempuan itu tegas oleh suatu tuntutan kuat. "Aku enggak peduli kamu anggap aku objek, wanita murahan, penyalur hasrat atau bahkan ... pengganti Cassandra. Aku juga enggak peduli kamu mau melakukan apapun di tubuhku. Tolong lakukan segalanya dengan cepat Bim! Aku enggak mau menikmati prosesnya, aku cuma mau hamil."

Bima tertegun.

Aluna belum selesai memberi ultimatum. Aluna serupa landak yang mengencangkan duri-duri di tubuhnya ketika terancam. Perempuan ini sedang menyakiti Bima tuk membuat dirinya merasa aman.

"Lagipula kamu pasti ingat kan, alasanku terima lamaran kamu karena pengen hamil. Rahimku udah mau kadaluarsa. Aku cuma perlu satu anak dan aku bisa bahagia tanpa perlu memikirkan kemungkinan enggak punya keturunan."

"Kamu terlalu jahat sama diri kamu sendiri Al," kata Bima dengan nada suara serius. Lelaki itu terlihat marah.

Aluna yang terbaring tiba-tiba terbangun. Dia memupus jarak. Dia ingin mengendalikan situasi dengan memimpin apa yang dia inginkan. Sayangnya semuanya sangat hampa dan dingin karena Bima tidak membalasnya.

Aluna seperti ditolak secara tidak langsung. Perempuan itu juga punya hati, dia tersakiti oleh diamnya Bima. Seolah Aluna yang punya tubuh tinggi kurus tanpa sedikitpun lekuk tubuh feminim sama sekali tidak membuat Bina tergoda.

"Sorry," bisik Aluna menarik diri. Dia mengais-ngais sisa rasa malu sebelum pergi ke kamar mandi.

Namun belum turun dari atas ranjang, Bima menarik pinggangnya. Belitan itu sangat kuat. Aluna ditarik membentur dada kuat. Lalu, sebuah kecupan di leher, membuat Aluna tak tahu harus menangis atau mengerang.

"Kita memang tidak saling mencintai Al, tapi bukan berarti aku pemerkosa," bisik Bima menggeram. Lelaki itu menjatuhkan Aluna dengan lembut ke atas ranjang, lantas, Bima mengungkungnya dengan lembut.

Protesan Aluna dibungkam kecupan lembut.

Sangat lembut.

Aluna sampai berpikir dia tenggelam di lautan marsmellow saking manisnya.

Cecapan bibir Bima yang manis, belitan tangannya yang kuat di pinggang serta hawa panas dari tubuhnya membuat Aluna bergetar.

Tangan kanan Bima yang hangat bergerak mengelus paha Aluna. Ditekuknya lutut Aluna, sebelum tangannya makin naik mengelus paha istrinya.

Proses penyatuan yang Aluna bayangkan akan menyakitkan malah terasa memabukkan. Bima tidak berhenti bertanya ketika lelaki itu akan bertindak lebih jauh. Dan jari jemarinya seperti stik sihir yang membuat apapun bisa berubah dalam sekejap.

Jemari itu begitu lihai membangkitkan titik-titik sensitif di tubuh Aluna agar membuat tubuh perempuan itu kian menggelinjang.

Ketika mereka sampai di puncak dan Aluna merasakan apa yang 33 tahun ini belum pernah dia rasakan, euforia meledak-ledak di otak dan jantungnya.

Semuanya seperti membeku.

Rasanya sangat indah.

Sebelum bibir Bima yang tersengal di ceruk leher tiba-tiba berbisik. "Thanks Dra."

Namanya Al, bukan Dra.

Namun sebelum mereka melakukannya, bukankah Aluna sendiri yang berkata dirinya 'tidak peduli dianggap objek, wanita murahan, penyalur hasrat, bahkan pengganti Cassandra'?

Lalu, kenapa dia sakit hati? Apa karena kelembutan Bima sebelumnya membuat dia terbuai dan sedikit berharap 'akan lelaki dan pernikahan ini'?

***

A/N: Kepada para pembaca Budiman, saya persilahkan untuk menghujat Bima:) hahahaha

Comments (3)
goodnovel comment avatar
MaMa INa
asli sih ayah Bima nyebelin banget
goodnovel comment avatar
Silvi Anita
wahhh².... ternyata bersaingnya ma mantan yg udh meninggal
goodnovel comment avatar
Nia
seruuuuu bangetttttt... ternyata ayah bima se brengsek ini yaaaaa ... kayanya lbh brengsek dia drpd menantu2nya ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status