Beranda / Romansa / Jodoh Tenggat Waktu / Jangan Pernah Berharap

Share

Jangan Pernah Berharap

"Teman-teman kamu laki-laki semua ya?" tanya Bima saat Aluna yang memakai sweater dan training terbahak-bahak membuka kado berwarna hitam yang cukup besar.

Malam pertama mereka dihabiskan dengan membuka banyak kado. Rasa lelah karena seharian berada di acara seolah hilang ketika tumpukan kado membuat penasaran.

"Kenapa emangnya?" tanya Aluna melempar tanya balik.

"Semua kado buat kamu dari laki-laki semua. Kalis, Kara, Calvin, Tio, Yandi, Putra ... dan Pras—yang aneh sekali ngasih helm di hari pernikahan kamu."

"Astaga sampai hapal," gerutu Aluna menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan kedua kaki terlipat, Aluna merebut hoody pemberian Putra dari tangan Bima.

"Dan semua hadiahnya seperti bukan untuk pengantin."

"Mereka memang enggak suka sama kamu Bim. Harap dimaklum."

"Apa mereka barisan sakit hati? Patah hati saat kamu menikah?"

"Bisa jadi," jawab Aluna melirik hati-hati ke arah Bima—yang sudah resmi jadi suaminya. Sebenarnya Kalis, Kara, Calvin, Tio, Yandi, Putra dan Pras adalah teman bermain Aluna.

Mereka tak mungkin patah hati ketika Aluna menikah karena hubungan mereka pure berteman. Dia sengaja berkata seolah mereka adalah lelaki yang menyukainya kepada Bima tuk mengobati egonya yang memuncak.

Memangnya kenapa mereka membuka kado saat malam pertama? Tentu saja karena Bima yang meminta.

Seolah Aluna yang merelakan hidupnya 'berada di cengkraman' lelaki ini dan rela melakukan hal yang dilakukan pasangan normal tak membuat Bima sadar diri.

Aluna sakit hati sekali ketika dirinya menanyakan perihal malam pertama sembari diam-diam menyiapkan pakaian seksi, Abimanyu Basudewa menolaknya tanpa perasaan.

Aluna ingin sekali mempraktekkan ilmu beladirinya ke wajah tampan ini ketika ucapan Bima terbayang-bayang di otaknya.

"Jangan terburu-buru! Aku belum izin ke Sandra. Lagipula, apa kamu enggak capek? Apa isi kepalamu emang hanya berisi itu?"

Aluna sudah meluruhkan harga dirinya dengan bertanya lebih dulu, dia lakukan ini semata bukan karena 'isi kepalanya hanya tentang malam pertama' tetapi karena dia paling tidak tahan dengan suasana canggung di antara mereka.

Namun dengan tega, Bima malah menghardiknya begitu? Dan jangan lupakan perkataanya yang mengatakan bahwa dia tak akan 'menyentuh' Aluna sebelum meminta izin calon istrinya yang sudah meninggal.

Sebenarnya, Aluna istri sungguhan atau istri piguran? Kenapa Bima merasa harus meminta izin orang yang sudah mati?

Karena amarah itulah, Aluna menjadikan sahabat-sahabat lelakinya seolah lelaki yang menyukainya.

Persetan Bima hanya mentertawainya. Aluna hanya perlu alasan tuk merasa menang malam ini.

"Apa ini?"

Aluna menggeser duduknya di atas karpet tuk melihat kado yang membuat Bima melongo.

Kado itu dari Pras. Berisi boneka Voodoo penuh jarum yang tampak tak berdaya.

Pupil Bima makin melebar mendapati sebuah nama terukir di punggungnya. Abimanyu Basudewa, tertulis jelas disana.

"Astaga Pras lucu banget," seru Aluna mengambil boneka itu dan menoel-noel pipinya yang ditusuk.

Boneka Voodoo itu barangkali hanya lelucon, tetapi Bima tiba-tiba merasa ngilu pipinya ditusuk seperti itu. Lelaki jangkung yang memakai piyama abu-abu itu mengelus-ngelus pipinya dengan ekspresi ngeri.

"Enggak ada lucu-lucunya boneka Voodoo yang dikasih namaku Al."

Keributan soal boneka Voodoo ternyata bukan satu-satunya, mereka kembali meributkan hal kecil.

Bima ingin tidur di sisi kanan sementara itu adalah sisi milik Aluna.

"No way, kamu di sisi kiri, aku pemilik kamar ini kenapa aku yang harus ngalah?" seru Aluna keras kepala.

Oh jangan lupakan, jiwa anak pertama di dalam diri Aluna adalah penyumbang kenapa dia keras kepala dan ingin Bima tunduk di bawah titahnya. Sungguh sial, sebab Bima juga anak pertama.

"Tapi aku enggak bisa tidur di sisi kiri," kata Bima bersedekap.

"Ya sudah tidur aja di kaki ranjang."

Bima menipiskan bibirnya. Alisnya yang tebal menukik seolah mempertanyakan kemurahatian Aluna. 

Mendengkus, Aluna tak punya pilihan, beberapa menit kemudian mereka tidur terlentang dengan Bima rebah di sisi kiri. Lelaki itu terlihat sungkan dan kaku tuk tidur menghadap Aluna. Padahal Bima mengaku selalu tidur menghadap kanan.

"Al?"

"Ya?"

"Besok ikut ke makam, mau?"

Tubuh Aluna yang berbaring di sebelah guling—yang dijadikan pembatas—seketika menegang. Kenapa Bima mengenalnya pergi ke makam?

"Aku mau ngenalin kamu ke Sandra."

"Harus banget ya?" tanya Aluna sedikit ketus. Maksudnya, Sandra hanya calon istri Bima. Mereka belum menikah saat Sandra meninggal karena penyakit kankernya.

Apa dengan hubungan seperti itu Aluna benar-benar butuh izin Sandra untuk mendapat restu? Ini lucu sekaligus menyakitkan bagi Aluna. Karena semakin nyata fakta bahwa suaminya masih mendambakan perempuan yang sudah meninggal.

"Harus. Karena aku milik dia."

Aluna shock sekali mendengar jawaban Bima.

"Maaf harus kasar, tapi dia sudah meninggal Bim." Aluna sampai bangkit tuk duduk sehingga dia bisa menatap Bima dengan jelas. "Kamu mungkin ngerasa perlu minta izin sama dia setelah nikahin aku, tapi ini bukan sesuatu yang harus banget kamu sampaikan ke aku di malam pertama kita resmi jadi suami istri Bim."

Its hurt, sekalipun Aluna tak mencintai Bima, tetapi lelaki ini harusnya menghargai posisinya sebagai istri lelaki itu.

"Cassandra adalah perempuan yang aku janjikan pergi ke pelaminan Al, jadi karena posisi itu sudah kamu tempati, aku harus minta izin dia dan ngenalin kamu ke dia."

"Bim, sekarang aku tahu kenapa keluarga kamu khawatir dan pengen kamu cepet nikah." Aluna diam sebentar tuk mengontrol emosinya. "Karena kamu gila."

"Kamu tidak akan mengerti perasaanku karena kamu tidak pernah berada di fase mencintai sedalam ini Al. Sampai kapan pun kamu tidak akan mengerti."

Oh lucunya Bima, merasa paling pintar mencintai sampai menjudge kehidupan romansa Aluna.

"Tidak berada di fase mencintai? Kamu ngeledek aku? Fyi, sebelum memutuskan nikah sama kamu, aku adalah perempuan yang rela nunggu Cakra selama 10 tahun, aku percaya sama dia, dan aku enggak meratap saat dia selingkuh karena aku tahu dia bukan jodohku. Besarnya taraf mencintai tidak diukur dengan seberapa menderita dan meratap kita pasca ditinggalkan, tetapi seberapa kuat kita buat bangkit."

"Dia bukan jodoh kamu Bim ketika dia meninggal."

Bima menatap tajam Aluna. Lelaki itu menyibak selimut dan menunjuk wajah Aluna.

"Kamu enggak berhak menjudge keputusan di hidupku. Kamu ... bukan siapa-siapa. Mungkin tingkah kamu yang kurang sopan ini karena salahku, aku lupa mengatakan satu hal; jangan ikut campur soal perasaanku ke Sandra. Sekalipun kamu adalah istriku sendiri."

Setelah itu Bima pergi ke luar dan entah pergi kemana. Aluna membaringkan tubuhnya di atas ranjang dingin. Dia selalu tidur sendirian sebelumnya, tetapi semenjak Bima pergi, rasanya seperti musim hujan.

Udara dingin dari rintik luar seperti menyelubungi tubuhnya. Aluna tidak pernah menangis karena lelaki tetapi kali ini terasa cukup menyakitkan dan sulit ditahan.

Setetes air mata yang turun segera dia tepis dengan kuat. "Okay Al, sekarang kamu harus apatis terhadap apapun tentang si Bima sialan itu."

Aku enggak harus bersaing dengan orang mati, lanjut Aluna bergumam.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
MaMa INa
ayah Bima nyebelin banget ya ternyata wkwk. sebel banget deh bacanya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status