"Teman-teman kamu laki-laki semua ya?" tanya Bima saat Aluna yang memakai sweater dan training terbahak-bahak membuka kado berwarna hitam yang cukup besar.
Malam pertama mereka dihabiskan dengan membuka banyak kado. Rasa lelah karena seharian berada di acara seolah hilang ketika tumpukan kado membuat penasaran."Kenapa emangnya?" tanya Aluna melempar tanya balik."Semua kado buat kamu dari laki-laki semua. Kalis, Kara, Calvin, Tio, Yandi, Putra ... dan Pras—yang aneh sekali ngasih helm di hari pernikahan kamu.""Astaga sampai hapal," gerutu Aluna menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan kedua kaki terlipat, Aluna merebut hoody pemberian Putra dari tangan Bima."Dan semua hadiahnya seperti bukan untuk pengantin.""Mereka memang enggak suka sama kamu Bim. Harap dimaklum.""Apa mereka barisan sakit hati? Patah hati saat kamu menikah?""Bisa jadi," jawab Aluna melirik hati-hati ke arah Bima—yang sudah resmi jadi suaminya. Sebenarnya Kalis, Kara, Calvin, Tio, Yandi, Putra dan Pras adalah teman bermain Aluna.Mereka tak mungkin patah hati ketika Aluna menikah karena hubungan mereka pure berteman. Dia sengaja berkata seolah mereka adalah lelaki yang menyukainya kepada Bima tuk mengobati egonya yang memuncak.Memangnya kenapa mereka membuka kado saat malam pertama? Tentu saja karena Bima yang meminta.Seolah Aluna yang merelakan hidupnya 'berada di cengkraman' lelaki ini dan rela melakukan hal yang dilakukan pasangan normal tak membuat Bima sadar diri.Aluna sakit hati sekali ketika dirinya menanyakan perihal malam pertama sembari diam-diam menyiapkan pakaian seksi, Abimanyu Basudewa menolaknya tanpa perasaan.Aluna ingin sekali mempraktekkan ilmu beladirinya ke wajah tampan ini ketika ucapan Bima terbayang-bayang di otaknya."Jangan terburu-buru! Aku belum izin ke Sandra. Lagipula, apa kamu enggak capek? Apa isi kepalamu emang hanya berisi itu?"Aluna sudah meluruhkan harga dirinya dengan bertanya lebih dulu, dia lakukan ini semata bukan karena 'isi kepalanya hanya tentang malam pertama' tetapi karena dia paling tidak tahan dengan suasana canggung di antara mereka.Namun dengan tega, Bima malah menghardiknya begitu? Dan jangan lupakan perkataanya yang mengatakan bahwa dia tak akan 'menyentuh' Aluna sebelum meminta izin calon istrinya yang sudah meninggal.Sebenarnya, Aluna istri sungguhan atau istri piguran? Kenapa Bima merasa harus meminta izin orang yang sudah mati?Karena amarah itulah, Aluna menjadikan sahabat-sahabat lelakinya seolah lelaki yang menyukainya.Persetan Bima hanya mentertawainya. Aluna hanya perlu alasan tuk merasa menang malam ini."Apa ini?"Aluna menggeser duduknya di atas karpet tuk melihat kado yang membuat Bima melongo.Kado itu dari Pras. Berisi boneka Voodoo penuh jarum yang tampak tak berdaya.Pupil Bima makin melebar mendapati sebuah nama terukir di punggungnya. Abimanyu Basudewa, tertulis jelas disana."Astaga Pras lucu banget," seru Aluna mengambil boneka itu dan menoel-noel pipinya yang ditusuk.Boneka Voodoo itu barangkali hanya lelucon, tetapi Bima tiba-tiba merasa ngilu pipinya ditusuk seperti itu. Lelaki jangkung yang memakai piyama abu-abu itu mengelus-ngelus pipinya dengan ekspresi ngeri."Enggak ada lucu-lucunya boneka Voodoo yang dikasih namaku Al."Keributan soal boneka Voodoo ternyata bukan satu-satunya, mereka kembali meributkan hal kecil.Bima ingin tidur di sisi kanan sementara itu adalah sisi milik Aluna."No way, kamu di sisi kiri, aku pemilik kamar ini kenapa aku yang harus ngalah?" seru Aluna keras kepala.Oh jangan lupakan, jiwa anak pertama di dalam diri Aluna adalah penyumbang kenapa dia keras kepala dan ingin Bima tunduk di bawah titahnya. Sungguh sial, sebab Bima juga anak pertama."Tapi aku enggak bisa tidur di sisi kiri," kata Bima bersedekap."Ya sudah tidur aja di kaki ranjang."Bima menipiskan bibirnya. Alisnya yang tebal menukik seolah mempertanyakan kemurahatian Aluna. Mendengkus, Aluna tak punya pilihan, beberapa menit kemudian mereka tidur terlentang dengan Bima rebah di sisi kiri. Lelaki itu terlihat sungkan dan kaku tuk tidur menghadap Aluna. Padahal Bima mengaku selalu tidur menghadap kanan."Al?""Ya?""Besok ikut ke makam, mau?"Tubuh Aluna yang berbaring di sebelah guling—yang dijadikan pembatas—seketika menegang. Kenapa Bima mengenalnya pergi ke makam?"Aku mau ngenalin kamu ke Sandra.""Harus banget ya?" tanya Aluna sedikit ketus. Maksudnya, Sandra hanya calon istri Bima. Mereka belum menikah saat Sandra meninggal karena penyakit kankernya.Apa dengan hubungan seperti itu Aluna benar-benar butuh izin Sandra untuk mendapat restu? Ini lucu sekaligus menyakitkan bagi Aluna. Karena semakin nyata fakta bahwa suaminya masih mendambakan perempuan yang sudah meninggal."Harus. Karena aku milik dia."Aluna shock sekali mendengar jawaban Bima."Maaf harus kasar, tapi dia sudah meninggal Bim." Aluna sampai bangkit tuk duduk sehingga dia bisa menatap Bima dengan jelas. "Kamu mungkin ngerasa perlu minta izin sama dia setelah nikahin aku, tapi ini bukan sesuatu yang harus banget kamu sampaikan ke aku di malam pertama kita resmi jadi suami istri Bim."Its hurt, sekalipun Aluna tak mencintai Bima, tetapi lelaki ini harusnya menghargai posisinya sebagai istri lelaki itu."Cassandra adalah perempuan yang aku janjikan pergi ke pelaminan Al, jadi karena posisi itu sudah kamu tempati, aku harus minta izin dia dan ngenalin kamu ke dia.""Bim, sekarang aku tahu kenapa keluarga kamu khawatir dan pengen kamu cepet nikah." Aluna diam sebentar tuk mengontrol emosinya. "Karena kamu gila.""Kamu tidak akan mengerti perasaanku karena kamu tidak pernah berada di fase mencintai sedalam ini Al. Sampai kapan pun kamu tidak akan mengerti."Oh lucunya Bima, merasa paling pintar mencintai sampai menjudge kehidupan romansa Aluna."Tidak berada di fase mencintai? Kamu ngeledek aku? Fyi, sebelum memutuskan nikah sama kamu, aku adalah perempuan yang rela nunggu Cakra selama 10 tahun, aku percaya sama dia, dan aku enggak meratap saat dia selingkuh karena aku tahu dia bukan jodohku. Besarnya taraf mencintai tidak diukur dengan seberapa menderita dan meratap kita pasca ditinggalkan, tetapi seberapa kuat kita buat bangkit.""Dia bukan jodoh kamu Bim ketika dia meninggal."Bima menatap tajam Aluna. Lelaki itu menyibak selimut dan menunjuk wajah Aluna."Kamu enggak berhak menjudge keputusan di hidupku. Kamu ... bukan siapa-siapa. Mungkin tingkah kamu yang kurang sopan ini karena salahku, aku lupa mengatakan satu hal; jangan ikut campur soal perasaanku ke Sandra. Sekalipun kamu adalah istriku sendiri."Setelah itu Bima pergi ke luar dan entah pergi kemana. Aluna membaringkan tubuhnya di atas ranjang dingin. Dia selalu tidur sendirian sebelumnya, tetapi semenjak Bima pergi, rasanya seperti musim hujan.Udara dingin dari rintik luar seperti menyelubungi tubuhnya. Aluna tidak pernah menangis karena lelaki tetapi kali ini terasa cukup menyakitkan dan sulit ditahan.Setetes air mata yang turun segera dia tepis dengan kuat. "Okay Al, sekarang kamu harus apatis terhadap apapun tentang si Bima sialan itu."Aku enggak harus bersaing dengan orang mati, lanjut Aluna bergumam.***Mungkin karena lelah pasca resepsi, Aluna tidak sadar ketika Bima kembali ke kamar dan tidur di sisinya. Aluna cukup terkejut ketika terbangun, tangannya yang menggeliat melenturkan otot-otot membentur sesuatu yang keras. Aluna menatap lelaki 'baru' di atas ranjangnya. Abimanyu Basudewa. Meringkuk menghadap ke arahnya dengan wajah teduh tanpa dosa. Jika ingatan tangisannya semalam tidak mampir di otaknya, mungkin Aluna akan mengagumi wajah rupawan itu. "Arghh!!!" desis Aluna menggerakkan seluruh jari jemarinya seperti hendak mencakar wajah Bima. Demi apapun, lelaki ini membuat malam pertama pernikahannya seperti mimpi buruk. Aluna ingin memberi perhitungan. Namun tentu itu hanya keinginan terpendam yang tidak bisa dia lakukan sebab ... tidak lucu rasanya Aluna dilaporkan KDRT di hari pertama berumah tangga. Belum mengalihkan tatapan dari wajah Bima, tiba-tiba kelopak mata berbulu mata lentik Bima terbuka. Aluna hampir saja memekik karena terkejut. Terutama karena tatapan Bima
"Sebaiknya kita bikin perjanjian di pernikahan ini. Mungkin berpisah setelah punya anak, bisa jadi syarat utama di perjanjian itu," cetus Aluna menatap Bima dengan tatapan penuh ketakutan. "Aku ... ngerasa harus bikin 'asuransi' buat nyelamatin diri aku sendiri.""Apa yang bikin kamu ngerasa terancam?" tanya Bima ketika mereka bertatapan di depan makam Cassandra. "Semuanya," jawab Aluna menunjuk Bima dan makam Cassandra. Tatapan perempuan itu kosong seperti tengah melamun. "Ini sedikit konyol, tapi aku enggak mungkin rela hamil besar dan melihat kamu berziarah setiap hari ke kuburan ini."Bukan tentang perasaan, tetapi ego Aluna sebagai perempuan merasa tersentil ketika dia melihat Bima lebih 'dalam' menatap pusara kuburan dibanding menatap dirinya—yang berstatus sebagai istri. Ini, benar-benar hanya tentang ego, bukan?"Aku sudah menekankan sejak awal—""Ya aku tahu, kamu sudah menekankan sejak awal kalau pernikahan ini tanpa melibatkan perasaan. Makanya aku mau memberi sedikit jar
"Aku enggak pernah bayangin sih tubuhku dicium-cium sama ... orang lain yang bukan keluargaku. Pasti aneh. Ih jijik ya enggak sih? Apalagi harus buka baju dan ... ya gitu deh ...." Perkataan di atas adalah ucapan Aluna waktu dia kuliah. Aluna Lizna yang tomboy membuat dia memandang 'keintiman' sebagai hal menjijikan. Pemikiran ini terus berlanjut bahkan ketika dia berpacaran dengan Cakra—salah satu sahabatnya. Gaya berpacaran mereka sangat aneh. Cakra bahkan tidak merubah sikapnya ketika mereka resmi berpacaran. Hanya status yang berubah. Selebihnya sama saja. Mereka menjalani hubungan seperti seseorang teman. Tidak ada yang spesial. Tidak heran ketika Cakra selingkuh, Aluna biasa saja. Namun hal itu membuat usia Aluna tidak sejalan dengan pemahamannya akan 'seksualitas'.Aluna sangat amatir. Namun berbeda dengan malam ini ....Bima membuat Aluna merasakan apa itu gugup ketika nafas saling terhembus satu sama lain. Panas sekali tubuhnya. Aluna gelisah bahkan ketika Bima hanya men
Percintaan dini hari tadi yang sangat menakjubkan ... diakhiri dengan panggilan yang bukan dirinya. Jika ada kata yang lebih tinggi dari sakit hati, Aluna akan menggunakan itu.Namun dari sana, Aluna belajar untuk memupus harapannya kepada Bima. Dia kembali mengingat tujuan awalnya menikah; hanya agar 'aman'. Bukan untuk menjadi istri yang dicintai suami. Ya, hanya itu. Untuk itulah, pada esok harinya, Aluna bersikap biasa saja. Dia tetap memakai kaos polos over size kesukaannya dengan training berbahan lembut membalut kaki kurusnya. Tidak ada yang berubah.Tidak akan ada adegan Aluna malu-malu mendapati punggung telanjang suaminya, karena kenyataanya, jangankan tersipu, melihat Bima saja rasanya seperti ada jarum yang menusuk-nusuk jantung Aluna. Dia sakit hati. "Tumben pagi-pagi udah di dapur Al."Aluna menoleh ketika sapaan itu menyapanya. Perempuan itu mengangguk. Tangannya sedikit menaikkan kerah kaos yang agak melorot, ibunya jangan sampai tahu ada banyak bercak kemerahan d
"Kamu mau langsung tidur?" tanya Bima ketika keluar dari kamar mandi Aluna langsung masuk ke atas ranjang. "Hm," jawab Aluna menggumam. Perempuan itu meringkuk di sisi paling ujung, benar-benar menghindari kemungkinan bersentuhan dengan Bima. Padahal ranjang king size itu masih ber-space lebar. "Besok kita pindah.""Hm.""Al?""Aku ngantuk Bim.""Ini benar-benar bukan karena semalam, kan?""Astaga Bim!" seru Aluna menyibak selimut dan dia menekuk sikut agar bisa menatap suaminya itu. Rambut Aluna yang sebahu, kini acak-acakan karena sebelumnya telah dibaringkan di atas ranjang. "Begini ya Bim, berhenti meromantisasi kejadian dini hari tadi—""Tapi kamu menghindariku," potong Bima seolah keberatan dengan hal itu. "Aku enggak menghindari kamu kok, kepergianku tadi pure karena udah janji nemenin Kalis. Karena aku pikir enggak ada yang penting, ya sudah aku iyain," jelas Aluna. "Kamu lupa hari ini harusnya kita beli peralatan?""Peralatan apa?""Rumah.""Itu kan bisa kamu beli sendir
Aluna yang tertidur di sisi kiri, terus membolak-balik tubuhnya ke kiri dan kanan. Tingkahnya itu membuat Bima yang sudah memejamkan mata menoleh tuk menatap istrinya itu. "Kenapa?" tanya Bima dengan suara serak. Aluna menekuk tubuhnya dengan sikut. Dia membalikkan bantal dan menepuk-nepuknya dengan raut wajah datar. Aluna baru menjawab ketika Bima bertanya tuk kedua kalinya. "Aku enggak bisa tidur, mungkin di kuburan mantan tunangan kamu itu lagi sumpahin aku!" seru Aluna ketus. "Dia enggak ikhlas Prince Charming-nya punya wanita lain, jadi nyumpahin siapapun yang tidur disini bakal kena penyakit punggung."Bima tidak menjawab apapun ketika ucapan 'kasar' Aluna diserukan di kamar mereka. Heningnya suasana malam membuat suara Aluna sangat mengudara. Keras sekali. Setelah bolak-balik mencari posisi nyaman yang membuat ranjang bergoyang, akhirnya Aluna mendapatkannya. Dia menekuk lutut dan memeluknya. Aluna nanar menatap lampu nakas. Minimnya pencahayaan tak mampu menyembunyikan
Di toko furniture, Aluna yang memakai jaket jeans menaikkan sebelah alisnya ketika Bima yang terlihat segar dengan kaos dan celana pendek membawanya ke deretan ranjang yang dijual. "Kamu mau yang gimana Al?" tanya Bima sambil melihat-lihat ranjang. Lelaki itu mengelus ukiran ranjang kayu yang terlalu 'berlebihan' dan sangat jauh dari selera Aluna. Syukurlah Bima beralih ke bagian ranjang minimalis. "Ngapain beli ranjang? Kamar tamu sama kamar belakang udah ada, kan?" tanya Aluna pura-pura tak tertarik menatap deretan ranjang di lantai atas toko furnitur ini. Mereka sampai pergi ke luar kota untuk membeli furniture rumah. Biar lengkap, begitu kata Bima ketika Aluna mengeluh lama di jalan. "Buat kamar utama," jawab Bima. Aluna menaikkan sebelah alisnya. "Kan kamar utama udah ada ranjang kenangan penuh cinta yang sangat nyaman."Nada sinis yang diucapkan Aluna membuat Bima menoleh sehingga tatapan mereka bertaut. Aluna menunggu Bima membalas ucapannya. Dia menunggu kesempatan itu
Untuk urusan kamar saja mereka sampai adu urat. Aluna emosi sekali sampai dia menyikat giginya dengan gerakan tergesa-gesa. Bisa dia lihat, wajahnya yang terpantul di cermin wastafel benar-benar memerah. Dia lekas berkumur ketika rasa perih terasa kuat di gusinya. Begitu dia memuntahkan air kumurannya ke westafel, noda darah terlihat. Astaga, Aluna sering lupa mengontrol diri ketika emosi. Dia memang mudah emosi dan bukan perempuan anggun yang memilih diam ketika marah menguasai tubuhnya. Dia akan mengaum seperti singa. Dan mungkin sedikit membanting barang seperti monyet gila. Sedikit bantingan pintu kamar mandi akhirnya menjadi penutup kemarahan Aluna. Perempuan itu mengeraskan wajah ketika Bima terlihat menipiskan bibir melihat pintu kamarnya dibanting keras. Aluna berbaring memunggungi Bima. Dia menopang pipi dengan lengannya. Semalaman itu, hanya karena debat soal dekorasi kamar, sepasang suami istri itu sampai tak saling bicara. Keduanya masih keras kepala. Belum menemuk